(Review) Sejarah Teori Antropologi I - Prof. Dr. Koentjaraningrat


1.    Bahan Mentah untuk Antropologi
Pada Bab ini, Prof. Koentjaraningrat menjelaskan dua hal pokok tentang ruang lingkup dan dasar antropologi, dan masalah tentang adat-istiadat negara-negara di luar Eropa. Sebagai pengantar untuk mengetahui sejarah perkembangan antropologi hingga saat ini perlu diketahui bahwa pada tahun 1951 diadakan sebuah simposium guna meninjau apa saja yang telah diberikan antropologi dari awal tumbuhnya hingga masa itu. Hasil yang dicapai dalam simposium tersebut berupa diterbitkannya buku-buku oleh ahli antropologi A. L Kroeber. Efek yang paling mendasar setelah diadakannya simposium tersebut adalah dijalankannya antropologi di negara-negara pengembang ilmu ini, yang disesuaikan dengan ideologi dan kebutuhannya sendiri.
            Peradaban-peradaban besar yang pernah terjadi pada sejarah kehidupan manusia merupakan bentuk dasar dalam penulisan adat-istiadat. Herodotus merupakan penulis dari abad 5 S.M.yang berasal dari Yunani Klasik, orang Cina I-Tsing pada abad ke – 7 S.M. juga menulis hal yang sama tentang adat-istiadat yang dikunjunginya saat melakukan perjalanan, Afrika Utara juga memiliki penulis terkenal bernama Abdu’l Rachman Ibn Chaldun pada abad ke-14, yang menuliskan karya-karyanya berupa analisis tentang masyarakat dan kebudayaan di Arab dan luar Arab saat melakukan perjalanan. Selanjutnya, Koentjaraningrat memberi perhatian pada bagaimana ketiga penulis membuat tuisan yang kemudian angat berharga bagi kehidupan umat manusia yakni dengan:
Bahan keterangan itu terkumpul dan termuat dalam: (1) Kisah-kisah para pelaut dan musafir bangsa Eropa; (2) dalam buku dan karangan-karangan penyiar agama nasrani yang mulai menyebarkan agama katolik atau Kristen di antara bangsa-bangsa penduduk di daerah-daerah Afrika, Asia, Oseania, atau Amerika Latin segera sesudah salah satu negara Eropa memantapkan kekuasaannya di sana; (3) dalam laporan dan karangan-karangan para pegawai dari berbagai pemerintah jajahan negara-negara Eropa yang sejak abad ke-16 secara lambat laun memperluas pengaruh mereka di daerah-daerah tersebut; (4) dalam buku yang ditulis oleh para ahli peneliti alam dan para ahli ilmu bumi dari negara-negara Eropa Barat, yang melakukan perjalanan serta expedisi penjelajahan ke berbagai daerah tersebut.[1]
Catatan-catatan yang dibuat sifatnya masih dangkal, tidak begitu teliti, dan melihat hal-hal yang aneh saja di luar adat-istiadatnya sendiri. Catatan berupa laporan lebih banyak ditemukan dari pegawai pemerintah jajahan. Beberapa hal yang mencakup cetatan penting adalah keterangan tentang adat-istiadat serta beberapa diantaranya menuliskan tentang ciri-ciri fisik dari bangsa yang didiami. Bahan-bahan yang telah terkumpul tersebut dinamakan etnografi[2] seiring hal tersebut pengumpulan juga terjadi pada benda pada bangsa yang mereka diami. Yang disebut sebagai etnografika[3]. Museum etnografika dan etnografi yang besar kemudian didirikan oleh C.J Thomsen di Kopenhagen.     
2.    Etnografi dan Masalah Aneka-Warna Manusia
Untuk mengulas bab ini, terdapat dasar pengetahuan atau paradigma yang nantinya akan membantu yakni, 1. Makhluk manusia diturunkan dari berbagai makhluk induk, 2. Manusia diciptakan sekali. Pandangan pertama lebih condong pada pandangan poligenesis[4] sedangkan pandangan kedua lebih pada monogenesis[5]. Zaman Pelita atau Aufklarung menjadi bagian terpenting dalam budaya Eropa yang keberadaannya didorong oleh kembalinya atau bangkitnya ilmu pengetahuan Yunani dan Rum Klasik, yang menyebabkan kemajuan teknologi pada abad 18 di Eropa.
 Pengklasifikasian berbagai jenis aneka warna manusia diawali dengan penggunaan tengkorak sebagai bahan anatomi dengan komparatif. Penggolongan terbesar tentang aneka warna manusia ini dilakukan oleh J.F.Blumenbach seorang ahli filologi dan anatomi (1752-1842). Pada permulaan abad 19 muncul ahli antropologi fisik seperti “Broca dari Perancis, R. Virchov dari Jerman, G. Sergi dari Itali” (Koentjaraningrat, 2009 : 13). Untuk menjadi ilmu yang terpisah dengan anatomi seorang dokter bernama J.C. Prichard menghubungkan berbagai data etnografi berbagai bangsa yang tersebar di dunia dengan ciri-ciri fisik.
Kemajuan ilmu alam mempengaruhi pemikiran ahli filsafat sosial tentang bentuk masyarakat yang sempurna. Ahli filsafat sosial seperti Montesquiue pemikirannya tentang gejala aneka warna manusia akibat dari pengaruh sejarah masing-masing serta pengaruh lingkungan, yang nantinya dalam ilmu antropologi disebut sebagai relativisme kebudayaan. Selain beliau terdapat Turgot yang menyatakan terjadinya aneka warna manusia juga dipengaruhi oleh pendidikan. Sikap yang berbeda disajikan oleh J. J. Rouseau karena ia menganut ajaran pesimis tentang degenerasi manusia. Pandangan yang eropasentris coba disajikan dalam menanggapi aneka warna manusia ini. Sebut saja W. Robertson yang berasumsi bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa disebut dengan infancy of social life. Dari cara berpikir tersebut maka muncullah pandangan positivism dalam filsafat sosial.
Penganut paham positivisme salah satunya adalah Auguste Comte. Penerapan metodologi positif terhadap gejala-gejala masyarakat yang menyebabkan berkembangnya aktivitas ilmiah oleh Comte disebut sebagai sosiologi, yang dulunya disebut sebagai fisika sosial.
Selain ciri-ciri fisik, bahasa juga masuk dalam kategori aneka warna manusia. Kemunculan ilmu perbandingan bahasa pertama kali dilakukan pada pertengahan abad ke – 19 yang mengkhususkan pada keluarga bahasa Indo-German, dilanjutkan ilmu perbandingan bahasa-bahasa Semit dengan tokoh E. Renan. Pada tahun-tahun berikutnya muncul etnolinguistik yang berbeda dengan ilmu perbandingan bahasa Indo-German dan bahasa Semit, yang mempelajari bahasa-bahasa yang tak mempunyai sumber tertulis.
Ilmu biologi tak ketinggalan dalam mempelajari aneka warna manusia. C. Darwin adalah ahli ilmu ini yang menulis buku The Origin of Species (1859). Inti dari isi buku tersebut ialah “semua bentuk hidup dan semua makhluk yang kini ada di dunia itu, dipengaruhi oleh berbagai jenis proses alamiah, berevolusi atau berkembang sangat lambat dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana (yaitu makhluk-makhluk satu sel) menjadi beberapa jenis baru yang lebih komplex. [sic](Koentjaraningrat, 2009: 22). Selain itu, A. Wallace juga memberi asumsi tentang keberadaan makhluk hidup. Yakni, hampir sama dengan teori Darwin namun lebih membahas pada seleksi alam.
Ilmu yang mempelajari dan menganalisa fosil-fosil yang terkandung di bumi di berbagai tempat disebut sebagai paleoantropologi. Paleantropologi menjadi sub ilmu baru dari antropologi fisik yang kemudian disusul prehistori sebagai ilmu yang mempelajari penggalian terhadap benda-benda bekas alat manusia dari zaman batu. Prehistori menjadi ilmu sendiri seiring berkembangnya geologi dan paleoantropologi. Dalam mempelajari ras, banyak diantara para ahli yang memiliki pandangan determinisme ras. Merendahkan ras budaya lain dan meninggikan budaya yang dianutnya. 
Société Ethnologique di Perancis, merupakan lembaga yang menampung cendekiawan dalam mengumpulkan dan studi dari bahan etnografi. E. B Tylor adalah pelopor ilmu etnologi dan dosen pertama di Inggris yang kemudian di Inggris sendiri diakui sebagai mata kuliah di universitas Oxford tahun 1884. Sedangkan di Amerika, dibuka Department of Archeology and Ethnology di universitas Harvard 1888. Di Perancis istilah ethnologique terdesak pada sosiologi lambat laun. Istilah Jerman dan Austria menyebutnya völkerkunde  dan di Belanda volkenkunde.

3.    Teori-Teori Evolusi Kebudayaan

Tabel 1. Tokoh Evolusi Kebudayaan

No
Nama Tokoh
Asal
Teori/ Metode/ Konsep
Penjelasan
1
Herbert Spencer (1820-1903).
Inggris – ahli filsafat.
a.     Perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia telah atau akan melalui tingkat yang sama.
b.     Survival of the fittest, daya tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok dengan lingkungannya. 
a.     Contoh: Asal mula religi – pada semua bangsa mengenal religi karena manusia sadar dan takut akan maut.
2
J.J Bachofen.
Jerman – ahli hukum.
Keluarga manusia berkembang melalui empat evolusi:
1.     Keadaan promiskuitas[6].
2.     Exogami[7].
3.     Endogami[8].
4.     Parental.
Pada tahap exogami ke endogamy terjadi karena ketidakpuasan pria dengan keadaan bahwa wanitalah yang menjadi kepala rumah tangga. Sehingga keturunan yang dulunya dari garis ibu (matriarchate) menjadi ada di garis bapak (patriarchate). Kemudian keadaan parental terjadi karena keadaan patriarchate lambat laun hilang dan berubah menjadi susunan kekerabatan.
3
G. A Wilken (1847-1891).
Belanda – ahli antropologi
Teori Evolusi Kebudayaan Indonesia.
Hakekat mas kawin mulanya merupakan alat untuk mengadakan perdamaian antara pengantin pria dan keluarga wanita setelah berlangsung kawin lari, suatu kejadian yang sering terdapat dalam masa peralihan antara tingkat matriarkhat ke tingkat tingkat patriarkhat dan tentang sejumlah masalah dan gejala sosial dan kebudayaan lain.
Teori mengenai evolusi keluarga yang digagaskannya, mempengaruhinya dalam memberi asumsi tentang animism, totemisme, dan hukum adat di Indonesia.
4
Lewis Henry Morgan (1818-1881).
Ahli hukum yang lama tinggal di antara suku-suku bangsa Indian Iroquois.
Evolusi Delapan Tingkat
1.     Zaman Liar Tua.
2.     Zaman Liar Madya.
3.     Zaman Liar Muda.
4.     Zaman Barbar Tua.
5.     Zaman Barbar Madya.
6.     Zaman Barbar Muda.
7.     Zaman Peradaban Purba.
8.     Zaman Peradaban Masa Kini.
5
E. B Tylor (1832-1917).
Inggris
Asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa.
Disebabkan :
1.     Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati.
2.     Peristiwa mimpi.
6
J. G Frazer (1854-1941).
Inggris – ahli folklor
Ilmu Gaib dan Religi:
Manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan ada batasnya.
Permasalahan kehidupan yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkan dengan magic. Terdapat bukti magic  yang dilakukannya tak ada hasilnya sehingga mereka yakin akan adanya makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa, mencari hubungan dengan makhluk halus dan timbullah religi.

Dari teori-teori yang disajikan dalam tabel, pada akhir abad ke -19 mendapat banyak kecaman. Dimana, teori-teori itu hanya berupa konstruksi pikiran saja yang tidak nyata, dan lama-kelamaan tak dapat dipertahankan.
  
4.    Teori-Teori Mengenai Azas Religi
Menurut Koentjaraningrat, terdapat tiga golongan untuk pendekatan terhadap masalah religi yakni: “(1) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi pada keyakinan religi; (2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada sikap manusia terhadap alam gaib atau Hal Yang Gaib; (3) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada upacara religi.
Tabel 2. Tokoh Azas Religi
No
Nama Tokoh
Asal
Teori/Metode/Konsep
Penjelasan
1
Andrew Lang (1844-1912).
Inggris – Sastrawan.
Dewa Tertinggi.

Kemampuan gaib pada manusia bersahaja zaman dahulu menyebabkan timbulnya konsep jiwa, dan bukan analiasa yang rasional yang menghubungkan jiwa sebagai kekuatan penggerak hidup, dengan bayangan tentang diri manusia sendiri yang tampak di dalam mimpi.
2
R. R Marett (1866-1940).
Inggris – ahli kesusastraan Rum dan Yunani klasik.
Kekuatan Luar Biasa.
Pangkal religi adalah suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa.  
3
A. C. Kruyt (1869-1949).
Belanda – pendeta.
Animisme dan Spiritisme.
Keyakinan terhadap zielestof[9] disebut animisme. Sistem keyakinan tentang makhluk halus tersebut disebut spiritisme.
4
Rudolf Otto.
Jerman.
Terpesona terhadap hal yang gaib.
Kepercayaan atau agama, yaitu suatu emosi atau getaran jia yang sangat mendalam, yang disebabkan karena sifat kagum-terpesona terhadap hal-hal yang gaib dan keramat. 
Semua sistem religi, kepercayaan, dan agama di dunia ini berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib, dianggap maha dahsyat, dan keramat oleh manusia.
5
W. Robertson Smith (1846-1894).
Amerika – ahli bahasa Semit, ilmu pasti, dan teologi.
Upacara bersaji.

Di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama.
Upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. 
6
A. Van Gennep (1873-1957).
Perancis – ahli folklor.
Ritus Peralihan dan Upacara.
Ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat.
Anggapan bahwa upacara merupakan lingkaran kehidupan paling penting dalam kehidupan manusia dan paling tua yang ada di masyarakat.
Perlu digarisbawahi, Koentjaraningrat memberikan perbedaan antara ritus yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan dan upacara yang berupa pengukuhan.
Beberapa konsep dalam religi yakni:
1.    Keyakinan yang paling awal adalah keyakinan akan adanya kekuatan sakti (mana).
2.    Keyakinan akan berbagai macam roh yang seakan-akan mempunyai denttas kepribadian sendiri-sendiri, yang berada di sekitar tempat kediaman dan yang sebagian lain berada di dunia gaib, yang menimbulkan kepercayaan terhadap dewa-dewa.
3.    Konsep takut bercampur percaya. Sikap yang mengakibatkan manusia tak berpikir secara rasional.
Beberapa komponen dalam religi:
1.    Emosi keagamaan.
2.    Sistem keyakinan.
3.    Sistem ritus dan upacara.
4.    Peralatan ritus dan upacara.
5.    Umat agama.  
5.    Kelompok L’Anne Sociologique
 Sebelumnya di Perancis nama L’Anne Sociologique adalah sebuah majalah yang diterbitkan di bawah pimpinan E.Durkheim mengacu pada penggunaan kata sosiologi yang dicetuskan Auguste Comte, dengan menggunakan fakta-fakta berdasarkan data-data etnografi. Berangkat dari majalah tersebut, terbentuklah perkumpulan sosiologi etnografik yang berbeda dengan sosiologi.
Tabel 3. Tokoh Kelompok L’Anne Sociologique
No
Nama Tokoh
Asal
Teori/Metode/Konsep
Penjelasan
1
Emile Durkheim (1858-1917).
Perancis – ahli filsafat.
1.     Konsep fakta sosial.
2.     Konsep gagasan kolektif.
3.     Azas religi.
4.     Klasifikasi primitif.
1.     Pandangannya mengenai masyarakat yang hidup.
2.     Karena dalam masyarakat ada banyak manusia hidup bersama, maka gagasan-gagasan dari sebagian besar individu yang menjadi warga masyarakat bergabung menjadi kompleks gagasan yang lebih tinggi, dan berada di luar individu.
3.     “suatu religi itu adalah suatu sistem berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upcara-upacara yang keramat, artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral, yang disebut Umat”(Durkheim, 1937: 50 via Koentjaraningrat, 2009: 95).
4.     Studi yang dilakukan dengan Marcel Mauss ini banyak mendaat kritik karena pemaksaan data ke dalam pembuktian teorinya.
2
Marcel Mauss
Perancis – ahli filsafat.
Intensifikasi integrasi sosial.
Pengembangan konsep struktural fungsional mengenai integrasi masyarakat. Dengan konsep morfologi sosial.
3
Luchen Lévi-Bruhl (1857-1945)
Perancis – ahli sejarah.
Konsep mentalitas primitif.
Penentangan dari teori jiwa Tylor karena, ketidakmungkinan cara berpikir manusia purba seabstrak itu. Dijelaskan bahwa alam pikiran primitif memungkinkan untuk menganggap suatu hal itu ada dan juga tidak ada pada suatu tempat dan suatu saat.
Hal ini menimbulkan kritik yang tajam dari beberapa ahli antropologi karena Lévi-Bruhl terlalu memberi batas yang kuat antara cara berpikir manusia modern dan primitif.

           
6.    Teori-Teori Difusi Kebudayaan
Dasar dari teori ini adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan di dunia yang sama dikarenakan persebaran unsur-unsur dari kebudayaan tersebut. Etnologi sebagai pencari kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan dan mempengaruhi merupakan tugas yang penting dalam ilmunya. Terdapat prosedur klasifikasi unsur-unsur kebudayaan di bumi ke dalam kulturkreise[10].  Dengan kulturkreise maka dapat terbentuk kulturhistorie, sehingga nampak persebaran dan sejarah umat manusia.


Tabel 4. Tokoh Difusi Kebudayaan
No
Nama Tokoh
Asal
Teori/ Metode/ Konsep
Penjelasan
1
Wilhelm Schmidt (1868-1954).
Jerman – pendeta katolik, ahli antropologi.
1.     Kulturkreise.
2.     Bentuk religi tertua.
1.     Karangannya terkenal karena metode ini di kalangan antropolog.
2.     Keyakinan akan adanya satu Tuhan bukanlah suatu perkembangan yang termuda dalam sejarah kebudayaan manusia.
2
W.H.R Rivers (1864-1922).
Inggris – dokter, ahli psikologi.
Metode genealogi.
Dengan mengajukan pertanyaan tetang nenek moyang sebagai pangkal, peneliti dapat melakukan wawancara yang luas sekali, dengan pertanyaan yang konkret.
3
G. Elliot Smith (1871-1937) dan W.J Perry (1887-1949).
Inggris.
Pangkal kebudayaan di Mesir (Teori aneh/heliolithic theory).
Pada masa dicetuskannya teori ini memang tidak begitu aneh karena saat itu orang Eropa sedang kagum-kagumnya dengan peninggalan kebudayaan Mesir Kuno. Sekarang, teori ini hanya digunakan sebagai contoh saja.


7.    Permulaan Perkembangan Antropologi di Amerika Serikat
Tabel 5. Tokoh Antropologi Amerika Serikat
No
Nama Tokoh
Asal
Teori/ Metode/ Konsep
Penjelasan
1
Franz Boas (1858-1942).
Jerman – ahli geografi.
Marginal Survival.
Pengembangan culture area dalam antropologi.
2
Clark Wissler (1870-1947).
Amerika – ahli museum
Culture Area.
Ciri-ciri menyolok yang sama pada suatu kebudayaan menjadi alasan untuk klasifikasi.  
3
A. L. Kroeber (1876-1960).
Amerika – ahli antropologi.
Culture Area
Sifat superorganik kebudayaan.
Sebagai pengganti Boas.
Kebudayaan berkembang sesuai pada azasnya berbeda dari proses organisme manusia.
4
Robert H. Lowie
Amerika – ahli antropologi.
Anti-evolusionisme
Peninjau buku, kritikus yang tajam.
Memberi arah yang berbeda dengan mengalihkan perhatiannya dari kebudayaan Indian ke kebudayaan Jerman setelah perang dunia II.

Di Amerika, antropologi pernah mengalami masa kejayaan yakni saat terjadi kemajuan yang pesat dari ilmu ini. Keaneka-ragaman pandangan di Amerika ditandai dengan tidak selalu mengacu dari Boas sebagai pelopor antropologi di Amerika. Seperti dijelaskan Koentjaraningrat, masalah aneka warna tersebut akan ada pada jilid II buku sejarah teori antropologi.

8.    Ilmu Antropologi di Beberapa Negara Komunis
Tabel 6. Perkembangan Antropologi di Negara Komunis
No
Negara
Tokoh
Penjelasan
1
Uni Soviet
1.     Morgan Engels.
2.     J. W Stalin.

-       Antropologi disesuaikan dan diintegrasikan dengan Marxisme-Leninisme.
-       Perhatian antropologi masa sekarang adalah teknologi, kebudayaan kebendaaan, dan kesenian rakyat.
-       Menaruh perhatian pada gejala alkulturasi.
-       Meskipun berbeda dari antropologi di Amerka dan Eropa, antropolog Uni Soviet juga memperhatikan perkembangan antropologi di luar negaranya.
-       Ikut dalam menjadi anggota Current Anthropology.
2
Yugoslavia
1.     B. Bogisic.
2.     F. Demelic.
-       Melalui ajaran Karl Marx mempengaruhi evolusionisme.
-       Perhatiannya terbatas pada wilayah Yugoslavia.
-       Hasil penelitian diterbitkan dalam bahasa nasional.
3
Rumania
1.     Vasila Conta.
2.     A. D. Xenepol.
3.     D. Draghicescu.
4.     C.D. Scraba.
5.     S. C. Haret.
6.     F. Rainer
-       Penelitian seputar antropologi fisik.
-       Penelitian antropologi budaya baru dilakukan akhir-akhir ini.
-       Ilmu antropologi fisik dan sosiologi sangat terintegrasi sedangkan antropologi sendiri mengusahakan terintegrasi dengan para ahli ekonomi, gografi, demografi, sejarah, dan linguistik.
4
Republik Rakyat Cina
1.     Prof. Fu Mao-chi.
2.     W.S Huang.
3.     W.T Wu.

-       Antropolog kurang tertarik mempelajari kebudayaan karena harus mempelajari bahasa dan kesusasteraannya terlebih dahulu.
-       Penelitan paleoantropologi sangat didorong oleh pemerintah, dan sebagai penyokong teori evolusi.
-       Disebut sebagai ahli pencatat folklor.

9.    Teori-Teori Fungsional-Struktural
Tabel 7. Tokoh Fungsional-Struktural
No
Nama Tokoh
Asal
Teori/ Metode/ Konsep
Penjelasan
1
Bronislaw Malinowski (1884-1942).
Polandia – ahli psikologi.
Teori fungsional kebudayaan.
-       Etnografi berintegrasi secara fungsional.
-       Azas dari pengendalian sosial dan hukum.
-       Segala aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupan.
2
Radcliffe Brown (1881-1955).
Inggris.
Strukturalisme
-       Menggunakan metodologi deskripsi.
-       Penyaranan  pemakaian istilah fungsi sosial untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata kepada solidaritas sosial dalam masyarakat.
-       Sifat dari deskripsinya adalah hubungan kekerabatan dan sosial secara terintegrasi.
-       Menentang pendapat ketaatan yang otomatis dan spontan terhadap adat.
-       Usaha untuk menggunakan metodologi yang sama dengan ilmu alam.
3
Arthur Maurice Hocart (1883-1939).
Inggris.
Fungsional-Struktural.
-       Hipotesa mengenai upacara dan raja.
-       Terjadinya organisasi pemerintah yang disebut negara dalam masyarakat manusia, fungsi dari upacara, dan tindakan-tindakan simbolik di dalamnya. 
5
Evans Pritchard.
-
Hubungan antara ilmu sejarah dan antropologi sosial.
-       Anggapan sistem sosial dari masyarakat yang dipelajari itu sebagai suatu sistem moral dan bukan sebagai gejala alam.
6
Meyer Fortes.
Inggris – ahli antropologi.
Dimensi waktu dalam struktur sosial.
-       Struktur sosial tidak boleh dibayangkan sebagai sesuatu yang diam.
7
Raymond Firth.
Selandia Baru – ahli antropologi Inggris.
Mikro sosiologi – ekonomi primitif.
-       Struktur sosial merupakan bagian yang ideal dengan masyarakat.

Sejak F. Boas menjadi terkenal di Amerika, maka ketenaran tersebut tergantikan oleh Radcliffe-Brown yang tidak seperti Boas meninggal kan metode komparatif dalam penelitiannya. Metode baru ini menjadi ekstensi bagi perkembangan antropologi di Amerika.
Teori struktural ahli antropologi Belanda yang meneliti di Indonesia terlalu memberi perhatian besar pada struktur sosial yang ada. Sehingga, perubahan yang terjadi banyak diabaikan.
10.  Teori-Teori Struktural C. Lévi-Strauss
Claude Lévi-Strauss ialah ahli antropologi Perancis yang memiliki teori strukturalisme yang berbeda dari Radcliffe-Brown. Beliau menuliskan model etnografi ilmu linguistik, dan dikenal dengan segitiga kuliner. Dengan mempelajari struktur sosial dari sistem kekerabatan dengan berpikir secara simbolik, tokoh ini menggunakan inti sebagai pangkal. Kemudian terjadi pembagian pula antara yang positif dan negatif. Sesuatu yang simbolik dalam mengatur perkawinan antara kelompok kekerabatan ini sering berhubungan dengan pantangan atau incest dikarenakan “proses evolusi sosial timbul suatu saat dimana ada orang dari suatu kelompok manusia mulai mencari wanita untuk dijadikan isterinya dari kelompok lain” (Koentjaraningrat, 2009 : 218).
Strukturalisme Lévi-Strauss terutama menganalisa tentang istilah kekerabatan dan sistem istilah kekerabatan. Pengaruhnya di Inggris yakni adalah dua bukunya menjadi bacaan wajib untuk lulus sebagai sarjana antropologi. Di Amerika Serikat, sarjana-sarjana mudalah yang menggunakan teori strukturalisme dari Lévi-Strauss. Salah satu tokoh yang menggunakannya adalah J. Fox dengan menerapkan metodologi analisa mitologi.  

Keunggulan dan Kekurangan Buku
Sejarah teori antropologi I merupakan buku yang menarik bagi orang-orang yang ingin tahu lebih dalam dan mempunyai ketertarikan terhadap antropologi. Secara khusus buku ini dihadirkan oleh Koentjaranngrat, seorang antropolog terkenal di Indonesia dengan gaya bahasa yang mudah dipahami. Yang terpenting dalam membuat isi buku ini menjadi lebih menarik adalah dengan beberapa gambaran wajah tokoh yang digambar atau ilustrasi langsung oleh Koentjaraningrat selaku penulis dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan.
Tidak cukup mudah memang untuk harus mengumpulkan beberapa ahli, karyanya, dan teorinya dalam waktu yang singkat. Koentjaraningrat selama hidupnya mendedikasikannya untuk melakukan riset tentang hal itu juga, yang mungkin bagi sebagian besar orang tak akan mau untuk melakukannya karena bukan hal yang mudah dan memerlukan ketekunan yang luar biasa. Buku yang tercetak dan telah mengalami beberapa kali asa cetak ini, adalah buku yang sangat berguna bagi kemajuan ilmu antropologi terutama di Indonesia sendiri yang masih mengembangkan dan menawarkan kepada masyarakat mengenai ilmu ini. Lahirnya buku ini, hingga sampai di tangan mahasiswa merepresentasikan beberapa kemajuan antropologi Indonesia pada abad 20 dan dorongan bagi sarjana muda untuk tidak ragu dalam melakukan riset yang berguna bagi bangsanya.
Alur penulisan sejarah pada buku ini adalah alur yang pas dan disesuaikan sehingga, membuat pembaca tidak kebingungan untuk mencari pembabakan sejarah. Dipermudahkannya pembaca dengan penjelasan di dalam kurung seperti merujuk pada halaman berapa, catatan kaki tentang isi buku yang dibahas juga sangat berguna agar pembaca tidak kesusahan dalam mencari bahan yang dibutuhkan menunjang penelitian terkait atau sekedar menambah bacaan. Indeks juga telah disajikan di bagian belakang buku ini, yang memang berfungsi mempermudah pengurutan istilah dan pencarian istilah yang dicari.
Meskipun begitu, Koentjaraningrat dalam menuliskan ide pokok pada sebuah paragraf yang satu dengan paragraph yang lain terdapat beberapa hal yang menjadikannya kurang berhubungan. Misalnya saja “Mengenai adat couvade….” (Koentjaraningrat, 2009: 51) pengalihan topik yang tiba-tiba dari pembicaraan mengenai evolusi dan tanpa dijelaskan arti dari couvade.
  Buku cetakan tahun 2009 oleh penerbit UI Press ini menurut saya masih banyak menggunakan ejaan yang kurang disempurnakan. Misalnya saja tulisan perubahan yang ditulis perobahan, paham menjadi faham, manusia menjadi manansia, ekspedisi menjadi expedisi, dan masih banyak yang lain. Selain itu masih banyak juga kalimat yang ditulis secara berulang misalnya pada kalimat:
“ Dalam banyak kebudayaan lain upacara inegrasi dan pengukuhan menonjol dalam upacara-upacara seperti itu. Dalam banyak kebudayaan lain upacara inegrasi dan pengukuhan menonjol dalam upacara-upacara seperti itu.” (Koentjaraningrat, 2009: 77).
Jika digeneralisasi, buku pertama dari dua jilid yang ada ini layak untuk dibaca dengan revisi penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan pada tahun terakhir penerbitan. Dengan begitu, kesalahan penulisan bisa diminimalisir apabila mengutip dari isi buku sekaligus, kesalahan ejaan pada tingkat akademik bisa diminimalisir juga. Berkenaan dengan hal itu karena mengutip dari isi buku merupakan hal yang penting bagi akademisi untuk memperkuat argumen yang dibuat.

Komentar dan Pertanyaan Kritis
Mendapatkan bahan dan mengumpulkan sehingga dapat sedemikian rupa berupa karya tulis dalam dunia antropologi dirasakan tidak semudah yang dibayangkan. Perlunya membaca bacaan yang menunjang, ekspedisi, wawancara, hingga ikut berpartisipasi langsung dengan masyarakat yang diteliti harus ada sebagai modal awal berangkat menjadi antropolog yang baik. Pengumpulan fakta sejarah teori-teori yang sekarang banyak digunakan oleh antropolog dan sarjana-sarjana antropolog dirasa mampu membawa sedikit hembusan angin segar untuk apa antropologi diaplikasikan.
Pengaplikasian antropologi seperti apa yang dibahas dalam buku ini, membuka mata kita untuk menjadi detil dan teliti dalam terjun langsung ke masyarakat seperti yang disarankan Franz Boas, tidak hanya menuliskan apa yang kita dapat selama di lapangan, mengembalikan lagi kepada masyarakat apa yang telah kita tulis menjadi bersifat reflektif dalam diri. Seperti yang dilakukan oleh ahli antropologi di Uni Soviet yang menggunakan ilmunya untuk saran dan nasihat bagi perkembangan negaranya.
 Ketidakbenaran data etnografi seperti dalam catatan kaki pada halaman 214, mengenai teori strukturalisme C. Lévi-Strauss menyadarkan pembaca untuk tidak mengaburkan fakta yang ada dan mengimajinasikannya menjadi fakta yang ada. Penghindaran kesalahan ini memberi efek kehati-hatian pada calon antropolog untuk melangkahkan kakinya ke arah yang lebih baik.
Penguasaan bahasa seperti yang dituliskan Malinowski sebagai syarat untuk memperoleh dan menghasilkan bahan etnografi yang baik menjadi sarana untuk menyadarkan diri bahwa tidak semua orang mampu mengenali bahasa kita dan orang-orang tersebut belum tentu pula mampu mengenali bahasa yang kita gunakan. Penguasaan bahasa dalam melakukan penelitian paling tidak sangat membantu dalam komunikasi dan melakukan wawancara langsung dengan informan. Meskipun di sisi lain ada beberapa antropolog yang tidak mempelajari bahasanya terlebih dahulu dan langsung terjun ke daerah penelitiannya. Memang bisa saja seiring perjalanan dalam penelitian, si peneliti mampu menguasai bahasa yang digunakan namun hal tersebut seperti membuang waktu yang singkat untuk melakukan penelitian. Karena ketidakmampuan berbahasa tersebut mengakibatkan antropolog hanya sampai pada deskripsi yang bisa diindera saja, tanpa bisa mengetahui apa yang dirasakan oleh sunyek yang sedang diteliti.
Catatan harian juga disinggung oleh Malinowski sebagai syarat. Catatan semacam ini bukannya tidak penting, catatan ini sangatlah penting untuk menunjang apa yang telah terjadi pada saat penelitian berlangsung, dan mengingatkan kealpaan kejadian yang tengah berlangsung pada saat penelitian.
Penalaran tentang teori sturkturalisme sehingga membentuk kesimpulan yang baik belum bisa saya lakukan dalam bacaan yang disajikan pada bab 10. Penjelasan yang seperti panjang saja tersebut belum mampu masuk untuk mencentuskan idea tau anggapan tentang apa itu strukturalisme. Intinya, penangkapan strukturalise dalam bab 10 tersebut masih susah untuk ditangkap maksudnya.
Mengenai beberapa teori yang terdapat dalam buku ini, menimbulkan pertanyaaan bahwasannya, “Bagaimana ketika suatu teori tidak digunakan? Apakah teori tersebut kembali menjadi hipotesis karena tergantikan teori yang baru?”     

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.


[1] Tercakup dalam Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. (halaman 4-5)
[2] Gambaran tentang bangsa-bangsa.
[3] Benda hasil budaya.
[4] Anggapan ras Kaukosoid berasal dari makhluk induk yang lebih kuat, maju, dan tinggi dari ras lain.
[5] Pandangan ini kemudian dibagi menjadi dua. Yakni yang yakin bahwa semua manusia merupakan keturunan nabi Adam dan yang yakin bahwa manusia tidak mengalamani degenerasi.
[6] Manusia hidup serupa sekawanan binatang berkelompok, laki-laki dan wanita bebas melakukan hubungan dan melahirkan tanpa ikatan.
[7] Menghindari perkawinan antara ibu dan anak laki-laki.
[8] Perkawinan di dalam batas-batas kelompok, mengakibatkan anak cenderung melakukan hubungan langsung dengan keluarga ayah dan ibu.
[9] Zat halus.
[10] Lingkaran kebudayaan, dimana terdapat unsur-unsur yang sama antar kebudayaan di muka bumi.

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��