Tugas UAS: Reflektivitas Sebuah Keluarga dalam Menghadapi Bonus Demografi


Pendahuluan
            Pembangunan masih dan sedang terjadi di desa dan kota di negara ini, Indonesia. Negara Indonesia sebagai negara yang dalam kategori berkembang melakukan pembangunan tersebut sebagai bentuk  memanfaatkan sumber daya alam dan manusia yang ada untuk  mendukung adanya peluang pada tahun-tahun terjadinya bonus demografi, yang mana menjadikan pemerintah berupaya dengan sangat keras untuk memberikan kemudahan masyarakatnya mengambil peluang yang ada untuk dijadikan sebuah momen penting mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sejahtera. Meskipun kategori sejahtera berbeda antar individu, makna sejahtera secara nasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat diartikan sebagai bentuk kesejajaran sosial ekonomi masyarakat.
            Dalam upaya mencapai kesejahtaraan dari adanya peluang bonus demografi yang akan didapatkan oleh Indonesia pada rentang waktu 2012-2035[1], pemerintah berupaya sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas penduduk. Peningkatan kualitas penduduk meliputi pendidikan dan kesehatan masyarakat yang secara merata di desa dan  kota di seluruh Indonesia, meskipun tidak semua bagian di Indonesia mendapatkan bonus demografi ini. Kekuatan yang berbasis pada masyarakat ini setidaknya dilakukan pemerintah dengan berbagai penelitian yang telah dilakukan dan menerbitkan beberapa buku acuan bonus demografi Indonesia yang isinya mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pencapaian bonus demografi ini. Salah satu buku yang diterbitkan berjudul “ Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia” yang merupakan upaya kominfo (kementerian komunikasi dan informatika republik Indonesia) dan beberapa editor ahli untuk mengajak masyarakat setidaknya mengenali kondisi negaranya dalam hal kependudukan.    
Dengan membahas beberapa bagian dari buku yang telah disebut di atas, tulisan ini akan membahas sebuah profil keluarga dalam menghadapi pembangunan dan mempersiapkan generasi penerusnya menjadi orang-orang yang mampu bersaing di kancah global dalam pemanfaatan bonus demografi Indonesia. Untuk memenuhi biografi rumah tangga sebagai bentuk analisis kebjakan rumah tangga menghadapi tantangan bonus demografi tersebut, penulis melakukan observasi dan wawancara tidak langsung kepada kepala keluarga pada sebuah rumah tangga.
Keseharian Sebuah Rumah Tangga di Dusun Kasiyan, Desa Pohkecik, Dlanggu, Mojokerto
            “Pagi hari sekitar pukul 05.00 WIB, setelah melaksanakan sholat Subuh berjamaah di masjid yang berjarak 100 meter dari rumah berkonsep rumah toko di pojok gang depan dengan tulisan plang Dusun Kasiyan Gg 2, Pak Budi Purwanto (guru honorer, wiraswasta) yang biasa dipanggil dengan Cak Bud dibantu istrinya bergegas untuk membuka toko miliknya. Selepasnya, ia melakukan aktivitas rutin pagi harinya menjelang pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Sedangkan istrinya Bu Istipayah (ibu rumah tangga, wiraswata, anggota PKK desa, dan tahlilan rutin dusun) yang lebih akrab dipanggil Mbak Is oleh tetangganya, ikut ibu-ibu rumah tangga lain mengumpul pada mlijo – pedagang sayur langganan di dusun tersebut. Sesekali apabila ada ibu-ibu yang memerlukan kebutuhan sehari-hari di tokonya, Mbak Is melayaninya dengan cekatan. Selepas pukul 06.30 ketika dagangan si mlijo telah hampir habis dan tidak ada lagi pelanggan yang datang, Mbak Is akan mengurusi anak-anak dan suaminya yang akan pergi ke sekolah masing-masing. Anas adalah anak pertama dalam keluarga tersebut berumur 17 tahun, laki-laki dan sekarang duduk di kelas 12 SMA. Anas dapat dibilang anak yang patuh terhadap perintah orang tua. Terkadang, ia membantu ibunya di toko. Terkadang juga ia sanggup bermain dengan adiknya Amel, perempuan berumur 13 tahun dan duduk di kelas 7 SMP. Jarak sekolah antara kaka beradik ini dapat dibilang cukup jauh, sehingga untuk transportasi menuju ke sekolah masing-masing Anas dipercayai oleh kedua orang tuanya untuk membawa motor sedangkan adiknya ikut mobil charteran yang mengantarkannya pulang dan pergi sekolah bersama dengan beberapa temannya dari dusun yang sama. Cak Bud juga membawa sepeda motor sendiri untuk ke sekolah tempatnya mengajar, sehingga tiap pagi aktivitasnya dalam keluarga tersebut berjalan dengan lancar.
Menjelang pukul 08.00 WIB, mbak Is akan membuka warungnya yang terletak di sebelah Utara toko dan Barat rumah. Warung yang dibukanya masih berumur 6 bulan. Untuk membagi pekerjaan di toko dan di warung, keluarga ini dibantu dengan karyawan yang direkrut melalui kenalan Cak Bud yakni mantan siswa Cak Bud di sekolah. Warung yang dibuka tersebut menyediakan segala macam kopi dan makanan dari makanan ringan hingga makanan berat. Daya tarik dari warung yang berdiri di atas pondasi sungai desa ini ialah wifi. Tidak dapat dipungkiri, hadirnya wifi di warung ini banyak memikat banyak pembeli, terutama anak-anak di usia remaja yang sedang mengikuti trend menggunakan internet. Sepulang sekolah setelah berganti pakaian dan meminta izin orang tua di rumah, anak-anak SD yang berumur sekitar 9-12 tahun kebanyakan laki-laki mulai memadati warung mbak Is. Tak lain tak bukan tujuan mereka untuk membeli jajanan kemudian memanfaatkan sepuasnya wifi yang disediakan mbak Is. Sampai pada sore hari, ketika Cak Bud dan anak-anaknya pulang dari sekolah, anak-anak SD ini pun masih berada di warung. Mereka akan pulang menjelang waktu sholat Maghrib atau kalau-kalau ada orang tua mereka yang marah menyuruhnya pulang ataupun diajak baik-baik untuk pulang.
Pada malam hari keluarga ini tidak melakukan aktivitas yang sama ketika mereka belum membuka warung. Berkumpulnya mereka di ruang tengah untuk menonton televisi bersama sangat jarang dilakukan, sebab anak-anak telah sibuk dengan gawai masing-masing atau mengerjakan tugas dari sekolah untuk keeseokan harinya. Sedangkan Cak Bud dan Mbak Is melayani pembeli secara bergantian. Tidak jarang, malam harinya Cak Bud ataupun Anas ikut dalam syukuran tetangga, selametan, acara karang taruna, ataupun rapat RT (Cak Bud menjadi bendahara RT 01, Dsn Kasiyan dan anggota LPM[2] Desa). Toko akan ditutup pada pukul 21.00 WIB dan warung ditutup pada satu jam setelahnya. Dengan halaman depan rumah yang di konsep luas, teduh, dan dipenuhi lincak – kursi, bapak-bapak yang jaga malam di dusun berjaga malam di depan rumah mereka. Atau jika ada pertandingan bola, maka diadakan nonton bareng masyarakat dusun di warung hingga pagi”[3].      

Rumah dalam Pandangan Keluarga
            Konsep rumah bagi keluarga ini merupakan tempat berkumpulnya keluarga, dilindunginya keluarga dari segala macam bahaya yang mungkin mengintai, dan sebagai tempat menggantungkan hidup. Sehubungan dengan menggantungkan hidup, rumah bagi keluarga ini merupakan prasarana untuk melakukan usaha wiraswasta mereka. Keluarga yang berpindah kurang lebih 13 tahun yang lalu ini, memilih untuk membangun rumah di Dusun Kasiyan, Desa Pohkecik, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto karena di tempat itulah orang tua kepala tumah tangga dilahirkan. Perpindahan mereka ini, mampu dimanfaatkan dengan baik dengan membuka peluag usaha di tempat tujuan. Keluarga ini memutuskan untuk berpindah ke daerah tempat tinggal kepala rumah tangga dikarenakan ingin memperbaiki nasib, yang sesuai dengan dikatakan Didit Purnomo bahwa “Kondisi sosial-ekonomi di daerah asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan seseorang menyebabkan orang tersebut ingin pergi ke daerah lain yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut” (Purnomo, 2009: 85).
            Adanya keinginan untuk memperbaiki kehidupan dari tempat sebelumnya menjadikan motivasi keluarga ini untuk melakukan wirausaha di rumahnya. Pada awal tahun kedatangan, keluarga ini merenovasi bangunan yang tidak dirawat untuk kemudian dijadikan tempat tinggal mereka. Setahun setelah berdirinya bangunan tersebut, dengan modal yang cukup pasangan suami-istri ini memutuskan untuk berjualan barang-barang yang dibutuhkan sehari-hari oleh masyarakat di sekitar dusun. Melihat keluarga ini berjualan dengan memperhatikan sekitarnya, menandakan keluarga ini mampu memanfaatkan peluang di dusun tersebut yang pada saat itu memang belum ada banyak penjual barang kebutuhan sehari-hari. Berawal dari situlah, sedikit demi sedikit rumah yang semula berkonsep sebagai tempat untuk membagi rasa antar keluarga, kemudian juga menjadi tempat berbagi rasa dengan orang sekitar.  
            Rumah pada keluarga ini juga menjadi tumbuh dan berkembangnya konsep Nrima ing Pandum dalam keluarga ini. Nrima ing Pandum ini diartikan sebagai sikap menerima apa adanya, bukan adanya apa yang dapat membuat orang tidak dapat menerima dengan ikhlas apa yang diberi oleh yang Maha Kuasa. Nilai-nilai seperti Nrima ing Pandum  merupakan nilai luhur etnis Jawa yang secara turun-temurun ada dalam setiap keluarga Jawa. Sehingga, dapat ditunjukkan dengan keluarga yang diobservasi bahwa bahwa apa yang diterima hari ini ialah sebuah kuasa Tuhan, sebab tanpa kehendakNya mereka tidak dapat hidup sampai saat itu. Selain itu, nilai ini juga berbentuk seperti tidak pilih-pilih terhadap makanan meski keluarga tersebut mampu dan sangat berkecukupan untuk membeli makanan mewah setiap hari pun. Hidup secara sederhanalah yang kemudian mengilhami dari nilai Nrima ing Pandum.

Ekpektasi Kehidupan Keluarga
            Motivasi yang selalu dipegang keluarga ini untuk menghadapi hidup ialah mencari kebahagiaan dan kedamaian hidup. Dengan motivasi yang tidak terlalu tinggi namun mencapai arti yang mendalam tersebut, keluarga tersebut tidak hanya berorientasi pada keluarga melainkan juga jika saja mampu untuk memberikan bahagia kepada orang lain maka hal tersebut dilakukan. Sehingga, dalam pencapaian keputusan final memberikan solusi pada suatu permasalahan dalam keluarga dengan adil dan memberikan kedamaian bagi setiap orang di rumah, dilakukanlah musyawarah. Musyawarah ini bagi sebagian individu merupakan “ . . . tempat mengalami otonomi, tempat keterikatan sosial maksimal berkaitan dengan heteromoni yang minimal” (Handayani dan Novianto, 2004: 78). Sehingga tidak heran dalam keluarga tersebut dilakukan musyawarah keluarga untuk mengambil keputusan yang tepat dan dapat memuaskan tiap-tiap individu yang ada. Sebagai keluarga Jawa hal tersebut tidaklah bersifat aneh sebab masyarakat Jawa pun dalam praktiknya merupakan “ . . . individu berada di bawah tekanan terus-menerus untuk mengontrol dorongan-dorongan spontannya dan menyesuaikan diri dari berbagai prioritas. Satu-satunya ruangan yang relatif bebas dari tekanan itu adalah keluarga” (ibid: 77).   
            Kehidupan sehari-hari dalam keluarga berkaitan dengan sikap anak terhadap orang tua dan sikap kakak terhadap adik pada keluarga ini juga merupakan sikap yang mendasari mereka sebagai keluarga Jawa. Dalam buku ‘Keluarga Jawa’ disebutkan “Ajaran penting yang ditanamkan pada anak kecil ialah orang-orang asing yang tak akrab dikenalnya itu dan dipukul rata di bawah istilah wong liya (orang lain) adalah orang yang tidak harus dipercaya” (Geertz, 114) yang mengakibatkan anak-anak tidak banyak dapat berinteraksi dengan orang lain di asa depan dan banyak bersikap pekewuh – sungkan terhadap orang lain, namun akan bersikap sangat menghormati apabila berinteraksi dengan anggota keluarga terutama yang berumur lebih tua. Dalam keluarga Cak Bud, anak-anak juga dibiasakan untuk manut – patuh terhadap orang tua dari perintah, pujian hingga larangannya yang disesuaikan oleh keluarga tersebut dengan ajaran Islam sebagai agama yang mereka yakini.
            Hubungan adik-kakak yang terkandung dalam keluarga Jawa seperti “ Saudara-saudara yang lebih tua diperintahkan menjaga anak yang lebih kecil, dan jika selilsih umur mereka sangat jauh dengan si anak, tindak-tanduk mereka terhadapnya akan mirip orang tuanya walau dalam “edisi diperkecil”” (ibid: 113). Anas sebagai kakak dan anak pertama dalam keluarga ini meski tidak selalu diwujudkan dengan perlakuan yang baik karena biasanya juga bertengkar memperebutkan Sesutu dengan adiknya, Amel namun Anas memberikan setidaknya tetap memberikan stimulus pada pikirannya bahwa ia adalah sosok kakak yang harusnya diteladani oleh adiknya. Sehingga, ia pun terkadang mengajari adiknya untuk mengerjakan tugas di sekolah dan menunjukkan hal baik dan buruk dalam kehidupan.
            Orangtua dalam keluarga ini mempunyai ekspektasi untuk anaknya dalam hal pendidikan. Paling tidak, mereka memiliki keinginan agar anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi. Anas yang sekarang duduk di kelas 12 SMA misalnya, dalam bidang akademik ia termasuk siswa yang pintar ia juga memiliki keahlian dalam tata busana meski belum secara profesional. Ketika ibunya datang ke acara resepsi pernikahan atau acara resmi lainnya yang membutuhkan rias wajah ataupun hair do – tata rambut, ia akan melakukannya untuk ibunya. Sehingga, paa suatu kesempatan ketika penulis bertemu dengan si Ibu menanyakan ingin menyekolahkan Anas kemana, Ibunya menjawab akan memasukkannya ke jurusan tata busana di Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Agak berbeda dengan kakaknya, Amel adiknya tidak begitu pandai dalam bidang akademik, selain itu bakat Amel juga belum terlihat untuk saat ini. Penulis ingat betul pada waktu pendaftaran siswa baru ajaran 206/2017 ke sekolah menengah pertama, karena nilai Amel yang tidak mencukupi untuk mendaftar ke sekolah yang favorit di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, membuta ibunya jengkel setengah mati. Sehingga, agar tidak mengulangi apa yang terjadi saat jenjang sekolah sebelumnya, orang tuanya memberikan kesempatan Amel untuk menambah jam belajar dengan les. Memberi kesempatan seluas-luasnya agar anak dapat berkembang, merupakan jalan yang ditempuh oleh orang tua dalam keluarga ini untuk memajukan anaknya dalam bidang pendidikan.         

Partisipasi Mengejar Bonus Demografi
Pada keluarga di atas, yang akan mendukung terjadinya bonus demografi ialah anak-anak dari keluarga mereka yang lahir pada tahun 2000 ke bawah. Kedua anak dari keluarga tersebut merupakan generasi yang akan diandalkan oleh negara untuk dapat memeberikan kontribusinya, terutama dalam peningkatan tenaga kerja pada tahun proyeksi hingga tahun 2035. Hal tentang anak-anak ini sesuai dengan “ Harapan untuk meningkatkan kualitas modal usaha manusia terletak pada anak-anak yang masuk angkatan kerja mendatang, yaitu mereka yang lahir sekitar tahun 2000 dan seterusnya, yang akan memasuki pasar kerja pada tahun 2028-2031” (_____, 2015: 50)[4].  
Peristiwa yang terjadi pada tahun proyeksi tersebut dikenal sebagai “ Bonus demografi berarti kondisi dimana usia produktif melimpah. Tapi usia produktif saja tidak cukup apabila tidak dapat berkontribusi menggerakkan ekonomi secara positif” (ibid: 64)[5]. Menurut kutipan di atas memang usia produktif saja tidak cukup, artinya harus dimiliki kemampuan yang baik dan tentu tubuh yang sehat menjaga stamina dalam keadaan yang selalu fit untuk terus berproduksi pada tahun-tahun memasuki pasar kerja. Jikapun ada yang perlu dilakukan sebuah keluarga mendukung demografi dapat menganut “ Prasyarat yang bisa mengoptimalisasi bonus demografi : 1. Kualitas Penduduk, 2. Tersedianya Lapangan Kerja yang Berkualitas, 3. Meningktakan Tabungan Keluarga, 4. Terus Menggiatakan Program KB, 5. Meningkatnya Perempuan yang Masuk dalam Pasar Kerja (ibid: 45).[6]
Merujuk pada prasyarat optimalisasi bonus demografi, maka poin pertama merupakan bahasan yang sangat mendasar terjadi pada keluarga yang penulis observasi, terutama pada bidang pendidikan. Pendidikan yang ditujukan untuk anak mereka merupakan upaya orang tua dalam memenuhi prasyarat yang diajukan bagi anaknya kelak yang memasuki usia produktif saat terjadinya bonus demografi. Dikatakan pada sebuah tulisan “ pendidikan merupakan sebuah komponen utama dalam membangun manusia yang handal dan menjadi hal yang paling mendasar yang harus dipenuhi untuk mewujudkan tujuan pembangunan” (Rustiadi, 2011: 225)[7]. Mempersiapkan anak masuk ke jenjang pendidikan yang lebih bawah seperti PAUD[8] juga merupakan salah satu bentuk dukungan orang tua mempersiapkan anaknya sejak dini untk mengenyam pendidikan yang layak untuk kehidupan mereka di masa mendatang. Persiapan-persiapan yang seperti ini nantinya mampu mencapai paling tidak tujuan dasar adanya fenomena pendirian PAUD di desa-desa.
Kebutuhan pendidikan sejak dini ini dapat dijadikan acuan bagi Indonesia “ Berdasarkan UU nomor 17/2007 sosok manusia Indonesia yang akan dicapai pada tahun 2025 adalah manusia Indonesia yang cerdas, tangguh, kompetiif, berakhlak mulia dan bermoral (Hardinsyah, 2011: 83)[9] . Sehingga, bukanlah fakta yang bersifat aneh bahwasnnya sekarang pun anak usia 1-2 tahun sudah dimasukkan ke sekolah. Memperkenalkan lingkungan yang baru merupakan salah satu bentuk pengadaptifan diri bagi anak, yang kedepan diharapkan mampu untuk memberikan kontribusi baik dalam dunia kerja. Adaptif di sini kemudian dapat merujuk ke adaptifan bagi seseorang yang bekerja dan ada di dunia yang baru (pasar kerja). Dengan keadaptifan yang telah didapat sebagai pengalaman hidup sejak usia dini, pada masa bonus demografi sedang gencar-gencarnya terjadi maka kemampuan, kesehatan, dan selruh aspek pendukung di masa lalu dijadikan modal yang baik di masa mendatang.
Ada lagi yang menjadikan keluarga ini dapat diteladani oleh keluarga sekitar rumah mereka sebagai keluarga yang berpatisipasi dalam pembangunan masyarakat. Salah satunya ialah mau bekerja keras dan tidak ragu untuk mengambil keputusan. Saat melakukan perpindahan, bukan tidak mungkin bagi keluarga ini membuat keputusan yang sangat menggantungkan bagi kehidupan mereka selanjutnya. Secara tidak langsung memang “Perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan menjadi salah satu bagian dari proses pembangunan” (Purnomo, 2009: 84). Meski pada kenyataannya, keluarga tersebut tidak pindah ke kota dan tetap pindah ke desa yang lebih maju daripada desa yang mereka tinggali sebelumnya, namun dapat dikatakan keluarga tersebut memang mendukung adanya pembangunan dalam masyarakat. Dibukanya toko dan warung dan usaha wiraswasta lain pada keluarga tersebut merupakan bentuk dari dibukanya peluang kerja bagi tenaga kerja pada usia produktif, meski sebagai pramuniaga di toko. Dari warung yang dipasang wifi juga memberikan peluang bagi anak-anak untuk memanfaatkan lebih baik fasilitas yang ada. Sebab tidak semua warung di desa-desa di Indonesia memiliki fasilitas tersebut. Namun, pada kenyataannya karena dalam pengelolaan warung keluarga ini belum begitu baik, konten-konten yang ditawarkan di internet belumlah diseleksi. Pengawasan terhadap mereka yang masih di bawah umur pun terkadang tidak terlalu ketat, disebabkan keluarga pemilik ini sibuk dengan urusan yang lain.  
Selain itu, agar anak-anaknya yang diandalkan sebagai penerus ekonomi rumah tangga keluarga tersebut dan penerus ekonomi dari negara, kedua orang tua dari keluarga ini tidak dapat langsung memisahkan anak-anak mereka dari nilai-nilai Jawa yang telah dianut kedua orang tuanya sejak kecil pula. Pada nikmat yang kuasa yang tiada henti, keluarga ini memang memilih Nrima ing Pandum sebagai bukti bahwa mereka bersyukur atas karunia yang diberikan pada keluarga ini. “Everyone also has the moral responsibility to maintain the harmony and the existence of the whole larger unit, and therefore they have to accept their ‘destiny’. A good Javanese, therefore, must also be able to be narima/trima ‘accepting’.9 He who is narima/trima ‘accept[s] his station in life and his fate with an attitude of grateful acceptance’ (Mulder, 2005: 53 via Murtisari, 2013: 113)[10]. Lancarnya usaha dibarengi dengan rasa bahagia dan damai di dalam keluarga maupun di luar dengan tetangga serta lingkunga sekitar sebagai motivasi hidup keluarga ini yang sesuai dengan  nilai budaya Jawa inilah yang membentuk karakter anak-anak mereka ke depan sebagai penerus generasi keluarga dan bangsa.

Kesimpulan
Pemanfaatan yang baik atas peluang yang ada pada kasus perpindahan sebuah keluarga dengan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang baru dan berbeda dari tempat asal menjadi dasar untuk bertahan hidup saat sebuah keluarga melakukan perpindahan. Penguasaan pengetahuan adaptasi tersebut bertujuan agar tidak terjadi culture shock ­– kejutan budaya pada masyarakat yang di daerah asal maupun tujuan memiliki budaya yang berbeda.  Sikap adaptif terhadap lingkungan tersebut juga memberikan efek berkepanjangan untuk kehidupan yang lebih baik. Bentuk-bentuk efek tersebut dapat berupa mampunya sebuah keluarga memfilter hal-hal yang dianggap baik dan buruk dalam urusan anak-anak mereka. Sehingga, mengambil keputusan tidak dilakukan dengan cara yang sembarangan dengan memberikan efek negatif pada perjalanan kehidupan keluarga di kemudian hari.
Sejalan dengan pemikiran bonus demografi, maka tidaklah mungkin keluarga sebagai sarana pertama dan utama pemberian pendidikan secara formal harus berperan penting. Mendukung kualitas penduduk sehingga tidak terjadi jumlah yang lebih banyak untuk kemiskinan desa dan kota dengan cara sederhana namun dapat mengubah secara perlahan menjadi tolak ukur keberhasilan peningkatan kualitas penduduk dalam mengejar bonus demografi. Setiap kelahiran yang ada hingga tahun ini dan mampu bertahan untuk mengatasi kehidupan ini ialah pemenang paling tidak untuk diri sendiri dan keluarga yang menanungi. Dorongan atau motivasi yang kuat dari keluarga menyambut adanya bonus demografi yang tidak didapatkan Indonesia selamanya dapat berupa paling tidak memenuhi pada poin-poin awal prasyarat terjadinya bonus pada bagian ‘ partisipasi keluarga dalam mengejar bonus domografi’. Salah satu contoh keluarga yang berpikiran terbuka pada bonus ini akan memberikan kontribusi paling tidak dengan mempersiapkan anaknya dengan mengikutsertakan anak sedini mungkin mengenal sekolah atau lembaga pendidikan lain yang menunjang usia produktifnya nanti dan mengoptimalisasi segala aspek perkembangan anak secara fisik, kognitif, bahasa, sosial, dan emosional.    

Daftar Pustaka
____. 2015. Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia, Jakarta: KOMINFO.
Geertz, Hildred. 1984. Kelurga Jawa, Jakarta: Grafiti Press.
Handayani, Christina S dan Novianto, Ardian. 2004. Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LKiS.
Hardinsyah. 2011. ‘ Peningkatan Kualitas Manusia Berdasarkan IPM dalam Menuju Desa 2030, Bogor: Penerbit Pohon Cahaya.  
Purnomo, Didit. 2009. Fenomena Migrasi Tenaga Kerja dan Perannya  Bagi Pembangunan Daerah Asal:  Studi Empiris di Kabupaten Wonogiri, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10, No.1, Juni 2009, hal. 84 – 102.
Murtisari, Elisabeth Titik. 2013. Some Traditional Javanese Values in NSM: From God to Social Interaction, International Journal of Indonesian Studies, Vol 1, hal 110-125.
Rustiadi, Ernan. 2011. ‘ Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam Mendukung Konsep Agropolitan dalam Menuju Desa 2030, Bogor: Penerbit Pohon Cahaya.       




[1] Lihat ____,2015, Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia, Jakarta, Kominfo, halaman  
[2] Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.
[3] Data diperoleh dari observasi terhadap keluarga yang bersangkutan.
[4] Dalam buku ­____, 2015, Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia, Jakarta, KOMINFO.  
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Dalam artikel Rustiadi, Ernan. 2011, ‘ Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam Konsep Agropolitan’ dalam buku Menuju Desa 2030, Bogor, Percetakan Pohon Cahaya.
[8] Pendidikan Anak Usia Dini.
[9] Dalam artikel Hardinsyah, 2011, ‘Peningkatan Kualitas Manusia Berdasarkan IPM’ dalam buku Menuju Desa 2030, Bogor, Percetakan Pohon Cahaya.
[10] Pada Journal of Indonesian Studies, Vol. 1, 2013.

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��