HIV/AIDS dan Dilema Masyarakat Thailand

Thailand merupakan bagian dari perserikatan negara-negara di Asia Tenggara, dengan kondisi negara yang lebih maju di antara sembilan negara lainnya. Kemajuan negara gajah putih ini, terutama disokong oleh sektor pariwisatanya. Selain dikenal sebagai negara seribu candi sebagai pesona wisata, negara ini juga dikenal dengan wisata dunia malamnya yang gemerlap, seperti halnya prostitusi sebagai salah satu dari sekian banyak sajian wisata yang terdaftar sebagai menu sajian di Thailand dan merupakan wisata andalan.
Prostitusi di Thailand dapat dijumpai di daerah Patpong, Bangkok atau di daerah Chiangmai dan Chiangrai. Titik-titik daerah tersebut pula, merupakan tempat epidemi[1] HIV/AIDS di Thailand. Dengan adanya praktik-praktik prostitusi yang dibuka di daerah tersebut, maka dapat kita jumpai HIV/AIDS  menjadi endemik[2] di suatu daerah dikarenakan perilaku masyarakat yang keliru ataupun persepsi masyarakat yang keliru sehingga mengakibatkan terjadinya virus tersebut mengenai perilaku seks yang terjadi. Sebelum membicarakan lebih jauh tentang HIV/AIDS, perlu diketahui virus HIV/AIDS dapat diartikan sebagai:  
“AIDS  atau Acquired Immuno Deficiency Syndrom merupakan kumpulan gejala penyakit yang pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 di Amerika Serikat. Virus yang disebut HIV (Human Immuno Deficiency virus), yang diidentifikasi pada tahun 1983 sebagai penyebabnya. HIV adalah virus RNA, merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV terdiri dari 2 sub-type, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Virus ini menyerangsel limfosit-CD4 (salah satu sel darah putih).”(Sidang Kabinet Khusus, 2002: 1)
Berdasarkan data di atas dapat diperkirakan bahwa virus tersebut menyerang sel darah putih[3] yang merupakan bagian terpenting dalam sistem pertahanan dan kekebalan tubuh manusia. Virus ini memang tidak dapat menular hanya dengan melalui udara, namun virus HIV yang menjadi penyebab utama terjadinya AIDS di negara Thailand sangatlah cepat penyebarannya. “Since 1984 there have been constant campaigns alerting the public in Thailand to the dangers of HIV, AIDS, and sexually transmitted diseas” (Waugh, dkk, 1993: 393)
Ditemukannya virus HIV di negara Amerika pada sekitar tahun 1980, ternyata membawa peringatan penting untuk wisatawan agar berhati-hati dalam melakukan perjalanan pada sekitar tahun tersebut. Negara Thailand sebagai negara yang besar wisata prostitusinya menjadi salah satu momok bagi warga negara lain yang ingin berkunjung ke negara Thailand. Seperti dilansir pula dari berita pada salah satu portal berita website pada tahun 2014 mengungkapkan “ Satu dari tiga pria gay di negara itu kini positif HIV, meskipun banyak yang tidak tahu.”[4] Ketidaktahuan seseorang mengenai virus yang sedang dideritanya memungkinkan negara Thailand berupaya lebih untuk mengatasinya, terutama dalam menunjang ekonomi negara terseut dari sektor pariwisata.    
Upaya negara Thailand mengembalikan dan memulihkan sektor perekonomiannya melalui pariwisata memang mengalami kemerosotan pada masa tersebut. Namun dengan sikap siaga, Thailand kemudian dapat menanggulangi masalah virus HIV yang sedang mengancam. Bukti kesigapan tersebut dapat dilihat pada pernyataan Gabriel Riedner dan Karl L. Dehne:    
During the early 1990s, awareness of the HIV/AIDS threat rapidly increased, as prevention activities dramatically expanded. Surveillance now acquired yet another dimension: it was supposed to monitor measurable changes in drug use and sexual behaviours as a result of HIV prevention efforts. In 1993, the national behavioural survey was repeated, and a behavioural surveillance system was established in Bangkok. (Riedner dan Dehne, 1999: 29)
Selain mengatasi isu tersebut, Thailand juga melakukan tindakan pencegahan dalam rangka mengurangi jumlah penderita HIV. “Thailand’s strategy for HIV/AIDS prevention and care has evolved through a number of stages. The evolution of the policy may be categorized into three main phases – confrontation with the new epidemic; creation of unified alliances; and alleviation of the consequences of HIV/AIDS” ( Phoolchareon, 2002: 1)
Tindakan selanjutnya dalam upaya mengatasi masalah pencegahan tersebut, Bank Dunia selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengelolaan ekonomi dunia, ikut dalam pelaksanaan program dan memantau perkembangan virus tersebut. “Dalam menghadapi epidemi yang meluas, Thailand berada di garis terdepan dalam program pencegahan, mobilisasi masyarakat sipil dan pembentukan komitmen politis” (Bank Dunia, 2003: 6) Pemaparan dari hasil pantauan Bank Dunia ini berkaitan dengan respon cepat raja dan jajarannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Thailand dalam menanggapi kasus HIV di Thailand sendiri.  
The HIV/AIDS strategy has evolved to become an integral part of broader political reform in terms of decentralization, universal health care coverage and public sector reform. Evaluations should be conducted to assess the capabilities of local authorities and communities to manage the extensive endeavours of the HIV/AIDS programme. As financial support from central authorities declines, the firmness of the foundation of Thai society with respect to its ability to cope with the AIDS threat will be tested.” (Phoolcaeron, ibid: 7)
Politik desentralisasi membebaskan tiap provinsi di Thailand memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya. Begitupun dengan penanganan HIV/AIDS meskipun dana yang didapat dari pusat tak memadai, pemerintah daerah berusaha untuk mencakup dan menjangkau perawatan kesehatan yang memadai untuk ODHA di daerah. Lembaga-lembaga swadaya dan yayasan yang dirikan oleh masyarakat secara tegas ikut memberi dukungan untuk penanggulangan HIV/AIDS di daerah.   
Hospice[5] untuk ODHA di Thailand
            Bentuk kepedulian masyarakat, pemerintah, serta semua subyek pembangun negara dalam mengatasi kasus HIV/AIDS di Thailand ditunjukkan dengan dibangunnya hospice sebagai tempat ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). ODHA Thailand  merasa  mereka  dianggap sama seperti manusia dengan keadaan normal dan sehat dengan adanya hospice. Bentuk kepedulian ini berawal dari kesadaran pemerintah yang memberikan praktik langsung kepada masyarakat, sehingga kesadaranpun timbul pula di tengah-tengah masyarakat akan pencegahan virus HIV.
            Hospice yang dikhususkan untuk ODHA di Thailand memiliki keunikan dari hospice lain di negara lain. Hospice dikelola oleh para biksu dan biksuni. Biksu dan biksuni itu pula yang melakukan perawatan terhadap para ODHA. Hospice untuk ODHA di Thailand berada pada suatu lingkungan yang jauh dari masyarakat umum yang tak terjangkit oleh virus HIV. Ajaran Buddha menjadi dasar untuk perlakuan terhadap ODHA yang berada di hospice.
The Buddha taught about suffering.  He taught about the cause of suffering, the cessation of suffering and the path leading to the cessation of suffering. The impact of HIV and AIDS is suffering.  And just as there is a cause for all suffering, there is a cause for the suffering related to HIV and AIDS.  The cessation of suffering related to HIV and AIDS also exists and there is a path leading to the cessation of this suffering.” (Maund dan Metta, 2006: 24)
Pembelajaran pertama yang perlu diperhatikan dalam lingkup masyarakat Thailand untuk menjadi sadar akan bahaya virus HIV ialah bahwa dengan dihadapkannya mereka pada situasi Buddha sebagai agama yang mereka anut. Buddha mengajarkan pada kaumnya untuk sling membantu. Oleh karena itu,  biksu dan biksuni membantu ODHA dalam perawatan selama sakit, sehingga dengan teladan dari pemangku-pemangku agama tersebut maka masyarakat ikut tergerak untuk  serta dalam gerakan menanggulangi dan mencegah terjadinya HIV. Dalam naungan hospice, ODHA akan diajarkan untuk selalu berserah diri, yang sesuai dengan tata cara agama Buddha dalam melakukan ritual keagamaan. HIV/AIDS sendiri pada ODHA di Thailand diartikan sebagai bentuk penyerahan diri untuk lebih mendekatkan diri pada dewa yang bisa dilihat sebagai bentuk ibadah. Sehingga dengan diasingkannya seseorang ke area hospice, maka mereka akan lebih banyak mendapat ketenangan dalam melakukan ibadah.
It aims to enable monks and nuns to consider how they can lead their communities in action to prevent the spread of HIV and its negative impacts, to offer care and support and to promote compassion for those living with HIV and AIDS and/or their families”.(Ibid: 1)
Tujuan yang diberikan oleh biksu dan biksuni di hospice, sebenarnya ialah bentuk lain teladan bagi keluarga pengidap HIV/AIDS di Thailand agar lebih peduli terhadap sanak saudaranya yang terinfeksi. “penyediaan perawatan yang komprehensif, termasuk program kesejahteraan dan penyediaan TAR untuk meningkatkan kualitas kehidupan.” (Departemen Tenaga Kerja RI, 2005: 13)
Pencapaian tujuan hospice di Thailand memang tidak sepenuhnya gagal dan tidak pula sepenuhnya berhasil. Pemberian  asuhan paliatif terhadap ODHA berupa pemberian obat-obatan kimiawi dan ramuan herbal juga diberikan di hospice. Keterlibatan keluarga sebenarnya tidak sekedar menitipkan anggota keluarganya yang terinfeksi untuk dirawat oleh biksu dan biksuni di hospice, kemudian tanpa mereka melakukan kunjungan lagi setelahnya. Dukungan moral yang diberikan keluarga merupakan hal penting untuk kesembuhan ODHA.
Hospice yang tak terjangkau jarak dengan keluarga dan hanya dilayani oleh orang-orang khusus saja yang berhak atas ODHA, sebenarnya tidaklah begitu memberi rasa nyaman dan keuntungan bagi ODHA. Kehadiran keluarga untuk selalu siap sedia, dibutuhkan oleh seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus HIV/AIDS begitu halnya ODHA. Dukungan keluarga yang  minim pada hospice untuk ODHA menjadi kelemahan bagi ODHA untuk peningkatan kualitas hidup penderita. Bahkan terkadang, apabila terdapat pasien hospice yang meninggal, abu jenazah dari orang tersebut tidak diakui sebagai milik dari keluarga tertentu, karena masyarakat Thailand merasa malu untuk memiliki keluarganya yang positif HIV/AIDS. 
    Kecenderungan keluarga ODHA untuk acuh tak acuh terhadap anggota keluarga yang ada di hospice, merupakan dilema tersendiri bagi masyarakat. Dilema tersebut terbentuk karena virus HIV yang ada di lingkup keluarga mereka. Ada ketakutan yang mendasar pada masyarakat apabila berdekatan dengan ODHA akan tertular virusnya. Namun apabila tak mendekat kepada anggota keluarga tersebut akan mendapatkan label yang buruk dari masyarakat sekitar tempat suatu anggota keluarga tinggal bersama salah satu anggota keluarga terinfeksi HIV/AIDS. Oleh karena itu, hospice menjadi seperti tempat pembuangan atau pengasingan bagi beberapa keluarga di Thailand agar tak terjadi label dari masyarakat lain sekaligus menghindari diskriminasi bagi anggota keluarga yang terinfeksi.
“ Manusia, di mana bertempat tinggal tergantung kualitas berbagai komponen lingkungan di mana kita hidup. ……. Kualitas hidup manusia juga tergantung, partners dan lingkungan manusia terdekat di sekitar kita, dengan siapa mamusia tersebut berteman, berinteraksi. Berteman dengan orang baik akan menjadi baik, berteman dengan orang berpenyakit menular, dapat terkena penyakit tersebut.” (Achmadi, 2011:6)
Sebagai pasien yang diasuh dan dirawat oleh biksu dan biksuni di hospice, ada keinginan dari keluarga agar anggota keluarganya menjadi baik dengan dimasukkan di lingkungan biksu dan biksuni. Keinginan itu berkaitan dengan pernyataan di atas mengenai kualitas hidup manusia, namun tidak untuk penyakit yang mereka derita dan penularannya yang hanya melalui udara atau lingkungan tanpa memperhatikan tingkah laku individu dalam berperilaku.     
Kesimpulan
            Meredanya virus HIV/AIDS di Thailand terbentuk karena kesinergisan dari masyarakat, pemerintah, dan biksu sebagai pihak yang menjangkau perwujudan Thailand bebas HIV/AIDS. Masyarakat sebagai komponen utama yang harus disamakan persepsinya dalam mengatasi masalah HIV/AIDS ini memang memiliki kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan akibat pola perilaku individu yang melanggar norma dan lingkungan sehingga mengakibatkan seseorang terinfeksi virus. Simpang-siurnya berita yang menekankan bahwa Thailand mampu mengatasi masalah HIV/AIDS belum menjadi patokan bahwa negara Thailand telah bebas dari HIV/AIDS, meski  ODHA di Thailand sendiri telah diberi hospice sebagai tempat pelayanan khusus bagi mereka.
Daftar Pustaka
1. Achmadi, Umar Fachmi. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Depok: Rajawali Press.
2. Bank Dunia. 2003. HIV/AIDS di Wilayah Asia Timur dan Pasifik. Jakarta: Bank Dunia Wilayah Asia Timur dan Pasifik.
3. Departemen Tenega Kerja dan Transmigrasi RI. 2005. Pedoman Bersama ILO/WHO            
tentang Pelayanan Kesehatan dan HIV/AIDS. Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional dan Organisasi Kesehatan Dunia.
4. Maund, Lawrence dan Metta Sangha. 2006. A Buddhist Approach To Hiv Prevention And Aids Care. Thailand: UNICEF.
5. Phoolchareon, Wiput. 2002. Evolution of Thailand’s strategy to cope with the HIV/AIDS epidemic. Health System Research Institute, Food, Nutrition and Agriculture No. 34.
6.Qisti, Insani Aulia, Handajani, Rinawati Puji dan Santosa, Herry. 2010. Kriteria Desain Hospice Untuk Pasien Anak Penderita Kanker. Malang : UB Press.
7. Riedner, Gabrielle dan Dehne, L.Karl. 1999. HIV/AIDS Surveillance in Developing Countries.Germany: Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH.
8.Sidang kabinet sesi khusus. 2002. Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
9.Spiritia.or.id diakses pada 03 Juni 2016 pukul 10.45
10.Waugh, M.A, dkk. 1993. HIV Transmission, Travel, And Thailand. BMJ: British Medical Journal , Vol. 306, No. 6874 (Feb. 6, 1993), pp. 393-394.




[1] Epidemi merupakan penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah yang luas dan menimbulkan banyak korban, misalnya penyakit yang tidak secara tetap berjangkit di daerah itu; wabah. Dirujuk dari kbbi.web.id diakses pada 05/06/16 pukul 17:12.
[2] Endemi ialah penyakit yang berjangkit di suatu daerah atau pada suatu golongan masyarakat; hawar. Dirujuk dari kbbi.web.id diakses pada 05/06/16 pukul 17:13.
[3] Sel darah putih yang dimaksud ialah sel CD4 atau limfosit. Sel tersebut ialah bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh kita. Sel CD4 kadang kala disebut sebagai sel-T. Dirujuk dari spiritia.or.id diakses pada 03 Juni 2016 pukul 10.45
[4] Dikutip dari www.https://cikalnews.com. Selasa, 2 Desember 2014. Ayu Sarah. Thailand Tertinggi Penderita HIV/AIDS. Diakses pada 3 Juni 2016 pukul 10:33.
[5] Hospice merupakan tempat perawatan untuk pasien yang kehilangan kemampuan diri dalam pemenuhan kebutuhan fisik, emosional dan spiritual guna peningkatan kualitas hidup pasien maupun keluarga. Dirujuk dari Insani Aulia Qisti, Rinawati Puji Handajani, Herry Santosa. Kriteria Desain Hospice Untuk Pasien Anak Penderita Kanker. 2010, Halaman 1.

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��