(Review) Child Abuse: Rekaman Memori Kekerasan
Pemberitaan di Indonesia, akhir-akhir ini masih sering dihebohkan
dengan kekerasan terhadap anak atau child abuse, yang dapat diartikan
sebagai “ peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak ---
yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap
kesehatan dan kesejahteraan anak.” (Suyanto, 2010:28) Pengertian anak dalam
kasus kekerasan terhadap anak ialah “ anak-anak usia di bawah 16 tahun yang
mendapat gangguan dari orang tua atau pengasuhnya dan merugikan anak secara
fisik dan kesehatan mental serta perkembangannya”[1]
Kekerasan terhadap anak di Indonesia, tiap tahun mengalami
peningkatan. Peningkatan-peningkatan ini dapat dilihat dari data Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI ) yakni pada tahun 2011 terjadi 2178 kasus
kekerasan, tahun 2012 ada 3512 kasus, tahun 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066
kasus. Pernyataan KPAI ini disusul kemudian dengan perincian kasus tertinggi
yang menyebabkan adanya kekerasan terhadap anak yakni karena kasus pengasuhan,
pendidikan, kesehatan, napza, pornografi dan cybercrime. Dikatakan KPAI
pula bahwa kekerasan di atas dapat terjadi di lingkup keluarga dengan
presentase 91%, pendidikan 87,6%, dan masyarakat 17,9%[2]. Peningkatan
jumlah kasus tiap tahun tersebut yang masih menjadikan kekerasan terhadap anak
menjadi berita yang sering diperdengarkan di media Indonesia. Selain itu, anak
masih dikategorikan sebagai blank state, yang memberikan makna pada anak
bahwa anak merupakan kepolosan yang kapanpun dapat diberi emosi, sehingga masih
sering terjadi kekerasan terhadap anak.
Contoh kasus
kekerasan terhadap anak di Indonesia yang berbasis lingkup keluarga ialah kasus
Angeline yang disiksa selama hidupnya setahun belakangan hingga dibunuh oleh
ibu yang mengadopsinya atau kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh
pekerja rumah tangga di daerah Kebon Jeruk Jakarta Barat[3]
dan telah dilaporkan kasusnya pada pihak yang berwajib, kasus kekerasan
terhadap anak di lingkup pendidikan yang dapat diambil contoh ialah kekerasan
di Jakarta International School (JIS) yang dilakukan oleh guru dan beberapa
oknum kebersihan yang meskipun sampai sekarang belum menemui kejelasan tentang
kasus tersebut. Kasus kekerasan terhadap anak pada lingkup masyarakat yang
menjadi viral di masayarakat pada saat terungkap ialah kekerasan terhadap anak
jalanan yang dilakukan oleh Babe, dan masih banyak lagi kasus yang tidak dapat
disebutkan satu per satu mulai dari anak sebagai korban hingga anak sebagai
tersangka dalam kekerasan yang terjadi.
Untuk memahami
lebih lanjut bagaimana seorang anak mengalami tindak kekerasan, maka di bawah
ini akan disebutkan sikap pada anak yang merupakan korban kekerasan. Sikap
tersebut,di antaranya ialah:
1. Psikologi
“ Sering terdapat sikap ketakutan yang berlebihan terhadap orang
tua, pada waktu pemeriksaan fisis dilakukan, anak sering menghindari kontak
mata, memperlihatkan sikap agresif, atau menarik diri secara berlebihan. Adanya
perilaku ingin mencederai diri sendiri atau bunuh diri. Sangat mungkin
ditemukan perilaku seksual agresif dan gangguan tidur.” (Widiastuti dan Sekartini,
2005: 110)
2. Kesehatan
“ Memar dan bilur: pada wajah, bibir/mulut,bagian tubuh lainnya
seperti di punggung, bokong, paha, betis; terdapat baik memar / bilur yang baru
maupun yang sudah menyembuh; corak memar / bilur menunjukkan benda tertentu
yang dipakai untuk kekerasan. Luka lecet dan luka robek: di mulut, mata, bibir,
kuping, lengan dan tangan; di genitalia; luka akibat gigitan manusia; dan di
bagian tubuh lain, terdapat luka baru atau berulang. Patah tulang: setiap patah
tulang pada anak di bawah usia 3 tahun, patah tulang baru dan lama (dalam
penyembuhan) yang ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang spiral
pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai, dan patah tulang pada kepala,
rahang dan hidung, serta patah gigi. Luka bakar: bekas sundutan rokok; luka
bakar pada kaki, tangan, atau bokong, akibat kontak bagian tubuh tersebut
dengan benda panas; dan bentuk luka yang khas sesuai dengan bentuk benda panas
yang dipakai untuk menimbulkan luka tersebut. Cedera pada kepala: perdarahan
(hematoma) subkutan dan atau subdural yang dapat dilihat pada foto rontgen,
bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut, dan terdapat baik yang baru
atau berulang. Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul
(kemungkinan akibat tarikan), atau tanda-tanda luka yang berulang.”[4]
3. Sosial
“ orang tua dan anak tersebut mengalami berbagai macam masalah baik
secara internal maupun eksternal, sehingga anak dalam keluarganya terlantar,
dampak yang dirasakan anak akibat penelantaran yang dilakukan orang tua, baik
penelantaran dengan tidak memberikan biaya untuk anak, kurangnya perhatian dari
orang tua. --- Dampak lain atas penelantaran sosial anak yaitu anak harus
megerjakan tugas yang biasanya dikerjakan ayahnya, pendidikan yang bermasalah.”
(Anggraeni, 2013: 4)
4. Psikososial
“ Faktor psikososial tersebut seperti kecenderungan emosi negatif
seperti perasaan benci dan menyimpan dendam, keinginan untuk menjalani
kehidupan bebas, penilaian yang cenderung negatif pada dirinya sendiri dan
kehidupan yang dijalani, perilaku seksual yang tidak wajar, serta relasi yang
buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya.” (Sakalasastra dan Herdiana,
2012: 72)
Deteksi
dini dalam penggambaran tindak kekerasan terhadap anak dapat dilakukan melalui
beberapa ciri-ciri dari anak yang telah disebutkan di atas. Selain itu, sebagaimana
telah dijelaskan di atas, mengenai peningkatan kasus kekerasan terhadap anak,
melalui kacamata anak sebagai korban, dapat ditelisik menurut Vincent J.
Vontana (1973) terhadap beberapa ciri orang tua yang melakukan tindak
kekerasan:
“Diantaranya, pertama secara emosional belum matang. Kedua,
menderita gangguan emosional. Ketiga, secara mental tidak sempurna. Keempat,
orang tua yang terlalu berpegang teguh pada disiplin. Kelima, orang tua yang
memang memiliki kepribadian yang sadisme dan kriminal. Keenam, pecandu minuman
alkohol.” (Vontana via Suyanto, 2010:37-39)
Ciri-ciri yang
telah disebutkan di atas, tentu menghadapkan orang tua sebagai partner anak
dalam mengatasi masalah hidup sebelum menjadi pribadi yang lebih matang
haruslah terbebas dari kategori di atas. Apabila ada dari satu kategori yang
ada pada orang tua maka memungkinkan bagi orang tua, dirinya dapat melakukan
tindak kekerasan terhadap anak. Ciri-ciri yang melibatkan orang tua dalam kasus
kekerasan terhadap anak ini dapat dikaji lebih lanjut dalam sebuah model yang
disebut “The Abbusive Environment Model”. “ Model tersebut menjelaskan
beberapa faktor terjadinya kekerasan terhadap anak, ditinjau dari tiga aspek
yaitu:
1. Aspek kondisi anak
sendiri. Aspek ini memungkinkan bagi anak yang lahir prematur, anak yang mengalami
sakit sehingga mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga
memengaruhi watak, adanya proses kehamilan dan kelahiran yang sulit, kehadiran
anak yang tidak dikehendaki, anak yang mengalami cacat mental ataupun fisiknya,
anak yang sulit diatur sikapnya, dan anak yang meminta perhatian khusus.
2. Faktor pada orang tua meliputi: pernah tidak orang tua mengalami
kekerasan atau penganiayaan sewaktu kecil, menganggur atau karena pendapatan
tidak mencukupi, pecandu narkotika atau minuman beralkohol, pengasingan sosial
atau dikucilkan, waktu senggang yang terbatas, karakter pribadi yang belum
matang, mengalami gangguan emosi atau kekacauan urat syaraf yang lain, mengidap
penyakit jiwa, seringkali menderita gangguan kepribadian, usia terlalu muda,
serta latar belakang orang tua yang rendah.
3. Faktor lingkungan sosial seperti: kondisi kemiskinan dalam
masyarakat dan tekanan nilai materialistis, kondisi sosial ekonomi yang rendah,
adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri, status
wanita yang rendah, sistem keluarga patriarkat, nilai masyarakat yang
individualistis dan sebagainya.” (Ismail (1995) via Suyanto, 2010:35).
Faktor
kondisi anak sendiri dalam kasus kekerasan pada anak sering kali diabaikan,
mengetahui bahwa segala perbuatan yang diterima anak ialah akibat dari
perlakuan orang tua yang ada di sekitar lingkungan anak tinggal serta masih
banyak ditemui kasus anak sebagai korban dari tindak kekerasan. Faktor kondisi
anak sendiri yang sering kali menyebabkan pecahnya kekerasan pada anak ialah
pada poin anak yang sulit diatur sikapnya. Terkadang, untuk mempercepat anak
patuh, orang tua lebih memilih untuk melakukan kekerasan terhadap anaknya
sehingga secara tanpa sadar untuk menuntut seorang anak patuh maka orang tua
melakukan kekerasan sebagai kebiasaan yang diberinya terhadap anak.
Faktor sosial yang
masih sering menjadi bahan pertimbangan banyak akademisi pada kasus kekerasan
terhadap anak ialah keberlangsungan kehidupan yang menganut sistem patriarkat.
Sistem tersebut kemudian menjadi sebuah patokan yang kaku dalam keberaturan
hidup dalam berperilaku setiap insan di dunia ini, tak hanya berlaku pada orang
dewasa, sistem ini bahkan telah diobservasi oleh anak sejak ia dapat
menggunakan alat penginderaannya.
“ Children and young people
experience the most widely accepted forms of paternalism in our society, so
much so, and such is the consensus, that we may be forgiven in assuming that
childhood and youth are fixed state – limited, predictable, universal and
determined by indisputable biological and psychological facts.” (Frost and Stein, 1989: 10)
Seperti pada pemaparan di atas, dalam dunianya anak-anak dan remaja
bahkan dalam tekanan patriarkat, menjadikan masa kecil dan remaja sebuah fiksasi bahkan konsensus bersama
sebagian atau bahkan keseluruhan masyarakat bahwa anak haruslah patuh apapun
bentuknya terhadap segala bentuk peraturan yang dibuat oleh orangtua terutama
bapak sebagai kepala rumah tangga, yang dalam masyarakat memiliki kekuasaan
tertinggi dalam mengambil sebuah keputusan dalam sebuah rumah tangga. Bentuk
patuh yang bermacam-macam pada sebuah rumah tangga ini tak dapat dihindari juga,
salah satu di anataranya ialah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh orang tua
terhadap anak. Sehingga dengan keadaan tersebut, setiap anak dalam memorinya
memiliki kenangan yang sama dan terus-menerus direproduksi sampai seorang anak menjadi
dewasa dan memiliki keluarga dan anak sendiri. Namun, hubungan patriarkat ini
tidak semata-mata menjadi penyebab terjadinya kekerasan sebab:
“Menurut Ahimsa Putra dkk., (1999)
di dalam masyarakat ada hubungan yang secara natural asimetris antara anak dan
orang dewasa adalah landasan bagi hubungan asimetris secara kultural antara
kedua kategori tersebut. Dalam hal ini anak dalam posisi yang lebih lemah dan
karena itu juga lebih rendah. Orang dewasa secara sadar maupun tidak menciptakan
ketidakseimbangan kultural ini dalam hubungan mereka dengan anak yang sifatnya
menguntungkan orang dewasa dan mereka menanamkan hal ini pada diri anak”
(Ahimsa-Putra 1990 via Suyanto, 2010: 31)
Keterangan yang diberi di atas dapat dijadikan standar bahwa ‘orang
tua’ di sini bukanlah bapak dan ibu kandung dari seorang anak saja, ada kalanya
nenek, kakek, pengasuh, kakak, ataupun orang yang memiliki umur lebih dari 16
tahun dari anak merupakan orang tua. Orang tua yang disebut sebagai orang
dewasa pada keterangan di atas memberikan gambaran yang cukup jelas adanya
posisi antara anak dan orang dewasa yang secara alami didapat pada kehidupan
keluarga maupun masyarakat. Sebagai agen pemberi atau penyalur pendidikan pada
anak dalam kehidupan sehari-hari, orang dewasa merupakan pemberi contoh atau
teladan bagi anak untuk menata kehidupannya di masa mendatang.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa perilaku kekerasan merupakan
produk belajar. Anak melakukan banyak observasi terhadap lingkungan sosial,
ekonomi, dan tentu lingkungan keluarga dimana ia tinggal. Dengan observasi
tersebut, terbentuklah suatu tatanan pada diri anak saat menjadi dewasa untuk
melakukan tindak kekerasan di kemudian hari sebagai bentuk perlakuan yang
dipelajari dan diamati selama masa kanak-kanak.
Reproduksi kekerasan dan legitimasi kekerasan yang secara sadar
ataupun tidak sadar ada di masyarakat, merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan secara langsung. Sama halnya dengan anak, ketika dalam masa
pertumbuhan hingga menuju masa dewasanya, ia akan menyimpan memori tentang
kekerasan sebagai pembentuk pribadi anak pada masa sekarang, artinya anak tetap
menyimpan trauma ata bahkan memori kejadian kekerasan yang pernah ditimpanya,
yang didapatkanya pada masa lalu karena anak pernah pula hidup di masa lalu.
Oleh karena itu, seorang anak dengan masa lalu dikelilingi dengan kekerasan pada
masa dewasanya akan membawa memori tersebut pada kenyataan hidupnya terlebih
dalam menghadapi lingkungan sosial, ekonomi, dan politiknya.
Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak atau Child Abuse sebenarnya tidak
hanya dilakukan oleh orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan terhadap seorang anak. Kekerasan anak dapat terjadi dimana saja
termasuk kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa tak dikenal yang memberikan
rasa rugi kepada anak baik dalam bentuk fisik ataupun mental. Pada poin yang
telah dijelaskan di atas, anak bisa jadi mendapatkan kerugian pada bidang
psikologi, kesehatan, dan sosialnya. Masyarakat pun memiliki porsi yang sama sebagai
pelaku tindak kekerasan terhadap anak apabila membiarkan kesejahteraan anak
terabaikan begitu saja. Namun bedanya, apabila yang terjadi ialah kekerasan
yang dilakukan oleh masyarakat dalam lingkup yang luas, maka kekerasan yang
terjadi sering dianggap tidak ada atau menjadi kekerasan struktural yang tidak
tahu siapa pelaku sebenarnya, karena kekerasan yang terjadi telah dianggap
biasa atau umum kehadirannya di masyarakat, salah satu contoh yang ada di
masyarakat Indonesia ialah kasus anak jalanan.
Dengan adanya pernyataan di atas mengenai kekerasan, dapat
diartikan sebagai cara bagi anak untuk melangsungkan kehidupannya di masa
mendatang, meski zaman telah menjauhi zaman purba. Seperti dinyatakan pada
sebuah jurnal bahwa:
“Implikasi fenomena itu, muncul kekhawatiran manakala tingkah laku
kekerasan terinternalisasi dan menjadi pola baku yang digunakan dalam mencari
solusi setiap permasalahan. Jika ini terjadi, maka kondisi kehidupan
kemasyarakatan kita akan selalu chaos dan anarkis. Padahal kita tahu bahwa
anarkisme adalah bukan ciri masyarakat modern dan beradab.” (Hufad, 2003: 59)
Meskipun kita hidup di zaman yang modern pun, apabila reproduksi
dari kekerasan masih tetap ada maka sebuah peradaban akan bertahan pada posisi
yang memungkinkan pemikiran akan mundurnya peradaban tersebut sehingga hampir
sama dengan zaman purba yang saling bunuh-membunuh untuk mendapatkan makanan. Terlebih
reproduksi kekerasan tersebut terekam baik pada memori anak yang merupakan agen
atau bibit dari generasi penerus bangsa.
Referensi :
Anggraeni, Ratna Dewi. 2013. Dampak
Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (The Impact Children Of Domestic Violence). 2013,
I (1): 1-4: Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa.
Frost, Nike dan Stein Mike. 1989. The
Politics of Child Welfare Inequality, Power, and Change. Great Britain:
Billing and Sons Ltd, Worcester.
Hufa, Ahmad. 2003. Perilaku
Kekerasan: Analisis Menurut Sistem Budaya dan Implikasi Edukatif. No.
2/XXII/2003: Mimbar Pendidikan.
Sakalasastra, Pandu Pramudita dan
Herdiana, Ike. 2012. Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan
Seksual Yang Tinggal di Liponsos Anak Surabaya. Vol. 1 No. 02, Juni 2012: Jurnal
Psikologi Kepribadian dan Sosial.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak.Jakarta: Kencana.
Widiastuti, Daisy dan Sekartini,
Rini. 2005. Deteksi Dini, Faktor Resiko, dan Dampak Perlakuan Salah pada
Anak. Vol. 7, No. 2, September 2005:
105 – 112: Sari Pediatri .
[2]
Data diperoleh dari
http://harianterbit.com/m/humaniora/read/2015/06/14/32143/86/40/KPAI-Pelaku-Kekerasan-Terhadap-Anak-Tiap-Tahun-Meningkat
diakses pada 12 Juni 2016 pukul 11:01.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu