(Review) Sejarah Teori Antropologi I - Prof. Dr. Koentjaraningrat
1. Bahan Mentah
untuk Antropologi
Pada Bab ini,
Prof. Koentjaraningrat menjelaskan dua hal pokok tentang ruang lingkup dan
dasar antropologi, dan masalah tentang adat-istiadat negara-negara di luar
Eropa. Sebagai pengantar untuk mengetahui sejarah perkembangan antropologi
hingga saat ini perlu diketahui bahwa pada tahun 1951 diadakan sebuah simposium
guna meninjau apa saja yang telah diberikan antropologi dari awal tumbuhnya
hingga masa itu. Hasil yang dicapai dalam simposium tersebut berupa
diterbitkannya buku-buku oleh ahli antropologi A. L Kroeber. Efek yang paling
mendasar setelah diadakannya simposium tersebut adalah dijalankannya
antropologi di negara-negara pengembang ilmu ini, yang disesuaikan dengan
ideologi dan kebutuhannya sendiri.
Peradaban-peradaban besar yang pernah
terjadi pada sejarah kehidupan manusia merupakan bentuk dasar dalam penulisan
adat-istiadat. Herodotus merupakan penulis dari abad 5 S.M.yang berasal dari
Yunani Klasik, orang Cina I-Tsing pada abad ke – 7 S.M. juga menulis hal yang
sama tentang adat-istiadat yang dikunjunginya saat melakukan perjalanan, Afrika
Utara juga memiliki penulis terkenal bernama Abdu’l Rachman Ibn Chaldun pada
abad ke-14, yang menuliskan karya-karyanya berupa analisis tentang masyarakat
dan kebudayaan di Arab dan luar Arab saat melakukan perjalanan. Selanjutnya,
Koentjaraningrat memberi perhatian pada bagaimana ketiga penulis membuat tuisan
yang kemudian angat berharga bagi kehidupan umat manusia yakni dengan:
Bahan
keterangan itu terkumpul dan termuat dalam: (1) Kisah-kisah para pelaut dan
musafir bangsa Eropa; (2) dalam buku dan karangan-karangan penyiar agama
nasrani yang mulai menyebarkan agama katolik atau Kristen di antara
bangsa-bangsa penduduk di daerah-daerah Afrika, Asia, Oseania, atau Amerika
Latin segera sesudah salah satu negara Eropa memantapkan kekuasaannya di sana;
(3) dalam laporan dan karangan-karangan para pegawai dari berbagai pemerintah
jajahan negara-negara Eropa yang sejak abad ke-16 secara lambat laun memperluas
pengaruh mereka di daerah-daerah tersebut; (4) dalam buku yang ditulis oleh
para ahli peneliti alam dan para ahli ilmu bumi dari negara-negara Eropa Barat,
yang melakukan perjalanan serta expedisi penjelajahan ke berbagai daerah
tersebut.[1]
Catatan-catatan
yang dibuat sifatnya masih dangkal, tidak begitu teliti, dan melihat hal-hal
yang aneh saja di luar adat-istiadatnya sendiri. Catatan berupa laporan lebih
banyak ditemukan dari pegawai pemerintah jajahan. Beberapa hal yang mencakup
cetatan penting adalah keterangan tentang adat-istiadat serta beberapa
diantaranya menuliskan tentang ciri-ciri fisik dari bangsa yang didiami.
Bahan-bahan yang telah terkumpul tersebut dinamakan etnografi[2]
seiring hal tersebut pengumpulan juga terjadi pada benda pada bangsa yang
mereka diami. Yang disebut sebagai etnografika[3].
Museum etnografika dan etnografi yang besar kemudian didirikan oleh C.J Thomsen
di Kopenhagen.
2. Etnografi dan
Masalah Aneka-Warna Manusia
Untuk mengulas
bab ini, terdapat dasar pengetahuan atau paradigma yang nantinya akan membantu
yakni, 1. Makhluk manusia diturunkan dari berbagai makhluk induk, 2. Manusia
diciptakan sekali. Pandangan pertama lebih condong pada pandangan poligenesis[4]
sedangkan pandangan kedua lebih pada monogenesis[5].
Zaman Pelita atau Aufklarung menjadi bagian terpenting dalam budaya
Eropa yang keberadaannya didorong oleh kembalinya atau bangkitnya ilmu
pengetahuan Yunani dan Rum Klasik, yang menyebabkan kemajuan teknologi pada
abad 18 di Eropa.
Pengklasifikasian berbagai jenis aneka warna
manusia diawali dengan penggunaan tengkorak sebagai bahan anatomi dengan
komparatif. Penggolongan terbesar tentang aneka warna manusia ini dilakukan
oleh J.F.Blumenbach seorang ahli filologi dan anatomi (1752-1842). Pada
permulaan abad 19 muncul ahli antropologi fisik seperti “Broca dari Perancis,
R. Virchov dari Jerman, G. Sergi dari Itali” (Koentjaraningrat, 2009 : 13).
Untuk menjadi ilmu yang terpisah dengan anatomi seorang dokter bernama J.C.
Prichard menghubungkan berbagai data etnografi berbagai bangsa yang tersebar di
dunia dengan ciri-ciri fisik.
Kemajuan ilmu
alam mempengaruhi pemikiran ahli filsafat sosial tentang bentuk masyarakat yang
sempurna. Ahli filsafat sosial seperti Montesquiue pemikirannya tentang gejala
aneka warna manusia akibat dari pengaruh sejarah masing-masing serta pengaruh
lingkungan, yang nantinya dalam ilmu antropologi disebut sebagai relativisme
kebudayaan. Selain beliau terdapat Turgot yang menyatakan terjadinya aneka
warna manusia juga dipengaruhi oleh pendidikan. Sikap yang berbeda disajikan
oleh J. J. Rouseau karena ia menganut ajaran pesimis tentang degenerasi
manusia. Pandangan yang eropasentris coba disajikan dalam menanggapi aneka
warna manusia ini. Sebut saja W. Robertson yang berasumsi bahwa bangsa-bangsa
di luar Eropa disebut dengan infancy of social life. Dari cara berpikir
tersebut maka muncullah pandangan positivism dalam filsafat sosial.
Penganut paham
positivisme salah satunya adalah Auguste Comte. Penerapan metodologi positif
terhadap gejala-gejala masyarakat yang menyebabkan berkembangnya aktivitas
ilmiah oleh Comte disebut sebagai sosiologi, yang dulunya disebut
sebagai fisika sosial.
Selain
ciri-ciri fisik, bahasa juga masuk dalam kategori aneka warna manusia.
Kemunculan ilmu perbandingan bahasa pertama kali dilakukan pada pertengahan
abad ke – 19 yang mengkhususkan pada keluarga bahasa Indo-German, dilanjutkan
ilmu perbandingan bahasa-bahasa Semit dengan tokoh E. Renan. Pada tahun-tahun
berikutnya muncul etnolinguistik yang berbeda dengan ilmu perbandingan bahasa
Indo-German dan bahasa Semit, yang mempelajari bahasa-bahasa yang tak mempunyai
sumber tertulis.
Ilmu biologi
tak ketinggalan dalam mempelajari aneka warna manusia. C. Darwin adalah ahli ilmu
ini yang menulis buku The Origin of Species (1859). Inti dari isi buku
tersebut ialah “semua bentuk hidup dan semua makhluk yang kini ada di dunia
itu, dipengaruhi oleh berbagai jenis proses alamiah, berevolusi atau berkembang
sangat lambat dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana (yaitu makhluk-makhluk
satu sel) menjadi beberapa jenis baru yang lebih komplex.
[sic](Koentjaraningrat, 2009: 22). Selain itu, A. Wallace juga memberi asumsi
tentang keberadaan makhluk hidup. Yakni, hampir sama dengan teori Darwin namun
lebih membahas pada seleksi alam.
Ilmu yang
mempelajari dan menganalisa fosil-fosil yang terkandung di bumi di berbagai
tempat disebut sebagai paleoantropologi. Paleantropologi menjadi sub
ilmu baru dari antropologi fisik yang kemudian disusul prehistori sebagai
ilmu yang mempelajari penggalian terhadap benda-benda bekas alat manusia dari
zaman batu. Prehistori menjadi ilmu sendiri seiring berkembangnya geologi dan
paleoantropologi. Dalam mempelajari ras, banyak diantara para ahli yang
memiliki pandangan determinisme ras. Merendahkan ras budaya lain dan
meninggikan budaya yang dianutnya.
Société
Ethnologique di Perancis, merupakan lembaga yang menampung cendekiawan dalam
mengumpulkan dan studi dari bahan etnografi. E. B Tylor adalah pelopor ilmu
etnologi dan dosen pertama di Inggris yang kemudian di Inggris sendiri diakui
sebagai mata kuliah di universitas Oxford tahun 1884. Sedangkan di Amerika,
dibuka Department of Archeology and Ethnology di universitas Harvard
1888. Di Perancis istilah ethnologique terdesak pada sosiologi lambat laun.
Istilah Jerman dan Austria menyebutnya völkerkunde dan di Belanda volkenkunde.
3. Teori-Teori
Evolusi Kebudayaan
Tabel 1. Tokoh Evolusi Kebudayaan
No
|
Nama
Tokoh
|
Asal
|
Teori/
Metode/ Konsep
|
Penjelasan
|
1
|
Herbert Spencer (1820-1903).
|
Inggris – ahli filsafat.
|
a.
Perkembangan masyarakat dan
kebudayaan dari tiap bangsa di dunia telah atau akan melalui tingkat yang
sama.
b.
Survival of the fittest, daya
tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok
dengan lingkungannya.
|
a.
Contoh: Asal mula religi – pada
semua bangsa mengenal religi karena manusia sadar dan takut akan maut.
|
2
|
J.J Bachofen.
|
Jerman – ahli hukum.
|
Keluarga manusia berkembang melalui empat
evolusi:
1.
Keadaan promiskuitas[6].
2.
Exogami[7].
3.
Endogami[8].
4.
Parental.
|
Pada tahap exogami ke endogamy terjadi karena
ketidakpuasan pria dengan keadaan bahwa wanitalah yang menjadi kepala rumah
tangga. Sehingga keturunan yang dulunya dari garis ibu (matriarchate) menjadi
ada di garis bapak (patriarchate). Kemudian keadaan parental terjadi karena
keadaan patriarchate lambat laun hilang dan berubah menjadi susunan
kekerabatan.
|
3
|
G. A Wilken (1847-1891).
|
Belanda – ahli antropologi
|
Teori Evolusi Kebudayaan Indonesia.
Hakekat mas kawin mulanya merupakan alat
untuk mengadakan perdamaian antara pengantin pria dan keluarga wanita setelah
berlangsung kawin lari, suatu kejadian yang sering terdapat dalam masa
peralihan antara tingkat matriarkhat ke tingkat tingkat patriarkhat dan
tentang sejumlah masalah dan gejala sosial dan kebudayaan lain.
|
Teori mengenai evolusi keluarga yang
digagaskannya, mempengaruhinya dalam memberi asumsi tentang animism,
totemisme, dan hukum adat di Indonesia.
|
4
|
Lewis Henry Morgan (1818-1881).
|
Ahli hukum yang lama tinggal di antara
suku-suku bangsa Indian Iroquois.
|
Evolusi Delapan Tingkat
|
1.
Zaman Liar Tua.
2.
Zaman Liar Madya.
3.
Zaman Liar Muda.
4.
Zaman Barbar Tua.
5.
Zaman Barbar Madya.
6.
Zaman Barbar Muda.
7.
Zaman Peradaban Purba.
8.
Zaman Peradaban Masa Kini.
|
5
|
E. B Tylor (1832-1917).
|
Inggris
|
Asal mula religi adalah kesadaran manusia
akan adanya jiwa.
|
Disebabkan :
1.
Perbedaan yang tampak pada manusia
antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati.
2.
Peristiwa mimpi.
|
6
|
J. G Frazer (1854-1941).
|
Inggris – ahli folklor
|
Ilmu Gaib dan Religi:
Manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan
akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan ada
batasnya.
|
Permasalahan kehidupan yang tak dapat
dipecahkan dengan akal dipecahkan dengan magic. Terdapat bukti magic
yang dilakukannya tak ada hasilnya
sehingga mereka yakin akan adanya makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa,
mencari hubungan dengan makhluk halus dan timbullah religi.
|
Dari
teori-teori yang disajikan dalam tabel, pada akhir abad ke -19 mendapat banyak
kecaman. Dimana, teori-teori itu hanya berupa konstruksi pikiran saja yang
tidak nyata, dan lama-kelamaan tak dapat dipertahankan.
4. Teori-Teori
Mengenai Azas Religi
Menurut
Koentjaraningrat, terdapat tiga golongan untuk pendekatan terhadap masalah
religi yakni: “(1) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi pada
keyakinan religi; (2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada
sikap manusia terhadap alam gaib atau Hal Yang Gaib; (3) teori-teori yang dalam
pendekatannya berorientasi kepada upacara religi.
Tabel 2. Tokoh Azas Religi
No
|
Nama
Tokoh
|
Asal
|
Teori/Metode/Konsep
|
Penjelasan
|
1
|
Andrew Lang (1844-1912).
|
Inggris – Sastrawan.
|
Dewa Tertinggi.
|
Kemampuan gaib pada manusia bersahaja zaman
dahulu menyebabkan timbulnya konsep jiwa, dan bukan analiasa yang rasional
yang menghubungkan jiwa sebagai kekuatan penggerak hidup, dengan bayangan
tentang diri manusia sendiri yang tampak di dalam mimpi.
|
2
|
R. R Marett (1866-1940).
|
Inggris – ahli kesusastraan Rum dan Yunani
klasik.
|
Kekuatan Luar Biasa.
|
Pangkal religi adalah suatu emosi atau suatu
getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan
gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa.
|
3
|
A.
C. Kruyt (1869-1949).
|
Belanda – pendeta.
|
Animisme dan Spiritisme.
|
Keyakinan terhadap zielestof[9]
disebut animisme. Sistem keyakinan tentang makhluk halus tersebut disebut
spiritisme.
|
4
|
Rudolf
Otto.
|
Jerman.
|
Terpesona terhadap hal yang gaib.
Kepercayaan atau agama, yaitu suatu emosi
atau getaran jia yang sangat mendalam, yang disebabkan karena sifat
kagum-terpesona terhadap hal-hal yang gaib dan keramat.
|
Semua sistem religi, kepercayaan, dan agama
di dunia ini berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib, dianggap
maha dahsyat, dan keramat oleh manusia.
|
5
|
W.
Robertson Smith (1846-1894).
|
Amerika – ahli bahasa Semit, ilmu pasti, dan
teologi.
|
Upacara bersaji.
|
Di samping sistem keyakinan dan doktrin,
sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama.
Upacara religi atau agama, yang biasanya
dilaksanakan banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang
bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan
solidaritas masyarakat.
|
6
|
A.
Van Gennep (1873-1957).
|
Perancis – ahli folklor.
|
Ritus Peralihan dan Upacara.
Ritus dan upacara religi secara universal
pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat
kehidupan sosial antara warga masyarakat.
|
Anggapan bahwa upacara merupakan lingkaran
kehidupan paling penting dalam kehidupan manusia dan paling tua yang ada di
masyarakat.
|
Perlu digarisbawahi, Koentjaraningrat memberikan
perbedaan antara ritus yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang
bersifat peralihan dan upacara yang berupa pengukuhan.
Beberapa konsep
dalam religi yakni:
1. Keyakinan yang
paling awal adalah keyakinan akan adanya kekuatan sakti (mana).
2. Keyakinan akan
berbagai macam roh yang seakan-akan mempunyai denttas kepribadian
sendiri-sendiri, yang berada di sekitar tempat kediaman dan yang sebagian lain
berada di dunia gaib, yang menimbulkan kepercayaan terhadap dewa-dewa.
3. Konsep takut
bercampur percaya. Sikap yang mengakibatkan manusia tak berpikir secara
rasional.
Beberapa komponen dalam religi:
1. Emosi
keagamaan.
2. Sistem
keyakinan.
3. Sistem ritus
dan upacara.
4. Peralatan ritus
dan upacara.
5. Umat agama.
5. Kelompok L’Anne
Sociologique
Sebelumnya di Perancis nama L’Anne
Sociologique adalah sebuah majalah yang diterbitkan di bawah pimpinan
E.Durkheim mengacu pada penggunaan kata sosiologi yang dicetuskan Auguste
Comte, dengan menggunakan fakta-fakta berdasarkan data-data etnografi.
Berangkat dari majalah tersebut, terbentuklah perkumpulan sosiologi etnografik
yang berbeda dengan sosiologi.
Tabel 3. Tokoh Kelompok L’Anne Sociologique
No
|
Nama
Tokoh
|
Asal
|
Teori/Metode/Konsep
|
Penjelasan
|
1
|
Emile Durkheim (1858-1917).
|
Perancis – ahli filsafat.
|
1.
Konsep fakta sosial.
2.
Konsep gagasan kolektif.
3.
Azas religi.
4.
Klasifikasi primitif.
|
1.
Pandangannya mengenai masyarakat
yang hidup.
2.
Karena dalam masyarakat ada banyak
manusia hidup bersama, maka gagasan-gagasan dari sebagian besar individu yang
menjadi warga masyarakat bergabung menjadi kompleks gagasan yang lebih
tinggi, dan berada di luar individu.
3.
“suatu religi itu adalah suatu
sistem berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upcara-upacara yang keramat,
artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang
berorientasi kepada suatu komunitas moral, yang disebut Umat”(Durkheim, 1937:
50 via Koentjaraningrat, 2009: 95).
4.
Studi yang dilakukan dengan Marcel
Mauss ini banyak mendaat kritik karena pemaksaan data ke dalam pembuktian
teorinya.
|
2
|
Marcel Mauss
|
Perancis – ahli filsafat.
|
Intensifikasi integrasi sosial.
|
Pengembangan konsep struktural fungsional
mengenai integrasi masyarakat. Dengan konsep morfologi sosial.
|
3
|
Luchen
Lévi-Bruhl (1857-1945)
|
Perancis – ahli sejarah.
|
Konsep mentalitas primitif.
|
Penentangan dari teori jiwa Tylor karena,
ketidakmungkinan cara berpikir manusia purba seabstrak itu. Dijelaskan bahwa
alam pikiran primitif memungkinkan untuk menganggap suatu hal itu ada dan
juga tidak ada pada suatu tempat dan suatu saat.
Hal ini menimbulkan kritik yang tajam dari
beberapa ahli antropologi karena Lévi-Bruhl terlalu memberi batas yang kuat
antara cara berpikir manusia modern dan primitif.
|
6. Teori-Teori
Difusi Kebudayaan
Dasar dari
teori ini adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan di dunia yang sama
dikarenakan persebaran unsur-unsur dari kebudayaan tersebut. Etnologi sebagai
pencari kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan
dan mempengaruhi merupakan tugas yang penting dalam ilmunya. Terdapat prosedur
klasifikasi unsur-unsur kebudayaan di bumi ke dalam kulturkreise[10].
Dengan kulturkreise maka
dapat terbentuk kulturhistorie, sehingga nampak persebaran dan sejarah
umat manusia.
Tabel 4. Tokoh Difusi Kebudayaan
No
|
Nama
Tokoh
|
Asal
|
Teori/
Metode/ Konsep
|
Penjelasan
|
1
|
Wilhelm Schmidt (1868-1954).
|
Jerman – pendeta katolik, ahli antropologi.
|
1.
Kulturkreise.
2.
Bentuk religi tertua.
|
1.
Karangannya terkenal karena metode
ini di kalangan antropolog.
2.
Keyakinan akan adanya satu Tuhan
bukanlah suatu perkembangan yang termuda dalam sejarah kebudayaan manusia.
|
2
|
W.H.R Rivers (1864-1922).
|
Inggris – dokter, ahli psikologi.
|
Metode genealogi.
|
Dengan mengajukan pertanyaan tetang nenek
moyang sebagai pangkal, peneliti dapat melakukan wawancara yang luas sekali,
dengan pertanyaan yang konkret.
|
3
|
G.
Elliot Smith (1871-1937) dan W.J Perry (1887-1949).
|
Inggris.
|
Pangkal kebudayaan di Mesir (Teori aneh/heliolithic
theory).
|
Pada masa dicetuskannya teori ini memang
tidak begitu aneh karena saat itu orang Eropa sedang kagum-kagumnya dengan
peninggalan kebudayaan Mesir Kuno. Sekarang, teori ini hanya digunakan
sebagai contoh saja.
|
7. Permulaan
Perkembangan Antropologi di Amerika Serikat
Tabel 5. Tokoh Antropologi Amerika Serikat
No
|
Nama
Tokoh
|
Asal
|
Teori/
Metode/ Konsep
|
Penjelasan
|
1
|
Franz Boas (1858-1942).
|
Jerman – ahli geografi.
|
Marginal
Survival.
|
Pengembangan
culture area dalam antropologi.
|
2
|
Clark Wissler (1870-1947).
|
Amerika – ahli museum
|
Culture Area.
|
Ciri-ciri menyolok yang sama pada suatu
kebudayaan menjadi alasan untuk klasifikasi.
|
3
|
A.
L. Kroeber (1876-1960).
|
Amerika – ahli antropologi.
|
Culture Area
Sifat superorganik kebudayaan.
|
Sebagai pengganti Boas.
Kebudayaan berkembang sesuai pada azasnya
berbeda dari proses organisme manusia.
|
4
|
Robert
H. Lowie
|
Amerika – ahli antropologi.
|
Anti-evolusionisme
|
Peninjau buku, kritikus yang tajam.
Memberi arah yang berbeda dengan mengalihkan
perhatiannya dari kebudayaan Indian ke kebudayaan Jerman setelah perang dunia
II.
|
Di Amerika,
antropologi pernah mengalami masa kejayaan yakni saat terjadi kemajuan yang
pesat dari ilmu ini. Keaneka-ragaman pandangan di Amerika ditandai dengan tidak
selalu mengacu dari Boas sebagai pelopor antropologi di Amerika. Seperti
dijelaskan Koentjaraningrat, masalah aneka warna tersebut akan ada pada jilid
II buku sejarah teori antropologi.
8. Ilmu
Antropologi di Beberapa Negara Komunis
Tabel 6. Perkembangan Antropologi di Negara Komunis
No
|
Negara
|
Tokoh
|
Penjelasan
|
1
|
Uni Soviet
|
1.
Morgan Engels.
2.
J. W Stalin.
|
-
Antropologi disesuaikan dan
diintegrasikan dengan Marxisme-Leninisme.
-
Perhatian antropologi masa
sekarang adalah teknologi, kebudayaan kebendaaan, dan kesenian rakyat.
-
Menaruh perhatian pada gejala
alkulturasi.
-
Meskipun berbeda dari antropologi
di Amerka dan Eropa, antropolog Uni Soviet juga memperhatikan perkembangan
antropologi di luar negaranya.
-
Ikut dalam menjadi anggota Current
Anthropology.
|
2
|
Yugoslavia
|
1.
B. Bogisic.
2.
F. Demelic.
|
-
Melalui ajaran Karl Marx
mempengaruhi evolusionisme.
-
Perhatiannya terbatas pada wilayah
Yugoslavia.
-
Hasil penelitian diterbitkan dalam
bahasa nasional.
|
3
|
Rumania
|
1.
Vasila Conta.
2.
A. D. Xenepol.
3.
D. Draghicescu.
4.
C.D. Scraba.
5.
S. C. Haret.
6.
F. Rainer
|
-
Penelitian seputar antropologi
fisik.
-
Penelitian antropologi budaya baru
dilakukan akhir-akhir ini.
-
Ilmu antropologi fisik dan
sosiologi sangat terintegrasi sedangkan antropologi sendiri mengusahakan
terintegrasi dengan para ahli ekonomi, gografi, demografi, sejarah, dan
linguistik.
|
4
|
Republik
Rakyat Cina
|
1.
Prof. Fu Mao-chi.
2.
W.S Huang.
3.
W.T Wu.
|
-
Antropolog kurang tertarik
mempelajari kebudayaan karena harus mempelajari bahasa dan kesusasteraannya
terlebih dahulu.
-
Penelitan paleoantropologi sangat
didorong oleh pemerintah, dan sebagai penyokong teori evolusi.
-
Disebut sebagai ahli pencatat
folklor.
|
9. Teori-Teori
Fungsional-Struktural
Tabel 7. Tokoh Fungsional-Struktural
No
|
Nama
Tokoh
|
Asal
|
Teori/
Metode/ Konsep
|
Penjelasan
|
1
|
Bronislaw Malinowski (1884-1942).
|
Polandia – ahli psikologi.
|
Teori fungsional kebudayaan.
|
-
Etnografi berintegrasi secara fungsional.
-
Azas dari pengendalian sosial dan
hukum.
-
Segala aktivitas kebudayaan
sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan
naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupan.
|
2
|
Radcliffe Brown (1881-1955).
|
Inggris.
|
Strukturalisme
|
-
Menggunakan metodologi deskripsi.
-
Penyaranan pemakaian istilah fungsi sosial untuk
menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata kepada solidaritas
sosial dalam masyarakat.
-
Sifat dari deskripsinya adalah
hubungan kekerabatan dan sosial secara terintegrasi.
-
Menentang pendapat ketaatan yang
otomatis dan spontan terhadap adat.
-
Usaha untuk menggunakan metodologi
yang sama dengan ilmu alam.
|
3
|
Arthur
Maurice Hocart (1883-1939).
|
Inggris.
|
Fungsional-Struktural.
|
-
Hipotesa mengenai upacara dan
raja.
-
Terjadinya organisasi pemerintah
yang disebut negara dalam masyarakat manusia, fungsi dari upacara, dan
tindakan-tindakan simbolik di dalamnya.
|
5
|
Evans
Pritchard.
|
-
|
Hubungan antara ilmu sejarah dan antropologi
sosial.
|
-
Anggapan sistem sosial dari
masyarakat yang dipelajari itu sebagai suatu sistem moral dan bukan sebagai
gejala alam.
|
6
|
Meyer
Fortes.
|
Inggris – ahli antropologi.
|
Dimensi waktu dalam struktur sosial.
|
-
Struktur sosial tidak boleh
dibayangkan sebagai sesuatu yang diam.
|
7
|
Raymond
Firth.
|
Selandia Baru – ahli antropologi Inggris.
|
Mikro sosiologi – ekonomi primitif.
|
-
Struktur sosial merupakan bagian
yang ideal dengan masyarakat.
|
Sejak F. Boas menjadi terkenal di Amerika, maka ketenaran tersebut
tergantikan oleh Radcliffe-Brown yang tidak seperti Boas meninggal kan metode
komparatif dalam penelitiannya. Metode baru ini menjadi ekstensi bagi
perkembangan antropologi di Amerika.
Teori struktural ahli antropologi Belanda yang meneliti di
Indonesia terlalu memberi perhatian besar pada struktur sosial yang ada.
Sehingga, perubahan yang terjadi banyak diabaikan.
10. Teori-Teori
Struktural C. Lévi-Strauss
Claude Lévi-Strauss ialah ahli antropologi Perancis yang memiliki
teori strukturalisme yang berbeda dari Radcliffe-Brown. Beliau menuliskan model
etnografi ilmu linguistik, dan dikenal dengan segitiga kuliner. Dengan
mempelajari struktur sosial dari sistem kekerabatan dengan berpikir secara
simbolik, tokoh ini menggunakan inti sebagai pangkal. Kemudian terjadi
pembagian pula antara yang positif dan negatif. Sesuatu yang simbolik dalam
mengatur perkawinan antara kelompok kekerabatan ini sering berhubungan dengan
pantangan atau incest dikarenakan “proses evolusi sosial timbul
suatu saat dimana ada orang dari suatu kelompok manusia mulai mencari wanita
untuk dijadikan isterinya dari kelompok lain” (Koentjaraningrat, 2009 : 218).
Strukturalisme Lévi-Strauss terutama menganalisa tentang istilah kekerabatan
dan sistem istilah kekerabatan. Pengaruhnya di Inggris yakni adalah dua bukunya
menjadi bacaan wajib untuk lulus sebagai sarjana antropologi. Di Amerika
Serikat, sarjana-sarjana mudalah yang menggunakan teori strukturalisme dari Lévi-Strauss.
Salah satu tokoh yang menggunakannya adalah J. Fox dengan menerapkan metodologi
analisa mitologi.
Keunggulan dan
Kekurangan Buku
Sejarah teori antropologi I merupakan buku yang menarik bagi
orang-orang yang ingin tahu lebih dalam dan mempunyai ketertarikan terhadap
antropologi. Secara khusus buku ini dihadirkan oleh Koentjaranngrat, seorang
antropolog terkenal di Indonesia dengan gaya bahasa yang mudah dipahami. Yang
terpenting dalam membuat isi buku ini menjadi lebih menarik adalah dengan
beberapa gambaran wajah tokoh yang digambar atau ilustrasi langsung oleh
Koentjaraningrat selaku penulis dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan.
Tidak cukup mudah memang untuk harus mengumpulkan beberapa ahli,
karyanya, dan teorinya dalam waktu yang singkat. Koentjaraningrat selama
hidupnya mendedikasikannya untuk melakukan riset tentang hal itu juga, yang
mungkin bagi sebagian besar orang tak akan mau untuk melakukannya karena bukan
hal yang mudah dan memerlukan ketekunan yang luar biasa. Buku yang tercetak dan
telah mengalami beberapa kali asa cetak ini, adalah buku yang sangat berguna
bagi kemajuan ilmu antropologi terutama di Indonesia sendiri yang masih
mengembangkan dan menawarkan kepada masyarakat mengenai ilmu ini. Lahirnya buku
ini, hingga sampai di tangan mahasiswa merepresentasikan beberapa kemajuan
antropologi Indonesia pada abad 20 dan dorongan bagi sarjana muda untuk tidak
ragu dalam melakukan riset yang berguna bagi bangsanya.
Alur penulisan sejarah pada buku ini adalah alur yang pas dan
disesuaikan sehingga, membuat pembaca tidak kebingungan untuk mencari
pembabakan sejarah. Dipermudahkannya pembaca dengan penjelasan di dalam kurung
seperti merujuk pada halaman berapa, catatan kaki tentang isi buku yang dibahas
juga sangat berguna agar pembaca tidak kesusahan dalam mencari bahan yang
dibutuhkan menunjang penelitian terkait atau sekedar menambah bacaan. Indeks
juga telah disajikan di bagian belakang buku ini, yang memang berfungsi
mempermudah pengurutan istilah dan pencarian istilah yang dicari.
Meskipun begitu, Koentjaraningrat dalam menuliskan ide pokok pada
sebuah paragraf yang satu dengan paragraph yang lain terdapat beberapa hal yang
menjadikannya kurang berhubungan. Misalnya saja “Mengenai adat couvade….”
(Koentjaraningrat, 2009: 51) pengalihan topik yang tiba-tiba dari pembicaraan
mengenai evolusi dan tanpa dijelaskan arti dari couvade.
Buku cetakan tahun 2009 oleh penerbit UI Press
ini menurut saya masih banyak menggunakan ejaan yang kurang disempurnakan.
Misalnya saja tulisan perubahan yang ditulis perobahan, paham menjadi faham,
manusia menjadi manansia, ekspedisi menjadi expedisi, dan
masih banyak yang lain. Selain itu masih banyak juga kalimat yang ditulis
secara berulang misalnya pada kalimat:
“ Dalam banyak kebudayaan lain upacara inegrasi dan pengukuhan
menonjol dalam upacara-upacara seperti itu. Dalam banyak kebudayaan lain upacara
inegrasi dan pengukuhan menonjol dalam upacara-upacara seperti itu.”
(Koentjaraningrat, 2009: 77).
Jika digeneralisasi, buku pertama dari dua jilid yang ada ini layak
untuk dibaca dengan revisi penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan ejaan yang
disempurnakan pada tahun terakhir penerbitan. Dengan begitu, kesalahan
penulisan bisa diminimalisir apabila mengutip dari isi buku sekaligus,
kesalahan ejaan pada tingkat akademik bisa diminimalisir juga. Berkenaan dengan
hal itu karena mengutip dari isi buku merupakan hal yang penting bagi akademisi
untuk memperkuat argumen yang dibuat.
Komentar dan
Pertanyaan Kritis
Mendapatkan bahan dan mengumpulkan sehingga dapat sedemikian rupa
berupa karya tulis dalam dunia antropologi dirasakan tidak semudah yang
dibayangkan. Perlunya membaca bacaan yang menunjang, ekspedisi, wawancara,
hingga ikut berpartisipasi langsung dengan masyarakat yang diteliti harus ada
sebagai modal awal berangkat menjadi antropolog yang baik. Pengumpulan fakta
sejarah teori-teori yang sekarang banyak digunakan oleh antropolog dan
sarjana-sarjana antropolog dirasa mampu membawa sedikit hembusan angin segar
untuk apa antropologi diaplikasikan.
Pengaplikasian antropologi seperti apa yang dibahas dalam buku ini,
membuka mata kita untuk menjadi detil dan teliti dalam terjun langsung ke
masyarakat seperti yang disarankan Franz Boas, tidak hanya menuliskan apa yang
kita dapat selama di lapangan, mengembalikan lagi kepada masyarakat apa yang
telah kita tulis menjadi bersifat reflektif dalam diri. Seperti yang dilakukan
oleh ahli antropologi di Uni Soviet yang menggunakan ilmunya untuk saran dan
nasihat bagi perkembangan negaranya.
Ketidakbenaran data
etnografi seperti dalam catatan kaki pada halaman 214, mengenai teori
strukturalisme C. Lévi-Strauss menyadarkan pembaca untuk tidak mengaburkan
fakta yang ada dan mengimajinasikannya menjadi fakta yang ada. Penghindaran
kesalahan ini memberi efek kehati-hatian pada calon antropolog untuk
melangkahkan kakinya ke arah yang lebih baik.
Penguasaan bahasa seperti yang dituliskan Malinowski sebagai syarat
untuk memperoleh dan menghasilkan bahan etnografi yang baik menjadi sarana
untuk menyadarkan diri bahwa tidak semua orang mampu mengenali bahasa kita dan
orang-orang tersebut belum tentu pula mampu mengenali bahasa yang kita gunakan.
Penguasaan bahasa dalam melakukan penelitian paling tidak sangat membantu dalam
komunikasi dan melakukan wawancara langsung dengan informan. Meskipun di sisi
lain ada beberapa antropolog yang tidak mempelajari bahasanya terlebih dahulu
dan langsung terjun ke daerah penelitiannya. Memang bisa saja seiring
perjalanan dalam penelitian, si peneliti mampu menguasai bahasa yang digunakan
namun hal tersebut seperti membuang waktu yang singkat untuk melakukan
penelitian. Karena ketidakmampuan berbahasa tersebut mengakibatkan antropolog
hanya sampai pada deskripsi yang bisa diindera saja, tanpa bisa mengetahui apa
yang dirasakan oleh sunyek yang sedang diteliti.
Catatan harian juga disinggung oleh Malinowski sebagai syarat.
Catatan semacam ini bukannya tidak penting, catatan ini sangatlah penting untuk
menunjang apa yang telah terjadi pada saat penelitian berlangsung, dan
mengingatkan kealpaan kejadian yang tengah berlangsung pada saat penelitian.
Penalaran tentang teori sturkturalisme sehingga membentuk
kesimpulan yang baik belum bisa saya lakukan dalam bacaan yang disajikan pada
bab 10. Penjelasan yang seperti panjang saja tersebut belum mampu masuk untuk
mencentuskan idea tau anggapan tentang apa itu strukturalisme. Intinya,
penangkapan strukturalise dalam bab 10 tersebut masih susah untuk ditangkap
maksudnya.
Mengenai beberapa teori yang terdapat dalam buku ini, menimbulkan
pertanyaaan bahwasannya, “Bagaimana ketika suatu teori tidak digunakan? Apakah
teori tersebut kembali menjadi hipotesis karena tergantikan teori yang baru?”
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi I.
Jakarta: UI Press.
[1] Tercakup dalam Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi
I. Jakarta: UI Press. (halaman 4-5)
[2] Gambaran tentang bangsa-bangsa.
[3] Benda hasil budaya.
[4] Anggapan ras Kaukosoid berasal dari makhluk induk yang lebih kuat,
maju, dan tinggi dari ras lain.
[5] Pandangan ini kemudian dibagi menjadi dua. Yakni yang yakin bahwa
semua manusia merupakan keturunan nabi Adam dan yang yakin bahwa manusia tidak
mengalamani degenerasi.
[6] Manusia hidup serupa sekawanan binatang berkelompok, laki-laki dan
wanita bebas melakukan hubungan dan melahirkan tanpa ikatan.
[7] Menghindari perkawinan antara ibu dan anak laki-laki.
[8] Perkawinan di dalam batas-batas kelompok, mengakibatkan anak
cenderung melakukan hubungan langsung dengan keluarga ayah dan ibu.
[9] Zat halus.
[10] Lingkaran kebudayaan, dimana terdapat unsur-unsur yang sama antar
kebudayaan di muka bumi.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu