Tugas UAS: Perkembangan Antropologi Terapan dan Pemberdayaan Masyarakat
1.Perkembangan Antropologi Terapan pada Masa Kolonial
Antropologi terapan muncul sebagai
bentuk ekspansi Eropa untuk menaklukkan daerah yang ingin dikuasai di benua
Amerika, Australia, Asia, dan Afrika pada abad 18, berkembang pesat pada abad
19 dan awal abad 20. Antropologi sebagai
ilmu yang mempelajari perbedaan, persamaan dan persebaran manusia pada masa itu
digunakan sebagai administrasi penjajahan, kegiatan politik dan ekonomi
penjajah. Salah satu contoh antropolog yang menggunakan ilmunya tersebut ialah
J. Embree, A. Leighton, dan E. H. Spicer yang melakukan penelitian mendalam
terhadap tawanan Jepang secara antropologi untuk memperbaiki keadaan para
tawanan tersebut selama Perang Dunia II (Embree, 1943; Leighton 1945; Spicer
1946 via Koentjaraningrat, 1990: 240). Teori-teori yang digunakan berupa
teori-teori perubahan seperti difusi, akulturasi, resistensi dan
ambivalensi.
2. Perkembangan Antropologi terapan pada Era Modernisasi atau
Pembangunan
Setelah akhirnya negara-negara jajahan
mulai merdeka satu per satu dari tangan penjajah, ada keinginan dari mereka
untuk membangun negaranya tersebut dan memajukan ekonomi mereka sehingga dapat
keluar dari jurang kemiskinan. Proses tersebut tentu tidaklah benar-benar
secara mandiri dilakukan oleh negara-negara tersebut. Masih ada uluran tangan
dari negara-negara Barat yang secara suka rela membantu. Ekonomi pembangunan
merupakan wujud yang pencapaian usaha negara-negara yang mulai berkembang ini.
Beberapa masalah yang dikaji meliputi:
“ 1. Masalah dualisme ekonomi yang
ada antara ekonomi rakyat pedesaan dan ekonomi yang ada antara ekonomi rakyat
pedesaan dan ekonomi nasional berdasarkan perdagangan internasional, 2. Masalah
perdagangan internasional itu sendiri, 3. Masalah strategi pembangunan ekonomi,
4. Masalah manusia dan sikap mental manusia-manusia yang harus membangun
ekonominya, 5. Konsepsi marxisme dalam pembangunan nasional” (Koentjaraningrat,
1990: 244).
W. W. Rostow menuliskan dalam bukunya ‘ Stages of Economic Growth’
mengenai tahapan pembangunan ekonomi yang meliputi:
1. Tahap masyarakat tradisional – masyarakat baru memulai
pembangunan.
2. Tahap preconditions of take off – persiapan masyarakat
memasuki industrialisasi.
3. Tahap take off – faktor
ekonomi sudah cukup kuat bagi ekonominya untuk tumbuh sendiri.
4. Tahap drive to maturity –
masyarakat sudah mampu secara ekonomi untuk berkembang menjadi masyarakat
makmur atas kekuatannya sendiri.
5. Tahap age of mass consumption
– tahap di mana masyarakat telah menikmati hasil produksi massanya sendiri.[1]
Tahapan yang ditawarkan di atas, menjadi bahan evaluasi bagi
beberapa akademisi di dunia maupun di Indonesia. Sehingga pada masa selepas
kemerdekaan di Indonesia terutama pada masa orde baru (Orba) para sarjana
antropologi Indonesia menjadi bagian dari pembangunan yang digalakkan oleh
rezim Soeharto. Salah satu contoh program yang dilakukan ialah keluarga
berencana, transmigrasi (bedol desa), penanganan masalah SARA(Suku, Agama, Ras,
dan Antar Golongan), dan pelestarian kebudayaan daerah. Perjalanan yang
dilakukan dalam semangat pembangunan masyarakat desa yang sifatnya perintah
dari atas ke bawah ini, ditindak lanjuti oleh antropolog Indonesia sesuai
dengan perkembangan antropologi terapan itu sendiri pada masa 1970-an[2].
3. Perkembangan Antropologi Terapan Kritis
Babak baru pada antropologi terapan
telah terbuka kembali setelah ditemukannya adanya lubang-lubang pada
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Para antropolog pada tahun 1980-an
telah terbuka wawasannya terhadap wacana-wacana yang diajukan pemerintah untuk
pembangunan terutama pada masyarakat desa yang telah terhegemoni dengan
sikap-sikap yang dibawa oleh ‘orang luar’ desa tersebut. Pekerjaan yang utama
pada masa ini ialah mengkritisi pembangunan yang telah ada dan melakukan
kritisi wacana dengan kepenulisan etnografi baik artikel, buku, ataupun jurnal
ilmiah bahkan di koran sebagai wacana tandingan yang dapat digunakan untuk
melakukan proses pemberdayaan masyarakat yang seharusnya.
Contoh tokoh pada masa ini ialah P.M
Laksono dengan artikelnya mengenai masyarakat di lereng gunung merapi yang
diharuskan relokasi atau melakukan transmigrasi oleh pemerintah pada saat
terjadi letusan gunung merapi. Namun bagi antropolog, hal semacam ini keliru
namun diabaikan saja oleh pemerintah. Masyarakat memiliki mitigasi bencana
sendiri sebagai bentuk kearifan lokalnya sehingga dari antisipasi secara
adaptif yang mereka lakukan sebagai bentuk kepercayaan juga tersebut mereka
lebih dapat menyelamatkan diri daripada harus pindah sesuai dengan saran
pemerintah. Michael R. Dove juga merupakan antropolog yang mengapresiasi
bentuk-bentuk dari kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, terutama
masyarakat Indonesia. Selai itu ada Robert Chambers yang menerbitkan buku
‘Pembangunan Desa Mulai dari Belakang’ dan mengilhami sebagian besar sarjana
antropologi di Indonesia yang bergerak pada bidang antrpologi terapan untuk
melakukan pembangunan yang lebih manusiawi terutama di bangsa sendiri.
Sumbangan-sumbangan yang dilakukan
antropolog Indonesia pada zaman ini ialah mengapresiasi bentuk-bentuk lokal
masyarakat Indonesia yang beragam. Selain itu, kerja antropolog untuk mengubah
pendekatan-pendekatan antropologi untuk pembangunan bangsa Indonesia berupa
pula pendekatan secara atas ke bawah yang diubah menjadi bawah ke atas,
pendekatan partisipatif, penguatan modal material ke modal sosial, dan
pendekatan yang mengejar pertumbuhan ke keadilan sosial[3].
4. Perkembangan Antropologi Terapan Aksi
dan Perbedaan dengan Antropologi Terapan
Masih pada era reformasi di
Indonesia terjadi perubahan yang signifikan pula pada antropologi terapan.
Antropologi terapan yang dulunya hanya berupa kritik wacana atau wacana
tandingan terhadap masalah pembangunan berubah menjadi antropologi yang juga melakukan
aksi sesuai dengan melakukan advokasi atau pendampingan kepada masyarakat 3T
(Terpencil, Terluar, Tertinggal). Pendampingan-pendampingan ini diwujudkan oleh
antropolog dengan terjun langsung ke masyarakat dan mengetahui seluk-beluk
permasalahan serta mencarikan solusi terbaik bersama dengan masyarakat yang
memiliki masalah tersebut. Posisi antropolog pada bentuk aksi ini ialah sebagai
orang ketiga yang menengahi segala urusan, serta ikut menjadi fasilitator, community
of organizer, mediator, dsb. Selain itu dengan adanya aksi dari antropolog
ini, diharapkan masyarakat yang mendapatkan pemberdayaan memiliki keterampilan
yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan atas masalah yang mereka hadapi.
Dari segi akademis para antropolog yang terjun untuk antropologi
aksi ini sendiri membuat bermacam-macam bentuk tulisan seperti policy brief,
policy paper, input paper (berupa gagasan/proposal), naskah
akademik, opini, artikel kritis, hingga TOR (Term of Reference). Wujud
aksi bisa juga dalam bentuk road show dalam bentuk unjuk rasa, ikut
dalam OMS (Organisasi Masyarakat Sipil), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan
bergabung pula dalam tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Contoh kerja
antropolog Purwanto Iskandar dalam menangani kesejahteraan hidup masyarakat pada
masyarakat di Sulawesi pada bidang kesehatan masyarakat. Ditemukan olehnya
masyarakat tidak mendapatkan akses kesehatan yang layak karena kepercayaan
lokal mengenai seorang penyembuh (dukun) masih dipegang oleh masyarakat,
sedangkan dari pemerintah menawarkan ilmu kedokteran modern masuk ke masyarakat
yang menyebabkan terjadi banyak kematian pada bayi. Mengatasi hal tersebut, ia
melakukan pelestarian institusi lokal (dukun yang dipercayai masyarakat yang
dapat menyembuhkan orang sakit) dan institusi sosial masyarakat di sana.
Sehingga gabungan dari keduanya dapat
membawa solusi terbaik bagi masyarakat di sana.
Perbedaan Antropologi Terapan dan Aksi
No
|
Faktor Pembeda
|
Ilmu
|
|
Antropologi Terapan
|
Antropologi Aksi
|
||
1.
|
Definisi
|
Cabang dari antropologi yang mempelajari tentang pengaplikasian
ilmu antropologi dalam masyarakat.
|
Bagian dari antropologi terapan yang memberikan aksi nyata dan
tidak hanya sekadar wacana untuk mendukung pemberdayaan masyarakat di segala
bidang kehidupan dengan asas-asas yang dimiliki oleh antropologi.
|
2.
|
Karakteristik
|
Mengaplikasikan antropologi sebagai ilmu hingga pada kritik
terhadap wacana yang telah terhegemoni dalam masyarakat.
|
Mengaplikasikan antropologi sebagai ilmu hingga terjun langsung
ke masyarakat dan melakukan pendampingan, penguatan, dan pengorganisasian.
|
3.
|
Solusi Pendekatan
|
Artikel, jurnal
|
Policy brief, policy paper, input paper (berupa
gagasan/ proposal), naskah akademik, opini, artikel kritis, hingga TOR (Term
of Reference), unjuk rasa, pendirian LSM, OMS, dan kegiatan tanggung
jawab sosial perusahaan.
|
4.
|
Trend Kemunculan
|
Tahun 1980-an
|
Tahun 1990-an
|
5.
|
Cara Kerja
|
Aktif, kritis
|
Aktif, kritis, terjun pada masyarakat.
|
Persamaan
|
|||
Menjamin solusi terbaik terhadap permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat terutama masyarakat 3T (Terpencil, Terluar, Tertinggal).
Menjamin kesejahteraan yang berbasis keadilan sosial.
|
5. Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Permasalahan:
Hegemoni memiliki arti
penundukan tanpa kekerasan. Hegemoni ini sendiri kehadirannya tidak disadari
oleh masyarakat dan terkadang menganggap wajar dengan apa yang dihadapinya.
Contohnya perempuan desa merasa wajar untuk tidak mendapat pendidikan tinggi
karena anggapan wilayah profesi perempuan ada di ranah domestik saja. Selain
itu, permasalahan yang lain ialah kesadaran semu (false consciousness)
dengan contoh budaya patriarki yang membiarkan laki-laki lebih berkuasa
dibandingkan perempuan dari segi agama, rezim pasar (kapitalis), KB dan contoh
lain adalah dengan dinasionalkannya beras sebagai makanan pokok Indonesia. Hegemoni
dan kesadaran semu di atas menjadi permasalahan yang masih sering dihadapi oleh
masyarakat Indonesia. Keberadaan hegemoni yang tidak sesuai dengan realitas dan
rasionalitas yang berlaku serta dengan mengubah kesadaran semu menjadi
kesadaran kritis maka diharapkan dapat diatasi dengan beberapa strategi
pemberdayaan di antaranya:
-
Wacana
Tandingan
Kesadaran semu akan patriarki dapat
dihilangkan secara berangsur-angsur melalui media yang dapat menyampaikan
dengan baik cara menandingi superioritas laki-laki. Melalui media massa, cetak,
sosial media, forum komunikasi, forum pertemuan, forum dialog resmi, forum
dengar pendapat, naskah akademik, kebijakan, hingga media hiburan yang mengulas
mengenai ketangguhan perempuan untuk menanggulangi superioritas atas rezim
patriarki.
Tidak semua wacana tandingan bisa
disebut ‘wacana tandingan’. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti:
o
Hasil
yang dirujuk oleh berbagai stakeholder
o
Kredibel
o
Dapat
dipercaya (berupa argumen dari kajian/studi)
-
Penguatan
Kapasitas
Strategi ini mengacu pada
penggerakan masyarakat untuk dapat diarahkan pada aspek pengetahuan,
keterampilan/skill, atau tergantung bidang yang dikerjakan oleh masyarakat yang
tidak harus pengetahuan baru tetapi juga membangkitkan pengetahuan lokal.
Contoh: Desa wisata.
-
Pengorganisasian
Masyarakat
Akademisi diharapkan mampu bekerja
sama dengan masyarakat memperjuangkan kepentingannya. Cara-cara yang dilakukan
di anatarnya:
o
Konsolidasi
Menyelesaikan visi
Analisis kepentingan atau masalah dalam pelaksanaan program
o
Kepengurusan
Organisasi
o
Penguatan
Organisasi
Perencanaan program
Penganggaran
o
Penguatan
Jaringan dan Kerjasama
o
Pengembangan
Sumber Fundraising
-
Advokasi
Kebijakan
Mengacu pada ‘pro-poor’ advokasi ini
bertujuan untuk pembelaan terhadap masyarakat sipilyang bias terhadap elit,
karena kegagalan demokrasi dan pertumbuhan yang tidak merata. Bentuk aksinya
ialah:
o
Class
Action
o
Policy
Paper, Policy Brief
o
Akses
dan Kontrol terhadap Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan
-
Pendampingan
di Lapangan
Memfasilitasi secara partisipatoris
masyarakat merupakan bentuk pendampingan di lapangan ini. Bentuknya ialah
partisipasi aktif dalam mendorong proses kemandirian kelompok sasaran dan
memperkuat kapasitas masyarakat agar mampu mengenali dan berhasil dalam memecahkan
masalah dengan kekuatan sendiri dan dukungan dari mitra secara sejajar. Masalah
utama dalam pendampingan ini ialah ‘kemiskinan’ karena masyarakat memiki
keterbatasan akses dan kontrol terhadap sumber daya produktif, keterbelakangan
dan kebodohan, serta diskriminasi gender.
-
Fundraising
Agar sebuah program pemberdayaan masyarakat dapat berjala dengan
lancar, maka dibutuhkan dana yang mencukupi. Strategi yang dapat dilakukan untuk
pendanaan haruslah berkelanjutan, akuntabel, stabil, dan memadai. Untuk itu
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut ialah dengan iuran
keanggotaan (membership) dengan semangat bershadaqoh dan didikan rela
berkorban. Donasi publik – dengan membangkitkan rasa kemanusiaan. Kegiatan
ekonomi – wirausaha sosial, contoh: LSM. Pendanaan dari pemerintah secara
merata untuk internasionalisasi contoh: UNDF. Perusahaan – tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR). Lembaga donor non-profit, non-pemerintah, non-swasta
contoh: KEHATI (Indonesia).
[1]
Diolah dari Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi II,
Jakarta: UI Press, halaman 248-247.
[2]
Diolah dari Hudayana, Bambang, 2017, Pemberdayaan Masyarakat Bunga Rampai
Antropologi Terapan, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, halaman 1-2.
[3]
Diolah dari Hudayana, Bambang, 2017, Pemberdayaan Masyarakat Bunga Rampai
Antropologi Terapan, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, halaman 7
NB: Sebuah catatan kuliah
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu