Refleksi:Apa Salah Wong Edan, Sih?

''Guyu dewe koyok wong edan, kowe. Ati-ati lo, mbak!," seseorang telah baru saja berucap hal itu. Membuatku ingin ngamuk, kesal sendiri, ada rasa sungkan mau menengahi sebab yang menyatakan sudah berumur. Hufft... jiwa sungkan ini kapan hilangnya? 

Tiga kemungkinan terjadi dalam percakapan di atas: 
1. Si Bapak hanya bercanda karena memang yang dikata seperti itu sedang menonton kartun komedi. 
2. Si Bapak lupa mengontrol apa yang akan terucap dari mulutnya. 
3. Si Bapak ini memang nggak tahu dan gak paham konsep 'gila' yang telah diucapkannya akan berujung. 

Sure, tidak semua orang menganggap masalah ini serius. Tapi aku salah satu di antara mereka yang memikirkan ini dengan serius. Orang yang disebut "gila" dalam konteks ini, memang tidak merespon berlebihan terhadap perkataan Si Bapak, dan itu di luar aku tahu sebenernya ia sakit hati atau tidak. Tapi, karena di sini aku sedang memikirkan jika saja aku ada di posisi itu, maka aku merasa perkataan Si Bapak terhadap teman yang menonton TV ini tidak perlu diucap. IYA, TIDAK PERLU!. Mengapa begitu? 

Sebab bagiku, mencintai dan menghargai seseorang itu lebih harus banyak ditumbuhkan daripada kebencian. Meminimalisir perkataan yang mungkin membuat seseorang sakit hati dan berujung benci adalah salah satu cara agar kita masih tetap berpegang pada prinsip menghargai sesama manusia, lebih-lebih menghargai sesama makhluk hidup (Emmm.... makhluk hidup nanti dulu, rasanya kejauhan). Selain itu, aku juga berpikir apa salah orang gila? Apa karena mereka tidak seperti manusia kebanyakan membuat kita yang 'menganggap' diri kita normal ini semena-mena terhadap kelompok minoritas?. Pada akhirnya manusia tetap memegang teguh konsensus mayoritas bukan karena kita hidup sebagai manusia dan harus memanusiakan manusia. 



#Sakit kepalaku ini disponsori oleh tekanan yang tidak teratur, terbentur garis yang tidak linear, membawa imajinasi kembali hadir.  

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��