Derit Si Roda Besi : Kisah dan Mengisahkan yang Akan Datang

Foto diambil dari https://kai.id[1]



Naik kereta api tut tut tut
Siapa hendak turut
Ke Bandung, Surabaya bolehlah naik dengan percuma
Ayo kawanku lekas naik
Keretaku tak berhenti lama
     Penggalan lagu “Naik Kereta Api” di atas, mendukung penulis untuk nyaman menggunakan kereta api sebagai transportasi pulang – pergi ke tempat tujuan. Pada penggalan lirik “ bolehlah naik dengan percuma” diaplikasikan untuk kondisi PT. KAI selaku perusahaan perkeretaapian Indonesia hal itu bukanlah hanya semacam lagu yang patut dikenang sebab, terkadang PT. KAI memberikan beberapa diskon dan bahkan benar-benar tiket cuma-cuma pada saat perayaan – perayaan hari besar. Lagu yang selalu dinyanyikan waktu masa kanak-kanak di atas menjadi cerita tersendiri bagi penulis, sama halnya dengan kenangan akan kereta api. Maka, pada kesempatan kali ini akan diceritakan kisah mengenai apa yang telah terjadi di antara penulis dan kereta api, si roda besi.
            Perjalanan jauh pertama penulis menggunakan transportasi, dimulai dengan kereta api. Rumah nenek penulis ada di Cisayong, Tasikmalaya. Kala itu penulis baru umur tujuh tahun, tahun 2013. Ingat betul itu mudik pertama dengan keluarga kecil yang dibangun orang tua. Ingat betul, waktu itu harus ke Surabaya dulu untuk dapat naik kereta api bisnis ‘Mutiara Selatan’ yang memang tidak mampir di Mojokerto untuk mengangkut penumpang. Kuingat betul kereta penuh sesak, selain itu masih ada kenangan lain yang terlintas dalam benak. Semacam kenangan menghabiskan waktu di kereta dengan dongeng dari orang tua, memainkan permainan tebak nama sayur, buah, artis, hingga iklan, tangis adik kecil di kursi sebelah keluarga kami, atau tawa orang-orang di sekitar satu gerbong, tidak lupa bau minyak angin mengiringi suasana fitri tahu itu.
          Ada pemandangan menarik lain waktu itu, waktu keberangkatan kami ke Tasikmalaya di dalam kereta masih bisa ditemukan penjaja makanan keliling dari luar restorasi PT. KAI, masih ada juga di gerbong yang notabenenya kelas bisnis itu orang-orang menggelar koran untuk tidur di bawah, seperti tidak puas dengan kursi yang ada. Saat itu, kupikir kursi yang dapat berhadapan adalah hal yang unik yang hanya bisa didapatkan ketika naik kereta. Kupikir jawabannya karena kami memesan tiket dengan kursi yang memang berurutan dan depan belakang, setelah kemudian aku mengerti kereta bisnis – eksklusif memiliki fasilitas yang kadang tidak dimiliki kereta kelas ekonomi (konfigurasi tempat duduk yang selalu berhadapan). Seperti halnya pada waktu itu adalah Air Conditioner (AC) yang hanya ada di kelas bisnis – eksklusif. Selain itu, kurasa kenangan yang sedikit buruk saat ke Tasikmalaya adalah bau pesing dari toilet yang kadang menghantui hidung para penumpang.
            Lalu, kapan tepatnya penulis memulai lagi perjalanan dengan kereta api lagi dan diam-diam lebih suka memanfaatkan alat transportasi milik BUMN ini? Tepatnya pada tahun 2014, ketika ada yang mengharuskan langkah kaki tidak lagi hanya berkutat dan berkunjung di Mojokerto dan sekitarnya.
            Saat itu adalah tahun pertama penulis harus mengurus jenjang pendidikan tinggi di Jogja, kesempatan untuk merasakan sensasi naik kereta api yang kiranya sudah lama semenjak mudik di umur tujuh tahun. Ada rasa awam lagi untuk duduk sekalipun. Sebab dulu penulis tak harus mencari gerbong dan tempat duduk, tidak seperti sekarang, saat waktu mengharapkan agar penulis mengerti dan paham dengan keadaan dan kedewasaan. Hari itu keberangkatan pertama penulis ditemani dua orang teman yang memiliki kepentingan sama,  daftar ulang di universitas.  
            Karena tujuan ke Yogyakarta maka kami memilih kereta api bisnis ‘Sancaka’ yang melayani penumpang dengan tujuan Surabaya – Yogyakarta, tahun itu kereta bisnis bisa mengangkut penumpang dari stasiun Mojokerto sehingga tidak perlu terlebih dahulu ke Surabaya. Sebelumnya karena kami belum tahu jika ada tiket pemesanan secara online, kami pergi ke stasiun untuk memesan tiket secara langsung. Pada titik ini penulis dan kedua teman penulis juga mengalami sebagai pengalaman pertama memesan tiket kereta api di stasiun, antri dengan rapi, dan kadang saling menanyai calon penumpang lain.
Lain ladang lain belalang, lain cerita dalam kereta. Kondisi dan suasana yang terbangun dalam gerbong kereta bisnis yang membawa ke Jogja dengan kereta bisnis yang membawa ke Tasikmalaya waktu itu terasa berbeda. Pembedanya adalah lingkungan sekitar gerbong yang bersih, penumpang yang tenang, pramugari dan pramugara yang ramah, kursi yang nyaman karena posisi kaki bisa leluasa, dan kupastikan sudah ada colokan di sana. Recharge gawai agaknya menjadi kepentingan dan kebutuhan umum yang mendesak pada saat ini sehingga, di tiap konfigurasi kursi diberikan fasilitas tersebut yang mana tidak ada pada zaman mudik ke Tasikmalaya.
Kembalinya dari Jogja untuk mengurus daftar ulang, kami menggunakan kereta api ‘Logawa’ untuk kembali ke Mojokerto. Dari cerita kereta api bisnis melalui periodisasi, kali ini yang akan dibedakan adalah kelas dari kereta api itu sendiri. Logawa merupakan kereta api Indonesia kelas ekonomi yang mengangkut penumpang dari Purwokerto – Jember. Kereta api ini merupakan salah satu daftar kereta api ekonomi tujuan Jogja – Mojokerto yang biasa dinaiki penulis selain ‘Sri Tanjung’, ‘Gaya Baru Malam’, dan ‘Pasundan’. Kereta api kelas ekonomi Indonesia telah dilengkapi dengan pendingin ruangan (AC) – meskipun yang terkadang bocor, begitu juga dengan tempat pengisian daya untuk gawai pada tahun 2014 ketika aku pulang menggunakan Logawa. Namun hingga saat ini, fasilitas wifi belum bisa dinikmati untuk menemani perjalanan menggunakan kereta api. Jangankan kelas ekonomi, kelas bisnis – eksekutif saja belum tentu ada.  
Dari pengalaman kedua yang serasa pertama melakukan perjalanan menggunakan kereta api penulis menjadi lebih paham untuk memilih penggunaan kereta api Indonesia. Dari mulai pembelian tiket yang sekarang dapat dengan mudah didapatkan di mana saja secara online ataupun langsung datang ke stasiun, efisiensi dan efektivitas pemilihan jenis kereta api yang diinginkan sampai tujuan, hingga pemilihan tempat duduk. Fasilitas di dalam kereta Indonesia dirasa sudah cukup memadai untuk keperluan mobilitas masyarakat. Setelah sedikit – banyaknya memahami perkembangan kereta api melalui gerbong, fasilitas, suasana, kondisi, dan jenis kereta api yang ditumpangi maka tak lupa kiranya menyempurnakan kisah kereta api dengan tempat pemberhentiannya, stasiun.
Stasiun menjadi unsur vital bagi penumpang kereta api. Meski digunakan untuk tempat singgah bagi penumpang, desain yang nyaman untuk menunggu dari mulai tempat duduk untuk di area luar pemeriksaan tiket kereta api atau di dalam menjadi perhatian bagi pengelola kereta api Indonesia. Kenyamanan ini diwujudkan dari fasilitas yang menyertainya sama seperti yang ada di dalam kereta.
Beberapa stasiun yang pernah penulis gunakan untuk menunggu kedatangan kereta api seperti stasiun Mojokerto, yang bisa dikatakan bukan stasiun besar seperti stasiun Tugu di Yogyakarta atau stasiun Balapan atau Purwosari Solo, pada tahun 2017 ini mengalami banyak perubahan rupa dari tampilan keruangan. Mulai dari tempat pembelian tiket yang benar-benar dibagi menjadi pembelian tiket kereta lokal dan jarak jauh dengan ditambah fasilitas pembelian tiket dan check-in mandiri, tambahan ruang khusus perokok, hingga tambahan ruang untuk melakukan pengisian ulang daya gawai. Sayangnya, bagi para pengantar penumpang yang ingin membuang air atau menggunakan toilet di stasiun, mereka harus masuk dan izin terlebih dahulu untuk dapat mengaksesnya. Ruang khusus untuk orang dengan keterbatasan khusus, ruang tunggu, ruang P3K, dan ruang  yang hanya dapat diakses setelah melakukan check-in, memperlihatkan tata letak ruang yang tersekat namun diperuntukkan untuk umum tersebut sebenarnya tidaklah begitu efektif. Ada pula fasilitas yang tidak berfungsi dengan baik di stasiun. Seperti halnya timbangan berat barang bawaan penumpang. Timbangan tersebut tidak digunakan semestinya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya pembludakan barang yang akan diangkut dan bentuk pencegahan terhadap kecelakaan yang diakibatkan karena kelebihan muatan.
Untuk kemajuan alat transportasi Indonesia, khususnya kereta api yang sering penulis gunakan untuk pulang dan pergi dari segi keamanan dan kenyamanan yang telah diberikan PT. KAI hingga tahun ini, bisa dibilang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Pertumbuhan yang baik dapat dilihat dari laporan tahunan PT. KAI yang  transparan dengan diunggah di situs website PT.KAI, meskipun untuk tahun 2016 belum diunggah kepada publik. Perkembangan pelayanan PT. KAI juga telah cukup baik. Dari  mulai informasi yang diberikan melalui papan tulisan di stasiun, berita acara keberangkatan melalui speaker, sirine khusus untuk kedatangan dan keberangkatan kereta api, hingga petugas di stasiun juga mampu memberikan informasi yang lebih akurat untuk penumpang. Sehingga, untuk perkeretaapiaan di masa mendatang sangat diharapkan dapat memberikan pelayanan yang diinginkan oleh masyarakat yang sesuai kebutuhan. Misalnya saja, kotak P3K di setiap gerbong untuk pelayanan kesehatan dan pramugari – pramugara yang memberikan instruksi keselamatan pada penumpang.  
Meskipun laju kereta api Indonesia tidak secepat milik negara lain, kepercayaan terhadap alat transportasi ini patut dijaga. Masyarakat Indonesia lebih menikmati proses sebagai bagian dari kepercayaan. Ekspektasi pada kereta api sebagai salah satu bentuk transportasi yang efektif dan efisien melalui pelibatan pemikiran masyarakat menjadi bentuk proses yang harus ada dan dihargai. Sehingga, PT. KAI yang bersinergi dengan masyarakat, akan mampu membawa kita ke masa dan ruang yang lebih teratur di masa yang akan datang.       
      

[1] Diakses pada 29 September 2017 pukul 20:59

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��