Resensi Buku: Gita Savitri Devi - a cup of tea

Bukunya menambah kepercayaan diriku buat mencintai diriku. Ehe

" I don't give up aaaaaaa" (Day 6 - Congratulations)
Hanya bagian lirik itu yang kuhighlight untuk menemani mengulas BACOTnya @gitasav . Bacot sebenarnya singkatan sih kalau kalian belum pada tahu - Buku a cup of tea. Cerdas bukan main Mbak Gita ini memasarkan brandnya. Sebagai individu dan liyan darinya, kukagum dengan yang telah dilewatinya dalam kisah di bukunya yang merupakan kumpulan cerita, meski aku gak tahu cerita di #RentangKisah - buku pertamanya. Yupski, karena aku belum membaca bagian 1 kisahnya itu. Ini aja bacot kudapat karena hadiah. Ku ucapkan makasih  (mas) yang memberi 😆. Sebenarnya sudah masuk daftar buku yang mau kubeli tapi karena ada yang berbaik hati kenapa nggak? Toh buku tidak pernah berubah walau kita menua. Kita saja yang menua dan mengalami perubahan. Hayo ngaku! berubah, kan?. Kalau Mbak Gita dalam buku ini perubahannya terlihat di sikap yang membuat dinding-dinding  buat perlindungan dirinya setelah terluka karena keadaan dan ketidakpedulian manusia lain dengan keadaan itu, plus karena keabsenan buat memedulikan diri sendiri. 

Buku ini dibawakan dengan bahasa yang cukup ringan dan mudah dipahami bagi kalangan manusia di masa Quarter Life Crisis : umur 20an awal gitu tapi baru terrasa betul di atas umur 22. Mbak Gita ini menulis untuk berbagi pada kaum-kaum seperti aku yang sedang dalam masa gonjang-ganjingnya menjalani hidup, skeptis tentang kenyataan yang terjadi, rencana hidup, mimpi yang harus dilaksanakan, dan lain-lain yang tak pernah dipikirkan sebelumnya dengan perhatian - terutama pada diri sendiri. Pikiran Mbak Gita dalam buku ini cukup mewakilkan hal-hal yang kurasakan saat-saat ini. Tapi bukan berarti buku ini tidak bisa dinikmati oleh kalangan yang tidak termasuk dalam tahap Quarter Life Crisis. Buku ini cukup membantu mencari untuk menemukan dirimu sendiri. 

Istilah yang dipakai Mbak Gita di sini adalah "Mencari untuk Menemukan". Frasa ini sedalam "People talking without speaking, People hearing not listening" dalam lagu Simon and Garfunkel "The Sound of Silence". Dibahas juga sama Mbak Gita dalam bab Mendengarkan dalam bukunya. 
" Menurut gue dalam berkomunikasi ada yang perlu diperhatikan selain ngobrol-ngobrol seru. Salah satu yang paling krusial adalah mendengar. Mendengar untuk mengerti, bukan merespon" (Devi, 2020: 71). Bagiku, kalimat di atas terhubung satu sama lain. Dalam proses mencari pasti ada sebuah tujuan, namun sering kali setelah menemukan tujuan kita terlena dan tilap untuk menemukan arti sesungguhnya dalam mendapatkan tujuan tersebut.
Dalam karyanya ini, Mbak Gita seolah menepuk punggungku mengatakan untuk menemukan, tidak lagi hanya mencari-cari tentu dalam hal ini sambil disadari kompetensi diri sendiri dalam penemuan tersebut dan yang jelas manfaat yang didapatkan dari penemuan itu. Sama yang penting juga, karena hidup tidak untuk berlomba, mencukupkan adalah cara terbaik untuk membatasi diri dari hal yang membuat kita toksik pada sebuah percakapan yang lama-lama kesangkut juga dalam sebuah hubungan. Aku setuju dengan cara ini, mengakuinya sebagai cara agar tidak terjebak dalam ketoksikan. Jeda adalah cara yang mudah ditempuh agar tidak masuk dalam perangkap toksik ini. 

Setelah membaca buku ini, yang membuatku paling menyadari pentingnya hidup adalah membangun kepedulian pada diri sendiri, daripada kepentingan orang lain yang belum tentu mereka mementingkan kita. Sad but true. Bukan berarti kita egois atau bahkan narsis. Bukan. Contohnya dalam tulisan ini ada di bab Menikah. 
" Cuma gue tetap percaya bahwa pernikahan itu bukan untuk semua orang. Gue juga masih percaya bahwa pernikahan nggak melulu harus dijadikan life goal. Nggak semua orang ingin berkeluarga. Nggak semua orang nyaman hidup dengan orang lain. Ada orang yang nyaman hidup sendiri, dan nggak merasa hidupnya baru terasa komplet jika sudah menemukan teman sehidup-sematinya" (Devi, 2020: 60)
Pada kutipan di atas jelas bahwa Mbak Gita ini memiliki pemikiran yang terbuka, toleransinya tinggi terhadap pilihan orang lain - pun pada pilihannya sendiri yang sering kali membuat dia berpikir dalam dan panjang dalam memnindak sesuatu, tentu didampingi rasa saling menghargai sebagai sesama manusia. Dari keseluruhan buku yang tebalnya 163 halaman ini amanat yang paling ditekankan oleh Mbak Gita adalah mari kita sebagai sesama manusia saling memanusiakan manusia lainnya. Mulai dari diri kita sendiri tentunya. Sama halnya yang dilakukan Mbak Gita dalam wacana yang dipaparkan dalam bacot ini - dia memulai dari diri sendiri, termasuk membenahi diri sendiri. 

Buku ini ku rekomendasikan untuk dibaca santai, tapi sesantainya aku membaca buku ini ternyata tak sampai sehari, bahkan hanya dengan sekali duduk halaman demi halaman selesai kupahami dan kurangkum dalam memori otakku. Oh ya, ada beberapa hal yang mengganjal sih ketika kubaca ini. Gak tahu itu karena aku yang hobi mengoreksi tulisan atau memang sengaja dibuat demikian oleh editor, hanya saja kupikir akan lebih baik istilah luar diberi penjelasan baik dengan catatan kaki atau daftar istilah. Ya memang sih pada akhirnya kita bisa tanya g*o*le atau laman lain dalam hal ini.Tapi untuk kenyamanan proses menemukan makna dalam bacaan ini layaknya diberi catatan kaki. Sama kayak kata Mbak Gita dalam bab Pursuit of Happiness " Menurut vocabulary.com kebahagiaan adalah perasaan yang menghampiri ketika seseorang merasa bahwa hidupnya enak dan nyaman. See? "Enak dan Nyaman". Subjektif banget. (Devi, 2020: 97). Nah, aku bakal bahagia kalau istilah serapannya langsung ada catatannya. 

Buku ini mengemas seorang Gita Savitri Devi pada banyak sisi yang berbeda. Memberi gambaran Gita dengan pemikiran Gita: tidak bisa diganggu gugat. Ini buku Gita. Ini Gita. 

Hampir lupa. Kalian kalau beli bukunya dapat kartu dream list gitu. Bisa diisi untuk tahun 2020 dan 2021, disimpan, dan kalau sudah terlaksana jangan lupa diberi tanda. Eh bukan, terserah kalian saja mau dipakai buat apa. Mungkin kalia sudah punya jurnal sendiri untuk dream list, who knows?. Cukup berbahagialah.
Selain Gita, karena dia sedikit-banyak menyinggung suaminya - Paul, aku berharap dia juga bisa menyuarakan pikirannya dalam sebuah buku. Haha, tentu Paul dalam perspektif Paul ya, bukan Gita dalam perspektif Paul atau kebalikannya.

Daftar Pustaka:
Devi, Gita Savitri. 2020. A cup of tea. Jakarta Selatan: Gagas Media. 

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��