Bekerja: Orang - Orang Proyek bukan Karya Ahmad Tohari (I)

Cerita ini adalah tentang kali pertama aku keluar dari zona nyaman. Pertama kalinya aku sering melakukan percobaan beban dalam dan untuk hidup : pada diri sendiri - menimba hal-hal yang baik untuk dilakukan lagi di kemudian hari, dan buang jauh keburukan dalam melakukan perbuatan. 
Hai! aku lagi. Kembali di blogku yang otoritasku. Kali ini akan kuceritakan pengalaman kerja pertamaku sebagai lulusan antropologi yang mencoba menjalani hari sebagai orang kantoran. Sebelumnya terdengar keren memang orang kantoran ini. Duduk di kursi, menghadap laptop/komputer, konsentrasi penuh, sibuk berhadapan dengan rekan dan rekanan, angkat telepon sana-sini, dan yang paling penting tidak terkena sinar matahari langsung karena ya di kantor. Tidak, tidak... mari kembali pada realitas yang bilang tidak semua yang indah seindah apa yang dilihat. Suatu hal yang bukan lagi kebetulan terjadi. 

Kontraktor di angan-angan masyarakat adalah orang yang menghasilkan banyak uang. Hei! bukan sembarang cap 'itu memang'. Lalu, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Mari kita sambung-menyambung kisah dalam dunia kerja sipil dalam upaya ikut membangun bangsa lewat infrastruktur ini. 

Pertama-tama kuucapkan pada Tuhan YME karena atas berkat limpahan rahmat serta hidayahNya aku dapat mengenal baik orang-orang yang terlibat dalam dunia perkontraktoran ini. Nah, kalau dipikir-pikir kontraktor ini sebenarnya terdiri dari kata dasar kontrak yang memiliki arti n perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa-menyewa, dan sebagainya (KBBI). Berangkat dari hal itu kontraktor ya orang yang melakukan kegiatan atau subjek, pelaku yang berupaya memenuhi perjanjian perdagangan, sewa-menyewa, dan sebagainya antara dua belah pihak. Hal yang penting digaris-bawahi di sini adalah dua belah pihak. Jadi kalau gak dua pihak sama saja bohong. 

Apakah kerja di kontraktor memang seperti itu? Hal-hal yang dilakukan berupa janji-janji aja? 

Baiklah, sepenuhnya gak salah sih kalau dikatakan demikian. Dalam bekerja di sana kemarin yang dilakukan memang janjian dengan rekanan misalnya janjian buat revisi kontrak, revisi tagihan, revisi ini-itu yang pokoknya harus dikerjakan sesuai dengan janji yang dibuat antara saya dan rekanan. Kalau gak ya berhubungan sama mandor. Berhubung kita cut off  pekerjaan pada tanggal 10 dan 25 tiap bulannya, aku dan mandor-mandor janjian buat ketemu setelah tanggal itu dan bahas masalah pekerjaan mereka. Sewa alat pun demikian, tiap tutup buku tanggal 25, mereka dan aku tentunya buru-buru kalau gak ya tak buru-buru buat menagihkan hutangnya karena di tanggal itu juga aku sudah janji sama manajer operasional proyek buat menyelesaikan hasil usaha dari subkontrator, mandor, dan sewa alat. Tuh kan isinya janji-janji mulu, kan?. 

Betul! Memang demikian. 


Halah, ternyata aku gak banyak menyimpan foto bareng-bareng. Seadanya aja, kayak anggaran lemburan. 


Kabar buruknya, janji tersebut tidak akan pernah terlaksana dalam suatu proyek karena berbagai macam hal, diantaranya adalah: 

1. Komunikasi yang buruk. 
Ini meliputi komunikasi antara rekanan dan pegawai seperti hamba, komunikasi antar rekan kerja, maupun komunikasi antar pegawai dan atasan. Komunikasi yang buruk ini bisa diakibatkan karena: a. Lupa (ya namanya manusia, kadang begitu kan) - ini boleh-boleh saja ya kalau dalam taraf wajar, tapi kalau terus-menerus namanya pendosa, suka ingkar soalnya, b. Takut mengatakan yang benar - ini termasuk dalam cara mengupayakan hal-hal yang tak sesungguhnya ada semacam mark up, ijon, dsb, c. Perintah atasan yang kurang jelas - ini sering kali kualami saat atasan yang sukanya buru-buru tapi tidak disiplin diri sendiri itu memberi pekerjaan tambahan di saat pekerjaan yang satu belum selesai, sehingga aku sering mendengus kesal, tapi ya tetap kukerjakan, sudah semacam skripsian lah dulu kalau misal salah kudu revisi bolak-balik, jadi paling gak dengan pengalaman ini aku kebal, d. Rekanan suka maunya sendiri, padahal kita punya aturan juga, e. Rasa tenggang rasa yang berlebihan pada rekan kerja kadang juga jadi pemicu, tapi gak seberapa relevan dari hal-hal di atas asalkan dari diri kita sendiri punya alasan atas pilihan yang kita lakukan dalam menanggapi rekan kerja tersebut, f. Anti kritik - sebuah ungkapan yang paling bahaya, sebab pahamnya konservatif cara-cara lama jadi rujukan dan tak mau diberi masukan. Hufttt...  

2. Manajemen proyek yang ambur-adul. 
Harus dipahami bagi teman-teman sekalian yang ingin memasuki dunia kontraktor ini, setiap proyek memiliki keunikan masing-masing atas manajemen proyek tersebut. Nah, berhubung ini kali pertama aku ikut proyek yang notabene bukan riset ya, proyek infrastrukur nih jadi tidak bisa aku komparasi dengan proyek yang pernah ku ikuti. Paling tidak aku berbagi saja. 
Keunikan dari proyek yang kujalani ini adalah tidak adanya jadwal yang pasti kapan kamu libur. Apakah aku mendapatkan kejutan dari pelaksanaannya? Tentu. Libur sebenarnya memang jadi hak bagi seorang pekerja, baik di kalangan buruh maupun kalangan atas(an). Tapi ini proyek jalan yang tiap hari gak ada henti buat kamu mengerjakan sesuatu. Paling juga libur nasional ikut libur dalam tanda kutip karena hari besr islam dan yang merayakan. Rasis tenan, ra?
Terus jam lembur yang infinity. Bagi sebagian orang lembur memang bisa dilakukan kalau memang dibutuhkan. Tapi bagi mamaku,"Lembur itu tanda bagi seseorang tidak mampu mengerjakan tugasnya". Ya, ada benarnya sih yang dibilang Mama tapi beda cerita kalau ini. Seperti yang kukatan di atas tadi, kadang atasan "mencari-cari cara agar kita stay awake doing something gitu" dan menurutku itu sebuah tindakan hiperbola ketika ybs pernah seolah-olah bilang dia bangga dengan anak didiknya yang suka kerja lembur. Okelah kalau lembur saya ada bayarannya. Nyatanya, upah untuk itu tidak ada dan tidak pernah sepadan dengan peluh yang kita berikan. 
Atasan sejahtera, pegawai dibiarkan begitu saja. 
Dalam dunia proyek ini, aku merasa jadi middle class (pegamat di antara bos dan buruh bawahan macam pekerja di lapangan melakukan aktvitasnya). Selama kerja aku sering curi-curi waktu buat melakukan hal yang sama dilakukan oleh atasan-atasan itu di hari Sabtu dan Minggu. Santai sedikit di kampung halaman masing-masing, berharap anak buah yang kerja terus dan dikontrol lewat gawai pintarnya bisa melaksanakan segala keinginan mereka. Hei, dude! Bawahan juga patut  meniru atasannya dan menurut kami pun tidak masalah. Toh memang seorang pemimpin memberikan teladan bagi anak buahnya. Hmmm... meskipun aku gak mau melakukan hal yang sama pada anak buahku jika aku punya perusahaan nantinya. (Aamiin).
Hal yang paling menyebalkan adalah ketika atasan bisa melenggang kemana saja seenaknya, sedangkan aku yang setengah pegang kendali tidak bisa berbuat apa-apa ketika ditodong orang-orang di lapangan yang perlu makan bagi anak-istrinya. Iya, mereka meminta hak untuk dibayar tapi selalu ditahan sehingga tidak tepat waktu dan menjadikan cambuk bagi diriku, bukan atasanku. Yah, walaupun beliau juga pernah bilang "kalau ada bola panas segera lemparkan ke saya, biar saya yang pegang bolanya". Tahu kan artinya? Iya, seolah-olah ia meau bertanggung jawab. Tapi pun, keadaannya tidak demikian. 

3. Janjinya mampir di bibir dan terurai bersamaan senyawa yang dibawa angin. 
Kalau memang janji adalah pelaksanaan kata-kata, seringnya di proyek ini janji cuma sekedar omong-omongan. Contohnya saja yang akhir-akhir ini membuat banyak pihak geram: PESANGON kami belum dibayar! Kalau memang yang kami tanda tangani dulu adalah sebuah janji yang harusnya ditepati oleh kedua belah pihak mengapa ini jadi pihak kami saja? ---- dan hal-hal seperti di atas yang belum tahu aku cara mengakhirinya kecuali dilaksanakan kata-katanya. Nyatanya bagi kami yang telah habis masa kontrak dalam Pasal 156 ayat 1, UU No. 13 tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwasannya " Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima". Ini hak kami, dinanti-nanti, tapi sampai kutulis hari ini belum ada kabar baik pengganti. 

Kabar baiknya, janji dalam berbuat kebaikan masih terus terlaksana sampai sekarang, tapi antar rekan kerja saja. Contohnya, kami masih saling bertegur sapa, berkeluh kesah, dan menanyakan kabar, dan kalau ada waktu disempatkan berkumpul bersama (eits, tapi tidak dulu karena masih dalam masa social distancing pandemi corona). Iya, orang-orang proyek ini sebenarnya gak ada yang jahat cuma ada beberapa hal mendesak yang menjadikan mereka seolah jadi sosok antagonis dalam sebuah cerita. Ada masanya mereka yang jadi antagonis ini berubah peran jadi protagonis kok. 

Hal-hal yang dilihat orang awam kebanyakan adalah kerja keras kami, sehingga membuat stigma bahwa yang kerja keras banyak duitnya: ia kaya (re: banyak ceperannya, hiks kalau kami darimana? mana bisa? atau bisa cuma aku saja yang bebal tidak melakukan? ya kali tindakan tidak baik berani ku lakukan, paling juga aku tetap jadi pengamat). Sedang kami yang merasakan cuma senyum kecut, bahkan ketika hanya mendengarnya. Realita tak sesuai harapan, proses tak pernah diapresiasi, menuntut batu - tak jadi titik temu. 



Klik buat lanjut ke Babak ke - 2. 
  

Comments

  1. Dapat ucapan salam dari Binjai, kota rambutan

    ReplyDelete
  2. sawang sinawang nek urip 😁 kadang gak semanis seng uwong delok

    ReplyDelete
  3. kabeh ki bakal ono balasane mbk. .. wong seng sibuk mikir awake dewe ketimbang wong akeh. . . bakal bosok pada waktune . . . aku kok sakno karo iblis. . .soale kok iblis kalah jahat. . paling sedelok kas iblis bakal pensiun digantii wong2 kae

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebaik-baiknya ciptaanNya adalah manusia. Mereka bukan iblis, makhluk yang sama dengan kita: manusia. Hanya mereka belum diberi pandangan saja berpikir yang rasional untuk mengatasi masalahnya. Hehe

      Delete

Post a Comment

Menulislah selagi mampu

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��