Kemarau

Tebak bagaimana keringnya? 
Sampai pecah-pecah
Memangnya, kering yang dimana? 
Ini (nunjuk hati 😂)

Tidak salah, ini juga karena musim kemarau. Kalau tidak, mengapa tannte dan om yang di sana membuat apapun menjadi bentuk kipas untuk menimbulkan angin di sekitarnya? Mereka juga meminum es yang terlihat segar di mataku. Tidak hanya mereka, adik-adik dan teman sebaya pun ikut meminumnya. Sedang aku masih sibuk mengusap keringat yang sebesar biji jagung. 

Aku duduk di kursi yang disediakan penjual es. Menanti pesanan, sembari membuka pesan dari aplikasi yang dapat menghubungkan keinginan manusia saat ini. Ada komplain dari sebuah grup chat yang beranggotakan lima belas orang. Aku buru-buru memahami isinya, sambil menyeruput es. Ingin kuberkata kasar sejenak, yang sudah kulakukan dalam hati sebenarnya. Isi percakapan yang buat menelan ludah sendiri, sombong, dan tak tahu diri. Percakapan tentang 'air' yang menjadi topik sensitif di kemarau ini. Lebih tepatnya bagaimana air dibagi untuk sekadar mandi. Komplain memang keharusan untuk membangun kepekaan, tapi komplain yang semacam ini harus dengan reflektivitas diri sebelum berani mengatakan. 

Semacam aku yang hanya ingin berkata"

" Sebelumnya kalian mestinya paham ini musim kemarau. Mau minta sekencang apa aliran air mengucur melalui kran kalian, setidaknya kalian juga paham. Mematikan kran kalian dengan benar merupakan tindakan yang tidak menyia-nyiakan air bagi manusia selain kalian dan makhluk lain yang sedang kekeringan. Menutup rapat saja tak bisa, mau minta pembagian air rata? Mana bisa. Kalian harus mengaca." 

Kubayar sudah es yang mendinginkan pikiran pun hatiku. Penjual es tersenyum, berkata terima kasih.    

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��