Tugas UTS: Kasus Sengketa dan Non Sengketa di Sumatera Utara
Suatu fenomena sosial dapat dikategorikan sebagai ‘sengketa’
apabila fenomena tersebut menimbulkan tuntutan akan keadilan sosial. Pada kasus
sengketa, terjadi tahapan sebelum mencapai puncak suatu kasus dianggap sebagai ‘sengketa’, di antaranya melalui
tahap pra konflik, tahap konflik dan tahap sengketa. Pada tahap pra konflik
terjadi kondisi seseorang atau kelompok masyarakat merasakan adanya
ketidakadilan dan ada keluhan oleh seseorang atau kelompok masyarakat tersebut
terhadap rasa tidak adil yang diterima. Tahap konflik terjadi ketika seseorang
atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan memberitahukan keluhannya kepada
pihak yang melanggar haknya. Kemudian apabila tahap konflik tersebut diumumkan
kepada publik maka kasus yang ada telah masuk pada tahap sengketa.
Sedangkan kasus ‘non sengketa’ merupakan fenomena sosial yang hanya
berisi gambaran mengenai suatu situasi umum dan tidak menimbulkan tuntutan akan
keadilan sosial. Berbeda dengan kasus sengketa yang memiliki tahapan, kasus non
sengketa tidak memiliki tahapan apapun. Hal tersebut dikarenakan kasus non sengketa
berwujud kejadian yang biasa terjadi di daerah tertentu sehingga, apabila ada
pihak yang dirugikan, maka masyarakat di sekitar kejadian tersebut
menganggapnya sebagai suatu fenomena yang biasa,
A. Kasus Sengketa Lahan Masyarakat Desa Sibayak Lau Cih di Deli
Serdang, Sumatera Utara
Kasus ini muncul dikarenakan masyarakat merasa bahwa tanah yang
digunakan oleh PTPN-II Kwala Bekala dalam usaha produksi mereka adalah tanah
ulayat masyarakat Sibayak Lau Cih. Klaim penggunaan lahan yang menguatkan dari
pihak masyarakat Lau Cih atas ketidakadilan penggunaan tanah ulayat mereka
tercermin dalam prasasti atau tugu peninggalan Sibayak Lau Cih, kemudian
berdasarkan Hasil rekomendasi dalam
rapat dengar pendapat (RDP) tahun 1999 ditegaskan bahwa PTPN-II tidak memiliki
hak guna ulayat dan hanya memiliki izin prinsip berdasarkan PERMENDAGRI No 11
tahun 1975[1].
Namun pada RDP bulan Agustus, tahun 2017 yang dilakukan kedua pihak PTPN-II
mengabaikan kembali hasil yang diputuskan Komisi A DPRD Sumatera Utara[2].
Tahap pra konflik
Masyarakat Sibayak Lau Cih sebagai kelompok masyarakat merasakan
ketidakadilan terjadi pada mereka. Bentuk ketidakadilan tersebut berupa pengabaian
dan tindakan arogansi dari PTPN-II untuk menggunakan kekuasaannya bersikap
semena-mena menggunakan tanah ulayat warga desa
Sibayak Lau Cih. Penggusuran juga dilakukan oleh PTPN-II menggunakan
alat berat dibantu oleh aparat keamanan seperti TNI dan POLRI. Masyarakat
menjadi khawatir dan ketakutan terlebih terhadap sikap TNI dan POLRI yang
sehatusnya netral namun terlihat lebih memihak kepada PTPN-II.
Tahap konflik
Telah dilakukan RDP antara kedua belah pihak yang sedikit meredakan
keresahan masyarakat dengan tidak diturunkannya alat berat untuk pembersihan lahan
dan petugas TNI dan POLRI yang diharuskan melakukan pekerjaan sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Namun hanya dalam waktu sehari saja setelah putusan
tersebut diketok palu, esok harinya pihak PTPN-II melakukan pembersihan
lagi. Masyarakat yang terusir dari
lahannya sendiri dan yang melakukan beberapa aksi protes dengan menginap di
kantor DPRD, unjuk rasa, mengusir hingga memaki anggota TNI dan POLRI yang
berusaha mengusir mereka di tanah ulayatnya, nyatanya kembali resah dengan
dilakukannya kembali pembersihan lahan tersebut.
Tahap sengketa
Konflik yang terjadi menjadi mencuat secara publik setelah banyak dari aktivis
kampus yang juga ikut mendukung hak masyarakat Sibayak Lau Cih atas tanah
ulayat mereka[3].
Berbagai media pemberitaan lokal baik secara virtual maupun cetak juga banyak
membahas mengenai kasus yang sebenarnya telah dapat dihentikan namun tidak
diindahkan oleh pihak PTPN-II ini, dari RDP dengan DPRD sekalipun. Sehingga,
dari kasus ini belum ada solusi yang terbaik untuk menyelesaikannya.
B. Perputaran Kehidupan Sosial - Budaya Petani Jawa di Simalungun,
Sumatera Utara
Masyarakat Jawa dimana pun berada tidak bisa dipisahkan begitu saja
dengan budaya yang telah dipelajarinya walaupun tidak di tanah Jawa. Seperti
halnya yang terjadi pada masyarakat petani Jawa di Simalungun , Sumatera Barat.
Gotong-royong yang dipahami pula sebagai proses pertukaran sosial menjadi bentuk
budaya yang diwariskan dan terlihat nyata dalam kehidupan masyarakat Jawa di
Simalungun, Sumatera Barat.
Keteraturan hidup terlihat berjalan di desa yang dipenuhi oleh
transmigran masyarakat Jawa tersebut. Seperti ‘gantian tandur’ yang
dilaksanakan secara suka rela dengan menghubungi kerabat dan kenalan dekat
untuk melaksanakan penanaman padi. Apabila pada saat ini keluarga Bapak S
memerlukan bantuan untuk menanam padi di sawahnya, maka keluarga Pak C dan Pak
E sebagai kerabat dan tetangganya akan membantu apabila telah diumumkan.
Nantinya, keluarga Bapak S akan membantu proses menanam di sawah Pak C dan Pak
E apabila telah masuk masa tanam.
Mata pencaharian sebagai petani kemudian mengharuskan mereka
melakukan pembagian secara tidak tertulis untuk melakukan pekerjaan seperti
menanam di sawah. Hal ini mereka lakukan juga karena kurangnya jumlah tenaga
kerja dalam suatu keluarga untuk melaksanakan penanaman. Oleh karenanya, tata
cara yang baik bertetangga dan menjalin hubungan kekerabatan adalah dengan membantu
satu sama lain. Sehingga, dalam mengatur kehidupannya sebagai masyarakat petani
tersebut, masyarakat Jawa yang berada di Simalungun secara tidak langsung
membentuk suatu norma sopan santun untuk membuat masyarakat tertib dalam
pergaulan masyarakatnya tersebut.
Selain melakukan ‘gantian tandur’ budaya arisan, sewa – menyewa, mertelu,
rewang, gotong-royong pun masih dilakukan masyarakat Jawa yang
bertransmigrasi ke Simalungun. Kegiatan seperti di atas dikategorikan sebagai
bentuk fenomena non sengketa sebab tidak ada tahapan yang mengharuskan
seseorang menuntut keadilan sosial sebagai konsekuensi hidup bertetangga dan
bermasyarakat. Demi kenyamanan bersama, maka fenomena yang terjadi pada
masayarakat Jawa di Simalungun tersebut dianggap biasa dan menjadi kebiasaan
bagi masyarakat. Karena terbiasa itu pula, masyarakat merasa terikat untuk
melakukannya sebagai bentuk taat terhadap aturan tidak tertulis yang diakui
secara kolektif di daerah tersebut.
Referensi
https://www.beritajps.com/sengketa-lahan-antara-ptpn-2-kwala-bekala-dengan-masyarakat-terus-berlanjut/ http://www.martabesumut.com/berita-7130-massa-sibayak-lau-cih-siap-mati-lawan-ptpn-ii-pertahankan-lahan-ulayat.html
Ikhsan, Edy. 2000. “Pola-pola Pertukaran Sosial
di Kalangan Buruh Perkebunan dan Petani Jawa Studi Antropologi Hukum Di Sebuah
Dusun Perkebunan, Simalungun, Sumatera Utara” dalam Hukum dan Kemajemukan
Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.
[1] Diakses dari https://www.beritajps.com/sengketa-lahan-antara-ptpn-2-kwala-bekala-dengan-masyarakat-terus-berlanjut/ pada 30 September 2017 pukul 19:36
[2] Diakses dari http://www.martabesumut.com/berita-7130-massa-sibayak-lau-cih-siap-mati-lawan-ptpn-ii-pertahankan-lahan-ulayat.html pada 30 September 2017 pukul 19:47
[3] Diakses dari https://sorasirulo.com/2017/06/23/para-pemuda-karo-pertahankan-sejarah-dan-tanah-ulayat-sibayak-lau-cih/ pada 30 September 2017 pukul 20:16
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu