Refleksi: Segelas Kopi

Selepas subuh tadi, seperti biasa ku bergerak untuk membersihkan halaman rumah yang mepet sekali dengan jalan raya. Halaman yang tidak luas namun pun tak terlalu sempit itu ku bersihkan dengan hati-hati. Sebab daun yang jatuh adalah daun trembesi yang kecil-kecil. Sedang mata minusku ini kadang mengaburkan pandangan terhadap detil itu pun karena lampu jalan yang mati. 
Sedang asyik menikmati alur menyapu, tiba-tiba saja seseorang yang tak kukenal berhenti di depanku mengajak bicara dengan sopan. 
" Mbak punya kopi segelas aja?," katanya sambil menjentikkan jari digenggaman gelas plastik kemasan jus jumbo, sedikit menyodorkan ke arahku. 
Penampilan laki-laki yang berumur sekitar 30an tersebut sangat rusuh, baju dan celana yang dikenakannya yang hitam jadi menghitam seperti tertempa banyak sinar matahari, hujan, debu, dan partikel udara lain. Sama pun dengan kulit, seluruh badannya terlihat tak terawat dari ujung kaki hingga kepala. Bisa dibilang kalau manusia jenis ini adalah "wong gendeng anyaran" (orang gila baru). 
Mengapa baru dan aku tahu? Karena ia masih baru beberapa hari ini melintas di sekitar lingkungan rumahku. Orang-orang yang hidup di depan jalan raya persis sepertiku dan punggawa RT.001 dusunku sedikit-banyaknya paham mana yang baru, mana yang lama, mana yang gila bagian dari warga sekitar, dan mana yang gila bukan dari warga sekitar melainkan yang diturunkan dari mobil yang biasa menurunkan 'orang gila' sembarangan di jalanan. Agak ngeri memang punya rumah di pinggir jalan, belum lagi beberapa rumah di sekitar lingkungan kami yang sering jadi sasaran maling. 

" Apa?, kupastikan lagi mungkin aku sedang salah dengar.
" Kopi?, kataku merepetisi ucapannya. 
" Iya, kopi"
" Waduh, gak ada," sambil aku berpikir mungkin memang bisa dibuatkan waktu itu juga. Tapi memang gak bisa, kopi paginya sudah tergantikan sahur tadi. 

Ia pun melenggang meninggalkanku. Selepas semua halaman bersih, kupastikan ia tak kembali menagih segelas kopi. Tapi kupastikan hatiku juga tak mendidih setelah mengalami kejadian itu. Sebenarnya aku iba. 
Harusnya aku bisa menolongnya, melihat cara bicaranya yang masih jelas dan cenderung sopan. Kecuali tentang sikapnya yang langsung meninggalkan setelah tahu tidak ada yang dibutuhkannya. Kata yang 'harus'nya itupun muncul karena keadaan yang memang tak bisa membuat segelas kopi itu ada untuknya. 
Jujur saja, ada rasa takut pada orang yang tak dikenal dan mengarah ke 'gila' itu, meski begitu aku pun segan dengannya yang tahu bahwa segelas kopi adalah jawaban agar ia tetap bisa melanjutkan hidup. Ia punya pilihan walau dalam keterbatasan menjalani hidup. Sedang aku masih berpikir belum menentukan bagian penting dalam hidup yang semacam baginya segelas kopi sebagai teman hidup. 

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��