Opini: Memangkas

Aku mengenal kata "pangkas" pertama kali sejak aku bisa mengenal huruf a-z, tepatnya karena kios potong rambut Cak Eye yang letaknya sekarang ada persis di depan rumah. Dulu, karena rumah Bapak ada di seberang jalan sederet dengan kios tersebut, maka yang dilakukan orang yang  kuminta tolong menyeberangkanku ke sana adalah dengan menanti dulu jarak kendaraan di kanan-kiri sekiranya aku dibantu menyeberang tidak membuatku tertabrak oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Saat menanti itulah mataku selalu mencari-cari kata untuk memoles hafalanku waktu itu karena kios Cak Eye ini adalah tempat seberang untuk pemberhentian maka dari itu akhirnya kukenal kata pangkas. Di kios tersebut tertulis seperti ini "Pangkas Rambut Bagus". Sebuah tagline yang kuingat betul dalam proses menambah kata dalam isi kamus. 

Sang Pencipta memang tidak sembarang menempatkan dan membuat sesuatu. Termasuk kata. Pangkas yang diberi awalan Me- menjadi "memangkas" yang akhir-akhir ini jadi kata imbuhan penting bagiku. Memangkas bukan lebih dari kata yang berimbuh bagiku. 

Beberapa hari yang lalu aku memangkas rambut. Tujuannya tentu bukan untuk pamer karena tidak ada yang dapat dipamerkan darinya. Dalam proses sebelum terjadi pangkas-memangkas, ada ikhlas yang kulepas. Ada banyak kenang rambut panjangku dibalik tudung yang biasa kukenakan. Rambut panjangku memiliki banyak rahasia yang bahkan aku tak bisa menanyainya satu per satu karena jumlahnya pun aku tak tahu. Setelah memangkasnya aku benar-benar merasa beban atas rahasia itu sirna perlahan. Tak lagi ia menjelma jadi tempat buat setitik gatalpun berteduh:lagi. Pada hari itu aku sadar, memangkas itu proses melepaskan. 

Setali tiga uang.  

Memangkas rambut, memangkas rumput, memangkas bunga yang layu, memangkas uang saku, memangkas gaji, memangkas kebutuhan, dan pada akhirnya memangkas keinginan. Beberapa hal berkaitan memangkas ini tetap 'sama saja'. Termasuk memangkas bacaan yang belum kurampungkan. Daftar buku yang harus kubaca setidaknya segera kurampungkan, agar aku bisa membaca yang lain. Hmm... kalau memangkas daftar bacaan ini menurutku hal yang paling membuat bahagia. Bagaimana tidak? Setelah menyelesaikan satu, aku terus ketagihan dengan yang lain dengan catatan tanpa gangguan dan tidak dihentikan atau terdistraksi karena hal penting lain. Manfaat langsung dari membaca ini sering kali kudapatkan sebab membaca adalah menerjemahkan cerita orang lain dalam sebuah buku yang nantinya perspektif tentang buku tersebut terserah pada kita sebagai pembaca. Oleh karena itu, ada baiknya setelah membaca ada diskusi. Diskusi ini sebagai penambah wawasan perspektif antar manusia yang memiliki kesehatan berpikir setelah membaca.  

I've Got Big Plans
Cangkir yang tak sayang, selain cangkir motif jerapah ramping yang sudah pecah. 
Semoga bisa merampungkan daftar bacaan, heu teman di saat pagebluk ini juga sih. 

Ada lagi yang menyesakkan tapi harus dipangkas. Penggunaan sosial media. Menurutku ini juga penting. Mungkin sebagian dari kita menganggap ada kasta tertentu dari sosial media(sosmed) semacam twitter, instagram, facebook, whatsapp, blog. Bukan kasta juga ya, kita bisa sebut sebagai lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Secara tidak sadar ada yang memberi stigma bahwa facebook adalah platform yang ditujukan untuk berbagai kalangan, tapi jarang milenial. Adapun mereka menggunakannya hanya untuk melihat semacam perang komentar warga net yang tak perlu. Instagram (Ig) bagi warga twitter sama dengan facebook. Tapi yang agak mengejutkan ada yang bilang kalau Ig dipenuhi dengan orang-orang norak. Twitter sendiri bagi orang yang suka menggunakannya adalah wahana seru-seruan, berbagi thread yang asyik dan entah alasannya ia menjelma juga lama-lama seperti Ig (bagiku). Kalau aku yang lebih memilih blogging gini dicap apa ya kira-kira? Halah, gak penting. 
Anehnya, bahkan aku yakin manusia-manusia yang aktif di sosmed itu memiliki semua akun platform. Hanya prioritas pemakaiannya saja yang mungkin beda dan yang lebih aneh lagi jika ada yang bilang salah satu platform ada yang superior dari platform lain. Gemas!. Intinya sosmed ini dibuat, tujuannya sebagai kenyamanan penggunanya. Tidak kemudian saling menafikkan mana tempat pelarian yang tepat. Pelarian yang tepat pun ya terserah yang menggunakannya, bukan? Selama seseorang merasa nyaman, kita tidak ada hak untuk menjatuhkan. Berpendapat boleh tapi harus yang cerdas. 
Alasan lainnya, karena sosmed ini bagiku lama-lama sudah seperti Curriculum Vitae/Daftar Riwayat Hidup. Kalau melamar kerja, HRD tinggal melihat tuh platform yang kamu punya. Percakapan, komentar, reply, like, story, status yang semuanya muncul di dinding atau beranda profilmu mengungkapkan dirimu. Meski mungkin banyak platform yang kamu miliki, paling tidak ada yang benar-benar menunjukkan klasifikasi dan spesifikasi dirimu dari hubungan yang kau tunjukkan antar platform yang juga sudah terlanjur dicap ini-itu. Platform-platform ini pun yang dapat menggambarkan kedinamisanmu dalam proses menjadi dewasa - yang menemukan - memanusiakan manusia. 
Aku seorang pemikir yang lebih menyukai bertemu dalam nyata, mengobrol tanpa harus ada gawai di antara kita, lebih-lebih bergawai karena kehidupan virtual. Aku merasa sosmed toksik, tidak membuatku berkembang, justru membuat seorang aku mencari-cari tanpa menemukan. Itulah sebab aku harus memangkas penggunaan sosial media. Ada harap setelah dapat berangsur memangkas, kudapat melepaskan hal-hal tak berbobot bagi otak pemikirku meskipun begitu aku masih tetap reliable di banyak dunia ya. 


Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��