Tugas UAS: Nelayan Balauring - Kesetiaan Terhadap Laut
Pendahuluan
Indonesia lebih
dikenal dengan negara kepulauan dibandingkan dengan negara maritim[1]
atau bahari[2]
pada masa kini. Penyebutan negara kepulauan ini terkonstruksi dalam pikiran
masyarakat Indonesia secara luas. Sehingga, terjadi pemahaman yang secara tidak
langsung menjadi orientasi Indonesia membangun nagara di masa sekarang.
Orientasi tersebut ialah menyangkut pembangunan Indonesia ke arah yang lebih
baik, dalam hal ini ditekankan pada wilayah daratan yang dimiliki Indonesia.
Kejayaan di darat
memang berhasil diolah, walaupun belum mencapai hasil yang semestinya.
Sayangnya, ketika kejayaan di darat ini mulai banyak digali masyarakat,
pemerintah, dan pihak yang terlibat dalam pembangunan, mereka seolah-olah lupa
akan wilayah laut yang juga memiliki hak untuk diolah dan konservasi. Memang,
masih ada segelintir orang yang peduli akan laut Indonesia yang luas. Namun
lebih banyak lagi orang di Indonesia yang tak mempedulikan kekayaan laut
Indonesia.
Indonesia telah
berbalik arah. Indonesia lebih progresif ke arah wilayah darat dan Indonesia
tidak lagi memiliki wilayah maritim yang kuat. Kesadaran memang ada dalam
masyarakat untuk mengeksplorasi kekayaan bahari Indonesia. Namun, pengoptimalan
pengelolaan belum dilakukan termasuk di dalamnya adalah melakukan konservasi
dan pembaharuan dalam bidang tersebut.
Pada penulisan
ini akan dibahas tentang kearifan lokal masyarakat nelayan Balauring di
Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) tentang potret kehidupan mereka yang
memperjuangkan konservasi wilayah laut Indonesia, potret kehidupan mereka yang
tidak meninggalkan laut dan pergi ke daratan untuk mencari penghidupan, potret
kehidupan yang melawan arus maritim ke kepulauan.
Lembata dan
Beragam Kekayaannya
“ Kabupaten
Lembata merupakan pemekaran wilayah Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa
Tenggara Timur[3]”.
Kabupaten ini juga dikenal dengan
sebutan ‘Lomblen’, yang merupakan kabupaten kepualauan yang terpisah dengan
batas laut. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah selatan
berbatasan dengan Laut Sawu, di sebelah Barat berbatasan dengan Selat Alor, dan
di sebelah timur berbatasan dengan Selat Lamakera. “ Kabupaten ini merupakan
sebuah pulau yang dikelilingi oleh perairan laut dalam (deepsea waters)
dengan perairan aut dangkal (continental shelves) relatif sempit
terutama terdapat di sebelah barat dan utara”[4].
Dari penjelasan
yang telah disebutkan di atas, terdapat keanekaragaman hayati laut yang
dimiliki oleh Kabupaten Lembata. Di perairan Lembata, ditemukan 12 jenis
kekerangan, teripang, tuna, cakalang, tongkol, kakap, teri, baronang, paus
(khusus dilakukan oleh nelayan Lamalera di laut Sawu), dsb[5].
Selain
keanekaragaman hayati laut, terdapat beberapa keanekaragaman budaya yang
berdampingan dengan masyarakat pesisir laut Lembata yang bekerja sebagai
nelayan. Keanekaragaman budaya ini terwujud pula dalam beberapa kearifan lokal
yang masih dipegang oleh masyarakat pesisir di Lembata di antaranya ialah:
• Badu; merupakan suatu tradisi adat masyarakat Watodiri dan
Dulitukan yang bersifat larangan untuk mengambil/menangkap hasil-hasil laut
pada suatu wilayah perairan selama periode waktu tertentu. Masyarakat dapat menangkap atau mengambil setelah
mendapat restu dari penguasa ulayat dan melalui upacara ritual.
• Muro; merupakan suatu kesepakatan dan tradisi adat yang
bersifat larangan kepada masyarakat dan nelayan di Lamatokan untuk tidak
menangkap ikan di wilayah perairan tertentu.
• Kolo umen bale lamaq;
merupakan tradisi/upacara adat dalam memberi makan kepada penguasa di
laut sebelum melakukan panangkapan, budidaya atau penanaman bakau. Bermakna
dalam hasil penangkapan, keselamatan dan juga dapat bermakna larangan.
• Poan kemer puru larang merupakan suatu tradisi adat yang
bersifat larangan untuk tidak boleh mengambil/menangkap teripang selama periode
waktu tertentu. Masyarakat hanya dapat menangkap/mengambil setelah mendapat
restu dari Ata Molang dan didahului dengan upacara ritual. Juga larangan untuk
tidak boleh merusak sumberdaya lainnya seperti mangrove dan terumbu karang.
• Toto; merupakan tradisi adat/acara ritual yang dilakukan
oleh masyarakat nelayan sebelum melepas sampan/juku baru dan pukat baru.
Bermakna terhadap hasil tangkapan,
kebersamaan, keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri.
• Bito Berue; tradisi adat/acara ritual yang dilakukan oleh
masyarakat nelayan sebelum melepas sampan/juku baru. Bermakna terhadap hasil
tangkapan, keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri.
• Lepa Nua Dewe; merupakan tradisi adat/acara ritual yang
dilakukan oleh masyarakat nelayan sebelum melepas pukat baru yang berukuran
kecil (noro) khusus untuk menangkap ikan serdin dan tembang yang biasanya
muncul pada musim-musim tertentu. Bermakna terhadap hasil tangkapan,
keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri.
• Bruhu Bito; merupakan tradisi adat/acara ritual yang
dilakukan oleh masyarakat nelayan sebelum melepas pukat baru untuk menangkap
jenis ikan-ikan yang lebih besar, selain ikan serdin dan tembang. Bermakna
terhadap hasil tangkapan, keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri.
• Tulalou Wate; merupakan tradisi adat dalam memberi makan
kepada arwah/roh leluhur yang meninggal di laut dengan makna agar ikan-ikan
berkumpul pada suatu tempat sehingga mudah ditangkap.(Stanis, dkk, 2007: 77-78)[6]
Berdasarkan
dari tangkapan ikan yang ada di laut Lembata terdapat budaya menangkap paus
bernama ‘Leffa Nuang’ yang terkenal di Lamalera. Lamalera adalah desa
kecil yang secara administratif berada di Kabupaten Lembata yang terletak 190
kilometer di sebelah utara Kupang, Ibu kota Provinsi NTT[7].
Keunikan yang menjadikannya kearifan lokal yang terkenal ialah nelayan di
Lamalera tidak perlu menggunakan alat yang canggih untuk melakukan penangkapan
ikan paus, dan mereka akan masih tetap meminta izin pada gereja untuk menangkap
ikan paus yang terlihat menuju ke arah pantai. Perburuan paus ini dilakukan
pada bulan Mei hingga September, yang dilaksanakan dengan gotong royong
laki-laki warga Lamalera. Setiap kali
mendengar teriakan “Baleo…baleo…baleo…!” warga akan berlari dan menuju
ke perahu penangkap paus dan menghentikan pekerjaan yang lain. Selain dari
penangkapan paus di Lamalera yang juga mempertahankan kearifan lokal, kepulauan Lembata masih menyimpan berbagai keunikan
budaya lain yakni Nelayan Balauring di Desa Balauring, Kecamatan Omesuri.
Masyarakat desa Balauring dikenal sebagai nelayan dan masyarakat pesisir. Tidak
seperti nelayan Lamalera yang telah cukup dikenal masyarakat luas sebagai
penangkap paus, keberadaan nelayan Balauring sebagai penangkap ikan tuna
belumlah cukup dikenal di kalangan masyarakat. Meskipun begitu, nelayan tuna
Balauring telah dikenal oleh produsen ikan tuna ekspor di Indonesia.
Kehidupan
Masyarakat Nelayan Balauring
Masyarakat nelayan
Balauring melaksanakan keseharian mereka seperti masyarakat pesisir lainya di
pulau Lembata. Perbedaannya hanya terletak pada hasil tangkapannya. Masyarakat
daerah pesisir desa Balauring adalah spesialis menangkap ikan tuna. Dulunya,
masarakat bekerja secara individu untuk memroduksi ikan tuna tersebut. “Kondisi
itu sesungguhnya menyulitkan pengusaha dalam memastikan kualitas hasil
tangkapan nelayan tuna. Sementara, harga jual tuna dapat ditetapkan sepihak
tanpa ada posisi tawar antara nelayan dan pengusaha.” (Ariyogagautama, 2012:
16).
Masalah dengan
pengusaha atau produsen ikan tuna bagi nelayan Balauring bisa diatasi dengan
dibentuknya forum tuna (Fortuna) Balauring oleh WWF[8].
Dengan dibentuknya Fortuna, masyarakat nelayan bisa mengajukan keluh kesahnya
kepada produsen atau pengusaha. Sebaliknya, pengusaha pun tidak begitu
direpotkan lagi dengan kepastian kualitas hasil tangkapan tuna dan harga
pembeliannya kepada nelayan.
Sementara itu,
terdapat keluh kesah lain dari nelayan Balauring. Hal ini berkaitan dengan
hasil tangkapan nelayan Balauring. Mereka merasa berada pada keterbatasan dalam
melakukan keinginan mereka di tanah mereka sendiri serta merasa terasing dan
kalah dalam perairan Lembata yang punya banyak hasil tangkapan. Keluh kesah
mereka tak lain ialah karena tersingkirnya mereka secara halus oleh nelayan
dari luar Lembata yang memiliki alat canggih dan modern dalam menangkap ikan di
laut Lembata sedangkan mereka masih
menggunakan alat yang sederhana untuk menangkap ikan di laut.
“ Nelayan Balauring sekarang harus menjadi nelayan Pole and line
yang tidak hanya menangkap ikan untuk konsumsi harian masyarakat kedang
tapi juga harus bisa menjadi penangkap ikan cakalang dan tuna untuk diekspor. Karena
itu kami minta Pemerintah Daerah untuk mendatangkan kapal Pole and line.[9]”
Kearifan Lokal dan
Dilema Nelayan Balauring
Terdapat
keinginan yang sama baik dari pihak pemerintah, masyarakat Balauring, dan
lembaga swadaya yang bergerak pada bidang pelestarian alam agar masyarakat
Balauring hidup sejahtera di daerahnya, bahkan yang lebih jauh ialah keinginan
mewujudkan nelayan tuna Balauring untuk maju ke kancah internasional.
Ekspektasi dan perwujudan ekpektasi tersebut masih saja sering mengalami persinggungan-persinggungan.
Di antara lain ialah persinggungan antar masyarakat lokal dalam hal ini ialah
nelayan Balauring dan pemerintah, nelayan Balauring dan pengusaha, serta
nelayan Balauring dan pihak lembaga swadaya masyarakat.
Lembaga swadaya
masyarakat seperti WWF dalam tujuannya menyejahterakan masyarakat berusaha
untuk semaksimal mungkin berdasarkan dengan program yang dijalankan berjalan
sesuai dengan keinginan masyaraat. Menuntut hak-hak yang semestinya menjadi hak
masyarakat dalam praktik kehidupan sebagai nelayan yang masih memegang kearifan
lokal merupakan bagian dari program tersebut. Terutama pada alam dalam hal ini
kekayaan biota laut, WWF sangat memiliki andil.
“Kearifan lokal
penting untuk dilestarikan masyarakat guna menjaga keseimbangan serta
melestarikan lingkunganntya[sic!]. Perilaku manusia terhadap lingkungan
dipengaruhi oleh faktor dasar, faktor pendukung, serta faktor pendorong.
Sedangkan perilaku manusia terhadap lingkungan disebabkan oleh persepsi,
tatanan perilaku positif, tatanan perilaku negatif serta lingkungan sosial
kelompok masyarakat.” (Khoirunnisa, 2015: 16)
Berdasarkan pada penjelasan di atas, nelayan Balauring memang masih
menyimpan kearifan lokal yang ditanamnya sejak mereka mengenal peralatan untuk
menangkap ikan. Masuknya teknologi yang canggih dan kapal-kapal yang lebih
besar belum bisa mengubah kemasan pencarian ikan tuna oleh masyarakat di desa
Balauring bahkan masyarakat masih menggunakan alat yang ramah lingkungan.
Keberadaan teknologi biasanya disertai dengan tindakan yang kurang
teliti dan hati-hati oleh masyarakat. Terdapat kemungkinan bahwa apabila
masyarakat yang meminta kapal pole and line dari pemerintah akan
mengubah pola pikir masyarakat dalam penggunaan, pengolahan, dan usaha
konservasi laut yang berkelanjutan. Misalnya saja di daerah Flores Timur yang
sejak tahun 2004 telah mengenal penangkapan tuna dengan pengeboman. Perbuatan
nelayan tuna di daerah Flores Timur ini dikarenakan beberapa faktor penyebab di
antaranya ialah: 1. Kurangnya keterampilan nelayan untuk menghasilkan ikan berkualitas.
2. Peran pasar yang mendukung penangkapan tuna dengan bom di Flores Timur.
3. Keuntungan jangka pendek yang didapat dari aktivitas merusak.
4. Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum.
(Ariyogagautama dan Salim, 2013: 5-9)
Karenanya, usaha WWF sebagai lembaga swadaya masyarakat menekan
tindak perusakan terhadap alam sangatlah ditekankan pada masyarakat Balauring
sehingga tidak menjadi semena-mena terhadap kekayaan laut yang mereka punya. Di
sisi lain, masyarakat Balauring pun menjadi dilema atas fenomena yang terjadi.
Keinginan mereka untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, pun ikut
meramaikan perdagangan tuna di kancah internasional terhalang oleh usaha yang
ramah lingkungan dan memegang kearifan lokal.
Kesimpulan
Permasalahan
yang tiada ujungnya dialami oleh masyarakat nelayan Balauring selama menjalani
kehidupan sebagai nelayan di masa yang serba modern ini. Tuntutan mereka
terhadap pemerintah yang belum serius ditanggapi oleh pemerintah memang tidak
menyurutkan niat mereka untuk memajukan perikanan di perairan mereka sendiri.
Kendala yang
menyebabkan mereka berkecil hati ialah ketika mereka harus tetap pada posisinya
untuk menjaga kelestarian alam bawah laut milik mereka dengan selalu bertindak
berhati-hati dalam melakukan penangkapan ikan sedangkan, mereka juga perlu
meningkatkan kesejahteraan hidup dari hasil tangkapan. Sementara mereka pun
dihadapkan dengan kecemburuan terhadap nelayan di luar Lembata yang menggunakan
kapal-kapal dan teknologi yang modern dalam menangkap ikan.
Hasil tangkapan
ikan tuna yang telah dikenal produsen atau pengusaha ekspor Indonesia dan
rencana WWF membawa nelayan desa Balauring ini ke arah internasional nyatanya
akan masih terkendala dengan beberapa hal yang mungkin belum terjamah oleh
semacam lembaga swadaya masyarakat lain seperti WWF. Usaha yang baik memang
ditularkan WWF dengan membentuk forum
tuna Balauring, namun untuk orientasi keberlanjutan perdagangan tuna oleh
masyarakat nelayan Balauring belumlah bisa dilakukan melihat masyarakat yang
masih terbelenggu dengan kemodernan.
Apabila
tuntutan masyarakat Balauring terhadap pemerintah daerah dipenuhi oleh
pemerintah daerah, maka terdapat masalah baru yang muncul. Peran antropolog
dalam mempelajari manusia sangatlah diperlukan dalam masalah seperti yang
terjadi pada masyarakat Balauring ini. Pemerintah mungkin saja memiliki
pemikiran yang baik dengan tidak memberi kapal tersebut, berarti masyarakat tetap mempertahankan
kearifan lokal yang mereka punya dalam pegelolaan kekayaan laut. Sehingga
apabila kapal tersebut terealisasi, maka yang terjadi ialah pemerintah belum
menemukan solusi untuk masalah yang kemungkinan muncul dalam upaya
menyejahterakan masyarakat, dan kekhawatiran pemerintah kehilangan kearifan lokal
sebagai budaya setempat sedangkan, masyarakat nelayan Balauring masih memiliki
tekad yang kuat dan semangat untuk kembali bangkit dalam perairan Indonesia dan
menuju ke kancah internasional. Kepercayaan sepenuhnya baik dari pihak swasta,
pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat terhadap masyarakat nelayan
Balauring dapat menghasilkan kolaborasi dan koordinasi yang baik dalam
menghadapi zaman yang modern ini. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan
penyelesaian di antara pihak yang terkait dalam satu meja, agar nelayan
Balauring tetap menjaga kearifan lokal yang dimilikinya, sembari tetap ikut
memeriahkan dunia yang telah terjangkit globalisasi di kancah internasional
untuk pengoptimalan, pengelolaan, dan konservasi laut dengan tetap melakukan
pencapaian tujuan menyejahterakan masyarakat nelayan Balauring.
Daftar Pustaka
Ariyogagautama, Dwi. 2012. “Nelayan Tuna Balauring:
Menuju Perikanan Internasional” dalam Cristina Eghenter , dkk (ed). Masyarakat
dan Konservasi 50 Kisah yang Menginspirasi dari WWF untuk Indonesia. Jakarta:
WWF Indonesia.
Ariyogagautama, Dwi dan Ogys Feryagi Salim. 2013. Potret
Pemboman Ikan Tuna di Kabupaten Flores Timur. Jakarta: WWF Indonesia.
Pusat Riset
Perikanan Tangkap, Ekologi dan Potensi Sumber Daya Perikanan Lembata, Nusa
Tenggara Timur, Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.
Laporan
Penelitian
Khoirunnisa.
2015. Peran Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber
Daya Pesisir. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Jurnal
Stanis, Stefanus. Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir Dan
Laut Melalui Pemberdayaan
Kearifan Lokal Di Kabupaten Lembata
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.2,
Januari 2007, Semarang.
Majalah
Kalimas. Musim
Berburu Paus Di Perairan Lamalera Wilayah Kerja Pelindo III Di NTT Banyak
Menyimpan Unikum. Antaranya Berupa
Perburuan Paus Di Lamalera. Dermaga, Edisi 188, Juli 2014.
Website
Ferry Dasilva, Nelayan
Balauring : Kami Butuh Kapal Pole and Line, www.lembatakab.go.id/index.php/10-berita/88-nelayan-balauring?showall=&start=1 diakses pada
10 Januari 2016 pukul 07:01
Kbbi.web.id/maritim.
Diakses pada 10 Januari 2016 pukul 04:56.
Kbbi.web.id/bahari-3.
Diakses pada 10 Januari 2016 pukul 04:59.
[1] Kbbi.web.id/maritim,
Pengertian maritim/ma-ri-tim/ a berkenaan dengan laut berhubungan dengan
pelayaran dan perdagangan di laut, Diakses pada 10 Januari 2016 pukul 04:56
[2]
Kbbi.web.id/bahari-3, Pengertian bahari/ba-ha-ri/ ark a mengenai laut;
bahari, Diakses pada 10 Januari 2016 pukul 04:59.
[3] Dirujuk pada
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Ekologi dan Potensi Sumber Daya Perikanan
Lembata, Nusa Tenggara Timur, Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.,
hlm 3.
[4] Dirujuk dari Pusat
Riset Perikanan Tangkap, loc.cit.
[5] Dirujuk dari
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Ibid, hlm 2.
[6] Dimuat dalam Jurnal
Pasir Laut, Vol.2, No.2, Januari 2007.
[7] Dirujuk dari
Dermaga, Edisi 188, Juli 2014., hlm 62.
[8] WWF singkatan
dari World Wide Fund for Nature. Fortuna dibentuk pada tahun 2009 dengan
tujuan menyejahterakan anggota nelayan tuna.
[9] Dirujuk dari Ferry
Dasilva, Nelayan Balauring : Kami Butuh Kapal Pole and Line, www.lembatakab.go.id/index.php/10-berita/88-nelayan-balauring?showall=&start=1 diakses pada
10 Januari 2016 pukul 07:01
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu