Dunia Harus Tahu: Baik

Rasanya seperti sudah lama jemari tanganku tidak menari-nari di atas keyboard laptop. Rasanya, ada memori yang satu per satu hilang tanpa bisa dikenang untuk dijadikan amanat. Lalu, kali ini kuakan lagi-lagi membagi cukup seperdelapan kisah hidupku tentang memaknai kata sifat yang sering kali melekat jadi rujukan bagi diri kita atau orang lain untuk berteman atau bermusuhan.
Barangkali memang 'baik' harusnya memiliki porsi. Begitu saja sifat ini dilekatkan padaku pada suatu ketika, saat aku memberikan sebagian uang sakuku untuk potong rambut temanku. Entah pada akhirnya ia memang potong rambut atau digunakannya untuk beli rokok penyambung hidupnya. Ya, saat itu. Kejadian sekarang lebih rumit lagi. Aku dituduh 'baik' sebab aku berbohong agar seseorang yang kukenal tidak ikut dalam gerombolan temanku bermain dengan indahnya. Sebab orang yang dibohongi tersebut terkenal tidak menyenangkan. Heol! Eksistensi baik lagi-lagi ku pertanyakan. Aku dalam kondisi susah. Tidak diberi iba, memberi takut yang diberi hanya pura-pura. 
Aku berjalan keluar dari swalayan bersama seorang teman. Tiba-tiba saja ada ibu-ibu dengan pakaian dan wajah lusuh mendekati kami yang sedang menenteng belanjaan dan ransel di punggung masing-masing. mendengar ceritanya yang tidak bisa pulang karena dompetnya hilang, kami jadi bingung. Kasihan iya, takut dibohongi juga iya. Dilema. Pada akhirnya, kami memberinya uang tapi cukup sepuluh ribu saja. 
Dalam perjalanan pulang, kami berencana tidak lagi memberi secara cuma-cuma, pada orang yang mencurigakan dan patut dicurigai seperti ibu-ibu tadi. Sebab kita tak tahu kemana hati ini bakal berhenti meronta untuk berbagi, lagi-lagi kami bertemu ibu-ibu. Bukan lagi ibu yang sama. Kali ini aku dan teman yang sama, di depan jembatan dekat kos si teman. Kali ini ibu-ibu yang meminta tolong diberi uang karena anaknya tiba-tiba saja masuk rumah sakit, sedang suaminya yang bekerja sebagai dosen di fakultas psikologi tidak bisa dihubungi sama sekali. Pikiran pendekku, harusnya ibu-ibu ini minta ditolong dipanggilkan suaminya. Namun nyatanya, ibu ini meminta uang pada kami, mahasiswa yang sedang numpang lewat. Curiga pasti, untunglah jeritan hati kecil kami tidak terlalu terdengar, sehingga keballah kami pada pengalaman kedua ini. Untuk ketiga kalinya, ada ibu-ibu lain yang beraksi. Kali ini meminta uang karena kehabisan bensin. Dia sedang bersama anaknya. Tidak bisa kulihat jelas yang tertera di speedometer bensin si ibu sampai garis merah atau tidak. Yang jelas, aku iba dengan anaknya, lalu kukasih uang lima ribu. 
Lalu, 3 hari yang lalu saat ku antar kakakku ke stasiun Mojokerto untuk kembali ke Jakarta,   aku bertemu ibu-ibu dan anaknya. Wajahnya lesu, mungkin hati dan pikirannya pun sama. Anaknya menahan lapar dari pagi katanya, ia ingin pulang sebab sejak sehari yang lalu ia menginap di stasiun. Dompetnya hilang semua hal hilang. Tujuannya ke Mojokerto untuk mencari suaminya yang delapan bulan tak pulang, anaknya kangen bapaknya, tahu dompet si ibu hilang setelah ketemu dengan suami yang sempat hilang itu, si suami hanya bilang kapok tanpa sepeserpun uang. Duh tragis juga. Secara tidak langsung seperti 3 ibu lain yang memang menginginkan diberi uang melalui tutur katanya, ibu ini secara tersirat memang ingin dibantu. Hanya ia lebih memilih persuasi melalui cerita dan anaknya saja tanpa bilang 'saya butuh uang untuk kembali', sebab ia pun tahu diri. Pihak PT. KAI membantunya untuk pulang, hanya saja ia harus bersabar menghadapi kenyataan bahwasannya tidak ada kursi kosong baginya. Aku memberikan susu yang kubeli di swalayan samping stasiun lalu kuberi pada si anak yang kelaparan, dengan harapan ia tidak lapar lagi. 
Kemudian setelah berbincang lama sambil menunggu panggilan bagiku untuk menjemput Mama, akhirnya diputuskan juga oleh kakakku untuk masuk dan melewati boarding pass meski masih dua jam lagi kereta akan datang. Dalam perjalanannya menuju pemeriksaan tiket itu, sepertinya kakakku merasakan dilema yang sama dalam cerita-cerita sebelum ibu keempat ini datang. Ya, rasanya mencemaskan orang lain begitu tahu dia pura-pura pasti akan membuat hati jengkel juga. 
Di situlah baik hati kupertanyakan. Orang-orang sekarang serba canggih, tak lagi menutupi ingin dikasih iba. Suka mengatakan orang lain baik hati dengan meneror cerita yang bikin hati menjerit, tenggorokan tercekat, cerita yang buat rasa kemanusiaan tiba-tiba dimanipulasi, menghilangkan rasa iri dengan memuji dengan berkata baik. Baik, baik yang mana yang sebenarnya sedang kuceritakan? Hm, tak habis-habis aku memikirkannya. Bahkan dalam berteman aku agak memilah (mungkin ini tidak baik). Memilah ia yang memang sekadar lalu, ia yang tahu seluk-beluk, ia yang dipentingkan olehku, ia yang cuma suka basa-basi tapi ia jujur dan kadang mengantisipasi, memilah juga rasa yang dirasa baik. 
Baik, aku sedang proses untuk menyelesaikan pekerjaan yang baik, karena niat baik. Semoga saja mendapatkan hasil yang baik. - Berbeda dengan kalimat ini yang tak tinggi amat menjunjung 'baik', sebab 'baik' diartikan sebagai rasa syukur nikmat kesederhanaan yang tidak begitu tinggi ekspektasinya. Sehingga, apabila lebih tinggi dari baik maka si pemilik kalimat akan baik-baik saja. Jika lebih rendah maka ia kembali mengatakan itu hasil yang baik dari apa yang diimpikan. Seperti inikah baik yang sesungguhnya? Atau masih ada baik-baik yang lain? Atau ini hanya permainan kata tanpa dibumbui perasaan? Atau ini hanya rasa yang kurang-lebihnya mengandalkan kata-kata agar terlihat nyata dan bisa dibahasakan? Hm,, mungkin ini teka-tekimu (kayak lagu Raisa gitu hehe (y)).  

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��