Resensi Film: Tentang Hidup dari Dua Garis Biru
Wah, aku tidak kecewa dengan karya garapan Mbak Gina S. Noer ini. Tidak sama sekali. Mulai dari pengambilan gambar, latar suasana, tempat, waktu : aaarrghhh pengen nangis lagi, nonton (duh, jadi inget belum bayar uang nonton ke Ilham, sh*t).
Seperti banyak review yang sudah ditampilkan di berbagai media online (iya, banyak banget yang bersliweran bahas tentang karya yang satu ini contohnya dari magdalene.co : https://magdalene.co/story/dua-garis-biru-dan-kenyataan-pendidikan-seks-di-indonesia dan dari tirto.id : https://tirto.id/dua-garis-biru-kontroversi-yang-perlu-dirayakan-eeeV ) mungkin juga media cetak ibu kota, majalah, dan lainnya, film ini memang sudah membuat kontroversi sebelum penayangan perdananya. Iya, banyak orang menggugat ini adalah cara yang 'kurang bak' bagi perkembangan remaja di Indonesia dengan menyebut film ini petaka karena mengajarkan hamil di luar nikah. *big NO* aku sendiri tidak setuju dengan pernyataan tersebut sedari awal muncul petisi untuk tidak memutarkan film ini.
Dalam perspektifku, aku merasa orang-orang yang membuat petisi, yang kemudian menggodoknya jadi momok tersendiri dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang benar-benar kompleks adalah orang-orang yang tak bisa menghargai. *Upss mungkin kata-kata tersebut kasar, tapi kenyataannya ada saja manusia macam ini. Memberikan apresiasi terhadap suatu karya bagiku, pada dasarnya jangan dilihat dari apa yang hanya bisa dilihat. Sudah banyak disebutkan pula dalam berbagai bacaan " Don't judge the book by its cover", nyatanya mungkin peribahasa ini memang memengaruhi hidup orang-orang ya walau tidak semua sisi kehidupan diterapkannya. Sisi yang abai inilah yang kira-kira terjadi dalam pembuatan petisi yang melarang pemutaran film Dua Garis Biru. Heu, sedih aja mendengar, melihat, dan bahkan merasakan kalau saja film sebagus itu yang mereka pun belum menonton sudah berani mereview dari apa yang dilihat hanya dari secuil cuplikan.
Sesungguhnya hidup memang perkara perspektif. Cara memandang suatu hal didasarkan atas pikiran-pikiran sendiri yang diasumsikan dan mendapat persetujuan dari berbagai pihak. Iya, begitulah reaksi dari petisi penolakan Dua Garis Biru muncul. Mendapatkan perhatian umum agar menjadi isu yang diperhatikan. Lalu dalam pikirku lagi, apakah orang-orang Indonesia adalah masyarakat yang kurang perhatian sehingga membuat-buat perhatian yang jatuhnya tidak cukup berguna bagi kehidupan masyarakat sendiri?
Hmm.. tapi sekali lagi terima kasih sutradara, dan kru pembuat Dua Garis Biru. Ada berbagai macam pelajaran yang dapat diambil.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu