Tugas UAS: Torang Samua Basudara: Diaspora Minahasa di Kancah Dunia

Pendahuluan
           Persoalan budaya bukan hanya menyangkut beberapa hal yang sifatnya tradisional, ritual, seni, dan adat. Persoalan budaya telah mencapai pada suatu hal yang lebih kompleks dari hal tersebut. Cara hidup menjadi salah satu bagian dari kompleksitas budaya seperti disebutkan pada Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Ralph Linton, 1936 via Rahardjo, 2014: 64):
“Kebudayaan secara umum diartikan sebagai way of life suatu masyarakat. Way of life  dalam pengertian ini tidak sekedar berkaitan dengan bagaimana cara orang untuk bisa hidup secara biologis, melainkan jauh lebih luas dari itu. Dijabarkan secara rinci, way of life mencakup way of thinking (cara berpikir, bercipta),way of feeling (cara berasa, mengekspresikan rasa), dan way of doing (cara berbuat, berkarya)”.
Atau budaya diartikan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dirinya melalu belajar” (Koentjaraningrat: 2009, 144). Belajar merupakan kata kunci untuk menjelaskan fenomena yang terjadi kemudian terhadap pola yang mendasari terbentuknya budaya.
            Sampai pada pengertian di atas, maka memunculkan konsep dari diaspora sebagai tindakan yang dilakukan dengan cara belajar yang dalam kehidupan bermasyarakat sebagai bentuk pengalaman yang direproduksi. Sehingga menurut Laevi dan Swedenburg (1991 via Setyaningrum, 2004: 182) “ Diaspora merupakan suatu migrasi secara massif kelompok-kelompok orang berkulit berwarna (non kulit putih/Eropa) selama dan sesudah kolonialisme Barat”. Penulis di sini memberikan pengertian berbeda dari yang telah disebutkan di atas mengenai diaspora yakni sebagai perjalanan yang ditempuh oleh sekelompok masyarakat ke suatu tempat dengan identitas budaya yang sama dan dipahami sekelompok masyarakat tersebut sebagai sebuah relasi antara tempat asal dan tempat tujuan baik secara sukarela atau tidak maupun direncanakan atau tidak direncanakan, perpindahan yang dilakukan telah membedakan identitas budaya antar perorangan sehngga konsep ini tidak hanya berlaku pada perbedaan yang jauh geografis suatu wilayah. Adanya relasi yang mengacu pada daerah asal dan tujuan inilah yang menjadikan lahirnya konsep diaspora.   
Konsep yang mengacu pada diaspora merupakan way of life yang meliputi tiga hal yang telah disebutkan oleh Koentjaraningrat sebagai pengertian dari budaya. Awal memulai cara hidup berburu dan meramu hingga dikenalnya segala perangkat yang sifatnya serba cepat atau yang lebih dikenal dengan istilah instant merupakan bagian penting proses diaspora ini muncul. Kemunculan perangkat instant ini termasuk di dalamnya ialah alat transportasi dan  komunikasi sebagai sarana penghubung antara desa dan kota, kota dan kota, bahkan antar negara. Dengan kata lain, moda transportasi dan komunikasi inilah yang memberikan akses kemudahan masyarakat untuk melakukan perpindahan dari daerah asal menuju ke tempat yang menurut mereka lebih baik. Selain itu, media yang sering memberikan banyak informasi akan dunia luar dan peluang menjanjikan juga memiliki pengaruh yang kuat untuk orang-orang yang melakukan migrasi. Masyarakat Indonesia memiliki daya perpindahan yang tinggi dibuktikan dengan data statistik dari BPS[1] pada data migrasi yang semakin bertambah dari sepuluh tahunan survei yang dilakukan, terutama migrasi keluar. Migrasi keluar yang tinggi inilah yang memberikan Indonesia banyak memiliki diaspora dari berbagai etnis, yang pada tulisan ini dibahas mengenai diaspora etnis Minahasa.       
 Wilayah Persebaran
      Etnis Minahasa merupakan sebuah etnis yang “ . . . mendiami jazirah utara, tepatnya di bagian timur laut pulau Sulawesi.Letak geografis wilayah tempatan suku ini berada di antara 0o 51’ dan 1o 51’ 40’ LU dan 124o 18’ 40’ dan 125o 21’ 30’ BT. Luas wilaah ini, 5273 Km². Wilayah Minahasa berbatasan dengan daerah Bolaang-Mongondow dan Sangihe-Talaud. Hingga saat ini, ketiga wilayah tersebut masih merupakan bagian dari propinsi Sulawesi Utara” (Wattie, 2013: 5), seperti ditunjukkan pada peta di bawah ini:
1. Peta Sulawesi dalam peta Indonesia.

Sumber: http://www.mapsofworld.com/indonesia/
2. Peta Sulawesi

Sumber: http://geospasial.bnpb.go.id/2009/11/25/peta-pulau-sulawesi/
3. Peta Sulawesi Utara domisili masyarakat etnis Minahasa.

Sumber:  http://desnantara-tamasya.blogspot.co.id/2011/03/peta-propinsi-sulawesi-utara.html
Berbeda dengan pengertian etnis Minahasa di atas secara geografis saja, maka di bawah ini djabarkan mengenai pengertian etnis Minahasa berdasarkan letak geografis dan dialek, yakni:
“Minahasa yang dimaksud di sini adalah orang Minahasa yang mendiami tiga daerah pemerintahan sekarang, yakni daerah pemerintahan sekarang, yakni daerah Kabupaten Minahasa Induk, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Kota Madya Manado, Kota Bitung, dan Kota Tomohon . Atas dasar geografis dan perbedaan bahasa/dialek, Minahasa mengenal beberapa suku, yakni: Toumbulu, Tounsea, Toulour, Toutemboan, Bantik, Passan, Ponosakan, Tounsawang”[2].
Selanjutnya, berdasarkan sejarah perkembangan etnis Minahasa mereka sering dikenal sebagai antek-antek Belanda karena mereka sering membantu kepentingan Belanda pada masa kolonial dan memiliki kedekatan dengan Belanda pada masa itu. Sehingga, tidak heran pula jika budaya yang melekat sebagai identitas masyarakat Minahasa juga mirip dengan kebudayaan Eropa khususnya Belanda. Begitupun yang terjadi dengan persebaran masyarakat etnis Minahasa, yang diawali dengan kedekatan leluhur mereka dengan pemerintahan kolonial khususnya Belanda. Kebutuhan akan tenaga kerja kemudian mendorong pemerintah kolonial, untuk memberangkatkan etnis Minahasa ini keluar negeri untuk dimanfaatkan kembali di Indonesia. Setelah masa kolonial berakhir, masyarakat Minahasa yang kemudian juga dikenal sebagai masyarakat ‘Manado’ banyak pergi ke luar negeri tidak hanya Eropa untuk memperbaiki nasib mereka sehingga terjadi persebaran beberapa diaspora Minahasa di dunia. Persebaran diaspora Minahasa tersebut, dapat dilihat lebih lanjut dalam peta persebaran diaspora etnis Minahasa yang ditunjukkan oleh anak panah di bawah ini:
4.  Peta persebaran diaspora Minahasa
(gambar tidak bisa ditampilkan :( maaf )
Sumber:  reference.guide.com
Melihat dari peta persebaran di atas dapat diketahui masyarakat Minahasa banyak melakukan mograsi ke daerah Eropa khususnya Belanda, Amerika Serikat khususnya Calofornia, dan Asia seperti di Jepang, China, Korea Selatan, Brunei Darussalam dan Singapura. Pada tahun 1800-an, masyarakat Minahasa yang pro terhadap kependudukan kolonial banyak yang melakukan mobilitas ke Belanda sebagai bentuk menambah pengetahuan atau memasuki pendidikan yang lebih tinggi di Belanda yang mana pada akhirnya dapat terus-menerus memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk melakukan perpindahan tersebut. Untuk negara-negara lain sebagai tempat yang dituju oleh masyarakat Minahasa didapatkan dari data pekerja Minahasa yang bekerja di luar negeri dari TKI hingga pekerja profesional. Negara-negara tujuan tersebut seperti Korea Selatan, meski tidak ditemukan literatur yang sangat mendukung adanya diaspora Minahasa di Korea Selatan, namun dengan meningkatnya angka penduduk Kristen di Korea Selatan menjadi bukti penting adanya masyarakat diaspora Minahasa di Korea Selatan, sebab mayoritas masyarakat diaspora Minahasa  merupakan pemeluk agama Kristen[3]. Selain itu, kawanua[4] sebagai wadah pelatihan bagi masyarakat Minahasa yang ingin bekerja di luar negeri juga membuka peluang kerja di Korea Selatan sehingga meguatkan pendapat jika terdapat masyarakat diaspora di Korea Selatan.
Kependudukan
Kondisi ekonomi merupakan jaminan yang biasa dijadikan dasar suatu masyarakat untuk melakukan perpindahan atau tidak. Perpindahan pada kejadian tersebut diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki atau lebih menyejahterakan kualitas kehidupan seseorang. Sama halnya dengan masyarakat diaspora Minahasa kondisi ekonomi memang menjadi indikator mereka untuk melakukan perpindahan. Pada masa kolonial, perpindahan pada masyarakat Minahasa lebih diutamakan kaum bangsawa atau kelas atas yang mempunyai kepentingan langsung dengan pemerintahan kolonial terutama pada bidang pendidikan pada masa itu. “ … gerak migrasi sudah terjadi hingga ke luar negeri. Tradisi mobilitas dalam bidang pendidikan ini kemudian dikenal luas dengan bahasa lokal sumikolah(Wattie, 2013: 71). Sumikolah inilah yang kemudian menyebarkan lulusannya dari luar negeri sampai ke pulau Jawa sebagai dokter Jawa pada saat masa kolonial. Hingga saat ini, mereka yang melakukan perpindahan dan berstatus sebagai diaspora Minahasa yang tinggal di luar negeri tidak harus memiliki status tinggi. Keberagaman status pada diaspora Minahasa berkaitan dengan dibolehkannya siapapun masyarakat Minahasa untuk pergi ke luar negeri, yang memang meski tak jarang ialah orang-orang golongan atas yang memiliki kecukupan kebutuhan primer untuk hidup.
Kawanua seperti yang telah disebutkan di atas, sebagai wadah pelatihan kerja masyarakat Minahasa merupakan organisasi bentukan diaspora Minahasa yang telah sukses di luar negeri dan sering memberikan akses kepada masyarakat Minahasa untuk kesejahteraan di dalam Minahasa sendiri, maupun ke luar negeri. Pada organisasi kawanua banyak menerima masyarakat pada usia produktif untuk dilatih menjadi calon pekerja di luar negeri. Sehingga, yang terjadi pada umumnya ialah pola ditinggalkannya masyarakat usia non-produktif di tanah Minahasa. Selain kawanua, ada juga ‘Gang Sartana’ sebagai komunitas Minahasa yang berada di Jakarta. Namun, komunitas ini tidak begitu menonjol jika dibandingkan kawanua. Sebab basis penyatuan identitas Minahasa pada gang sartana masih terbatas pada diaspora yang ada di Jakarta sedangkan kawanua memiliki daya penyatuan identitas Minahasa untuk seluruh diaspora Minahasa yang berada di dunia.  
Ekonomi Diaspora
            Perginya seseorang ke luar negeri dan menetap di sana, tentulah setidaknya menghasilkan sesuatu atau bekerja. Bekerja merupakan hal lumrah bagi orang-orang diaspora dimanapun mereka berada. Kembali pada konsep diaspora sebagai way of life,  maka diaspora harus pula dipahami sebagai cara mempertahankan hidup dimanapun berada. Seperti halnya diaspora Minahasa yang juga melakukan usaha dengan tujuan memperbaiki nasib di tanah orang. Sehingga, perbedaan jenis pekerjaan juga terlihat dalam masyarakat diaspora. Meski terkadang pada beberapa etnis ditemukan pekerjaan khusus yang merupakan suatu keahlian suatu etnis mengatasi sebuah pekerjaan. Meski tidak begitu terkhususkan, diaspora minahasa lebih pada memiliki jenis pekerjaan yang beraneka ragam mulai dari mahasiswa, asisten rumah tangga, teknisi, pekerja pemerintahan di daerah tujuan, hingga kalangan profesional. Bahkan banyak kalangan pemuda-pemudi Minahasa menjadi tentara di Amerika Serikat[5].
Pengelompokan
             Berkurangnya hambatan geografis merupakan bentuk dari kemudahan untuk masyarakat diaspora secara umum untuk bisa mengatasi masalah komunikasi baik dengan sesama diaspora maupun dengan daerah asal. Selain itu, cara pengelompokan dari masyarakat diaspora ini bisa dianalisis melalui berkurangnya hambatan geografis seperti yang telah disebut di atas. Sebagai topik dalam tulisan ini, masyarakat diaspora Minahasa memiliki tipe pengelompokan yang terintegrasi dengan budaya tempat tujuan. Pengintegrasian ini terwujud karena masyarakat diaspora Minahasa dari budaya toleransinya yang tinggi di daerah asal mampu memilih dan memilah dengan cermat memadu-padankan dengan budaya tempatan di tempat tujuan mereka masing-masing, sehingga adanya bentuk terintegrasi bukan mustahil terjadi dalam suatu kelompok diaspora Minahasa dimanapun mereka berada.
Isu-Isu Lokal
            Cerita sukses orang yang merantau atau bermigrasi merupakan sebuah tantangan maupun peluang bagi mereka yang berada di daerah asal. Masyarakat Minahasa yang telah mengenal mobilitas dan banyak cerita sukses penduduknya dari sekian lama, telah banyak memeberikan pengalaman hidup dan kosakata untuk pertahanan hidup mereka ke depan. Permasalahan atau konflik dalam masyarakat Minahasa sendiri dari adaya diaspora bukanlah tidak mungkin terjadi. Meski konflik yang terjadi bukanlah konflik yang besar dan banyak mempengaruhi masyarakat Minahasa di tempat asal maupun diaspora Minahasa. Konflik tersebut berupa fenomena pengaburan identitas ibu pada TKI dalam kata lain tidak dikenalinya seorang Ibu Minahasa yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) oleh anaknya[6], yang pada saat Ibu tersebut melakukan perjalanan ke luar negeri si anak masih bayi. Sehingga, ketika pada suatu waktu ketika si Ibu pulang, anak tidak mengenali siapa wanita yang sedang ada di rumahnya.
            Selain dikenal dengan toleransinya yang tinggi melalui istilah Torang Samua Basudara, di Minahasa juga dikenal istilah Sabla Aer.  Istilah tersebut mengacu pada “ . . .penghinaan orang Sangir yang tinggal di Manado dalam semua aspek kehidupan sosial. Bahkan telah ada penambahan, yaitu menjadi penunjuk citra merendahkan bagi penduduk muslim, terutama orang Gorontalo dan (dari pulau) Jawa (Sumampouw, 2015: 100). Sehingga, dapat dikatakan terdapat konflik diam-diam yang menimbulkan fenomena saling curiga, ketidakpuasan, hingga saling tuduh. Meskipun konflik seperti ini tidak berkembang menjadi isu dan permasalahan pada fenomena diaspora, antisipasi mengenai konflik ini sebaiknya dilakukan untuk menjaga Minahasa benar-benar damai di dalam dan di luar.    
Ikatan daerah asal
            Budaya toleransi masyarakat Minahasa sangatlah menonjol pada beberapa aspek kehidupan mereka. Terbiasanya mereka dengan keterbukaan dan penerimaan perbedaan pada daerah asal, membawa budaya ini mampu menjadi pondasi adaptasi mereka di negeri orang yang memiliki budaya berbeda dengan mereka. Toleransi yang tinggi dari masyarakat Minahasa banyak ditemui dalam bentuk saling menghormati antar umat beragama, serta penerimaan masyarakat pengungsi ke daerah asal mereka. Dengan sifat yang seperti itulah dalam pengaruh globalisasi masyarakat Minahasa mampu mengandalkan budaya setempat untuk kemudian diadaptasikan dengan dengan budaya di tempat tujuan.
            Rasa kebersamaan (sense of belonging) merupakan bentuk sikap yang biasanya muncul dalam komunitas yang terasing dari daerah asal. Sama halnya dengan diaspora dimanapun berada, diaspora Minahasa juga memilikirasa yang sama dalam penggunaan kata sense of belonging terhadap daerah asalnya. Rasa tersebut terdiri rasa keinginan untuk kembali ke daerah asal, kerinduan akan makanan, tempat tinggal, bahkan orang-orang yang ada di daerah asal. Pada diaspora Minahasa kecenderungan sense of belonging tersebut berupa mudik bersama yang dilakukan atau diorganisasi oleh kawanua pada tahun 2012 bekerja sama dengan Polda Sulawesi Utara. Pada acara mudik bersama tersebut, anggota kawanua diajak untuk berjalan-jalan menikmati panorama di kampung halaman mereka[7]. Selain itu representasi lainnya ialah  masyarakat Minahasa melakukan remittance[8] untuk keluarga di daerah asalnya. Kawanua merupakan berfungsi pula sebagai wadah untuk remittance selain uang seperti disebutkan oleh Dean Yang “remittances sent home by international migrants have exceeded official development assistance and portfolio investment, and in several years have approached the magnitudes of foreign direct investment flows” (Yang, 2011: 129) yang masih berpatokan pada uang sebagai sumbangsih utama dalam perekonomian negara yang dituju dan yang mempengaruhi laju perekonomian dunia. Sehingga, terbentuknya kawanua sebagai organisasi yang menaungi diaspora Minahasa merupakan bentuk lain dari remittance, yang mana digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Minahasa di daerah asal seperti contohnya ialah program sosial berupa pemberian bebek terhadap warga desa di Sulawesi Utara[9].   
 Dampak Adanya Diaspora
            Brain drain[10] dan brain gain[11] merupakan istilah yang sering disebut untuk menganalisis dampak untuk daerah asal dari adanya fenomena diaspora. Pada kasus diaspora Minahasa, dampak atas fenomena tersebut yang menonjol ialah brain drain. Hal tersebut terjadi tidak hanya pada saat ini saja, bahkan pada saat zaman kolonial pun fenomena tersebut telah terjadi. Banyak masyarakat-masyarakat pandai pada bidangnya dan menonjol di ibu kota Indonesia yang merupakan orang keturunan asli Minahasa, sedangkan di Minahasa sendiri mereka tidak dikenal sebagai tokoh yang sangat mempengaruhi contohnya ialah Jusuf Kalla sebagai tokoh politik Indonesia. Selain itu, banyak juga masyarakat Minahasa yang pada usia produktif lebih memilih untuk bekerja dan menetap di daerah tujuan yang menyebabkan brain drain ini menjadi berlanjut.   Sedangkan masuknya orang luar Minahasa ke wilayah Minahasa tidak mencapai angka yang tinggi seperti halnya di wilayah provinsi di Sulawesi lainnya[12]. Sehingga, meskipun brain gain terjadi di Minahasa namun terjadinya tidak dalam jumlah yang besar.
Kesimpulan  
            Masyarakat Minahasa yang kemudian juga disebut sebagai orang Manado pada dasarnya memegang teguh identitas Torang Samua Basudara. Makna mendalam dalam istilah ini dapat ditemukan dalam keseharian masyarakat Minahasa sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi. Toleransi sebagai bagian dari budaya masyarakat seperti itulah yang kemudian dikembangkan oleh diaspora Minahasa dalam beradaptasi dengan daerah tempat tujuan mereka untuk mempertahankan hidup. Identitas lain yang ditemukan dalam masyarakat Minahasa seperti Sabla Aer memang ada di kehidupan nyata masyarakat Minahasa di daerah asal namun dengan adanya fenomena tersebut, tidaklah sampai pada titik dimana terdapat pergesekan dengan hadirnya masyarakat diaspora sebagai fenomena baru dalam masyarakat. Oleh karena itu, dengan jumlah etnis terbesar yang tersebar di beberapa titik pusat peradaban dunia, diaspora Minahasa dengan merangkul identitas Torang Samua Basudara dapat merangkul diaspora-diaspora Indonesia yang berada di luar negeri untuk bersinergi membangun negeri.   
Daftar Pustaka
Buku
____. 2010. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia, Jakarta:  BPS.
____. 2015. Statistik Indonesia 2015, Jakarta: BPS.
Koentjaraningrat. 2009 (Revisi). Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Rahardjo. 2014. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sumampouw, Nono S. A. menjadi Manado Torang Samua Basudara, Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wattie, Anna Marie. 2013. Bahan Ajar Etnografi Wilayah Sulawesi (Minahasa). RPKPS

Jurnal
Setyaningrum, Arie. 2004. Globalisasi dan Diaspora Cina dalam Perspektif Post Kolonial: Dinamika Strategi Ekonomi dan Identitas Budaya, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Volume 8, Nomor 2, November 2004 (181-196)
Yang, Dean. 2011. Migrant Remittance, The Journal of Economic Perspectives , Vol. 25, No. 3 Summer 2011,  (129-151).

Web
kawanuaglobal.org
reference.guide.com




[1] Lihat ____, 2015, Statistik Indonesia 2015, Jakarta, BPS, halaman 81. 
[3] Lihat Hasil Sensus Penduduk 2010 dalam buku ____, 2010, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia, Jakarta, BPS halaman 42.  
[4] Data diperoleh dari kawanuaglobal.org diakses pada 12 Desember 2016 pukul 09:40
[8] Remittance merupakan pemberian uang dari luar negeri.  
[9] Lihat http://kawanuaplus.com/md-rutin-gelar-program-sosial-unik/ pada 12 Desember 2016 pukul 19:01
[10] Brain drain merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan terjadinya semakin menyusutnya angka orang-orang pandai pada suatu wilayah.
[11] Brain gain merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut atau menyatakan orang-orang dari luar yang bekerja di wilayah kita.
[12] Lihat ____, 2015, Statistik Indonesia 2015, Jakarta, BPS, halaman 82.

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��