Artikel: Dependensi dan Tarik-Menarik Tenaga Kerja Desa - Kota
Pendahuluan
Masyarakat Dranan desa Yosorejo,
Petungkriyono, Pekalongan sebagian besar bekerja pada bidang pertanian atau
pengelolaan lahan. Untuk melakukan produksi pertanian atau usahatani,
masyarakat Dranan masih mengandalkan saling membantu tenaga kerja dan
berorientasi pada usahatani keluarga, dengan memanfaatkan tenaga anggota
keluarga dalam pengelolaan lahan. Meskipun begitu, saling bertukar tenaga kerja
dalam bertani sudah menjadi kebiasaan mereka. Meski, pertukaran yang terjadi
pada masa sekarang tidak seperti masa-masa yang lalu, saat masyarakat hanya
bertukar jasa atau tenaga. Dengan dikenalnya alat tukar, alat transportasi dan
alat komunikasi oleh masyarakat pada saat penelitian dilakukan, sistem upah dan
mekanisasi pertanian dilakukan dalam
pengelolaan lahan. Pengupahan atau imbalan yang diberlakukan oleh masyarakat
Dranan pun tidaklah memiliki standar yang diakui bersama sehingga, pengupahan
pun dilakukan semampu pemilik sawah atau ladang yang dikerjakan yang bergantung
pada lamanya waktu kerja per orang.
Perubahan terjadi pada tenaga kerja pertanian yang dulunya
berbentuk balas jasa antar masyarakat sesama petani ke sistem pengupahan di
Dranan dalam produksi pertanian. Selain dari tenaga kerja dalam bidang pertanian,
perubahan juga terjadi dalam produksi pertanian masyarakat Dranan sendiri mulai
dari produksi hingga konsumsi, selain itu cara, program, dan teknik pun
mengalami perubahan. Sehingga cara, program, dan teknik tersebut terus digali
masyarakat untuk menunjang aktivitas pertanian yang lebih baik dari sebelumnya,
karena masyarakat juga dihadapkan dengan pembaruan karena teknologi dalam
bidang pertanian.
Pembaruan-pembaruan tersebut seperti pupuk bersubsidi, telah
dikenalkan oleh pemerintah daerah beberapa tahun lalu di Dranan yang dari waktu ke waktu
menggantikan pupuk kandang yang telah dikenal oleh masyarakat. Oleh karena pupuk
bersubsidi ini merupakan hal yang baru dalam masyarakat, maka masyarakat
berusaha untuk selalu mendapatkan pupuk ini karena persuasi dari pemerintah sebagai
pejabat dan pemegang kekuasaan yang dipercaya masyarakat. Pupuk bersubsidi dari
pemerintah ini tidak begitu saja mereka abaikan kehadirannya karena pupuk
bersubsidi ini sendiri bisa menjadikan panen tanaman lebih cepat dari waktu
yang diperlukan dibandingkan jika menggunakan pupuk kandang. Kehabisan pasok
pupuk bersubsidi merupakan sebuah kenyataan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat yang berada di desa, terlebih seperti masyarakat Dranan yang jauh
dari akses ke kota, sebagai pusat distribusi pupuk. Mengetahui adanya masalah
tersebut tidak lantas membuat masyarakat Dranan menjadi putus asa. Pupuk kandang
kembali menjadi alternatif dalam proses menyuburkan tanaman di Dranan di
samping masih menggantungkan bantuan pemetintah setempat dalam pengadaan
prasarana pertanian tersebut.
Perubahan juga terjadi pada sistem pertanian yang dulunya subsisten
ke semi subsisten. Hasil panen atau
produksi seperti beras dalam skala besar akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga. Apabila ada hal mendesak yang membutuhkan uang
sebagai alat tukar, maka masyarakat menukar beras tersebut kepada tetangga yang
sedang membutuhkan, dengan harga di bawah harga rata-rata pasar. Keterlibatan
masyarakat dengan pasar masih dalam tahap kecil sebagai produsen pemasok hasil
pertanian lokal dan sebagai konsumen untuk barang-barang yang tidak dapat
diperoleh di desa seperti pakaian, sabun, obat-obatan kimia dan generik, dll.
Pada sebuah keluarga di Dranan, ditemukan pola intensitas pergi ke pasar. Sebuah keluarga
dibantu dengan seorang menantu laki-laki melakukan dua kali mobilitas ke kota
dalam waktu satu pekan pada hari minggu dan kamis. Ditunjang dengan adanya
doplak sebagai alat transportasi umum di dusun Dranan, masyarakat
berbondong-bondong pergi ke pasar di pagi hari dan pulang pada siang harinya
seperti halnya yang dilakukan oleh anak perempuan dalam keluarga tersebut.
Banyak di antara keluarga di
Dranan yang melakukan migrasi ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih
baik. Pola migrasi ke luar desa untuk laki-laki lebih cepat dan seiring
berjalannya waktu menjadi teratur di dusun Dranan dan tidak diiringi dengan
pola yang sama pada perempuan. Dengan
terjadinya fenomena tersebut, penulis menduga terjadi perubahan pada pembagian tenaga kerja
pertanian di Dranan. Sehingga, dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan tenaga
kerja seperti bertani, mayoritas masyarakat menggunakan tenaga kerja seadanya
pada saat dibutuhkan seperti perempuan-perempuan yang ditinggal laki-laki untuk
bermigrasi. Menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan teknik penelitian
secara observasi dan wawancara mendalam, pada tulisan ini akan dibahas mengenai
saling ketergantungan tenaga kerja di desa dan di kota.
Studi Pustaka
Pembahasan pertanian dari akhir tahun 1880an hingga tahun 2000
dibahas dalam jurnal-jurnal pertanian, sosial, dan budaya yang dikaji dan memfokuskan pada tenaga kerja
berdasarkan cara kerjanya, perkembangannya hingga globalisasi yang ikut masuk
pada awal tahun 2000 pada artikel “Farm Mechanization: The Impact on Labour
at the Level of the Farm Household” karya Bill Reimer[1].
Peran anak dan perempuan juga dibahas sebagai bagian dari masyarakat yang
bekerja maupun dipekerjakan sebagai buruh dalam pertanian seperti pada artikel
“ Child Farm Laborers” karya Aung Zaw Win[2], “
dan “Role of Farm Women in Agriculture” karya Tara Satyavathi dan
Baradwaj[3],
kesehatan anak-anak sebagai buruh pertanian dibahas dalam artikel “ Providing
Care for Migrant Farm Worker Families in Their Unique Sociocultural Context and
Environment” karya Conor, dkk[4]. Masa depan pertanian masyarakat juga telah dibahas
yang mana membentuk kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan keadilan sosial
dalam pertanian dengan fungsi sebagai bentuk menejahterakan petani.
Istilah gotong royong dalam
pertanian sebagai salah satu bentuk pertukaran tenaga kerja tidak dibahas
secara rinci dalam beberapa jurnal seperti dalam jurnal berjudul “The
Agricultural Labour Problem: Past Misconceptions and New Guidelines” karya
Shivamaggi[5]
karena tahun penelitian dan cetak pada jurnal tersebut belum memungkinkan
adanya fenomena tersebut. Pada beberapa versi jurnal dapat dijumpai isu peran
petani sebagai buruh di tanahnya sendiri atau petani yang tidak memiliki lahan
sehingga menggarap lahan orang lain dan hampir tidak ditemukan tentang keluarga
petani yang melakukan pekerjaan pertaniannya sendiri sepertinya halnya pada
bacaan “ Farm Servant vs Agricultural Laborers”[6].
Namun dalam bacaan tersebut, Richard memberi peringatan pada kita yang
membaca bahwa akan terjadi ketidakseimbangan peran gender nanti pada bidang
pertanian masyarakat.
Deskripsi dari himbauan tentang hal itu membawa penulis pada
artikel yang memiliki objek penelitian peran perempuan sebagai tenaga kerja
dalam bidang pertanian, namun belum dijabarkan lebih lanjut sehingga memberikan
deskripsi yang kurang mendalam terhadap proses ketidakadilan pembaggian peran pekerjaan
yang berlaku pada petani perempuan. Artikel tersebut ialah karya Hasan Y Ally “Gender
And Agricultural Productivity In A Surplus Labor, Traditional Economy: Empirical Evidence From Nepal”[7]
yang mana membahas tentang sisi upah yang tidak adil antara buruh tani
laki-laki dan perempuan. Sehingga terlibatnya perempuan dalam pertanian dapat
dilihat pula sebagai hasil dari kepemilikan hak atas pembagian tanah sebagai
modal usaha dalam bidang pertanian, meskipun dalam . Pada artikel berjudul “Feminization
of Agriculture in China? Myths Surrounding Women's Participation in Farming”[8],
dengan menarik diceritakan mitos-mitos pekerja perempuan dalam pertanian di
Cina sehingga, isu feminisme dalam pertanian di China menjadi isu hangat yang
banyak dibicarakan oleh masyarakat di China. Meski di Indonesia pun khususnya
di Jawa juga mengalami masa demikian, namun artikel yang mengambil sampel
peneltian di China tersebut belum mampu memberikan detail kejadian yang sama di
Jawa karena sistem kerja yang berbeda. Migrasi para tenaga kerja pertanian juga
dibahas dalam “Family Farms and Migrant Labour: The Strange Farmers of the
Gambia” karya Ken Swindell[9]
berisi pekerjaan yang dilakukan oleh keluarga petani migran yang disebut
sebagai petani yang aneh karena hanya datang pada waktu-waktu tertentu.
Penulis di sini menduga, peran perempuan dalam
bidang pertanian yang tidak seimbang akibat adanya bentuk pembagian kerja yang
berubah antara perempuan dan laki-laki dalam pertanian, memungkinkan terjadinya
relasi sosial antar perempuan pada bidang pertanian sebagai suatu usaha
memperoleh hasil produksi. Relasi tersebut terjalin dalam bentuk kelompok-kelompok
petani perempuan. Petani perempuan inilah yang memungkinkan adanya pergantian
bentuk penguasaan atas lahan pertanian di desa, karena relasi kepemilikan lahan
akan lebih erat pada kelompok-kelompok petani perempuan yang melakukan
produktivitas atas lahan tersebut.
Pertanyaan Penelitian
Dalam upaya mengulas dan memahami
lebih dalam tentang pertanian dan tenaga kerja khususnya pada peran tenaga
kerja perempuan sesuai dengan hal yang ada dalam observasi di lapangan dan
berdasarkan studi pustaka, maka terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan dua
hal tersebut yakni, mengapa terjadi peningkatan partisipasi tenaga kerja
perempuan dalam pertanian sebagai sektor primer profesi di desa?
Kerangka Konsep
Tenaga kerja perempuan dalam bidang
pertanian merupakan pekerja perempuan yang ikut dalam suatu produksi pertanian.
Peran tenaga kerja perempuan dalam pertanian menurut Rahardjo ialah“…
mengerjakan sejumlah mata kegiatan seperti mengirim makan kepada mereka yang
sedang mengolah sawah, menanam padi (tandur), menuai padi (derep), menumbuk
padi (nutu), dan sebagainya” (Rahardjo, 2014: 147). Namun dalam keadaan zaman
yang terus berkembang peran perempuan dalam bidang pertanian telah bergeser
kepada peran yang juga dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki dalam pertanian.
Contohnya adalah sebagai pihak pengambil keputusan untuk melakukan usahatani,
ikut mencangkul, mengolah sawah, menanam tanaman, dan sebagianya. Sehingga,
konsep tenaga kerja perempuan kaitannya dengan partisipasi perempuan dalam
produksi pertanian dari mulai penggarapan lahan, manajerial, hingga pengambilan keputusan pelaksanaan
produksi pertanian merupakan sebuah bentuk tarik-menarik kebutuhan tenaga kerja
di desa dan kota.
Adanya kebutuhan yang tidak merata dan berbeda antara perempuan dan
laki-laki dalam hal pekerjaan di desa dan kota menyebabkan adanya ketimpangan gender,
berupa penerimaan dan peluang kerja yang berbeda di kota sebagai tempat tujuan
migrasi. Pada kasus di Dranan misalnya, terjadinya penyerapan tenaga kerja
tidak terdidik yang kemudian diberdayakan sebagai penggarap aspal di luar kota
ialah para laki-laki. Contoh tersebut dapat dijadikan acuan bagaimana industri
lapis bawah bias pada laki-laki, dimana kesempatan kerja pada laki-laki
diutamakan dan disesuaikan dengan peranan laki-laki sebagaimana yang telah
dipersepsikan dan diharapkan oleh masyarakat sendiri. Pada kasus ini, perempuan
tidak diberi kepercayaan lebih untuk melakukan pekerjaan seperti menggarap
aspal karena perempuan pada masyarakat telah dipersepsikan sebagai makhluk yang
lemah secara fisik, mengikuti apa kata suami, dan hanya perlu melakukan
pekerjaan di sektor domestik.
Kerangka Teori
Perkembangan zaman menuju zaman yang lebih canggih, merupakan awal
dari kemunculan tenaga kerja perempuan di bidang pertanian sebagai pekerja yang
bertindak mayor dalam pekerjaan keseharian masyarakat Dranan. Adapun pekerjaan tersebut
mengakibatkan adanya peran-peran yang dilakukan oleh perempuan menjadi
bertambah. Selain pada sektor domestik, perempuan-perempuan pekerja di bidang
pertanian ini juga ikut mengambil peran di sektor publik. Perubahan pertambahan
peran pada perempuan ini dapat dilihat dari adanya faktor yang menyebabkan
terjadinya pertambahan peran terhadap perempuan tersebut. Faktor-faktor
tersebut di antaranya ialah faktor pendidikan, migrasi, teknologi komunikasi
dan informasi, pola pembagian tanah, kondisi geografis, nilai sosial, dan
sistem kekerabatan.
Penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya pola
partisipasi kerja sehari penuh untuk pekerja perempuan pada sektor pertanian,
yang terwujud dalam diagram di atas dapat dijelaskan satu per satu menurut tiap
aspek yang memengaruhi. Namun, untuk memberikan gambaran yang lebih spesifik
terhadap apa yang terjadi sesuai dengan data yang diambil di Padukuhan Dranan,
maka terdapat beberapa faktor yang tereliminasi karena tidak sesuai dengan
kondisi lapangan. Sehingga faktor-faktor yang telah tergambar pada diagram di
atas dapat disimpulkan sementara menjadi:
Teori migrasi sirkuler menyebutkan “Peribahasa
“ada gula ada semut” menjelaskan kondisi paling cocok dengan adanya fenomena
proses migrasi desa-kota. Para migran nonpermanen (sirkuler) berperilaku
seperti semut, maksudnya bila semut menemukan makanan di suatu tempat, makanan
itu tidak dimakan di tempat itu, tetapi dibawa bersama teman-temannya ke
sarangnya (Ida Bagoes, 2000 via Purnomo, 2009: 88).
Teknologi
informasi dan komunikasi berpengaruh pada migrasi masyarakat sebagai penyebab
dominan terjadinya kemunculan tenaga kerja perempuan dalam pertanian masyarakat
Dranan. Kehadiran teknologi seperti telepon genggam memberikan kemudahan bagi masyarakat
dalam melaksanakan mobilitas. Seperti halnya dengan pendidikan, yang terjadi
pada masyarakat Dranan, dalam penggunaan alat komunikasi tersebut lebih dominan
pada laki-laki (suami) dan agak mengesampingkan posisi perempuan dalam
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi tersebut. Artinya, keterbatasan
pada perempuan Dranan memberikan mereka akses yang terbatas untuk melakukan
migrasi karena jaringan yang mereka bangun, tidaklah sebanyak yang dibangun
oleh laki-laki Dranan dengan penggunaan teknologi yang ada.
Teori budaya dalam konteks pembagian
kerja atau peran perempuan dan laki-laki dapat menjawab pula penyebab
terjadinya partisipasi wanita yang lebih banyak dalam bidang pertanian selain
teori migrasi yang memang berdasarkan fakta di lapangan mobilitas penduduk ke
kota untuk mencari nafkah tambahan untuk keluarga memang bukan hal yang baru,
bahkan sekarang menjadi populer di kalangan masyarakat. Adanya jaminan ekonomi
akan bertambah baik di kota merupakan penyebab adanya mobilitas tersebut.
Sehingga, teori budaya untuk mendukung tenaga kerja dalam bidang pertanian
hubungannya dengan mobilitas masyarakat seperti
yang dikatakan dalam buku Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Ralph
Linton, 1936 via Rahardjo, 2014: 64):
“Kebudayaan secara umum diartikan sebagai way of life suatu
masyarakat. Way of life dalam
pengertian ini tidak sekedar berkaitan dengan bagimana cara orang untuk bisa
hidup secara biologis, melainkan jauh lebih luas dari itu. Dijabarkan secara
rinci, way of life mencakup way of thinking (cara berpikir,
bercipta),way of feeling (cara berasa, mengekspresikan rasa), dan way
of doing (cara berbuat, berkarya)”.
Melalui
teori budaya Ralph Linton sebagai way of life di atas, dapat
memperlihatkan hubungan secara kultural bekerja dalam realitas kehidupan
masyarakat. Sehingga, apabila kembali pada konsep budaya yang dinamis,
teknologi informasi dan komunikasi sebagai salah satu faktor terjadinya
partisipasi kerja dalam masyarakat akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap
daya kesadaran masyarakat terhadap peluang yang ada. Teknologi sebagai peluang
yang dapat mengubah sewaktu-waktu keadaan inilah menjadi faktor penting dalam
ketersediaan kesempatan yang lain yang memungkinkan bagi masyarakat untuk
diambil sebagai peluang yang menguntungkan.
Adapula “teori budaya kapitalisme yang dipandang
sebagai poliglot akan sejalan dengan keragaman etnis di dalam desa di
Indonesia, sehingga analisis terhadap ekonomi pertanian dan ekonomi desa tidak
bisa diletakkan di atas asumsi ketunggalan struktur ekonomi” (Agusta: 2011,
176), dengan teori di atas persoalan masyarakat desa memilih untuk keluar dari
desanya dan harapan memiliki penghidupan yang layak di kota ialah sebuah contoh
budaya desa yang ada sebelumnya (pertanian) bekerja sejalan dengan kapitalisme
dalam bentuk modernisasi dan industrialisasi.
Peluang Menyambung Hidup Kedua
Masyarakat Dranan memiliki pengertian yang berbeda dalam penyebutan
‘sawah’ dan ‘ladang’ serta lahan perhutani yang dipinjamkan untuk ditanami
rumput gajah sebagai pakan ternak yang mereka sebut sebagai ‘kebun’. Sawah
dalam keseharian masyarakat Dranan ialah lahan yang mereka gunakan untuk menanam
padi atau jagung. Sedangkan mereka akan menyebut ladang yang merupakan tempat
mereka menanam tanaman sayuran seperti daun bawang, cabai, hingga tanaman
komoditas seperti stroberi. Pada wawancara yang dilakukan pada tiga narasumber,
ketiganya menjawab memiliki semua bagian dari sawah, ladang maupun kebun Dari
data wawancara tersebut, narasumber (I) berjenis kelamin laki-laki berumur 66
tahun dengan pekerjaan utama sebagai petani memiliki 1ha areal sawah, 1 ha
areal ladang, dan 1ha areal kepemilikan lahan kebun yang ditanami rumput gajah
di hutan. Narasumber (II) berjenis kelamin perempuan berumur 34 tahun bekerja
sebagai petani memiliki sawah seluas ½ ha, ladang seluas ½ ha, dan kebun seluas
¼ hektar serta narasumber (III) berjenis kelamin perempuan umur 42 tahun dengan
pekerjaan utama sebagai petani memiliki sawah seluas 1 ha, ladang seluas ½ ha,
dan kebun seluas 1 ha. Melalui jumlah dan kepemilikan lahan dapat dilihat
seberapa besar ketergantungan lahan pada masyarakat Dranan yang merupakan tanda
bahwa masyarakat menjadikan aktivitas menanam dan memanen adalah sebuah
penghidupan yang utama dalam taraf keluarga. Sehingga dengan memperhatikan
cuplikan data harian penulis di bawah ini,
kita dapat memperhatika cara kerja (way of life) yang dilakukan
oleh masyarakat Dranan.
“ “Besok senin, Ayub[10] pulang
dari kota”. Begitulah kira-kira ucapan bapak asuhku selama di Petungkriyono,
ketika aku hendak ikut berkumpul di perapian keluarga yang ada di dapur. Bentuk
tempat berkumpul tersebut tidak ada yang istimewa, hanya berupa kompor tanah
liat yang tidak sedang digunakan untuk memasak namun apinya tetap menyala, di
sanalah kemudian anggota keluarga berkumpul menghangatkan tubuh yang dingin
karena hujan dan angin malam. Menyambung obrolan dengan bapak dan keluarga di
hangatnya perapian tentang kota dan masyarakat Petungkriyono membelai pikiranku
hingga, aku menjadi tahu bahwasannya hampir di setiap rumah di daerah ini ada
anggota keluarga yang pergi ke kota sama seperti yang Ayub lakukan.”[11]
Berdasarkan dari data harian tersebut, dapat dilihat pola
perpindahan yang dilakukan masyarakat. Pola yang sama dilakukan hampir di
seluruh keluarga pada tiap rumah yakni melakukan perpindahan secara tidak
menetap ke kota Pekalongan atau ke luar kota Pekalongan. Perpindahan seperti
ini biasa disebut sebagai migrasi sirkuler. Pola migrasi sirkuler sendiri
menurut Rahardjo (2014: 204) yakni gejala dalam mana orang-orang desa
pulang-balik dari desa ke kota dan dari kota ke desa. Sehingga, mereka yang
pergi ke luar kota bukan berarti menetap lama ataupun langsung pulang pada saat
itu juga. Migrasi sirkuler lebih membebaskan seseorang untuk pergi dan kembali
sesuai dengan kehendaknya. Dalam kasus masyarakat Petungkriyono waktu yang
dibutuhkan dalam sekali kepergian dan kembali biasanya satu minggu hingga satu
bulan. Waktu tersebut memang bukanlah waktu yang cukup lama untuk meninggalkan
pekerjaan di sawah, ladang dan kebun mereka. Sebab dengan perginya mereka ke
kota mencari penghasilan lain tersebut, masih ada istri dan anak yang mengurusi
ladang. Sehingga, mereka akan sangat dibutuhkan pada saat musim tanam dan
panen. Istilah ‘urbanisasi’ sering digunakan dalam menyebut fenomena ini,
sebagai bentuk penyerapan sumber daya manusia dari desa, karena lapangan pekerjaan
yang disediakan di desa sangat terbatas karena faktor pembangunan yang
mengabaikan lingkungan desa (Setyobudi, 2001: 196).
Dalam percakapan lain dengan narasumber (II) , beliau menyebutkan:
“ Suami saya bekerja sebagai kuli, kuli aspal, mbak. Pulangnya ya
paling dua minggu sekali, paling lama ya sampai sebulan. Rumah kalau siang
sepi, anak-anak sekolah dari pagi, saya juga nyari makan buat sapi di ladang
dari pagi sampai sore.”
Tidak adanya kehadiran laki-laki dalam rumah tangga narasumber (II)
tidak begitu saja membuat keluarga tersebut kemudian bermalas-malasan dan tidak
melakukan pekerjaan apapun. Mayoritas masyarakat akan bersikap sama halnya
dengan narasumber (II) untuk kembali mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga
dengan tetap bertani sebagai pekerjaan utama mereka dan pekerjaan suami di kota
sebagai pekerjaan sampingan.
Kesenjangan Gender pada Masyarakat Desa
Percakapan dengan narasumber (I) di bawah ini memperlihatkan anak
laki-laki dalam keluarga lebih diutamakan untuk pergi ke luar rumah –
bermigrasi – daripada anak perempuan.
“Ibu, ada dimana, Pak?”
“Ibu lagi jaga toko sama mbak Asih,
mbak. Kalau mau ikut atau jajan monggo, di sana jual ciki”.
Pola migrasi sirkuler pada suatu keluarga akan dilakukan oleh
laki-laki (suami), anak laki-laki yang telah cukup umur dan mampu untuk bekerja
yang melakukan migrasi ke kota. Sedangkan perempuan (istri) dan anak-anaknya
tetap berada di rumah atau di desa. Pola migrasi yang terjadi di masyarakat
Dranan kemudian dapat terwujud disebabkan apa yang diajarkan dalam keluarga dan
institusi lain dapat berarti sesuatu yang memang dihasilkan oleh keluarga itu
sendiri dan pada saat yang sama juga merupakan artikulasi nilai dan norma yang
berlaku secara sosial (Abdullah, 2001: 109). Sehingga, hal yang terus terjadi
dengan adanya migrasi ialah reproduksi secara kultural pada suatu keluarga
dengan pola migrasi yang sama, dengan meninggalkan perempuan tetap di tempat
asal. Secara tidak langsung dalam kepengurusan lahan pertanian milik keluarga,
yang menggarap ialah perempuan (para istri) yang ditinggalkan migrasi oleh
laki-laki (para suami). Migrasi yang terjadi pada masyarakat inilah yang
kemudian menjadi penyebab dominan, yang memunculkan dampak-dampak lain seperti
yang telah disebutkan dalam faktor yang mempengaruhi dalam bagan kerangka teori
di atas yakni pendidikan serta teknologi informasi dan komunikasi.
Pada kehidupan masyarakat desa secara umum mengenai pendidikan,
laki-laki dalam masyarakat yang dianggap lebih mampu untuk bekerja di luar
sektor pertanian dengan kemampuan akademik yang mereka miliki, tidak
serta-merta untuk meninggalkan pertanian mereka. Sebab mereka masih berperan
sebagai manajer dalam produksi pertanian keluarga mereka, yang ikut memberikan
keputusan dalam produksi pertanian keluarga.
Sebagaimana disebutkan “ Our analysis indicates that the impact of
the farm decision-makers' education - which may sharpen his managerial skills
on farm production is positive and significant” (Baldev, 1974: 96). Pada
dasarnya, meskipun laki-laki – suami memilih bekerja keluar dari Dranan, mereka
masih memiliki andil untuk pengelolaan pertanian karena keterampilan mereka
dalam pembuatan keputusan produksi pertanian. Dalam praktiknya, pendidikan pada
masyarakat Dranan memang lebih difokuskan pada anak laki-laki. Pemfokusan yang
dilakukan pada anak laki-laki tersebut dimaksudkan agar mereka mampu bersaing
nantinya dalam mengambil peluang kesempatan kerja di luar daerah mereka dan di
luar sektor pertanian. Narasumber (I) bahkan mengatakan jika saja pada saat
Ayub – anak laki-lakinya lulus SMA memiliki uang, ia akan langsung memasukkan
anaknya tersebut ke perguruan tinggi. Namun, karena keadaan keluarga yang tidak
mencukupi pada saat itu, akhirnya si anak lebih memilih bekerja sebagai koki di
sebuah restoran di kota Pekalongan.
Seperti telah disebutkan di atas, masih adanya campur tangan dari
laki-laki dalam pengelolaan pertanian keluarga, seperti halnya dalam terjun ke
sawah ketika panen maupun masa tanam yang terjadi pada anak laki-laki dari narasumber
(I), menggambarkan sikap kepatuhan
seorang anak terhadap orang tuanya. Berbeda dengan narasumber (I), narasumber
(II) dan (III) lebih pada sifat kepatuhan seorang istri kepada suaminya. Jika
dilihat pada praktiknya di lapangan, seorang istri masih tetap melakukan
pekerjaan baik dalam manajerial dan
pengambilan keputusan untuk produksi pertanian. Tidak ada rasa berat sebelah
pada perempuan – istri, dalam melakukan perannya dalam bidang pertanian meski
dalam kenyataannya juga ditemukan pengambilan keputusan tertinggi masih ada
pada suami. Hanya pada saat suami atau anak laki-laki yang melakukan migrasi
pulang ke desa, barulah terlihat bagaimana laki-laki ikut andil dan memiliki
kekuasaan setingkat lebih tinggi dalam pekerjaan dan perannya dalam pertanian.
Oleh karena perempuan cenderung dilihat sebagai “kapital” dalam proses
transformasi sosial ekonomi. Hal ini menyebabkan adanya usaha yang cukup kuat
untuk membicarakan dan mendorong partisipasi perempuan” (Abdullah, 2001: 8)
Partisipasi perempuan dalam konteks masyarakat Dranan masih sangat
minim pada bidang publik. Hal ini terbukti dengan data yang didapat dari
narasumber (I):
Anak pertama keluarga ialah mbak Asih berjenis kelamin perempuan
berumur 25 tahun dan telah memiliki 2 orang anak yang masing-masing berjenis
kelamin laki-laki (10 tahun) dan perempuan (4 tahun). Pekerjaannya ialah
menjaga toko di dekat sekolah dasar di dusun. Saat menjelang sore mbak Asih
akan kembali ke rumah untuk mengurusi rumah. Pada saat siang hari ketika toko
sepi, ibunya akan bergantian menjaga toko dan mbak Asih akan pergi mengurus
ladang keluarga. Selain hari sabtu dan minggu, mbak Asih tidak melakukan
pekerjaan tersebut, karena pada hari tersebut suaminya yang juga menjabat
sebagai kepala dusun mengerjakan pekerjaan di sawah maupun ladang keluarga.
Selain itu, setiap hari kamis dan minggu ia harus pergi ke pasar untuk memenuhi
kebutuhan di toko sekaligus kebutuhan dalam rumah tangganya. Akses terhadap
transportasi dan alat komunikasi tidaklah semudah yang didapatkan oleh suami
mbak Asih, yang dapat ke kota kapan saja dan menghubungi kerabatnya kapan saja
hal tersebut dilakukan sebab hanya ada satu ponsel dan sepeda motor dalam satu
keluarga inti sehingga, kehendak untuk hal tersebut hanya diberikan untuk
kepala keluarga yang dianggap memiliki kepentingan yang lebih banyak
dibandingkan anggota keluarga lain. Sehingga, dalam bergaul dan membangun
jaringan sosial Mbak Asih hanya terbatas pada orang-orang yang ditemui baik di
desa ataupun di pasar temat dimana ia membeli barang untuk kebutuhan tokonya.
Tidak
hanya ditemukan dalam satu keluarga, fenomena seperti di atas juga ada pada
beberapa keluarga lain yang berada di sekitar tempat dua narasumber penulis.
Tentu dalam kehidupan sehari-hari hal-hal seperti pekerjaan dan pembagiannya di
atas tidak begitu saja terjadi karena seperti yang diketahui secara bersama
selalu ada proses untuk memperoleh hasil sehingga dalam penjelasan buku ‘Seks,
Gender, Kekuasaan’ , Irwan Abdullah menyebutkan:
“ Gambaran hubungan laki-laki dan perempuan ini telah menjadi
realitas sosial yang terbentuk secara historis oleh berbagai proses sosial,
yang kemudian menjadi suatu susunan kekuasaan tempat perempuan berada pada
posisi tersubordinasi di dalam kehidupan sosial” (Firestone, 1972 via Abdullah,
2001: 49).
Posisi
tersubdordinasi perempuan terjadi karena berbagai proses yang dialami antar hubungan
laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial, memperlihatkan bagaimana
perempuan masih berada dalam posisi di bawah laki-laki dan harus memenuhi
kebutuhan laki-laki dalam tindakan sehari-hari. “Secara tidak sadar, masyarakat
kemudian membangun batas-batas peran antara perempuan dan laki-laki dalam
melakukan pekerjaan sehingga bukan tidak mungkin dalam masyarakat terdapat
ideologi gender yang membeda-bedakan pria dan wanita bukan hanya berdasar jenis
kelamin, tetapi juga berdasar peranannya masing-masing jenis kelamin”
(Abdullah, 1997: 244).
Kembali pada usaha pertanian
dalam masyarakat sebagai bentuk pekerjaan utama mereka dalam memenuhi kebutuhan
hidup keluarga, dalam konteks usaha pertanian masyarakat Dranan yang masih subsisten,
maka migrasi sirkuler memang merupakan suatu peluang tersendiri bagi masyarakat.
Peluang tersebut terbukti saat ekonomi pasar memburuk di kota, mereka
setidaknya masih dapat bertani di desa karena mereka masih mempertahankan
pekerjaan utama mereka. Bergabungnya mereka dalam ekonomi pasar melalui migrasi
dapat dikatakan sebagai bentuk tambahan atau sekunder dalam pemenuhan kebutuhan
sehingga dengan migrasi sirkuler yang dilakukan, mobilitas sosial naik
kemungkinannya sedikit dalam konteks masyarakat Dranan. Penurunan tersebut
sudah sewajarnya terjadi karena mereka tidak meninggalkan desa untuk menetap.
Selain itu, terjadinya migrasi sirkuler ini juga merupakan tanda bahwa adanya
kegagalan masyarakat desa dalam mengelola ekonomi rumah tangga mereka di tengah
pembangunan desa, industrialisasi, dan modernisasi.
Dalam
penyerapan tenaga kerja pertanian sebagai bentuk keberlangsungan usaha
pertanian masyarakat sebagai pekerjaan utama ada kendala yang harus dihadapi
apabila dihadapkan dengan banyaknya migrasi sirkuler. Kendala tersebut tidak
terlihat secara langsung karena masyarakat telah memiliki solusi lain yang
memudahkan mereka dalam mengelola usaha tani yang subsisten dan masih
berorientasi pada usaha tani keluarga yang melibatkan anggota keluarga untuk
urusan tenaga kerja. Namun, pada kenyataannya, masyarakat memiliki beban yang
lebih berat dengan ketidakhadiran anggota keluarga dalam mengelola usaha
taninya sebab masyarakat harus membayar jasa orang lain dalam pengelolaan
sawah. Hal ini diperjelas dalam bacaan ‘Ilmu Usaha Tani’:
“ Tenaga kerja merupakan faktor
penting dalam usahatani keluarga (family farms), khususnya tenaga kerja
petani beserta anggota keluarganya. Rumah tangga tani yang umumnya sangat
terbatas kemampuannya sangat ditentukan dari segi modal dan peranan tenaga
kerja keluarga. Jika masih dapat diselesaikan oleh tenaga kerja keluarga
sendiri maka tidak perlu mengupah tenaga luar, yang berarti menghemat biaya”
(Suratiyah, 2015: 24).
Masih banyaknya
keluarga petani dalam masyarakat Dranan menunjukkan ketergantungan yang kuat
terhadap hasil pertanian sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.
Ketergantungan yang terjadi memang tidak lepas dari bagaimana sikap yang
ditunjukkan oleh narasumber-narasumber yang ada. Pada narasumber (II) misalnya,
ia menyebutkan bahwa mengupah jasa tetangga untuk melakukan panen dan tanam.
Kira-kira pembayaran upah untuk satu pekerja akan dihitung perhari kira-kira
mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 14.00 dengan upah Rp 30.000,00. Narasumber (I) juga melakukan hal yang hampir
sama dalam pemenuhan tenaga kerja untuk masa tanam dan panen dengan mengupah
jasa sebesar Rp 20.000,00 – Rp 25.000,00 untuk satu pekerja dalam satu hari
kerja. Kedua narasumber menyebutkan kebanyakan tetangga yang mau digunakan
jasanya untuk membantu proses produksi mereka ialah para bapak-bapak yang
kebetulan pulang dari kota ataupun para ibu-ibu rumah tangga yang juga mengurusi persediaan makanan pada sore
hari untuk ternak mereka di rumah. Narasumber juga mengatakan kebanyakan dari
ibu-ibu yang diminta untuk melakukan jasa tanam atau memanen merupakan para ibu
yang ditinggalkan suami mereka pergi ke kota atau luar kota untuk memperoleh
pekerjaan lain yang dapat lebih menyejahterakan kehidupan para ibu dan anak
yang ditinggalkan di desa. Melalui sistem pengupahan yang dipilih masyarakat
untuk menjawab kebutuhan akan tenaga kerja di atas, dapat diketahui partisipasi
kerja petani perempuan terjadi karena bentuk tergesernya peran perempuan dalam
komposisi keluarga.
Tarik Menarik Tenaga Kerja Antara
Desa dan Kota
Industrialisasi dan modernisasi dalam pembangunan yang mengglobal
pada saat ini memberikan dampak yang besar bagi perubahan dari tingkat desa
hingga kota. Adanya industrialisasi yang diyakini sebagai tahapan keberhasilan
suatu bangsa memberikan dorongan terhadap masyarakatnya secara luas untuk
mengikuti tren yang ada. Industrialisasi dan modernisasi ini mengubah pemikiran
masyarakat untuk berpikir lebih ke depan dan realistis, sehingga dalam
kehidupannya mereka lebih memikirkan bagaimana memperoleh suatu keuntungan dari
industri yang disediakan alam di sekitar tempat tinggal mereka. Secara tidak
sadar, keterbukaan akan peluang pekerjaan dalam terbukanya kesempatan tersebut,
dimasuki oleh masyarakat desa dan digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup
yang salah satu contohnya ialah dengan bekerja di kota.
Seperti
kita ketahui, sasaran “industrialisasi tidak hanya di kota melainkan juga di
desa, yang memiliki sumber daya alam yang mumpuni dan perlu dikembangkan oleh
pihak-pihak yang ingin mengambil untung sehingga yang dapat ditemukan ialah
desa-desa kita banyak mengalami eksploitasi dari perusahaan industri karena
adanya sumber daya alam dan tenaga murah” (Tjondronegoro, 2011: 39). Tentunya, sumber
daya alam yang tereksploitasi dan tenaga murah yang dimaksud ialah hal-hal yang
dipunyai oleh masyarakat desa yang terkena dampak dari adanya industrialisasi.
Konsentrasi pada tenaga kerja pada tulisan ini dapat dipecahkan melalui kutipan
di atas, mengenai tenaga yang murah. Fenomena yang biasa ditemui pula pada
masyarakat Dranan, sebagai masyarakat desa. Seperti yang disampaikan oleh
narasumber (II) dalam perbincangan dengan penulis mengatakan bahwa suaminya
yang bekerja di industri peraspalan hanya membawa pulang uang yang dapat
digunakan untuk keperluan sehari-hari, selebihnya masih menggantungkan pada
pertanian. Data di atas menyatakan bahwa meski ada kemampuan untuk melakukan
pekerjaan sambilan di kota sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya
industrialisasi dan modernisasi, tidak mematahkan daya juang masyarakat desa
untuk meninggalkan pertanian yang telah menghidupi mereka selama
bertahun-tahun. Setyobudi (2001: 204) dalam studinya tentang ambiguitas anatara
desa dan kota menyebutkan:
“Ekonomi
rumah tangga petani dalam hal ini sama sekali tidak bergeser dari prinsip
subsisten ke pertanian jenis industrial, seperti yang terjadi pada masuknya pengaruh modernisasi dan
industrialisasi ke sektor pertanian sebagai gerakan yang ikut membawa pengaruh pada
meningkatnya tingkat kesejahteraan petani”.
Pekerjaan
sebagai petani di desa yang merupakan pekerjaan primer bagi masyarakat Dranan
dalam praktik kerjanya tidak terlalu membedakan antara pembagian kerja
laki-laki dan perempuan. Pada zaman dimana masih belum dikenal teknologi tepat
guna dalam pengelolaan pertanian saja, memang masyarakat membagi pekerjaan di
sawah sebagai pekerjaan laki-laki sedangkan perempuan bertugas menyiapkan
makanna untuk di makan siang harinya oleh para pekerja laki-laki di sawah.
Berbeda jauh dengan keadaan di dusun Dranan, Petungkriyono dimana saat ini
waktu yang dicurahkan oleh perempuan desa di sawah, ladang, maupun kebun lebih
banyak dibandingkan dengan laki-laki. Kehadiran laki-laki dari pagi hingga
siang hari dalam satu hari bisa dikatakan hampir nihil, baru pada sore hari ada
beberapa laki-laki yang merumput di kebun mereka untuk mencarikan pakan ternak
mereka, itupun laki-laki yang tidak memilih bekerja di luar kota.
Berubahnya
keadaan saat perempuan lebih menjadi panutan dalam memutuskan sebuah keputusan
bahkan juga terjadi di desa tempat peneliti mengambil data. Kehadiran sosok
bapak – laki-laki yang minim dalam sebuah keluarga menyebabkan terjadinya ibu –
perempuan menjadi sosok lain yang harus dipatuhi. Seperti tergambar dalam
ilustrasi di bawah ini:
Dalam
perjalanan mengambil sebuah data di daerah dusun, tidak sengaja kami bertemu
dengan seorang anak perempuan kira-kira berumur 10 tahun sedang menuju rumah
sepulang dari mengaji yang terlihat dari baju muslim yang dipakai oleh anak
tersebut dan kepulangannya dari arah masjid yang berjarak 100 meter dari
rumahnya. Sebelumnya, kami telah melakukan kesepakatan dengan anak tersebut
untuk bertemu di hari itu. Oleh karenanya, kami mengikutinya. Sesampainya di
rumah, anak tersebut langsung mencari keluarga tertua yang ada di rumahnya.
Kebetulan hari itu, ibu dari anak tersebut telah pulang dari kebun untuk
merumput, yang kemudian tidak disangka-sangka oleh kami ibu tersebut merupakan
kepala dusun periode yang lalu dan dalam keluarga tersebut ibu tersebut
berperan sebagai kepala keluarga karena suami dari ibu tersebut melakukan
perjalanan ke luar kota dengan waktu yang cukup lama.
Dari data harian TPL Petungkriyono
di atas, menguatkan bukti bahwa masyarakat Dranan telah memiliki perkiraan yang
jauh tentang ekonomi berkelanjutan dalam lingkup rumah tangga mereka selain
memang karena kegagalan masyarakat dengan unit rumah tangga desa tersebut
mengandalkan pertanian desa sebagai bentuk ekonomi yang memadai dan memakmurkan
desa. Absennya sosok laki-laki yang memimpin dalam sebuah ramah tangga pada
narasumber (III) menunjukkan pemikiran masyarakat yang mengutamakan kehidupan
harus tetap berjalan, begitupun dengan pekerjaan dan peran. Meski memang dalam
realita kehidupan sosial dan budaya, perempuan tidaklah melakukan pekerjaan
yang harus banyak memerlukan kekuatan fisik. Di bawah ini memperlihatkan
pembagian pekerjaan masyarakat Dranan sesuai dengan bidang-bidang pekerjaan
perempuan dan laki-laki serta peluang kerja atas mereka di desa dan di kota
berdasarkan hasil penelitian lapangan di Petungkriyono.
1. Penerimaan
kerja laki-laki dan perempuan
a. Laki-laki
Laki-laki lebih mudah diterima dalam
pekerjaan pada sektor apapun dalam pasar tenaga kerja. Keunggulan menjadi
laki-laki dari segi fisik dalam masyarakat ialah laki-laki dianggap lebih mampu
daripada wanita dalam melakukan pekerjaan yang berkenaan dengan fisik secara
langsung. Oleh karena itu dalam pekerjaan di sektor sekunder seperti
pertambangan, industri, listrik, bangunan, angkutan banyak dilakukan oleh
laki-laki.
b. Perempuan
Perempuan tidak banyak bekerja pada
bidang yang memerlukan kekuatan fisik. Anggapan dalam masyarakat bahwa wanita
adalah sosok yang lemah masih melekat. Sehingga, dalam pasar tenaga kerja
kualifikasi jenis kelamin perempuan sering kali menjadi penghambat bagi para
perempuan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin. Berdasarkan
struktur ketenagakerjaan, sebagian besar perempuan bekerja di sektor primer
(pertanian) dan tersier (perdagangan, keuangan, jasa) serta mendominasi status
dan jenis pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan keahlian/keterampilan khusus
(Hubeis, 2011:196).
2.
Peluang kerja laki-laki dan perempuan di desa dan kota (sesuai dengan data
penelitian lapangan di Petungkriyono)
a. Laki-laki di
desa
Melakukan usaha
pertanian
Mencari getah aren
Pembuat gula aren
Aparatur desa
Menjahit
b. Perempuan di
desa
Melakukan usaha
pertanian
Wirausaha
kecil-kecilan (membuka toko/warung)
Mengurusi urusan
rumah tangga
c. Laki-laki di
kota
Buruh industri
Buruh bangunan
Supir angkutan
umum
d. Perempuan di
kota
Hampir tidak
ditemukan.
Realitas pekerjaan yang ada pada
masyarakat Dranan yang telah disebutkan
pada pembagian peran atas laki-laki dan perempuan di atas, memberikan pemahaman
lain tentang pekerja laki-laki yang melakukan migrasi sirkuler kebanyakan
adalah pekerja kasar yang membutuhkan banyak tenaga daripada menguras otak.
Dengan demikian mereka yang secara pendidikan dan keahlian tidak mempunyai
jenis-jenis yang dibutuhkan di kota hanya akan menempati pekerjaan kasar
(Setyobudi, 2001: 200). Pekerjaan yang dilakukan banyak laki-laki Dranan ini,
menunjukkan pola yang sama hampir pada setiap rumah tangga, yang mengakibatkan
meningkatnya jumlah partisipasi tenaga kerja perempuan di sektor pertanian. Selain
di kota juga memerlukan tenaga kerja untuk menggarap pekerjaan kasar dan
pekerjaan di kota lain yang ada pada tingkat yang rendah, di desa pun
memerlukan tenaga kerja yang sama untuk mengerjakan lahan pertanian. Sehingga
hal-hal di atas dapat menjadi landasan penyebab terjadinya tarik-menarik
kebutuhan tenaga kerja antara desa dan kota berlanjut hingga saat ini.
Kesimpulan
Pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari menjadi basis bagi masyarakat untuk mempertahankan
kehidupannya dalam mencapai kesejahteraan. Bekerja merupakan salah satu cara
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengusahakan pekerjaan yang layak bagi
kehidupan di masa mendatang merupakan bagian terpenting dalam kehidupan
masyarakatdalam mencapai kesejahteraan tersebut. Terbatasnya alternatif
pekerjaan di desa misalnya menyebabkan adanya pilihan-pilihan usaha yang sulit
untuk menyambung hidup di pedesaan yang berkonsentrasi pada sektor primer
(pertanian). Ketergantungan pada lahan pun tidak dapat dianggap mencapai
kesejahteraan pada titik tertentu yang mengakibatkan masyarakat desa melakukan perpindahan ke kota
untuk sementara waktu demi mengubah hidup mereka agar lebih layak.
Memilih untuk
melakukan perpindahan sementara ke kota bukan tanpa alasan bagi masyarakat
desa. Waktu yang temporer tersebut memiliki keuntungan tersendiri bagi mereka.
Dalam satu kali masa tanam padi misalnya, maka mereka hanya perlu melakukan dua
kali pulang ke kampung untuk mengurusi masa tanam dan panen. Penerapan
perpindahan secara sementara atau yang lebih dikenal sebagai migrasi sirkuler ini,
bagi sebagian masyarakat merupakan solusi yang baik untuk menjaga keuangan
rumah tangga stabil, namun dapat juga dikatakan sebagai kegagalan masyarakat
desa dalam perekonomian desa.
Selama menjadi solusi
bagi masyarakat, bukan tidak mungkin perpindahan sementara ini tidak menimbulkan
permasalahan. Permasalahan-permasalahn kultural seperti partisipasi kerja
perempuan yang meningkat pada sektor primer merupakan fenomena yang muncul dalam
masyarakat seiring dengan kemudahan dalam melakukan perpidahan menggunakan
transportasi serta kemudahan masyarakat dalam mendapatkan informasi karena
teknologi yang telah mampu mencapai desa. Anggapan mengambil keputusan keluar
dari desa dan melakukan perpidahan untuk kehidupan yang lebih baik di kota
serta demi meningkatnya sebuah perekonomian rumah tangga desa, membuat
masyarakat kembali melakukan pola yang sama untuk menggantungkan hidup pada dua
ruang yang berbeda dan yang memiliki jarak spasial menonjol. Sehingga, yang tak
dapat terelakkan dalam sebuah persinggungan ialah hubungan saling
ketergantungan antara desa dan kota akan masyarakat-masyarakat yang melakukan
perpindahan atau migrasi secara sirkuler ini. Jasa yang ditawarkan baik di desa
dan kota dalam masyarakat dengan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat
meskipun dapat dibilang sebagai suatu bentuk kerja yang tidak menetap atau
serabutan namun hal ini mampu memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di desa dan
kota.
Daftar Pustaka
1. Abdullah,
Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan.
2. Abdullah,
Irwan. 2001. Seks, Gender dan Konstruksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang
Press.
3. Agusta, Ivonich. 2011. “
Pertautan Budaya Pembangunan dan Budaya Warga Menuju Desa 2030” dalam Menuju
Desa 2030, Yogyakarta: Penerbit Pohon Cahaya.
4. Aly, Hassan Y dan Shields, Michael P. 2010. Gender And Agricultural Productivity In A
Surplus Labor, Traditional Economy:
Empirical Evidence From Nepal, Nashville: Tennessee State University College
of Bussiness.
5. Anthony, Richard. 1995. Farm Servant vs Agricultural Labourer,
Jstor: British Agricultural History Society.
6. Brauw,
Alan de , Li, Qiang, dkk. 2008. .Feminization of Agriculture in China? Myths
Surrounding Women's Participation in Farming. Cambridge: Cambridge Journal.
7. Connor,
dkk. 2010. Providing Care for Migrant Farm Worker Families in Their Unique
Sociocultural Context and Environment , London: SAGE.
8. Hubeis,
Aida Vitayala. 2011. “ Kesetaraan Gender dalam Pembangunan Perdesaan” dalam Menuju
Desa 2030, Yogyakarta: Penerbit Pohon Cahaya.
9. Rahardjo.
2014. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjan
Mada University Press.
10. Reimer, Bill. 1984. Farm
Mechanization: The Impact on Labour at the Level of the Farm Household, Jstor:
Canadian Journal Sociology.
11. Satyavathi, Tara dan Bharadwaj.
2010. Role of Farm Women in Agriculture, Singapore: SAGE.
12. Setyobudi,
Imam. 2001. Menari di Antara Sawah dan Kota, Magelang: Indosiatera.
13. Surono,
Indro dkk. 2011. Hutang Pada Petani Padi Pendekatan Rantai Nilai dan Isu
Beras di Indonesia, Bogor: Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.
14. Suratiyah,
Ken. 2015. Ilmu Usahatani, Jakarta: Penebar Swadaya.
15. Shivamaggi, H.B. 1969. The Agricultural Labour Problem: Past
Misconceptions and New Guidelines, Jstor: Political and Economy Weekly.
16. Swindell,
Ken. 1978. Family Farms and Migrant Labour: The Strange Farmers of the
Gambia, Kanada: Canadian Association of African Studies.
17. Tjondronegoro,
S.M.P. 2011. “ Desa: Retropeksi ke-1800 Menuju Prospek 2030” dalam Menuju
Desa 2030, Yogyakarta : Percetakan Pohon Cahaya.
18. Zaw
Win, Aung. 2015. Child Farm Laborers, Los Angeles: American Journal and
Public Helath.
Data
Penunjang
1.
Data harian TPL Petungkriyono 15-28 Januari 2016.
2.
Hasil rekaman wawancara dengan narasumber (I), narasumber (II), dan narasumber
(III).
[1] Bill Reimer,
198, Farm Mechanization: The Impact on Labour at the Level of the Farm
Household, Jstor, Canadian Journal Sociology.
[2]
Aung Zaw Win, 2015. Child Farm Laborers, Los Angeles, American Journal
and Public Helath.
[3] Tara Satyavathi
dan Bharadwaj, 2010, Role of Farm
Women in Agriculture, Singapore, SAGE.
[4] Connor, dkk,
2010, Providing Care for Migrant Farm Worker Families in Their Unique
Sociocultural Context and Environment, London, SAGE.
[5] H.B.
Shivamaggi, 1969, The Agricultural Labour Problem: Past Misconceptions and
New Guidelines, Jstor, Political and Economy Weekly.
[6] Richard
Anthony, 1995, Farm Servant vs Agricultural Labourer, Jstor, British Agricultural History Society.
[7] Hassan Y Ally
dan Michael P. Shield, 2010, Gender And Agricultural Productivity In A Surplus
Labor, Traditional Economy: Empirical Evidence From Nepal, Nashville: Tennessee State University College
of Bussiness.
[8] Alan de Brauw , Qiang Li,
dkk, 2008, .Feminization of Agriculture in China? Myths Surrounding Women's
Participation in Farming, Cambridge, Cambridge Journal.
[9] Ken Swindel,
1978, Family Farms and Migrant Labour: The Strange Farmers of the Gambia, Kanada,
Canadian Association of African Studies.
[10] Anak laki-laki
narasumber berumur 19 tahun, bekerja sebagai asisten koki di kota Pekalongan.
[11] Data harian
TPL Petungkriyono 2016.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu