Olah Tubuh Sebagai Bentuk Kehadiran Musik dalam Masyarakat

Pendahuluan
            Tubuh fisik manusia merupakan bagian yang terlihat dan sangat mudah diindera oleh indera lain. Tubuh fisik manusia ini pula yang memproduksi berbagai macam bentuk wacana pada penyajian tubuh seseorang. Tak hanya itu, tubuh juga memproduksi makna-makna yang berkaitan dengan cara hidup, bahasa, bentuk interaksi sosial dan budaya pada orang yang memilikinya. Produksi-produksi seperti di atas dapat diwujudkan pada tubuh salah satunya dengan gerakan yang dilakukan tubuh baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Misalnya saja pada bagian tubuh ‘mata’. Kedipan secara sengaja tertuju pada orang yang telah dikenal mengisyaratkan ada interaksi antar si pemilik mata dan orang yang telah ia kenal. Begitupun halnya dengan gerakan mengusap hidung secara tidak sengaja saat ada orang yang berbicara yang menandakan bahwa orang yang sedang berbicara sedang melakukan kebohongan.
            Peristiwa gerak tubuh yang diberi makna ini membagi sendiri bagaimana tubuh diberi dan diterima. Seperti disebutkan oleh Chris Shilling “However, academic interest was stimulated initially by social trends and analyses which helped position the body as significant to a range of other subjects of established intellectual significance”(Shilling, 2005: 2). Mengacu pada pernyataan tersebut, maka dapat diketahui ketertarikan  pada tubuh terletak pada posisi yang signifikan pada tubuh yang mempengaruhi subjek lain. Pembagian antara tubuh yang diterima dan tidak diterima dalam masyarakat juga merupakan salah satu contoh dari adanya posisi yang signifikan pada tubuh.  Sehingga dalam masyarakat yang melakukan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari menggunakan tubuh mereka maka tubuh dapat diposisikan atau dapat juga terdisposisi pada beberapa hal yang mungkin tidak seharusnya tubuh tersebut ditempatkan.
            Pada paper ini akan dibahas mengenai eksistensi musik dalam masyarakat yang mempengaruhi tubuh sebagai tubuh fisik dan sosial. Seperti yang dikatakan oleh Dack pada ekspresi tubuh terhadap musik dan ketertarikan peneliti terhadap tubuh dan musik, “In this regard, recent studies of expressive performance constitute an important research area for exploring the bodily aspects of musical phenomena”[1]. Tubuh tak hanya fisik, namun juga tubuh sosial yakni tubuh yang mengalami perubahan atau transformasi tidak hanya terbentuk sebagai simbol tetapi juga dalam bentuk komoditi, dan kehidupan sosial.  Musik sebagai bagian dari bentuk hiburan yang saling berpengaruh dengan tubuh masuk dalam kategori kehidupan sosial bagi tubuh. Sebab, musik yang mempengaruhi tubuh dapat menjadi evaluasi bagi fungsi tubuh manusia melalui indera penglihatan, pendengaran, bahkan indera peraba.
            Musik hardcore sebagai bagian dari musik ‘punk rock’ yang berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1970an dan musik dangdut dari Indonesia merupakan contoh dari proses tubuh mengolah gerak sedemikian rupa untuk mewujudkan tubuh sosial. Meskipun dalam penjelasan mengenai kedua bentuk genre musik ini berbeda, namun keduanya sama-sama memiliki bagian dari tubuh sosial yang membentuk komunitas dalam masyarakat dari gerak tubuh. Tubuh yang bergerak ketika musik hardcore maupun dangdut diperdengarkan merupakan respon tubuh terhadap musik. Respon tubuh yang terkadang terjadi secara spontan dalam permainan musik hardcore maupun dangdut merupakan ornamen gaya dari musik yang dimainkan.
           
Gambaran Umum
            Musik merupakan bagian terintegrasi pada masyarakat sebagai suatu bentuk relaksasi atau hiburan. Melalui musik, masyarakat yang terdiri dari individu-individu melakukan penempatan terhadap bagaimana memaknai musik. Salah satu hal untuk memaknainya ialah melalui gerak tubuh. Gerak tubuh terhadap musik merupakan respon dari indera pendengaran yang diturunkan melalui gerak itu sendiri. Melalui representasi tubuh pada musik yang diperdengarkan, muncullah pengetahuan bahwa terjadi disposisi tubuh pada siang dan malam. Pada malam hari, apabila musik dengan tempo cepat diperdengarkan tubuh yang mempunyai kontrol lelah akan merasa bangkit lagi untuk kembali beraktivitas. Peristiwa tersebut terjadi pada masyarakat Amerika Selatan yang secara ramai memainkan musik hardcore di malam hari, ataupun di Indonesia dengan musik dagdut. Hardcore dan dangdut sendiri sebagai bentuk atau jenis musik memiliki representasi yang berbeda pada masing-masing kelompok-kelompok peminatnya.
“It helps lure us into shops and can shape our purchasing decisions, ‘narrates’ the films we watch and sporting events we attend, and has been shown to increase productivity among manual labourers”  (Hargreaves and North, 1997)[2]
Dari kutipan di atas dapat diketahui dalam bermusik hal yang paling penting ialah mampu menarasikan apa yang ada pada musik tersebut melalui tubuh sebagai bentuk tubuh fisik yang paling terlihat oleh indera penglihatan sebagai indera yang paling utama pada manusia. Dalam segala aspek kehidupan seperti halnya kegiatan bekerja, olah raga, perfilman, dan lain sebagainya musik tidak dapat dipisahkan dan banyak berpengaruh pada peningkatan produktivitas kerja manusia pada beberapa bidang yang telah disebutkan di atas. Pada bagian peningkatan produktivitas tenaga kerja misalnya ialah para pekerja konstruksi bangunan atau buruh bangunan  yang membentuk komunitas pecinta musik hardcore sebagai bentuk relaksasi dan hiburan dari pekerjaan berat mereka, komunitas ini biasanya berisikan lebih banyak laki-laki dibandingkan dengan perempuan.  
Segmentasi semacam musik hardcore terjadi pula pada penonton musik dangdut di Indonesia yang biasanya ialah masyarakat ada kalangan kelas menengah ke bawah yang tinggal di desa, pinggir pantai, ataupun perbatasan dengan kota. Kekhasan akan ciri dari penggemar musik hardcore maupun dangdut menjadi suatu bentuk identitas yang menguat pada komunitas masyarakatnya yang telah dibentuk. Sehingga, identifikasi dari penggemar musik-musik tersebut dapat dengan pula dilakukan walaupun hanya melihat bentuk tubuh fisik. Keadaan tersebut terjadi dikarenakan adanya daya tarik-menarik antar peyanyi dan penonton pada musik hardcore maupun dangdut dalam bentuk integrasi musik, yang mana melalui olah tubuh yang terintegrasi antara penyanyi dan penonton.
“In such instances, the notion of music scene becomes a form of collective association and a means through which individuals with different relationships to a specific genre of music produced in a particular space articulate a sense of collective identity and belonging”(Bennet dan Driver, 2015: 100)       
            Musik hardcore dan dangdut masing-masing memang telah membentuk suatu hal yang dapat mengidentifikasikan mereka lewat musiknya. Namun seiring berjalannya waktu, globalisasi, dan semakin mudahnya akses masyarakat terhadap sesuatu sudah tidak jarang lagi memungkinkan masyarakat untuk saling terhubung dan merasakan keikutsertaan menghayati dan melebur menjadi satu dalam kesukaan pada musik. Perbedaan kepentingan dalam pemerolehan identitas dari musik hardcore maupun dangdut merupakan peleburan yang dimaksud sebagai bentuk rasa identitas kolektif dan milik bersama meskipun antar masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda dalam menikmati musik. Ikutnya masyarakat di luar Amerika Serikat mengadakan bentuk festival musik hardcore di negaranya merupakan salah satu contohnya, yang sama halnya dengan orang-orang di luar Indonesia sebagai penikmat dari musik dangdut. Sehingga, ada hal yang selalu memikat masyarakat untuk kembali memperdengarkan hardcore atau dangdut sebagai milik mereka yakni melalui olah tubuh seperti ‘moshpit dance’ dalam hardcore dan ‘goyangan’ dalam dangdut.
            Moshpit dance pada musik hardcore merupakan gerakan yang sama antar penonton dan artis dengan menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah secara bergantian dengan cara menggerombol kemudian maju satu-satu antar penonton yang ingin melakukan gerakan tersebut. Pada gerakan dari adegan musik sendiri biasanya ditekankan pada bentuk yang saling bersenggolan antar penonton hingga tabrakan merupakan gerakan yang sangat dinanti dalam adegan musik hardcore. Berbeda dengan adegan musik hardcore yang harus terjadi tabrakan, dalam gerakan musik dangdut yang disebut goyangan hanya menggunakan tubuh sebagai gerak yang menunjang dengan melakukan bentuk gerak yang meliuk-liukkan tubuh ataupun membuat tubuh menjadi lebih seksi. Goyangan dalam musik dangdut tidak semuanya merupakan tiruan dari produksi antara penyanyi dan penonton. Interaksi antar penonton dan penonton sehingga membentuk goyangan baru, biasa terjadi pada masyarakat pecinta musik dangdut. Adapun gerakan saling bertabrakan antar penonton dalam adegan musik dangdut sebisa mungkin diminimalisir karena dapat memicu kericuhan dalam konser musik dangdut yang digelar.
             Adegan dari musik hardcore dan dangdut inilah yang mampu membawa masyarakat penikmat musik tersebut dalam konteks yang sama dalam mewujudkan kreativitas mereka dalam seni pertunjukan. Meskipun adegan di hardcore sendiri terdiri dari dua adegan yakni dilakukan secara individu karena sebagai penikmat musik hardcore tidak dapat berbaur dengan lingkungan sosialnya, dan adegan yang melakukan interaksi langsung secara sosial yang menunjukkan dalam menikmati musik pun masyarakat masih terbagi kembali menjadi masyarakat yang komunal atau masyarakat yang individual.
Mengacu pada hal di atas, memperlihatkan bahwa budaya yang terbentuk dalam masyarakat penikmat musik, beradegan sesuai dengan genre musik yang ada namun juga masih kausal terhadap penerimaan lingkungan terhadap individu dalam kelompok. Budaya dalam bermusik dan beradegan dalam musik ini pula dapat mengantarkan pada realita sosial yang dialami masyarakat tertentu seperti ketertarikan masyarakat pada sesuatu. Sehingga, hardcore maupun dangdut bisa saja menjadi populer pada suatu kalangan karena masyarakat mengolah bentuk atmosfer akektif mereka dalam meneruskan kontrol pada tubuhnya melalui musik, yang mana masih berhubungan dengan proses manusia dalam masyarakat maupun individu yang dapat mempengaruhi individu lain berbuat terhadap lingkungan sekitar. Evaluasi tubuh terhadap bentuk musik tergantung pula pada kepekaan individu pada musik dan adegannya, yang mana merupakan rasa pribadi dan tidak dapat langsung dipengaruhi.   
“Arousal Theories. The core of arousal theories is that music has properties capable of arousing emotions or feelings in listeners. The arousal may take place because of some causal mechanism in which sounds and the dynamic properties of music affect the human body and mind, or the arousal may be a consequence of a sympathetic mechanism when the music reminds us of human expression of emotions. In either way, the adherents of this view claim, roughly, that music is expressive of an emotion when it arouses a relevant emotion or feeling in the listener.”(Packalén, 2008: 42)
            Melalui teori arousal yang disajikan di atas dapat diketahui manusia dapat dengan mudah terpengaruh tubuhnya apabila mendengar musik. Dalam kasus tertentu juga akan ditemukan musik dengan tempo-tempo lambat bahkan sangat berpengaruh pada pikiran dari si penikmat musik itu sendiri. Hardcore dan dangdut pun sama dengan musik-musik lain,  dapat memberikan efek pada tubuh manusia sekaligus pikirannya. Musik merupakan turunan dari pikiran-pikiran manusia yang kemudian diberi stimulus dari lingkungan sosial-budaya mereka berada, diturunkan melalui alat musik ataupun suara dari penyanyi yang menstimulus masyarakat pula dalam gerak sesuai dengan kesepakatan dalam permainan musik. Sehingga, tak hanya secara pikiran, musik juga memberi dampak yang besar dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks.

Analisis
            Dinamika praktis dalam bermusik sangat kental dengan adanya dorongan untuk melakukan ekspresi atau bentuk eksplorasi diri bagi manusia. Melalui pengalamn individu, individu dalam kelompok kecil, ataupun kelompok kecil pada komunitas masyarakat yang besar dengan kesamaan menikmati hardcore ataupun dangdut, membuka peluang saling keterbukaan antar penikmat musik hardcore dan dangdut dalam komunitasnya yang saling memberikan motif ke depan dalam perubahan yang terjadi dalam adegan musik. Perubahan yang terjadi dalam adegan musik sendiri tergantung pada kondisi sosial masyarakat menerima musik hardcore dan dangdut. Sehingga, dalam gerakan musik-musik tersebut tiada bentuk yang salah namun hanya ada bentuk gerakan yang sudah semestinya sama dengan ‘moshpit dance’ dan goyangan.
            Pengalaman seseorang dalam masyarakat akan musik sangatlah mempengaruhi mereka dalam aktivitas musik. Seperti pada adegan musik yang meupakan bentuk terintegrasinya musik, gerakan tubuh penyanyi dan penonton, serta keikutsertaan ruang dalam terjadinya aktivitas dalam musik tersebut. Sehingga melalui gerak terhadap musik tidak hanya terdiri dari gerakan-gerakan yang sangat jelas membangun atas musik dan adegannya yang sedang dilakukan dalam bentuk eksternal. Dalam bentuk internal seperti perubahan fisiologis dan psikologis juga nampak dari adanya aktivitas dalam bermusik. Hal tersebut dipaparkan oleh Dack:
“The relationship between the art of music and the human body is surely not restricted to external movements structured as dance, or else appearing in the form of common behavioral responses such as tapping and swaying. There is ample historical and contemporary evidence indicating that music also affects the body internally, causing physiological changes ranging from mild to profound in listeners. Changes in heart rate and in muscular tonus are among the most common physicological responses to music”(Dack, 2006: 449-450).
            Memasuki masa posmodern, musik diartikan sebagai bentuk kebebasan dalam melakukan ekspresi. Musik seperti hardcore dan dangdut menjadi bentuk-bentuk konsumsi yang mencapai titik penyimpanan dari hubungan-hubungan atas waktu luang yang dikumpulkan masyarakat posmodern. Konsumsi atas bekerjanya seni dalam kehidupan masyarakat terutama pada hal ini ialah seni musik merupakan gambaran atas keinginan masyarakat untuk pula memenuhi kebutuhan estetis. Oleh karenanya, tidak hanya kebutuhan fisik, jiwa, dan pikiran yang didapat dalam bermusik sebagai pengisi waktu luang, kebutuhan akan suatu hal yang bersifat estetik agaknya dibutuhkan pula dalam kehidupan bermasyarakat. Terdapat hal yang nampak seolah-olah natural pula dalam permainan musik seperti yang disebutkan oleh Blacking, “… regarded music as a universal attribute of human mind, genetically programmed in the brain, in some ways analagous to natural language, and like language, part of the make-up of every normal human being”.[3] Musik hardcore dan dangdut beranalogi dengan bahasa masyarakat yang musiknya juga berawal dari pemikiran-pemikiran masyarakat sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka, menjadi kebiasaan atas penggunannya yang sehari-hari, serta masyarakat yang memiliki musik-musik tersebut menjadikan seolah masyarakat mengalami pembentukan  musik yang secara alami ada dalam masyarakat tanpa memperhatikan unsur dari konsumsi atas waktu luang.          
            “…The similarities between motor activities and performance of musical phrases do not only concern the temporal shape they assume prior to rest or closure”[4]. Kutipan tersebut memberikan pengarahan pada musik dan aktivitas motorik yang menjadi kesatuan aktivitas dalam bermusik. Pengalaman memang menentukan bagaimana musik ini untuk selalu direproduksi dari masyarakat, namun tidak semestinya apabila dalam aktivitas bermusik mengabaikan musik sebagai bentuk pelarian dari kesempatan yang sementara dalam segala aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan mereka. Sehingga, mereka memiliki musik sebagai hal yang sebelumnya telah ada untuk jeda atau dalam penjelasan di atas sebagai pengisi waktu luang yang digunakan dengan menikmati dan memenuhi kebutuhan estetis.
            Gerakan dalam aktivitas musik pada masyarakat sebagai pendengar, penikmat, ataupun penonton selalu mengalami perubahan. Perubahan gerak dalam adegan musik tersebut seperti moshpit dance dan goyangan, tidak dapat dihindari sebab masyarakat selalu mengalami perubahan pula dalam kondisi fisik lingkungannya yang mempengaruhi kondisi ekonomi, politik, sosial, dan budaya hingga kesenian sebagai salah satu bagian dari budaya masyarakat. Kestatisan bentuk gerak dalam adegan kedua musik di atas akan menjadi lebih bersifat aneh dengan kemungkinan bahwa tidak ada yang berubah bahkan dalam kehidupan masyarakatnya. Sehingga, dapat diketahui bahwa perubahan dalam diri manusia itu bersifat semestinya. Untuk merefleksikan bagaimana musik hardcore dan dangdut ini mengalami transformasi, maka di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai:
1. Representasi tubuh pada musik   
Seperti halnya telah disebutkan pada pembahasan di atas mengenai musik sebagai bentuk dari situasi sosial budaya yang ada dalam masyarakat, musik dalam representasi juga dapat diartikan sebagai bentuk interaksi, dan asosiasi dengan tubuh. Sebagai bentuk dari situasi sosial dikatakan oleh Plato (1881) bahwa “It was thought that music could signify social situations, scenes and relationships that conjured up alternatives to the status quo[5]. Tidak terlalu jauh untuk membahas tentang status quo, yang menarik pada musik sebagai bentuk representasi tubuh ialah pondasi-pondasi yang ditata sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan adegan musik yang menyimbolkan bentuk dari tatanan hidup masyarakat pada waktu dan ruang masyarakat tinggal.
Budaya yang diproduksi terus-menerus akhirnya membawa manusia pada zaman serba digital seperti sekarang ini. Kemudahan untuk mengetahui musik dari belahan dunia lain sepertinya tidak dapat dipungkiri. Musik pada zaman digital ini dapat dengan mudah diakses. Sehingga, interaksi antar penggemar dalam kasus musik meskipun berbeda jauh karena jarak masih dapat terlaksana dengan baik. Bahkan dengan kehadiran musik dan sama-sama saling menikmati musik tersebut tanpa memandang asal atau jarak yang jauh dari tempat asal musik tersebut diproduksi pada masyarakat dapat merepresentasikan bahwa musik dapat memberikan akses untuk saling berinteraksi. Kamera memiliki peran penting dalam representasi ini. Secara virtual, gambar disajikan dan dibagikan berupa gerak dalam adegan musik tertentu melalui kamera sebagai seperangkat alat modern ditambah dengan jaringan internet maka memungkinkan bagi para penikmat musik untuk saling berbagi dan berkomunikasi meski secara online.
Kenikmatan interaksi secara online sendiri tidak sama halnya dengan komunikasi dan interaksi secara langsung, namun demi kepentingan keeksisan dari musik yang diperkenalkan tersebut hal ini dilakukan. Sehingga, kepunahan akan suatu genre musik tertentu tidak akan terjadi karena reproduksi terjadi sesuai dengan zaman yang berlaku. Sama halnya dengan musiknya yang selalu direproduksi, oleh karenanya adegaan dalam tiap musik juga direproduksi untuk menunjang interaksi, sehingga ketertarikan masyarakat pada hal-hal yang baru juga terpenuhi. 
 Terasosiasinya tubuh dengan musik ini terjadi karena realitas timbul dari tiap adegan musik yang dimainkan. Respon tubuh terhadap musik yang sedang dimainkan merupakan bentuk asosiasi tersebut. Meski tak jarang, produksi dari adegan sendiri dilakukan secara komunal bukan berarti asosiasi tubuh dengan musik ini tidak dilakukan secara pribadi oleh masyarakat. Masyarakat dalam kegiatannya sebagai makhluk yang individual memiliki konsep tersendiri dan pandangan yang berbeda dengan manusia lain. Sehingga, bahkan sah-sah saja adegan musik tersebut dipersepsikan lain dari komunitas. Namun, hal-hal yang kemungkinan kecil terjadi pada masyarakat ini tidak dapat langsung diasumsikan semua orang atau individu-individu yang berbeda secara konsep dan pandangannya diterima dan cocok. Sebab, apabila ketidakcocokan yang berlaku pada masyarakat terjadi kemungkinan adegan yang tidak sama oleh individu tersebut tidak diterima dalam masyarakat dengan suara mayoritas.
Selain ketiga hal di atas yang telah dijelaskan, disposisi tubuh juga terjadi dalam adegan musik yang sedang diberlaukan dalam waktu dan ruang tertentu. Disposisi ini mengacu pada wilayah ideologi yang berbeda antar lingkungan dilaksanakannya konser musik hardcore ataupun dangdut dengan tempat sebelumnya seseorang berada. Pada bentuk dari perubahan ini ialah gaya santai dan rileks yang dilakukan para penonton musik konser dangdut saat menjadi penonton dan kemudian pulang ke rumah, dimana orang tersebut berperan sebagai bapak ketika di rumah. Pergantian peran ini yang kemudian menuntut dan mendorong terjadinya perubahan terhadap ‘gesture’ karena melewati ruang yang berbeda.      
             
2. Identifikasi tubuh pada musik
Penentuan akan identitas dari musik melalui asosiasinya dengan tubuh dapat berupa lokasi sosial-budaya, ruang atau tempat, dan status. Identitas dalam bermusik tersebut menjadi penting sebab musik merupakan bagian dari nilai trans-lokal dalam masyarakat yang mencirikan atau mengkhaskan suatu musik tertentu pada suatu masayarakat yang memproduksi musik. Sehingga dalam pembuatan musik dengan ornamen gaya daam bermusik tidak sembarangan dilakukan oleh masyarakat, karena masyarakat pun memahami musik yang mereka mainkan merupakan tanda bahwa suatu masyarakat mampu untuk melakukan permainan musik, adegan musik, dan reproduksi musik tersebut.
“If music has for centuries accompanied certain types of work, and cannot be associated exclusively with the ‘manipulation’ of workers within capitalism, its specific uses within advertising do appear to have been significant in encouraging the growth, or at least the consolidation, of a historically unique system of modern consumerism. Theorists have argued that advertised images contain within them a ‘surplus’ which promises to enhance the bodily identity of the individual and which provides an impetus to consume” (Falk, 1994)[6].
Seperti seharusnya yang tertera pada apa yang disebutkan Falk, tubuh dalam musik tidak hanya diproduksi sebagai bentuk identitas dalam kerja kapitalis namun sebagai pendorong pula untuk tindakan mengkonsumsi dari apa yang ditawarkan, dalam hal ini musik dalam iklan. Memang tak dapat dipungkiri bahwasannya  terkadang musik dalam iklan merupakan bentukan dari suasana atau atmosfer afektif yang sedang berlaku, sehingga tidak salah jika dikatakan identitas tubuh pada iklan yang diiringi dengan musik berfungsi utuk menjual atau komoditi sesuai dengan minat atau segmen pasar pada saat iklan tersebut ditayangkan.
Dalam hal musik dan tubuh yang berasosiasi membentuk identitas melalui lokasi sosial dan budaya, musik dapat dicari secara historis proses lahirnya, namun tidak dapat diberlakukan secara semena-mena pada letak atau lokasi geografis. Misalnya saja secara geografis, pada musik hardcore yang merupakan musik dari Amerika Serikat, dan musik dangdut dari Indonesia. Isu yang muncul kemudian mengenai identitas ini ialah perbedaan kepemilikan dan saling klaim atas identitas asal suatu bentuk budaya. Seperti halnya dengan kesenian terlebih seni pertunjukan yang mana musik masuk di dalamnya, meski dalam masyarakat belum begitu banyak kasus muncul untuk saling klaim mengenai asal musik dan tentu dengan adegan yang dibuat secara khas pada musik tersebut bisa jadi masyarakat akan bertanya-tanya nantinya, apabila tidak ada kesepakatan dari awal dan arus perpindahan dan komunikasi semakin kompleks.
Lokasi sosial dan budaya dari musik sendiri seperti halnya hardcore bisa tampak pada pekerja bangunan yang bekerja seharian penuh sehingga, menggunakan tempat seperti gudang yang tidak terpakai untuk melakukan permainan dan adegan musik hardcore sendiri. Sedangkan dalam musik dangdut meskipun lokasi secara geografis berada di Indonesia, namun tiap lokasi di Indonesia terutama di Jawa memiliki ikatan yang berbeda dalam lokasi sosial dan budaya. Pada dangdut daerah Jawa Timur lebih dikenal dengan dangdut koplo yang merupakan konsumsi dari orang-orang desa di daerah tersebut, atau di Jawa Tengah dengan orkes dangdut melayu dengan penikmat orang-orang pantai utara pulau Jawa. 
“As defined by Marcel Mauss (1979), body techniques are ‘uses of the body’ which vary across societies, sub-populations within societies, such as status groups, and historical periods” (Crossley, 2015: 472)
Menurut pernyataan di atas dapat dipahami bahwa penggunaan teknik tubuh seperti moshpit dance ataupun goyangan, menunjukkan ruang sosial yang terjalin pada penonton dari musik yang sedang dimainkan. Terdiri dari kalangan mana sajakah bentuk-bentuk tarian atau olah tubuh yang dialkukan selama adegan musik dimainkan menjadi identitas yang kadang identik dengan musiknya.
Melalui status penonton pertunjukan atau konser musik hardcore maupun dangdut yang merupakan buruh, petani, ataupun nelayan di tempat mereka memproduksi adegan musik mengungkapkan bahwa mereka mampu untuk merefleksikan diri mereka melaui musik. Tangkapan akan realitas sosial membuat mereka mampu membedakan diri dengan musik yang ada.   

3. Otentisitas tubuh terhadap musik
Keontetikan tubuh terhadap musik ini terbentuk atau terwujud pada nilai-nilai yang terkandung dalam setiap adegan musik yang dilakukan dalam setiap aktivitas musik dilakukan. Tentu selain nilai jual dan komoditi, adegan musik ini juga memiliki nilai-nilai lain. Nilai-nilai tersebut merupakan bentuk kepatutan ataupun memiliki sisi positif untuk kepentingan orang banyak. Nilai-nilai yang ada ini diberlakukan untuk kontrol dan evaluasi diri bagi masyarakat yang selalu mengalami perubahan dalam lingkup sosial-budayanya. Contoh dari nilai tersebut pada olah tubuh terhadap musik ialah nilai kepemilikan bersama. Nilai yang satu ini tak dapat dipungkiri sangat berperan besar pada komunitas musik seperti yang dipaparkan oleh Chris Shilling:
“Music clearly sometimes serves to help ‘knit together’ individuals into a social group by stimulating a physiological response which can be directed through ritual action towards a support for collectively defined symbols, values and actions” (Shilling, 2005: 145). 
Stimulus-stimulus dari nilai yang berlaku tersebut menjadi acuan bagi para penikmat musik untuk melakukan adegan musik terkait dengan kelangsungan fenomena budaya dan pemahaman sehari-hari penyanyi dan penonton akan nilai yang telah diperbuat. Keterikatan antar penyanyi dan penonton pada hardcore misalnya memberikan efek terintegrasi menjawab akan respon tubuh sebagai bagian yang akan direproduksi terus dalam budaya bermusik hardcore. Gerakan terintegrasi tersebut pada ruang yang diliputi nilai kebersamaan dapat memberi pengaruh yang lebih sebagai alat tukar afektif diri dan tempat. Kebersamaan dalam aktivitas musik biasanya terwujud berupa korsa yang digunakan oleh penikmat musik dalam konteks ini seperti musik hardcore dengan memakai kaos hitam atau berwarna gelap saat konser.
Nilai demokrasi juga ditawarkan dalam proses adegan musik dimainkan. Penonton bebas melakukan ekspresi diri, melepas penat untuk sementara dan meninggalakan peran yang dilakukan pada ruang-ruang yang berbeda dari ruang atau arena konser. Kehadiran penonton dalam sebuah konser, pentas, maupun festival tidak dapat dipungkiri memang sangatlah penting. Seperti dalam musik hardcore sendiri apabila berlaku adegan musik hardcore, maka setiap orang yang menikmati musik hardcore tersebut akan melakukan penempatan dan negosiasi atas posisi tubuh mereka tanpa perintah maupun larangan, yang meskipun begitu tidak berarti tidak ada batasan dalam melakukannya.
Nilai kesetiakawanan juga dapat muncul dalam bentuk aktivitas bermusik. Nilai tersebut muncul karena kesamaan atau rasa kepemilikan atas sebuah identitas, yang dalam hal ini ialah jenis musik yang sama. Seperti dalam perbincangan sehari-hari seorang individu akan lebih mudah memahami akan individu lain dari perbincangan dengan topik yang sama dan tentu yang disuka. Sama halnya dengan para penikmat musik seperti hardcore dan dangdut yang memilki komunitas sendiri dalam melakukan aktivitas bermusik memiliki rasa kesetiakawanan yang kuat dalam mengusung dan mereproduksi musik hardcore maupun dangdut yang menjadi ciri khas mereka. Ciri khas seperti itulah yang kemudian menjadikan mereka teridentifikasi diri menjadi bagian-bagian dari komunitas tertentu dalam keikutsertaan mereka beraktivitas dengan musik.    
Nilai yang kemudian menjadi tolak ukur dalam sebuah aktivitas musik ialah nilai estetika. Nilai estetika sendiri, tentu dalam kehidupan masyarakat tidak sembarangan dibuat dan disajikan. Kepantasan akan penerimaan  seseorang dalam suatu masyarakat yang taat agama misalnya akan berbeda dengan orang-orang yang berlingkungan dengan masyarakat yang mayoritas ialah pemulung. Dalam musik pun juga berlaku demikian. Tidak semua hardcore dapat diterima dalam masyarakat, tidak semua dangdut dapat pula diterima secara terbuka oleh masyarakat. Sebab keindahan tidak dinilai dari satu sisi saja namun besar kemungkinan seperti nilai estetika yang ditawarkan oleh penyaji atau seniman pun akan berbeda pula dengan penonton ataupun penikmat seni.  
Meski dalam masyarakat diharapkan berpikiran terbuka terhadap apapun gejala atau fenomena sosial-budaya yang ada, musik nyatanya mengalami pembatasan dalam pandangan masyarakat. Musik akan dinilai sebagai suatu kumpulan nada-nada yang teratur dalam masyarakat tergantung dari lingkungan tempat mereka tinggal, sehingga penilaian terhadap nilai estetika musik dalam masyarakat akan berbeda dari satu tempat dan tempat lain karena cara pandang yang berbeda terhadap lingkungan mereka masing-masing. Cara pandang yang berbeda berdasarkan lingkungan tempat tinggal inilah yang kemudian juga membentuk tatanan tubuh yang sudah semestinya menjadi pengalaman bagi tubuh seseorang, seperti melakukan adaptasi terhadap suatu tempat maupun cita rasa pada contoh ini ialah musik.

           
Kesimpulan

            Tubuh dan musik pada masyarakat timbul pertama kali pada tataran masyarakat lokal yang kemudian dikembangkan dan terus direproduksi sehingga menjadi musik yang terkenal dan dikenal masyarakat luas atau global menjadi salah satu budaya pop pada zamannya, sehingga banyak yang menyebutkan musik juga merupakan bagian dari trans-lokal yang diproduksi oleh masyarakat lokal dan saling berkembang seiring kemajuan zaman. Hardcore dan dangdut merupakan salah satu bentuk dari berbagai jenis musik di dunia yang  menjadi terkenal di zamannya. Kedua jenis musik tersebut sangatlah signifikan penempatannya pada respon tubuh manusia karena memang musik yang digunakan sangat mendorong seseorang untuk melakukan gerak tubuhnya. Pengekspresian diri melalui gerak tubuh untuk menikmati musik merupakan salah satu bentuk manusia dalam masyarakat melakukan dan menghidupi diri mereka dengan kontrol agar tubuh mereka tidak selalu melakukan pekerjaan yang keras dan melakukan relaksasi. Salah satunya ialah melalui musik.
Gerak tubuh dengan kehadiran musik dalam masyarakat seperti hardcore dan dangdut merupakan bentuk representasi, identifikasi, dan otentisitas pada masyarakat sebagai pemilik musik. Oleh karena musik merupakan bagian dari kesenian yang dalam unsurnya merupakan unsur dari kebudayaan, masyarakat dalam mengapresiasi musik sebagai seni pertunjukan yang dilakukan berasosiasi dengan olah tubuh, menempati tempat yang tinggi sebagai reflektivitas masyarakat terhadap persoalan sosial-budaya mereka. Sehingga, dalam berbagai bentuk musik dan adegan musiknya, unsur merasa terhibur dan puas dengan musik merupakan hal yang sangat diidamkan masyarakat.
Secara deskriptif, tubuh dalam fenomena eksistensi musik dalam masyarakat terbagi-bagi menjadi ruang-ruang. Ruang-ruang tersebut mengalami disposisi dan transformasi begitu pula dengan tubuh yang menyertainya. Keteraturan nada dalam permainan musik membuat tubuh memiliki respon yang stagnan dalam menanggapi keteraturan nada tersebut. Ruang-ruang dalam keteraturan nada yang mengikuti penyanyi, penonton, pemusik, dan bahkan alat musik sebagai sarana melakukan aktivitas musik ataupun sebaliknya tersebut kemudian dapat dianalisis dengan  menjelaskan adanya representasi dari musik yang berkembang dala masyarakat. Melalui interpretasi makna dalam analisis yang dibuat terhadap musik masyarakat, maka akan didapat spekulasi-spekulasi terhadap bentuk yang sama akan aktivitas musik di ruang yang berbeda. Sehingga tatanan dunia mengenai penerimaaan dan penolakan terhadap jenis musik tertentu pada suatu daerah akan sangat bergantung pada keterbukaan masyarakatnya dalam menanggapi musik sebagai fenomena sosial-budaya yang hadir dalam lingkungannya.  
 



Daftar Pustaka
Baily, Johny. 1995. Music and The Body, German: Verlag für Wissenschaft und Bildung.
Crossley, Nick. 2015. Music World and Body Techniques: On the Bodiment of Musicking, London: SAGE.
Dack, Mine Dogantan. 2006. The Body Behind Music: Precedents and Prospects, London: Society for Education, Music and Psychology Research.
Driver, Christopher dan Bennet, Andy. 2015. Music Scenes, Space, and The Body, London: SAGE.
Packalén, Elina. 2008. Music, Emotions, and Truth, Bloomington: Indiana University Press
Shilling, Chris. 2005.  The Body in Culture, Technology and Society, SAGE: London.





[1] Dirujuk pada Dack, Mine Dogantan, 2006, The Body Behind Music: Precedents and Prospects, London: Society for Education, Music and Psychology Research, halaman 450.

[2] Dirujuk pada Shilling, Chris, 2005. “ Musical Bodies” dalam The Body in Culture, Technology and Society, SAGE: London, halaman 127. 

[3] Dirujuk pada Baily, Johny, 1995, Music and The Body, German: Verlag für Wissenschaft und Bildung, halaman 27.
[4] Dirujuk pada Dack, Mine Dogantan, 2006, The Body Behind Music: Precedents and Prospects, London: Society for Education, Music and Psychology Research, halaman 451.
[5] Dirujuk pada Shilling, Chris, 2005. “ Musical Bodies” dalam The Body in Culture, Technology and Society, SAGE: London, halaman 132. 
[6] Dirujuk pada Shilling, Chris, 2005. “ Musical Bodies” dalam The Body in Culture, Technology and Society, SAGE: London, halaman 134.  

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��