Artikel: Dependensi dan Tarik-Menarik Tenaga Kerja Desa - Kota

Pendahuluan
            Masyarakat Dranan desa Yosorejo, Petungkriyono, Pekalongan sebagian besar bekerja pada bidang pertanian atau pengelolaan lahan. Untuk melakukan produksi pertanian atau usahatani, masyarakat Dranan masih mengandalkan saling membantu tenaga kerja dan berorientasi pada usahatani keluarga, dengan memanfaatkan tenaga anggota keluarga dalam pengelolaan lahan. Meskipun begitu, saling bertukar tenaga kerja dalam bertani sudah menjadi kebiasaan mereka. Meski, pertukaran yang terjadi pada masa sekarang tidak seperti masa-masa yang lalu, saat masyarakat hanya bertukar jasa atau tenaga. Dengan dikenalnya alat tukar, alat transportasi dan alat komunikasi oleh masyarakat pada saat penelitian dilakukan, sistem upah dan mekanisasi pertanian  dilakukan dalam pengelolaan lahan. Pengupahan atau imbalan yang diberlakukan oleh masyarakat Dranan pun tidaklah memiliki standar yang diakui bersama sehingga, pengupahan pun dilakukan semampu pemilik sawah atau ladang yang dikerjakan yang bergantung pada lamanya waktu kerja per orang.  
Perubahan terjadi pada tenaga kerja pertanian yang dulunya berbentuk balas jasa antar masyarakat sesama petani ke sistem pengupahan di Dranan dalam produksi pertanian. Selain dari tenaga kerja dalam bidang pertanian, perubahan juga terjadi dalam produksi pertanian masyarakat Dranan sendiri mulai dari produksi hingga konsumsi, selain itu cara, program, dan teknik pun mengalami perubahan. Sehingga cara, program, dan teknik tersebut terus digali masyarakat untuk menunjang aktivitas pertanian yang lebih baik dari sebelumnya, karena masyarakat juga dihadapkan dengan pembaruan karena teknologi dalam bidang pertanian.
Pembaruan-pembaruan tersebut seperti pupuk bersubsidi, telah dikenalkan oleh pemerintah daerah beberapa tahun  lalu di Dranan yang dari waktu ke waktu menggantikan pupuk kandang yang telah dikenal oleh masyarakat. Oleh karena pupuk bersubsidi ini merupakan hal yang baru dalam masyarakat, maka masyarakat berusaha untuk selalu mendapatkan pupuk ini karena persuasi dari pemerintah sebagai pejabat dan pemegang kekuasaan yang dipercaya masyarakat. Pupuk bersubsidi dari pemerintah ini tidak begitu saja mereka abaikan kehadirannya karena pupuk bersubsidi ini sendiri bisa menjadikan panen tanaman lebih cepat dari waktu yang diperlukan dibandingkan jika menggunakan pupuk kandang. Kehabisan pasok pupuk bersubsidi merupakan sebuah kenyataan masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang berada di desa, terlebih seperti masyarakat Dranan yang jauh dari akses ke kota, sebagai pusat distribusi pupuk. Mengetahui adanya masalah tersebut tidak lantas membuat masyarakat Dranan menjadi putus asa. Pupuk kandang kembali menjadi alternatif dalam proses menyuburkan tanaman di Dranan di samping masih menggantungkan bantuan pemetintah setempat dalam pengadaan prasarana pertanian tersebut.
Perubahan juga terjadi pada sistem pertanian yang dulunya subsisten ke  semi subsisten. Hasil panen atau produksi seperti beras dalam skala besar akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Apabila ada hal mendesak yang membutuhkan uang sebagai alat tukar, maka masyarakat menukar beras tersebut kepada tetangga yang sedang membutuhkan, dengan harga di bawah harga rata-rata pasar. Keterlibatan masyarakat dengan pasar masih dalam tahap kecil sebagai produsen pemasok hasil pertanian lokal dan sebagai konsumen untuk barang-barang yang tidak dapat diperoleh di desa seperti pakaian, sabun, obat-obatan kimia dan generik, dll. Pada sebuah keluarga di Dranan, ditemukan pola  intensitas pergi ke pasar. Sebuah keluarga dibantu dengan seorang menantu laki-laki melakukan dua kali mobilitas ke kota dalam waktu satu pekan pada hari minggu dan kamis. Ditunjang dengan adanya doplak sebagai alat transportasi umum di dusun Dranan, masyarakat berbondong-bondong pergi ke pasar di pagi hari dan pulang pada siang harinya seperti halnya yang dilakukan oleh anak perempuan dalam keluarga tersebut.     
 Banyak di antara keluarga di Dranan yang melakukan migrasi ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Pola migrasi ke luar desa untuk laki-laki lebih cepat dan seiring berjalannya waktu menjadi teratur di dusun Dranan dan tidak diiringi dengan pola  yang sama pada perempuan. Dengan terjadinya fenomena tersebut, penulis menduga  terjadi perubahan pada pembagian tenaga kerja pertanian di Dranan. Sehingga, dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja seperti bertani, mayoritas masyarakat menggunakan tenaga kerja seadanya pada saat dibutuhkan seperti perempuan-perempuan yang ditinggal laki-laki untuk bermigrasi. Menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan teknik penelitian secara observasi dan wawancara mendalam, pada tulisan ini akan dibahas mengenai saling ketergantungan tenaga kerja di desa dan di kota.

Studi Pustaka
Pembahasan pertanian dari akhir tahun 1880an hingga tahun 2000 dibahas dalam jurnal-jurnal pertanian, sosial, dan budaya  yang dikaji dan memfokuskan pada tenaga kerja berdasarkan cara kerjanya, perkembangannya hingga globalisasi yang ikut masuk pada awal tahun 2000 pada artikel “Farm Mechanization: The Impact on Labour at the Level of the Farm Household” karya Bill Reimer[1]. Peran anak dan perempuan juga dibahas sebagai bagian dari masyarakat yang bekerja maupun dipekerjakan sebagai buruh dalam pertanian seperti pada artikel “ Child Farm Laborers” karya Aung Zaw Win[2], “ dan “Role of Farm Women in Agriculture” karya Tara Satyavathi dan Baradwaj[3], kesehatan anak-anak sebagai buruh pertanian dibahas dalam artikel “ Providing Care for Migrant Farm Worker Families in Their Unique Sociocultural Context and Environment” karya Conor, dkk[4].  Masa depan pertanian masyarakat juga telah dibahas yang mana membentuk kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan keadilan sosial dalam pertanian dengan fungsi sebagai bentuk menejahterakan petani.
            Istilah gotong royong dalam pertanian sebagai salah satu bentuk pertukaran tenaga kerja tidak dibahas secara rinci dalam beberapa jurnal seperti dalam jurnal berjudul “The Agricultural Labour Problem: Past Misconceptions and New Guidelines” karya Shivamaggi[5] karena tahun penelitian dan cetak pada jurnal tersebut belum memungkinkan adanya fenomena tersebut. Pada beberapa versi jurnal dapat dijumpai isu peran petani sebagai buruh di tanahnya sendiri atau petani yang tidak memiliki lahan sehingga menggarap lahan orang lain dan hampir tidak ditemukan tentang keluarga petani yang melakukan pekerjaan pertaniannya sendiri sepertinya halnya pada bacaan “ Farm Servant vs Agricultural Laborers”[6]. Namun dalam bacaan tersebut, Richard memberi peringatan pada kita yang membaca bahwa akan terjadi ketidakseimbangan peran gender nanti pada bidang pertanian masyarakat.
Deskripsi dari himbauan tentang hal itu membawa penulis pada artikel yang memiliki objek penelitian peran perempuan sebagai tenaga kerja dalam bidang pertanian, namun belum dijabarkan lebih lanjut sehingga memberikan deskripsi yang kurang mendalam terhadap proses ketidakadilan pembaggian peran pekerjaan yang berlaku pada petani perempuan. Artikel tersebut ialah karya Hasan Y Ally “Gender And Agricultural Productivity In A Surplus Labor, Traditional Economy:  Empirical Evidence From Nepal”[7] yang mana membahas tentang sisi upah yang tidak adil antara buruh tani laki-laki dan perempuan. Sehingga terlibatnya perempuan dalam pertanian dapat dilihat pula sebagai hasil dari kepemilikan hak atas pembagian tanah sebagai modal usaha dalam bidang pertanian, meskipun dalam . Pada artikel berjudul “Feminization of Agriculture in China? Myths Surrounding Women's Participation in Farming”[8], dengan menarik diceritakan mitos-mitos pekerja perempuan dalam pertanian di Cina sehingga, isu feminisme dalam pertanian di China menjadi isu hangat yang banyak dibicarakan oleh masyarakat di China. Meski di Indonesia pun khususnya di Jawa juga mengalami masa demikian, namun artikel yang mengambil sampel peneltian di China tersebut belum mampu memberikan detail kejadian yang sama di Jawa karena sistem kerja yang berbeda. Migrasi para tenaga kerja pertanian juga dibahas dalam “Family Farms and Migrant Labour: The Strange Farmers of the Gambia” karya Ken Swindell[9] berisi pekerjaan yang dilakukan oleh keluarga petani migran yang disebut sebagai petani yang aneh karena hanya datang pada waktu-waktu tertentu.
             Penulis di sini menduga, peran perempuan dalam bidang pertanian yang tidak seimbang akibat adanya bentuk pembagian kerja yang berubah antara perempuan dan laki-laki dalam pertanian, memungkinkan terjadinya relasi sosial antar perempuan pada bidang pertanian sebagai suatu usaha memperoleh hasil produksi. Relasi tersebut terjalin dalam bentuk kelompok-kelompok petani perempuan. Petani perempuan inilah yang memungkinkan adanya pergantian bentuk penguasaan atas lahan pertanian di desa, karena relasi kepemilikan lahan akan lebih erat pada kelompok-kelompok petani perempuan yang melakukan produktivitas atas lahan tersebut.
Pertanyaan Penelitian
            Dalam upaya mengulas dan memahami lebih dalam tentang pertanian dan tenaga kerja khususnya pada peran tenaga kerja perempuan sesuai dengan hal yang ada dalam observasi di lapangan dan berdasarkan studi pustaka, maka terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan dua hal tersebut yakni, mengapa terjadi peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan dalam pertanian sebagai sektor primer profesi di desa?

Kerangka Konsep
            Tenaga kerja perempuan dalam bidang pertanian merupakan pekerja perempuan yang ikut dalam suatu produksi pertanian. Peran tenaga kerja perempuan dalam pertanian menurut Rahardjo ialah“… mengerjakan sejumlah mata kegiatan seperti mengirim makan kepada mereka yang sedang mengolah sawah, menanam padi (tandur), menuai padi (derep), menumbuk padi (nutu), dan sebagainya” (Rahardjo, 2014: 147). Namun dalam keadaan zaman yang terus berkembang peran perempuan dalam bidang pertanian telah bergeser kepada peran yang juga dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki dalam pertanian. Contohnya adalah sebagai pihak pengambil keputusan untuk melakukan usahatani, ikut mencangkul, mengolah sawah, menanam tanaman, dan sebagianya. Sehingga, konsep tenaga kerja perempuan kaitannya dengan partisipasi perempuan dalam produksi pertanian dari mulai penggarapan lahan, manajerial,  hingga pengambilan keputusan pelaksanaan produksi pertanian merupakan sebuah bentuk tarik-menarik kebutuhan tenaga kerja di desa dan kota.
Adanya kebutuhan yang tidak merata dan berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam hal pekerjaan di desa dan kota menyebabkan adanya ketimpangan gender, berupa penerimaan dan peluang kerja yang berbeda di kota sebagai tempat tujuan migrasi. Pada kasus di Dranan misalnya, terjadinya penyerapan tenaga kerja tidak terdidik yang kemudian diberdayakan sebagai penggarap aspal di luar kota ialah para laki-laki. Contoh tersebut dapat dijadikan acuan bagaimana industri lapis bawah bias pada laki-laki, dimana kesempatan kerja pada laki-laki diutamakan dan disesuaikan dengan peranan laki-laki sebagaimana yang telah dipersepsikan dan diharapkan oleh masyarakat sendiri. Pada kasus ini, perempuan tidak diberi kepercayaan lebih untuk melakukan pekerjaan seperti menggarap aspal karena perempuan pada masyarakat telah dipersepsikan sebagai makhluk yang lemah secara fisik, mengikuti apa kata suami, dan hanya perlu melakukan pekerjaan di sektor domestik. 



Kerangka Teori
            Perkembangan zaman menuju zaman yang lebih canggih, merupakan awal dari kemunculan tenaga kerja perempuan di bidang pertanian sebagai pekerja yang bertindak mayor dalam pekerjaan keseharian masyarakat Dranan. Adapun pekerjaan tersebut mengakibatkan adanya peran-peran yang dilakukan oleh perempuan menjadi bertambah. Selain pada sektor domestik, perempuan-perempuan pekerja di bidang pertanian ini juga ikut mengambil peran di sektor publik. Perubahan pertambahan peran pada perempuan ini dapat dilihat dari adanya faktor yang menyebabkan terjadinya pertambahan peran terhadap perempuan tersebut. Faktor-faktor tersebut di antaranya ialah faktor pendidikan, migrasi, teknologi komunikasi dan informasi, pola pembagian tanah, kondisi geografis, nilai sosial, dan sistem kekerabatan.
            Penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya pola partisipasi kerja sehari penuh untuk pekerja perempuan pada sektor pertanian, yang terwujud dalam diagram di atas dapat dijelaskan satu per satu menurut tiap aspek yang memengaruhi. Namun, untuk memberikan gambaran yang lebih spesifik terhadap apa yang terjadi sesuai dengan data yang diambil di Padukuhan Dranan, maka terdapat beberapa faktor yang tereliminasi karena tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Sehingga faktor-faktor yang telah tergambar pada diagram di atas dapat disimpulkan sementara menjadi:
 
            Teori migrasi sirkuler menyebutkan “Peribahasa “ada gula ada semut” menjelaskan kondisi paling cocok dengan adanya fenomena proses migrasi desa-kota. Para migran nonpermanen (sirkuler) berperilaku seperti semut, maksudnya bila semut menemukan makanan di suatu tempat, makanan itu tidak dimakan di tempat itu, tetapi dibawa bersama teman-temannya ke sarangnya (Ida Bagoes, 2000 via Purnomo, 2009: 88).
            Teknologi informasi dan komunikasi berpengaruh pada migrasi masyarakat sebagai penyebab dominan terjadinya kemunculan tenaga kerja perempuan dalam pertanian masyarakat Dranan. Kehadiran teknologi seperti telepon genggam memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan mobilitas. Seperti halnya dengan pendidikan, yang terjadi pada masyarakat Dranan, dalam penggunaan alat komunikasi tersebut lebih dominan pada laki-laki (suami) dan agak mengesampingkan posisi perempuan dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi tersebut. Artinya, keterbatasan pada perempuan Dranan memberikan mereka akses yang terbatas untuk melakukan migrasi karena jaringan yang mereka bangun, tidaklah sebanyak yang dibangun oleh laki-laki Dranan dengan penggunaan teknologi yang ada.
            Teori budaya dalam konteks pembagian kerja atau peran perempuan dan laki-laki dapat menjawab pula penyebab terjadinya partisipasi wanita yang lebih banyak dalam bidang pertanian selain teori migrasi yang memang berdasarkan fakta di lapangan mobilitas penduduk ke kota untuk mencari nafkah tambahan untuk keluarga memang bukan hal yang baru, bahkan sekarang menjadi populer di kalangan masyarakat. Adanya jaminan ekonomi akan bertambah baik di kota merupakan penyebab adanya mobilitas tersebut. Sehingga, teori budaya untuk mendukung tenaga kerja dalam bidang pertanian hubungannya dengan mobilitas masyarakat seperti  yang dikatakan dalam buku Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Ralph Linton, 1936 via Rahardjo, 2014: 64):
“Kebudayaan secara umum diartikan sebagai way of life suatu masyarakat. Way of life  dalam pengertian ini tidak sekedar berkaitan dengan bagimana cara orang untuk bisa hidup secara biologis, melainkan jauh lebih luas dari itu. Dijabarkan secara rinci, way of life mencakup way of thinking (cara berpikir, bercipta),way of feeling (cara berasa, mengekspresikan rasa), dan way of doing (cara berbuat, berkarya)”.
Melalui teori budaya Ralph Linton sebagai way of life di atas, dapat memperlihatkan hubungan secara kultural bekerja dalam realitas kehidupan masyarakat. Sehingga, apabila kembali pada konsep budaya yang dinamis, teknologi informasi dan komunikasi sebagai salah satu faktor terjadinya partisipasi kerja dalam masyarakat akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap daya kesadaran masyarakat terhadap peluang yang ada. Teknologi sebagai peluang yang dapat mengubah sewaktu-waktu keadaan inilah menjadi faktor penting dalam ketersediaan kesempatan yang lain yang memungkinkan bagi masyarakat untuk diambil sebagai peluang yang menguntungkan.
            Adapula “teori budaya kapitalisme yang dipandang sebagai poliglot akan sejalan dengan keragaman etnis di dalam desa di Indonesia, sehingga analisis terhadap ekonomi pertanian dan ekonomi desa tidak bisa diletakkan di atas asumsi ketunggalan struktur ekonomi” (Agusta: 2011, 176), dengan teori di atas persoalan masyarakat desa memilih untuk keluar dari desanya dan harapan memiliki penghidupan yang layak di kota ialah sebuah contoh budaya desa yang ada sebelumnya (pertanian) bekerja sejalan dengan kapitalisme dalam bentuk modernisasi dan industrialisasi.

Peluang Menyambung Hidup Kedua
Masyarakat Dranan memiliki pengertian yang berbeda dalam penyebutan ‘sawah’ dan ‘ladang’ serta lahan perhutani yang dipinjamkan untuk ditanami rumput gajah sebagai pakan ternak yang mereka sebut sebagai ‘kebun’. Sawah dalam keseharian masyarakat Dranan ialah lahan yang mereka gunakan untuk menanam padi atau jagung. Sedangkan mereka akan menyebut ladang yang merupakan tempat mereka menanam tanaman sayuran seperti daun bawang, cabai, hingga tanaman komoditas seperti stroberi. Pada wawancara yang dilakukan pada tiga narasumber, ketiganya menjawab memiliki semua bagian dari sawah, ladang maupun kebun Dari data wawancara tersebut, narasumber (I) berjenis kelamin laki-laki berumur 66 tahun dengan pekerjaan utama sebagai petani memiliki 1ha areal sawah, 1 ha areal ladang, dan 1ha areal kepemilikan lahan kebun yang ditanami rumput gajah di hutan. Narasumber (II) berjenis kelamin perempuan berumur 34 tahun bekerja sebagai petani memiliki sawah seluas ½ ha, ladang seluas ½ ha, dan kebun seluas ¼ hektar serta narasumber (III) berjenis kelamin perempuan umur 42 tahun dengan pekerjaan utama sebagai petani memiliki sawah seluas 1 ha, ladang seluas ½ ha, dan kebun seluas 1 ha. Melalui jumlah dan kepemilikan lahan dapat dilihat seberapa besar ketergantungan lahan pada masyarakat Dranan yang merupakan tanda bahwa masyarakat menjadikan aktivitas menanam dan memanen adalah sebuah penghidupan yang utama dalam taraf keluarga. Sehingga dengan memperhatikan cuplikan data harian penulis di bawah ini,  kita dapat memperhatika cara kerja (way of life) yang dilakukan oleh masyarakat Dranan.
“ “Besok senin, Ayub[10] pulang dari kota”. Begitulah kira-kira ucapan bapak asuhku selama di Petungkriyono, ketika aku hendak ikut berkumpul di perapian keluarga yang ada di dapur. Bentuk tempat berkumpul tersebut tidak ada yang istimewa, hanya berupa kompor tanah liat yang tidak sedang digunakan untuk memasak namun apinya tetap menyala, di sanalah kemudian anggota keluarga berkumpul menghangatkan tubuh yang dingin karena hujan dan angin malam. Menyambung obrolan dengan bapak dan keluarga di hangatnya perapian tentang kota dan masyarakat Petungkriyono membelai pikiranku hingga, aku menjadi tahu bahwasannya hampir di setiap rumah di daerah ini ada anggota keluarga yang pergi ke kota sama seperti yang Ayub lakukan.”[11]
Berdasarkan dari data harian tersebut, dapat dilihat pola perpindahan yang dilakukan masyarakat. Pola yang sama dilakukan hampir di seluruh keluarga pada tiap rumah yakni melakukan perpindahan secara tidak menetap ke kota Pekalongan atau ke luar kota Pekalongan. Perpindahan seperti ini biasa disebut sebagai migrasi sirkuler. Pola migrasi sirkuler sendiri menurut Rahardjo (2014: 204) yakni gejala dalam mana orang-orang desa pulang-balik dari desa ke kota dan dari kota ke desa. Sehingga, mereka yang pergi ke luar kota bukan berarti menetap lama ataupun langsung pulang pada saat itu juga. Migrasi sirkuler lebih membebaskan seseorang untuk pergi dan kembali sesuai dengan kehendaknya. Dalam kasus masyarakat Petungkriyono waktu yang dibutuhkan dalam sekali kepergian dan kembali biasanya satu minggu hingga satu bulan. Waktu tersebut memang bukanlah waktu yang cukup lama untuk meninggalkan pekerjaan di sawah, ladang dan kebun mereka. Sebab dengan perginya mereka ke kota mencari penghasilan lain tersebut, masih ada istri dan anak yang mengurusi ladang. Sehingga, mereka akan sangat dibutuhkan pada saat musim tanam dan panen. Istilah ‘urbanisasi’ sering digunakan dalam menyebut fenomena ini, sebagai bentuk penyerapan sumber daya manusia dari desa, karena lapangan pekerjaan yang disediakan di desa sangat terbatas karena faktor pembangunan yang mengabaikan lingkungan desa (Setyobudi, 2001: 196).   
Dalam percakapan lain dengan narasumber (II) , beliau menyebutkan:
“ Suami saya bekerja sebagai kuli, kuli aspal, mbak. Pulangnya ya paling dua minggu sekali, paling lama ya sampai sebulan. Rumah kalau siang sepi, anak-anak sekolah dari pagi, saya juga nyari makan buat sapi di ladang dari pagi sampai sore.”
Tidak adanya kehadiran laki-laki dalam rumah tangga narasumber (II) tidak begitu saja membuat keluarga tersebut kemudian bermalas-malasan dan tidak melakukan pekerjaan apapun. Mayoritas masyarakat akan bersikap sama halnya dengan narasumber (II) untuk kembali mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga dengan tetap bertani sebagai pekerjaan utama mereka dan pekerjaan suami di kota sebagai pekerjaan sampingan.

Kesenjangan Gender pada Masyarakat Desa
Percakapan dengan narasumber (I) di bawah ini memperlihatkan anak laki-laki dalam keluarga lebih diutamakan untuk pergi ke luar rumah – bermigrasi – daripada anak perempuan.
“Ibu, ada dimana, Pak?”
“Ibu lagi jaga toko sama mbak Asih, mbak. Kalau mau ikut atau jajan monggo, di sana jual ciki”.   
Pola migrasi sirkuler pada suatu keluarga akan dilakukan oleh laki-laki (suami), anak laki-laki yang telah cukup umur dan mampu untuk bekerja yang melakukan migrasi ke kota. Sedangkan perempuan (istri) dan anak-anaknya tetap berada di rumah atau di desa. Pola migrasi yang terjadi di masyarakat Dranan kemudian dapat terwujud disebabkan apa yang diajarkan dalam keluarga dan institusi lain dapat berarti sesuatu yang memang dihasilkan oleh keluarga itu sendiri dan pada saat yang sama juga merupakan artikulasi nilai dan norma yang berlaku secara sosial (Abdullah, 2001: 109). Sehingga, hal yang terus terjadi dengan adanya migrasi ialah reproduksi secara kultural pada suatu keluarga dengan pola migrasi yang sama, dengan meninggalkan perempuan tetap di tempat asal. Secara tidak langsung dalam kepengurusan lahan pertanian milik keluarga, yang menggarap ialah perempuan (para istri) yang ditinggalkan migrasi oleh laki-laki (para suami). Migrasi yang terjadi pada masyarakat inilah yang kemudian menjadi penyebab dominan, yang memunculkan dampak-dampak lain seperti yang telah disebutkan dalam faktor yang mempengaruhi dalam bagan kerangka teori di atas yakni pendidikan serta teknologi informasi dan komunikasi.  
Pada kehidupan masyarakat desa secara umum mengenai pendidikan, laki-laki dalam masyarakat yang dianggap lebih mampu untuk bekerja di luar sektor pertanian dengan kemampuan akademik yang mereka miliki, tidak serta-merta untuk meninggalkan pertanian mereka. Sebab mereka masih berperan sebagai manajer dalam produksi pertanian keluarga mereka, yang ikut memberikan keputusan dalam produksi pertanian keluarga.  Sebagaimana disebutkan “ Our analysis indicates that the impact of the farm decision-makers' education - which may sharpen his managerial skills on farm production is positive and significant” (Baldev, 1974: 96). Pada dasarnya, meskipun laki-laki – suami memilih bekerja keluar dari Dranan, mereka masih memiliki andil untuk pengelolaan pertanian karena keterampilan mereka dalam pembuatan keputusan produksi pertanian. Dalam praktiknya, pendidikan pada masyarakat Dranan memang lebih difokuskan pada anak laki-laki. Pemfokusan yang dilakukan pada anak laki-laki tersebut dimaksudkan agar mereka mampu bersaing nantinya dalam mengambil peluang kesempatan kerja di luar daerah mereka dan di luar sektor pertanian. Narasumber (I) bahkan mengatakan jika saja pada saat Ayub – anak laki-lakinya lulus SMA memiliki uang, ia akan langsung memasukkan anaknya tersebut ke perguruan tinggi. Namun, karena keadaan keluarga yang tidak mencukupi pada saat itu, akhirnya si anak lebih memilih bekerja sebagai koki di sebuah restoran di kota Pekalongan.  
Seperti telah disebutkan di atas, masih adanya campur tangan dari laki-laki dalam pengelolaan pertanian keluarga, seperti halnya dalam terjun ke sawah ketika panen maupun masa tanam yang terjadi pada anak laki-laki dari narasumber (I),  menggambarkan sikap kepatuhan seorang anak terhadap orang tuanya. Berbeda dengan narasumber (I), narasumber (II) dan (III) lebih pada sifat kepatuhan seorang istri kepada suaminya. Jika dilihat pada praktiknya di lapangan, seorang istri masih tetap melakukan pekerjaan  baik dalam manajerial dan pengambilan keputusan untuk produksi pertanian. Tidak ada rasa berat sebelah pada perempuan – istri, dalam melakukan perannya dalam bidang pertanian meski dalam kenyataannya juga ditemukan pengambilan keputusan tertinggi masih ada pada suami. Hanya pada saat suami atau anak laki-laki yang melakukan migrasi pulang ke desa, barulah terlihat bagaimana laki-laki ikut andil dan memiliki kekuasaan setingkat lebih tinggi dalam pekerjaan dan perannya dalam pertanian. Oleh karena perempuan cenderung dilihat sebagai “kapital” dalam proses transformasi sosial ekonomi. Hal ini menyebabkan adanya usaha yang cukup kuat untuk membicarakan dan mendorong partisipasi perempuan” (Abdullah, 2001: 8)
Partisipasi perempuan dalam konteks masyarakat Dranan masih sangat minim pada bidang publik. Hal ini terbukti dengan data yang didapat dari narasumber (I):
Anak pertama keluarga ialah mbak Asih berjenis kelamin perempuan berumur 25 tahun dan telah memiliki 2 orang anak yang masing-masing berjenis kelamin laki-laki (10 tahun) dan perempuan (4 tahun). Pekerjaannya ialah menjaga toko di dekat sekolah dasar di dusun. Saat menjelang sore mbak Asih akan kembali ke rumah untuk mengurusi rumah. Pada saat siang hari ketika toko sepi, ibunya akan bergantian menjaga toko dan mbak Asih akan pergi mengurus ladang keluarga. Selain hari sabtu dan minggu, mbak Asih tidak melakukan pekerjaan tersebut, karena pada hari tersebut suaminya yang juga menjabat sebagai kepala dusun mengerjakan pekerjaan di sawah maupun ladang keluarga. Selain itu, setiap hari kamis dan minggu ia harus pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhan di toko sekaligus kebutuhan dalam rumah tangganya. Akses terhadap transportasi dan alat komunikasi tidaklah semudah yang didapatkan oleh suami mbak Asih, yang dapat ke kota kapan saja dan menghubungi kerabatnya kapan saja hal tersebut dilakukan sebab hanya ada satu ponsel dan sepeda motor dalam satu keluarga inti sehingga, kehendak untuk hal tersebut hanya diberikan untuk kepala keluarga yang dianggap memiliki kepentingan yang lebih banyak dibandingkan anggota keluarga lain. Sehingga, dalam bergaul dan membangun jaringan sosial Mbak Asih hanya terbatas pada orang-orang yang ditemui baik di desa ataupun di pasar temat dimana ia membeli barang untuk kebutuhan tokonya.
Tidak hanya ditemukan dalam satu keluarga, fenomena seperti di atas juga ada pada beberapa keluarga lain yang berada di sekitar tempat dua narasumber penulis. Tentu dalam kehidupan sehari-hari hal-hal seperti pekerjaan dan pembagiannya di atas tidak begitu saja terjadi karena seperti yang diketahui secara bersama selalu ada proses untuk memperoleh hasil sehingga dalam penjelasan buku ‘Seks, Gender, Kekuasaan’ , Irwan Abdullah  menyebutkan:
“ Gambaran hubungan laki-laki dan perempuan ini telah menjadi realitas sosial yang terbentuk secara historis oleh berbagai proses sosial, yang kemudian menjadi suatu susunan kekuasaan tempat perempuan berada pada posisi tersubordinasi di dalam kehidupan sosial” (Firestone, 1972 via Abdullah, 2001: 49).
Posisi tersubdordinasi perempuan terjadi karena berbagai proses yang dialami antar hubungan laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial, memperlihatkan bagaimana perempuan masih berada dalam posisi di bawah laki-laki dan harus memenuhi kebutuhan laki-laki dalam tindakan sehari-hari. “Secara tidak sadar, masyarakat kemudian membangun batas-batas peran antara perempuan dan laki-laki dalam melakukan pekerjaan sehingga bukan tidak mungkin dalam masyarakat terdapat ideologi gender yang membeda-bedakan pria dan wanita bukan hanya berdasar jenis kelamin, tetapi juga berdasar peranannya masing-masing jenis kelamin” (Abdullah, 1997: 244).
Kembali pada  usaha pertanian dalam masyarakat sebagai bentuk pekerjaan utama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dalam konteks usaha pertanian masyarakat Dranan yang masih subsisten, maka migrasi sirkuler memang merupakan suatu peluang tersendiri bagi masyarakat. Peluang tersebut terbukti saat ekonomi pasar memburuk di kota, mereka setidaknya masih dapat bertani di desa karena mereka masih mempertahankan pekerjaan utama mereka. Bergabungnya mereka dalam ekonomi pasar melalui migrasi dapat dikatakan sebagai bentuk tambahan atau sekunder dalam pemenuhan kebutuhan sehingga dengan migrasi sirkuler yang dilakukan, mobilitas sosial naik kemungkinannya sedikit dalam konteks masyarakat Dranan. Penurunan tersebut sudah sewajarnya terjadi karena mereka tidak meninggalkan desa untuk menetap. Selain itu, terjadinya migrasi sirkuler ini juga merupakan tanda bahwa adanya kegagalan masyarakat desa dalam mengelola ekonomi rumah tangga mereka di tengah pembangunan desa, industrialisasi, dan modernisasi.
Dalam penyerapan tenaga kerja pertanian sebagai bentuk keberlangsungan usaha pertanian masyarakat sebagai pekerjaan utama ada kendala yang harus dihadapi apabila dihadapkan dengan banyaknya migrasi sirkuler. Kendala tersebut tidak terlihat secara langsung karena masyarakat telah memiliki solusi lain yang memudahkan mereka dalam mengelola usaha tani yang subsisten dan masih berorientasi pada usaha tani keluarga yang melibatkan anggota keluarga untuk urusan tenaga kerja. Namun, pada kenyataannya, masyarakat memiliki beban yang lebih berat dengan ketidakhadiran anggota keluarga dalam mengelola usaha taninya sebab masyarakat harus membayar jasa orang lain dalam pengelolaan sawah. Hal ini diperjelas dalam bacaan ‘Ilmu Usaha Tani’:
“ Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usahatani keluarga (family farms), khususnya tenaga kerja petani beserta anggota keluarganya. Rumah tangga tani yang umumnya sangat terbatas kemampuannya sangat ditentukan dari segi modal dan peranan tenaga kerja keluarga. Jika masih dapat diselesaikan oleh tenaga kerja keluarga sendiri maka tidak perlu mengupah tenaga luar, yang berarti menghemat biaya” (Suratiyah, 2015: 24).
Masih banyaknya keluarga petani dalam masyarakat Dranan menunjukkan ketergantungan yang kuat terhadap hasil pertanian sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Ketergantungan yang terjadi memang tidak lepas dari bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh narasumber-narasumber yang ada. Pada narasumber (II) misalnya, ia menyebutkan bahwa mengupah jasa tetangga untuk melakukan panen dan tanam. Kira-kira pembayaran upah untuk satu pekerja akan dihitung perhari kira-kira mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 14.00 dengan upah Rp 30.000,00.  Narasumber (I) juga melakukan hal yang hampir sama dalam pemenuhan tenaga kerja untuk masa tanam dan panen dengan mengupah jasa sebesar Rp 20.000,00 – Rp 25.000,00 untuk satu pekerja dalam satu hari kerja. Kedua narasumber menyebutkan kebanyakan tetangga yang mau digunakan jasanya untuk membantu proses produksi mereka ialah para bapak-bapak yang kebetulan pulang dari kota ataupun para ibu-ibu rumah tangga yang  juga mengurusi persediaan makanan pada sore hari untuk ternak mereka di rumah. Narasumber juga mengatakan kebanyakan dari ibu-ibu yang diminta untuk melakukan jasa tanam atau memanen merupakan para ibu yang ditinggalkan suami mereka pergi ke kota atau luar kota untuk memperoleh pekerjaan lain yang dapat lebih menyejahterakan kehidupan para ibu dan anak yang ditinggalkan di desa. Melalui sistem pengupahan yang dipilih masyarakat untuk menjawab kebutuhan akan tenaga kerja di atas, dapat diketahui partisipasi kerja petani perempuan terjadi karena bentuk tergesernya peran perempuan dalam komposisi keluarga.
  
Tarik Menarik Tenaga Kerja Antara Desa dan Kota
            Industrialisasi dan modernisasi dalam pembangunan yang mengglobal pada saat ini memberikan dampak yang besar bagi perubahan dari tingkat desa hingga kota. Adanya industrialisasi yang diyakini sebagai tahapan keberhasilan suatu bangsa memberikan dorongan terhadap masyarakatnya secara luas untuk mengikuti tren yang ada. Industrialisasi dan modernisasi ini mengubah pemikiran masyarakat untuk berpikir lebih ke depan dan realistis, sehingga dalam kehidupannya mereka lebih memikirkan bagaimana memperoleh suatu keuntungan dari industri yang disediakan alam di sekitar tempat tinggal mereka. Secara tidak sadar, keterbukaan akan peluang pekerjaan dalam terbukanya kesempatan tersebut, dimasuki oleh masyarakat desa dan digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup yang salah satu contohnya ialah dengan bekerja di kota.
            Seperti kita ketahui, sasaran “industrialisasi tidak hanya di kota melainkan juga di desa, yang memiliki sumber daya alam yang mumpuni dan perlu dikembangkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil untung sehingga yang dapat ditemukan ialah desa-desa kita banyak mengalami eksploitasi dari perusahaan industri karena adanya sumber daya alam dan tenaga murah” (Tjondronegoro, 2011: 39). Tentunya, sumber daya alam yang tereksploitasi dan tenaga murah yang dimaksud ialah hal-hal yang dipunyai oleh masyarakat desa yang terkena dampak dari adanya industrialisasi. Konsentrasi pada tenaga kerja pada tulisan ini dapat dipecahkan melalui kutipan di atas, mengenai tenaga yang murah. Fenomena yang biasa ditemui pula pada masyarakat Dranan, sebagai masyarakat desa. Seperti yang disampaikan oleh narasumber (II) dalam perbincangan dengan penulis mengatakan bahwa suaminya yang bekerja di industri peraspalan hanya membawa pulang uang yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari, selebihnya masih menggantungkan pada pertanian. Data di atas menyatakan bahwa meski ada kemampuan untuk melakukan pekerjaan sambilan di kota sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya industrialisasi dan modernisasi, tidak mematahkan daya juang masyarakat desa untuk meninggalkan pertanian yang telah menghidupi mereka selama bertahun-tahun. Setyobudi (2001: 204) dalam studinya tentang ambiguitas anatara desa dan kota menyebutkan:
“Ekonomi rumah tangga petani dalam hal ini sama sekali tidak bergeser dari prinsip subsisten ke pertanian jenis industrial, seperti yang terjadi  pada masuknya pengaruh modernisasi dan industrialisasi ke sektor pertanian sebagai   gerakan yang ikut membawa pengaruh pada meningkatnya tingkat kesejahteraan petani”.           
Pekerjaan sebagai petani di desa yang merupakan pekerjaan primer bagi masyarakat Dranan dalam praktik kerjanya tidak terlalu membedakan antara pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Pada zaman dimana masih belum dikenal teknologi tepat guna dalam pengelolaan pertanian saja, memang masyarakat membagi pekerjaan di sawah sebagai pekerjaan laki-laki sedangkan perempuan bertugas menyiapkan makanna untuk di makan siang harinya oleh para pekerja laki-laki di sawah. Berbeda jauh dengan keadaan di dusun Dranan, Petungkriyono dimana saat ini waktu yang dicurahkan oleh perempuan desa di sawah, ladang, maupun kebun lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Kehadiran laki-laki dari pagi hingga siang hari dalam satu hari bisa dikatakan hampir nihil, baru pada sore hari ada beberapa laki-laki yang merumput di kebun mereka untuk mencarikan pakan ternak mereka, itupun laki-laki yang tidak memilih bekerja di luar kota.
            Berubahnya keadaan saat perempuan lebih menjadi panutan dalam memutuskan sebuah keputusan bahkan juga terjadi di desa tempat peneliti mengambil data. Kehadiran sosok bapak – laki-laki yang minim dalam sebuah keluarga menyebabkan terjadinya ibu – perempuan menjadi sosok lain yang harus dipatuhi. Seperti tergambar dalam ilustrasi di bawah ini:
Dalam perjalanan mengambil sebuah data di daerah dusun, tidak sengaja kami bertemu dengan seorang anak perempuan kira-kira berumur 10 tahun sedang menuju rumah sepulang dari mengaji yang terlihat dari baju muslim yang dipakai oleh anak tersebut dan kepulangannya dari arah masjid yang berjarak 100 meter dari rumahnya. Sebelumnya, kami telah melakukan kesepakatan dengan anak tersebut untuk bertemu di hari itu. Oleh karenanya, kami mengikutinya. Sesampainya di rumah, anak tersebut langsung mencari keluarga tertua yang ada di rumahnya. Kebetulan hari itu, ibu dari anak tersebut telah pulang dari kebun untuk merumput, yang kemudian tidak disangka-sangka oleh kami ibu tersebut merupakan kepala dusun periode yang lalu dan dalam keluarga tersebut ibu tersebut berperan sebagai kepala keluarga karena suami dari ibu tersebut melakukan perjalanan ke luar kota dengan waktu yang cukup lama.
Dari data harian TPL Petungkriyono di atas, menguatkan bukti bahwa masyarakat Dranan telah memiliki perkiraan yang jauh tentang ekonomi berkelanjutan dalam lingkup rumah tangga mereka selain memang karena kegagalan masyarakat dengan unit rumah tangga desa tersebut mengandalkan pertanian desa sebagai bentuk ekonomi yang memadai dan memakmurkan desa. Absennya sosok laki-laki yang memimpin dalam sebuah ramah tangga pada narasumber (III) menunjukkan pemikiran masyarakat yang mengutamakan kehidupan harus tetap berjalan, begitupun dengan pekerjaan dan peran. Meski memang dalam realita kehidupan sosial dan budaya, perempuan tidaklah melakukan pekerjaan yang harus banyak memerlukan kekuatan fisik. Di bawah ini memperlihatkan pembagian pekerjaan masyarakat Dranan sesuai dengan bidang-bidang pekerjaan perempuan dan laki-laki serta peluang kerja atas mereka di desa dan di kota berdasarkan hasil penelitian lapangan di Petungkriyono.  
            1. Penerimaan kerja laki-laki dan perempuan
            a. Laki-laki
            Laki-laki lebih mudah diterima dalam pekerjaan pada sektor apapun dalam pasar tenaga kerja. Keunggulan menjadi laki-laki dari segi fisik dalam masyarakat ialah laki-laki dianggap lebih mampu daripada wanita dalam melakukan pekerjaan yang berkenaan dengan fisik secara langsung. Oleh karena itu dalam pekerjaan di sektor sekunder seperti pertambangan, industri, listrik, bangunan, angkutan banyak dilakukan oleh laki-laki.
            b. Perempuan
            Perempuan tidak banyak bekerja pada bidang yang memerlukan kekuatan fisik. Anggapan dalam masyarakat bahwa wanita adalah sosok yang lemah masih melekat. Sehingga, dalam pasar tenaga kerja kualifikasi jenis kelamin perempuan sering kali menjadi penghambat bagi para perempuan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin. Berdasarkan struktur ketenagakerjaan, sebagian besar perempuan bekerja di sektor primer (pertanian) dan tersier (perdagangan, keuangan, jasa) serta mendominasi status dan jenis pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan keahlian/keterampilan khusus (Hubeis, 2011:196).
2. Peluang kerja laki-laki dan perempuan di desa dan kota (sesuai dengan data penelitian lapangan di Petungkriyono)
            a. Laki-laki di desa
            Melakukan usaha pertanian
            Mencari getah aren
            Pembuat gula aren
            Aparatur desa
Menjahit
            b. Perempuan di desa
            Melakukan usaha pertanian
            Wirausaha kecil-kecilan (membuka toko/warung)
            Mengurusi urusan rumah tangga
            c. Laki-laki di kota
            Buruh industri
            Buruh bangunan
            Supir angkutan umum
            d. Perempuan di kota
            Hampir tidak ditemukan.
Realitas pekerjaan yang ada pada masyarakat Dranan  yang telah disebutkan pada pembagian peran atas laki-laki dan perempuan di atas, memberikan pemahaman lain tentang pekerja laki-laki yang melakukan migrasi sirkuler kebanyakan adalah pekerja kasar yang membutuhkan banyak tenaga daripada menguras otak. Dengan demikian mereka yang secara pendidikan dan keahlian tidak mempunyai jenis-jenis yang dibutuhkan di kota hanya akan menempati pekerjaan kasar (Setyobudi, 2001: 200). Pekerjaan yang dilakukan banyak laki-laki Dranan ini, menunjukkan pola yang sama hampir pada setiap rumah tangga, yang mengakibatkan meningkatnya jumlah partisipasi tenaga kerja perempuan di sektor pertanian. Selain di kota juga memerlukan tenaga kerja untuk menggarap pekerjaan kasar dan pekerjaan di kota lain yang ada pada tingkat yang rendah, di desa pun memerlukan tenaga kerja yang sama untuk mengerjakan lahan pertanian. Sehingga hal-hal di atas dapat menjadi landasan penyebab terjadinya tarik-menarik kebutuhan tenaga kerja antara desa dan kota berlanjut hingga saat ini.

Kesimpulan
Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari menjadi basis bagi masyarakat untuk mempertahankan kehidupannya dalam mencapai kesejahteraan. Bekerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengusahakan pekerjaan yang layak bagi kehidupan di masa mendatang merupakan bagian terpenting dalam kehidupan masyarakatdalam mencapai kesejahteraan tersebut. Terbatasnya alternatif pekerjaan di desa misalnya menyebabkan adanya pilihan-pilihan usaha yang sulit untuk menyambung hidup di pedesaan yang berkonsentrasi pada sektor primer (pertanian). Ketergantungan pada lahan pun tidak dapat dianggap mencapai kesejahteraan pada titik tertentu yang mengakibatkan  masyarakat desa melakukan perpindahan ke kota untuk sementara waktu demi mengubah hidup mereka agar lebih layak.
Memilih untuk melakukan perpindahan sementara ke kota bukan tanpa alasan bagi masyarakat desa. Waktu yang temporer tersebut memiliki keuntungan tersendiri bagi mereka. Dalam satu kali masa tanam padi misalnya, maka mereka hanya perlu melakukan dua kali pulang ke kampung untuk mengurusi masa tanam dan panen. Penerapan perpindahan secara sementara atau yang lebih dikenal sebagai migrasi sirkuler ini, bagi sebagian masyarakat merupakan solusi yang baik untuk menjaga keuangan rumah tangga stabil, namun dapat juga dikatakan sebagai kegagalan masyarakat desa dalam perekonomian desa.
Selama menjadi solusi bagi masyarakat, bukan tidak mungkin  perpindahan sementara ini tidak menimbulkan permasalahan. Permasalahan-permasalahn kultural seperti partisipasi kerja perempuan yang meningkat pada sektor primer merupakan fenomena yang muncul dalam masyarakat seiring dengan kemudahan dalam melakukan perpidahan menggunakan transportasi serta kemudahan masyarakat dalam mendapatkan informasi karena teknologi yang telah mampu mencapai desa. Anggapan mengambil keputusan keluar dari desa dan melakukan perpidahan untuk kehidupan yang lebih baik di kota serta demi meningkatnya sebuah perekonomian rumah tangga desa, membuat masyarakat kembali melakukan pola yang sama untuk menggantungkan hidup pada dua ruang yang berbeda dan yang memiliki jarak spasial menonjol. Sehingga, yang tak dapat terelakkan dalam sebuah persinggungan ialah hubungan saling ketergantungan antara desa dan kota akan masyarakat-masyarakat yang melakukan perpindahan atau migrasi secara sirkuler ini. Jasa yang ditawarkan baik di desa dan kota dalam masyarakat dengan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat meskipun dapat dibilang sebagai suatu bentuk kerja yang tidak menetap atau serabutan namun hal ini mampu memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di desa dan kota.    
 
Daftar Pustaka
1. Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan.
2. Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan Konstruksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang Press.   
3. Agusta, Ivonich. 2011. “ Pertautan Budaya Pembangunan dan Budaya Warga Menuju Desa 2030” dalam Menuju Desa 2030, Yogyakarta: Penerbit Pohon Cahaya.
4. Aly, Hassan Y dan Shields,  Michael P. 2010.   Gender And Agricultural Productivity In A Surplus Labor, Traditional Economy:  Empirical Evidence From Nepal,  Nashville: Tennessee State University College of Bussiness.
5. Anthony, Richard. 1995. Farm Servant vs Agricultural Labourer, Jstor: British Agricultural History Society.
6. Brauw, Alan de , Li, Qiang, dkk. 2008. .Feminization of Agriculture in China? Myths Surrounding Women's Participation in Farming. Cambridge: Cambridge Journal.
7. Connor, dkk. 2010. Providing Care for Migrant Farm Worker Families in Their Unique Sociocultural Context and Environment , London: SAGE.
8. Hubeis, Aida Vitayala. 2011. “ Kesetaraan Gender dalam Pembangunan Perdesaan” dalam Menuju Desa 2030, Yogyakarta: Penerbit Pohon Cahaya.
9. Rahardjo. 2014. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjan Mada University Press.
10. Reimer, Bill. 1984. Farm Mechanization: The Impact on Labour at the Level of the Farm Household, Jstor: Canadian Journal Sociology.
11. Satyavathi, Tara dan Bharadwaj. 2010. Role of Farm Women in Agriculture, Singapore: SAGE.
12. Setyobudi, Imam. 2001. Menari di Antara Sawah dan Kota, Magelang: Indosiatera.
13. Surono, Indro dkk. 2011. Hutang Pada Petani Padi Pendekatan Rantai Nilai dan Isu Beras di Indonesia, Bogor: Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.
14. Suratiyah, Ken. 2015. Ilmu Usahatani, Jakarta: Penebar Swadaya.
15. Shivamaggi, H.B. 1969. The Agricultural Labour Problem: Past Misconceptions and New Guidelines, Jstor: Political and Economy Weekly.
16. Swindell, Ken. 1978. Family Farms and Migrant Labour: The Strange Farmers of the Gambia, Kanada: Canadian Association of African Studies.
17. Tjondronegoro, S.M.P. 2011. “ Desa: Retropeksi ke-1800 Menuju Prospek 2030” dalam Menuju Desa 2030, Yogyakarta : Percetakan Pohon Cahaya.
18. Zaw Win, Aung. 2015. Child Farm Laborers, Los Angeles: American Journal and Public Helath.

Data Penunjang
1. Data harian TPL Petungkriyono 15-28 Januari 2016.
2. Hasil rekaman wawancara dengan narasumber (I), narasumber (II), dan narasumber (III).






[1] Bill Reimer, 198, Farm Mechanization: The Impact on Labour at the Level of the Farm Household, Jstor, Canadian Journal Sociology.
[2] Aung Zaw Win, 2015. Child Farm Laborers, Los Angeles, American Journal and Public Helath.
[3] Tara Satyavathi dan Bharadwaj, 2010,  Role of Farm Women in Agriculture, Singapore, SAGE.
[4] Connor, dkk, 2010, Providing Care for Migrant Farm Worker Families in Their Unique Sociocultural Context and Environment, London, SAGE.
[5] H.B. Shivamaggi, 1969, The Agricultural Labour Problem: Past Misconceptions and New Guidelines, Jstor, Political and Economy Weekly.
[6] Richard Anthony, 1995, Farm Servant vs Agricultural Labourer,  Jstor, British Agricultural History Society.
[7] Hassan Y Ally dan Michael P. Shield, 2010, Gender And Agricultural Productivity In A Surplus Labor, Traditional Economy: Empirical Evidence From Nepal,  Nashville: Tennessee State University College of Bussiness.
[8] Alan de Brauw ,  Qiang Li, dkk, 2008, .Feminization of Agriculture in China? Myths Surrounding Women's Participation in Farming, Cambridge, Cambridge Journal.
[9] Ken Swindel, 1978, Family Farms and Migrant Labour: The Strange Farmers of the Gambia, Kanada, Canadian Association of African Studies.
[10] Anak laki-laki narasumber berumur 19 tahun, bekerja sebagai asisten koki di kota Pekalongan.
[11] Data harian TPL Petungkriyono 2016.

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��