Tugas UAS: Penyimbolan Makna pada Musik
Pendahuluan
Musik menjadi bagian dari masyarakat yang terkadang tak dapat
dipisahkan. Tidak jarang pada saat ini ditemukan masyarakat dimanapun asyik
mendengarkan musik lewat earphone, headset, handsfree pada telepon genggam,
mp3player, radio, televisi, komputer/laptop untuk mengimbangi
aktivitas lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Mendengarkan musik dengan
mengerjakan tugas kuliah, menjelang tidur, perjalanan pulang sekolah atau
kantor, hingga sekadar membuang kebosanan menunggu di stasiun, terminal, halte,
kampus, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya menjadi hal-hal yang biasa
karena kemudahan akses masyarakat pada saat ini terhadap musik. Semua jenis
aliran musik dari mana saja dengan bantuan alat komunikasi dan informasi yang
telah canggih membantu masyarakat mau belajar dan sadar akan kehadiran musik
sebagai suatu alat atau sarana komunikasi yang kehadirannya patut diapresiasi.
Melalui proses belajar mengenal hingga memahami musik merupakan
bentuk pembeda antara hewan dan manusia dalam memperlakukan musik. Seperti
halnya yang dikatakan oleh Ernst Cassirer bahwa “manusia adalah animal
symbolicum”[1]
memberikan pengertian bahwa masyarakat mampu mengenali dan memahami segala
bentuk dari gagasan dan tingkah laku antar manusia dan dalam masyarakat dalam
hal ini melalui musik itu sendiri. Tingkah laku yang dihadirkan tanpa sadar
atau dengan sadar dilakukan sehari-hari sebagai rutinitas yang merupakan bentuk
dari adanya simbol-simbol yang dialami bersama oleh masyarakat.
“There is no question that music
is symbolic, but the difficulty lies in the precise nature of what is meant by
symbolism. We enter here upon a troublesome area, for symbolism can be defined
in a number of ways, and the distinction between signs on the one hand and
symbols on the other is not always clear” (Meriem, 1967: 230)
Pernyataan yang disampaikan di atas memberi sedikit pemaknaan yang
berbeda bagi penulis, saat bagaimana sebuah musik tidak disebut sebagai
kumpulan simbol yang membentuk sistem simbol yang dialami dan dimaknai oleh
masyarakat atau keadaan dimana dalam posisi yang tidak sempurna dalam
kepemilikan indera sebagai sensori harus menempatkan simbol dalam musik? Atau
mengapa simbol dalam musik bisa hadir dengan banyak makna? Lalu, adakah simbol
lain yang hadir dengan?. Pada tulisan ini, akan dibahas mengenai
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas dengan mengacu pada topik
perkuliahan VI, mata kuliah studi literatur yakni, ‘simbol dan makna’.
Musik sebagai Suara yang Diterima
“ Surprisingly, sound does not
exist unless it has receiver; to produce sound, three things are needed – an
initiator (be it the human voice, bird-song, a thunder-clap, a violin, an
engine), molecules of air that are set on vibration by the initiator and which
act as transmitters carriers and, lastly, a receiver, that miraculous organ the
ear, whether human or animal. Without the ear there is no sound” (Hopkins,
1979: 9)
Proses terbentuknya musik disebabkan
oleh indera pendengaran yang dimiliki makhluk hidup, yang mana manusia memiliki
caranya sendiri untuk menginterpretasikan musik itu menjadi bagian-bagian yang
dapat dipersatukan atau dipisah-pisahkan menjadi bagian lain sesuai dengan
kemampuan pengalaman manusia membiasakan diri dengan suara. Namun juga belum
berarti manusia yang memiliki ketidakjelasan dalam pendengaran merupakan
orang-orang yang tidak dapat merasakan musik itu sendiri. Meski orang-orang
tersebut memiliki pendengaran yang tidak sempurna, mereka masih dapat melihat musik
dengan sebagai sarana mereka ikut menikmati dengan bantuan juru bahasa isyarat.
Contohnya adalah band dari Postdam, Jerman ‘Keimzeit’ yang memiliki juru bahasa
isyarat dalam setiap pertunjukan mereka[2].
Musik dalam perspektif antropologi
diberi makna berbeda dengan yang dipelajari oleh seorang musisi atau seniman
mengenai musik atau seni. Sifat semacam estetis dalam pengertian umum sebagai
suatu keindahan di keluarkan dalam konteks antropologi. Sebab, seni dan musik
ini dimaknai sebagai bentuk penginderaan manusia terhadap suara yang diberi
teknik oleh manusia hingga memiliki daya untuk mempesona orang lain atau
masyarakat secara umum. Sehingga, adanya fenomena yang terjadi di atas dapat
dianggap sebagai realitas Beethoven, seorang komponis musik klasik asal Jerman
yang hadir pada saat ini.
“ Realitas keberadaan fisik materi
dipandang sebagai media pemberi peluang sekaligus pembatas makna-makna
potensial yang bisa disematkan padanya, namun potensi makna tersebut baru
menemukan aktualisasinya pada saat agen pembentuk makna lainnya (penilai,
penafsir, apresiator) membawa masuk realita material yang dialaminya ke dalam
diri untuk dibenturkan pada timbunan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya”(Simatupang,
2016: 275-276).
Beethoven sendiri sebagai tuna rungu
memiliki maha karya yang luar biasa dalam bidang musik, melalui gagasannya mengenai kemungkinan didengarnya
musik oleh orang-orang tuna rungu setelah 200 tahun gagasan tersebut
tercetuskan, merupakan bentuk dari
mengalami perubahan dalam penafsiran atas gagasan yang dicetuskan.
Sehingga dengan lahirnya penerjemah atau juru bahasa isyarat yang mampu
mengkomunikasikan musik secara visual merupakan bentuk keterlibatan dan
penyerapan realita atas pengalaman Beethoven dalam menangkap suara sebagai
musik yang dapat mempesona dan dinikmati.
Peran pengalaman Beethoven dalam
pengungkapan realita untuk menangkap simbol melalui indera yang tidak begitu
sempurna tersebut, disikapi dengan berbagai pemikiran satu inidividu dan
individu lainnya. Dari pemikiran tersebut dikembangkan oleh ahli-ahli pada
bidang musik dan kemudian disadari oleh masyarakat sebagai realita yang dapat
dialami pada masa yang berikutnya. Dalam konsep ‘key symbol’ atau ‘key schema’
atau disebut juga sebagai ‘ key scenario’ yang ditawarkan oleh Sherry Ortner
menyatakan hal-hal seperti di atas yang mampu membentuk kepadatan simbol yang
mampu mewakili keseluruhan masyarakat. Dalam hal ini dinyatakan:
“Neither are key scenarios
invariant cultural codes that individuals perform. Key scenarios may be
internally inconsistent or a given key scenario may be contradicted by another
key scenario. Most importantly, key scenarios are not invariant codes because
they are employed by social actors who—sometimes in a calculated fashion, other
times unthinkingly—may emphasize some cultural schemes, downplay others, or
actively modify the key scenarios” (Moore, 2012: 320)
Adanya aktor-aktor sosial yang
berkuasa atau memiliki kepentingan dalam menjaga agar simbol dapat dipatuhi
atau ditundukkan secara sama dalam pandangan masyarakat, melalui musik misalnya
dalam penerimaan yang tidak sempurna melalui indera pendengaran dibutuhkan bagi
masyarakat itu sendiri secara internal membangkitkan atau mengembangkan
kemungkinan-kemungkinan gagasan yang terdahulu menjadi kenyataan pada masa
sekarang atau masa yang akan datang. Dengan demikian dapat dihasilkan
bentuk-bentuk standarisasi dari musik tanpa pendengar, dalam hal ini dengan
aktor sosial ialah seorang juru bahasa isyarat. Seorang juru bahasa isyarat
sedapat mungkin memahami simbol-simbol
masyarakat yang tuna rungu dan para musisi yang memainkan musiknya dalam
pertunjukan. Sehingga memahami simbol yang dilakukan oleh kedua belah pihak
antara musisi dan masyarakat tuna rungu merupakan bagian dari pemenuhan
kebutuhan. Namun dalam fenomena ini, ‘key symbol’ sebagai bentuk kesolidan
simbol yang menandai keterwakilan simbol tersebut tidak begitu jelas tampak
kehadirannya.
Musik dalam Kelompok Penggemar
Lagu merupakan musik dengan syair atau lirik yang disesuaikan
dengan aransemen sebuah instrumen musik. Syair atau lirik ini ada sejak manusia
saling berinteraksi melalui bahasa yang merupakan sistem simbol yang arbitrer
pada kehidupan masyarakat. Sehingga tidak jarang ditemui pemaknaan bahasa
tertentu yang diucapkan oleh seseorang akan memiliki makna yang bisa saja
tumpang-tindih, bermakna banyak, atau tidak saling terkait antar pemaknaan
dalam pelafalan. Sehingga, kehadiran lirik dalam lagu pun memiliki kekhususan
yang sedemikian rupa dengan bermacam-macam makna.
Penguasaan bahasa yang baik
memudahkan seorang komposer lagu untuk membuat pemaknaan atas bahasa ke dalam lirik pada musik yang dibuat. Sama
halnya dengan komposer, penguasaan bahasa bagi antropolog juga dikenal sebagai
sarana yang dapat melancarkannya dalam proses penelitian dalam suatu kelompok
masyarakat. Sehingga, kesamaan kedua peran ini dapat dijadikan sebagai cara pendekatan
mereka mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat dan hal-hal
yang di luar kebiasaan masyarakat.
“ Untuk membicarakan kesenian verbal suatu
kebudayaan secara bermakna, sudah tentu ada baiknya untuk sebanyak mungkin
mengetahui bahasanya sendiri. Membicarakan musik suatu kebudayaan juga sama
pentingnya dengan mengerti bahasa musik – yaitu kebiasaan-kebiasaannya”
(Haviland, 1993: 234).
Musik merupakan bentuk kesenian
verbal yang beredar dalam masyarakat dengan bahasa yang merupakan sistem simbol
menjadi ungkapan sehari-hari bagi masyarakat untuk melakukan interaksi secara
sosial dan kultural dengan masyarakat lain di luar masyarakat tersebut.
Kehadiran musik sebagai bentuk keterpesonaan masyarakat akan suara memiliki fungsi
pada situasi tertentu saat musik disuguhkan. Sedangkan penambahan lirik sebagai
tatanan bahasa yang berisi sistem simbol memberikan makna juga pada hadirnya
musik. Musik yang sedang disenangi remaja sekarang seperti K-Pop[3],
memberikan pemaknaan yang lebih luas bagi masyarakat mengenal kesatuan dari
sistem simbol yang berlaku pada genre musik tertentu. Banyak dari penggemar
musik ini, berlomba-lomba untuk mendukung idola mereka sebagai penyanyi yang
handal dalam melakukan kegiatan bermusik.
Pemikiran Geoge Herbert Mead
(1863-1931) mengenai ‘interaksionalisme-simbolik’ dengan melihat fenomena dari
musik K-Pop terjadi antara penggemar dan idola, yang membentuk penggemar untuk
melakukan dukungan atas kegiatan idolanya tersebut.
“ Lingkungan membentuk diri dan
tingkah laku manusia. Dunia menyediakan pengalaman sosial bagi individu.
Pengalaman sosial ini merupakan interaksi simbolik atau pertukaran
simbol-simbol. Senyuman, tepuk tangan, ataupun kata-kata merupakan simbol yang
memiliki makna tertentu yang dipahami oleh manusia. Pemaknaan atas
simbol-simbol itulah yang memunculkan tingkah laku tertentu dan akhirnya
membentuk diri manusia” (Meinarno, Widianto, & Halida, 2011: 175).
Musik K-Pop sebagai pengalaman dari penggemar, dimaknai sebagai
pertukaran antar individu dengan lingkungan yang sama sehingga memiliki
pemaknaan atas pengalaman sosial yang ada pada penggema. Pertukaran
interpretasi dari simbol-simbol, yang diwujudkan dalam tindakan mereka sebagai
penggemar kemudian dimaknai secara kebersamaan dengan rasa identitas yang sama
sebagai penggemar idola K-Pop dari kelompok idola tertentu. Kebanyakan
penggemar K-Pop yang telah mengikrarkan diri untuk selalu mendukung idola
tertentu akan memilih masuk dalam klub penggemar melalui website[4]
yang menaungi musik dari idola tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh penggemar
tersebut dimaksudkan sebagai dukungan terhadap musik-musik dari idolanya dan keterterikatan
antar penggemar dan penyanyi dalam satu kelompok penggemar untuk selalu
mendukung musik yang diproduksi.
“ Although the problem of whether it is the tune or its context
which is important is one which we shall have to discuss at some length later,
something does operate meaningfully in such a connection to signal a particular
kind of activity, and this seems to be essentially signing behavior”
(Meriem, 1967: 236)
Melalui lagu, penggemar musik memang menemukan warna musik dari
pencipta musik, namun tindakan penggemar mendukung idolanya dengan keterikatan
pada klub musik tertentu sekaligus dengan musik yang membangun terjadinya klub
tersebut, dapat dilihat sebagai
interaksi antar tingkah laku penggemar yang diwujudkan pula dengan
pembelian cd album, barang-barang yang berhubungan dengan idola, pergi ke
konser, dan sebagainya.
Kesimpulan
Victor Turner dalam kajiannya mengenai liminalitas dan drama sosial
yang ada pada masyarakat Ndembu di Zambia sebagai kelompok masyarakat yang
dinamis, Memberi perspektif simbol sebagai penghilangan identitas menuju pada
proses berlakunya kebiasaan kelompok melalui simbol yang dipertukarkan untuk
mendapatkan identitas atau babak yang baru dalam perubahan kehidupan
masyarakat.
“ Turner borrowed van Gennep’s
concept of liminality and expanded it into a conceptual tool for understanding
special phases in social life when transition is the dominant theme. “If our
basic model of society,” Turner wrote, “is that of a ‘structure of positions,’
we must regard the period of margin or ‘liminality’ as an interstructural
situation”” (1967:93 via Moore, 2012: 254).
Keterlibatan pengalaman seseorang dalam memaknai musik yang tak
dapat didengarkan oleh kelompok masyarakat tuna rungu menjadi bukti adanya fase
yang spesial dari kehidupan sosial pada individu dalam masyarakat yang dimaknai
oleh masyarakat umum dan mengalami interpretasi yang mengakibatkan adanya
perubahan pada kebiasaan hidup masyarakat dalam hal ini untuk menikmati musik
tanpa ada telinga sebagai indera untuk mendengar. Babak baru ini ditandai
dengan proses individu yang tuna rungu dalam mengatasi masa liminal pada
penemuan kebiasaan baru dalam masyarakat melalui sensori lainnya, selain
pendengaran. Sehingga, musik dalam masyarakat tersebut bukan hanya diperlakukan
sebagai benda melainkan aksi yang dapat mempengaruhi orang lain untuk
berpartisipasi dengan pemaknaan terhadap simbol yang tidak dapat didengarkan
oleh mereka.
Penelitian yang dilakukan Clifford Geertz pada masyarakat Bali di
Indonesia mengenai kelompok sabung ayam, dengan penelitian lapangan secara
partisipatoris dalam kerjanya sebagai antropolog dapat dikatakan memiliki
dampak yang luar biasa bagi kemajuan antropologi. Konsep kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan dan makna melalui pandangan Geertz dapat diambil sebagai
rancangan untuk melakukan tahapan pembuatan etnografi yang menjadikan manusia
sebagai objek kajiannya. Dalam hal ini kelompok sabung ayam di Bali, menurut
Geertz bukan hanya masalah judi yang ditonjolkan atau dilihat dengan kasat mata
sebagai pertarungan antara dua ayam. Sabung ayam dilihat dengan pandangan yang
berbeda menurut Geertz ialah sebagai permainan yang mendalam dimana meliputi
martabat atau harga diri seorang lelaki dalam desa ataupun keluarga. Tampak
jelas di sini disebutkan:
“… if anthropological interpretation
is constructing a reading of what happens, then to divorce it from what happens
– from what, in this time or that place, specific people say, what they do,
what is done to them, from the whole vast business of the world – is to divorce
it from its applications and render it vacant. A good interpretation of
anything – a poem, a person, a history, a ritual, an institution, a society –
takes us into the heart of that of which it is the interpretation (Moore
dan Sanders(ed.), 2014: 172).”
Barangkali jika musik sebagai penyajian atas interpretasi yang
dilakukan oleh antropolog dalam memroses segala kejadian atau peristiwa yang
sedang terjadi di masyarakat dengan meminjam metode sabung ayam yang dilakukan
Geertz maka, antropolog diharapkan peka terhadap peran dalam identifikasi
setiap tindakan masyarakat. Tindakan-tindakan tersebut baik individu dan
masyarakat ataupun individu di dalam masyarakat pada rasa tertarik terhadap
suara yang didengar atau dirasa sendiri. Sekaligus sebagai media peningkatan
intensitas pengayaan pengalaman manusia melalui penciptaan dan pemaknaan pesona
realitas yang terindera.
“ Akan tetapi, transformasi wawasan
dan sikap ini, dalam pemahaman antropolog mengenai apa yang ada dihadapinya dan
apa yang dapat diharap untuk diperolehnya dari situ, bukanlah melulu perubahan
konseptual, yang didorong oleh dialektika murni dari perdebatan teoritis, yang
peranannya memang tidak seberapa besar dalam antropologi. Perubahan-perubahan
itu dalam cara antropologi dipraktikkan, yang didorong oleh perubahan
lingkungan konkret tempat penelitian dilaksanakan. Bukan hanya gagasan-gagasan
yang telah berubah dari sebelumnya” (Geertz, 1998: 199)
Kerja lapangan untuk mematahkan konsep yang telah ada sebelumnya
menjadi bagian paling penting bagi antropolog pada saat ini.Geertz menjadi
contoh bagi banyak antropolog melakukan penelitian dengan tidak hanya
menerapkan konsep-konsep antropologi namun juga mematahkan konsep itu sendiri
ketika telah berada di lapangan. Antropolog diharapkan pada masa ini untuk
memiliki kemampuan berpartisipasi dan secara mendalam menginterpretasikan makna
atas simbol yang dipatuhi dan disadari masyarakat dalam masyarakatnya dan
mengkaji simbol yang didukung dengan pemaknaan atas identitas masyarakat, sehingga
dapat mengidentifikasi tahapan penempatan masyarakat sebagai individu dan
kelompok dalam masyarakatnya.
Sebagai penggemar musik, mereka juga mengalami kerja yang dilakukan antropolog seperti halnya
deskripsi di atas. Musik tidak akan memiliki pesona atau rasa pikat terhadap
seseorang bilamana seseorang tersebut tidak mencoba dan menggali lebih dalam
mengenai musik yang dihadirkan padanya. Sikap antropolog mengambil keputusan
dengan sikap penghargaan terhadap perbedaan manusia di muka bumi ini juga dapat
dianalogikan sebagai hal yang sama dalam bermusik. Semakin banyak seseorang
memahami musik, semakin mereka mau menghargai keberadaan musik yang lain.
Sehingga, simbol sebagai interaksi yang terjalin antar masyarakat dan dipahami
secara mana suka oleh masyarakat bahkan tiap individu pada musik berbentuk
suara, penampilan, dan visualisasi sebagai fenomena dalam antropologi memiliki daya
untuk membuat masyarakat bergabung dalam dunia yang selalu mengusahakan adanya
impresi-impresi atau keterpikatan.
Daftar Pustaka
1. Geertz,
Clifford. 2014. “Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture”,
dalam Henrietta L. Moore dan Todd Sanders (ed.), Anthropology in Theory. Oxford: Wiley Blackwell.
2. Geertz,
Clifford. Alih Bahasa oleh Simatupang, Landung. 1998. After the Fact: Dua
Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog, Yogyakarta: LKiS.
3. Haviland,
William A. Alih Bahasa oleh Soekadijo, R.G. 1993. Antropologi Edisi Keempat,
Jakarta: Anggota IKAPI.
4. Hopkins,
Anthony. 1979. Understanding Music, London: Orion Publishing.
5. Meinarno, Eko
A., Widianto, Bambang, & Halida, Rizka. 2011. Manusia dalam Kebudayaan
dan Masyarakat, Jakarta: Salemba Humanika.
6.
Merriem, Alan P., 1967,
The Anthropology of Music,
Bloomington: Indiana University Press
7. Moore, Jerry D.
2012. Vision of Culture. New York:
Altamira Press.
8. Simatupang, G.
R. Lono Lastoro. (2016). Menggelar Narasi dan Reputasi: Pameran Seni Rupa
sebagai Pergelaran. Jurnal Panggung Vol. 26, No. 3 September.
[1] Diakses dari http://www.kompasiana.com/1b3las-mk/animal-symbolicum_552c01dd6ea83451198b45a4 pada 1 April
2017 pukul 16:40.
[2] Diakses dari http://www.dw.com/id/musik-bagi-audiens-tunarungu/a-17347741 pada 1 April
2017 pukul 18:59
[3] K-Pop merupakan kepanjangan dari
Korean Pop atau musik pop Korea. K-Pop merupakan salah satu aliran musik
populer yang berasal dari negara Korea Selatan. Di era musik modern ini, musik
K-Pop menjadi salah satu jenis musik terpopuler dan menjadi favorit tidak hanya
bagi masyarakat pecinta musik di Korea, namun juga di seluruh dunia termasuk di
Indonesia. Diakses dari http://museummusik.blogspot.co.id/2014/04/fakta-musik-kpop-korea.html
pada 3 April 2017 pukul 19:35.
[4] Portal khusus
penggemar K-Pop biasanya disediakan oleh agensi dari penyanyi atau artis yang
menanungi proses produksi musik mereka dan memungkinkan adanya interaksi
virtual antara penggemar dan artis. Contohnya exo-l.smtown.com,
btsblog.ibighit.com, twice.jype.com.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu