Data Harian: TPL Petungkriyono 2016

Hari ke-1
Jumat, 15 Januari 2016
“ Setelah helaan nafas ini, kita tidak akan pernah tahu kemana Tuhan membawa kita berlari”. Boleh saja hari ini menjadi senang. Boleh saja hari ini menjadi susah. Boleh-boleh selama masih ada waktu dan ruang buat kita berpijak”.
            “Awal yang tak tahu apa-apa hingga banyak yang diketahui sebagai apa-apa”
            Pagi ini, sekitar pukul 04.00 Petungkriyono, aku dibangunkan oleh alarm yang seolah mengusir dengan segera mimpi yang sedang kubangun. Alarm tersebut sengaja disetel pada pukul tersebut, agar kami tidak tergesa-gesa mengatur diri sebelum sholat shubuh dilakukan di mushola, sebagai tempat kami bertiga (dengan Ryu dan Devi) menginap selama 2 hari di Petungkriyono. Bukan karena masalah bersahabat atau tidak bersahabat dengan masyarakat Petungkriyono sebagai tempat penelitian kami selama 14 hari nanti, bagiku dan teman-teman yang menghuni mushola sebagai tempat tidur sementara, sebenarnya rasa sungkan lebih banyak meliputi untuk ikut menginap di salah satu rumah warga sedangkan, kami belum memperkenalkan dengan formal siapa kami sebenarnya. Kami merasa tidak etis saja sebagai tamu yang tiba-tiba menginginkan lebih selain dijamu. Karenanya untuk menghormati masyarakat yang mempunyai mushola, kami ikut untuk sholat shubuh berjamaah di sana. Ditandai dengan dipukulnya bedug yang ada di serambi luar mushola, waktu sholat shubuh memasuki Petungkriyono.
Terjadi insiden kecil saat sholat shubuh. Ya, itu karena masyarakat Petungkriyono yang sholat shubuh berjamaah ialah penganut NU, mereka menggunakan qunut saat sholat shubuh. Sedangkan kami, di Jogja terbiasa dengan sholat shubuh tanpa qunut sebab masyarakat Jogja merupakan masyarakat Muhammadiyah yang terbiasa sholat shubuh tanpa qunut, insiden kecil tersebut membuat kami langsung melakukan sujud dan (seolah) tidak tahu kalau harus berdoa qunut shubuh itu. Meskipun terjadi insiden kecil, setidaknya insiden kecil yang terjadi tidak mengganggu kekhidmatan kami dalam menjalankan ibadah sholat shubuh. Sementara dalam benakku sendiri masih bergejolak tentang insiden kecil tersebut, rasa kantuk dan dingin disertai tiupan angin kecil dari jendela mushola yang telah dibuka membuat insiden terkantuknya kami dilupakan begitu saja. Nun pasti jauh menggumpal di pikiranku sana, cerita insiden kecil ini akan kusimpan sebagai cerita yang akan kuceritakan tentang pengalaman pertama memahami perbedaan dan bersentuhan dengan manusia di luar batas lingkungan yang biasa kita tinggali dan tentu yang telah kita miliki dan pahami.   
            Beberapa saat setelah sholat shubuh, kami mendapat kabar bahwa teman-teman yang naik bus untuk ke Petungkriyono, telah sampai di kecamatan Doro. Kecamatan Doro merupakan kecamatan terdekat dengan kecamatan Petungkriyono, sekaligus kecamatan yang memasok bahan makanan untuk masyarakat Petungkriyono yang jauh dari akses. Oke, balik tentang teman-teman. Setelah mendapat kabar tersebut, beberapa panitia yang ditugaskan untuk menjemput teman-teman langsung berangkat menuju ke kecamatan Doro.      
Harusnya tak terjadi hal yang cukup mengguncang kalau saja teman-teman yang naik doplak[1] tidak pula merasakan begitu terguncang . Maksudnya ialah sebagai koor medis yang tidak dapat memantau keberangkatan teman-teman lain dalam perjalanan menuju ke Petungkriyono, aku merasa agak cemas. Mungkin memang ada orang-orang yang mem-back up untuk urusan dalam perjalanan naik bus tersebut. Namun, mau bagaimana lagi, kesehatan yang paling penting untuk penelitian 2 minggu ke depan dan semua obat yang telah kupersiapkan sebelumnya diangkut pula dengan doplak yang menuju kecamatan. Kecemasanku berakhir sudah ketika doplak telah memasuki halaman kecamatan dengan wajah-wajah yang menodong lapar. Ya, sekitar pukul 08.00 WIB doplak pertama masuk dan menurunkan sebagian teman-teman kemudian disusul doplak selanjutnya. What a pity! Mereka yang turun dari doplak ialah manusia-manusia kelaparan. Drrrrrt… ponselku bergetar. Ada pesan dari Anis. Ternyata, ada tugas lain menanti diriku. Kuharus memberi makan anak-anak manusia yang baru saja turun dari peradaban. Hah? Apa maksud perkataanmu ini? Bukankah di Petungkriyono juga ada peradaban? Ya, sebenarnya begitu. Petungkriyono memang peradaban di tengah hutan yang susah hanya sinyal untuk telepon genggam yang seharusnya tak begitu dibutuhkan untuk penelitian semaam ini. Tapi mau bagaimana lagi, kami setidaknya tidak munafik bahwa sinyal sangat penting untuk mengetahui kondisi kami selama dalam peneliatian dua minggu ini. Untuk sebba itulah kukatakan bahwa mereka turun dari peradaban yang banyak sinyal untuk leluasa berkomunikasi dan yang tak bisa dipungkiri utuk pamer di media sosial.
Dua minggu ini bebanku akan bertambah dan aku harus dapat mengangkat pundakku dengan tanggung jawab sebagai koordinator medis atau P3K. Hmm.. namun nyatanya, ada tanggung jawab lain di hari pertama kedatangan peserta TPL ke Petungkriyono ini. Ini yang bikin khawatir setelah obat. Makanan! Bagaimana tidak? Anis sebagai koordianator konsumsi menitipkan uang kepadaku untuk mengurusi konsumsi kedatangan peserta pagi itu. Yaps! Dengan sedikit panik aku mengonfirmasi kapan makanan siap disajikan. Untungnya, warung untuk memesan makanan yang dikenal dengan nama warung Bu Siti, hanya berjarak 50 meter dengan kantor kecamatan Petungkriyono, yang meyakinkanku untuk jalan kaki saja menuju ke sana, ke warung Bu Siti. Oh, ya good to know Bu Siti ini merupakan istri dari kepala desa Yosorejo. Jadi, mudah untuk menemukan dimana kediaman kepala desa. Tandanya, yang ada warungnya bernamakan Bu Siti dengan aksen cat warna merah muda pada bangunannya.
Bu Siti mengatakan padaku konsumsi akan siap pukul 09.30, yang mana berarti mereka harus menunggu lagi untuk mendapatkan makan. (Maafkan atas ketidaktahuan ini teman-teman). Pembukaan dimulai sekitar pukul 09.00. Aku membantu untuk menata tempat dan makanan ringan untuk disuguhkan orang-orang yang menyambut kedatangan kita. Sebelum semuanya siap, aku terlebih dahulu menanyakan kepada Humas kecamatan mengenai serah terima kami dan konfirmasi kehadiran Pak Camat.  
Rencananya, pagi itu Pak Camat diundang untuk menghadiri pembukaan dan pelepasan peserta TPL ke desa-desa di Petungkriyono. Namun beliau tidak dapat hadir karena ada keperluan lain sehingga, digantikan oleh yang mewakili dan tentu yang mewakili ialah satu dari beberapa orang yang rela paginya digunakan untuk menyambut kedatangan kami. Beberapa sambutan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan tersebut memang diperdengarkan lewat corong yang ada di sekitar kantor kecamatan. Namun nyatanya, hanya beberapa kata yang masuk dalam pikiranku. Yah, agak kuabaikan sambutan-sambutan tersebut karena harus mengurus konsumsi peserta. Untungnya, sebagian panitia sudah makan terlebih dahulu sebelum melakukan acara pembukaan di kecamatan, sehingga tak ada kata ‘lapar’ meluncur dari mulut teman-teman panitia.
Untungnya, konsumsi datang tepat waktu. Peserta TPL yang telah diberi sambutan memakan konsumsi yang dibagikan panitia di tempat yang sama di aula tempat penyambutan tadi. Beberapa panitia makan di atas aula dan aku sendiri tidak makan karena tadi pagi pukul 07.00 aku makan sendiri dan membeli makanan di Bu Siti. Kupikir agak egois karena makan sendiri tadi pagi tapi aku ingat telah mengajak Devi dan Ryu untuk sarapan dan mereka menolak tidak makan dan lebih memilih untuk tidur dan sekedar meluruskan punggung lagi di Polsek.  
Setelah makan selesai, kubereskan tempat penyambutan yang sedikit berantakan dengan sampah setelah makan tadi, ya perhatian pertamaku di kantor kecamatan ini tentu pada tempat sampah yang seharusnya ada dalam lingkup komunitas kecamatan. Permasalahan klasik yang ada dimana-mana mungkin sama, kurangnya penyediaan tempat pembuangan sampah. Sehingga, sisa-sisa makanan dan kardus konsumsi peserta tidak dimasukkan dalam tempat sampah yang memang hanya ada satu dan tentu tak muat. Saat yang lain masih sibuk membersihkan, beberapa peserta telah diberangkatkan ke dukuh tempat mereka menginap selama dua minggu nanti. Sebagian lagi, menunggu sholat Jumat di kecamatan selesai, termasuk aku. Tak lupa sebelum mereka berangkat menuju ke tempat penelitian masing-masing, aku membagikan kotak obat kepada orang-orang yang telah kupercayai menjadi koor medis wilayah sesuai dengan desa yang dituju ditambah dengan satu koor medis mobile.
 Setelah sholat Jumat, dua doplak yang mengantar ke Kayupuring dan Telogohendro mengangkut peserta TPL ke tempat masing-masing. Beberapa peserta dari Tlogopakis diantar oleh panitia, begitupun dengan beberapa peserta yang berada di desa Yosorejo. Dua rekan 2 mingguku dan kotak obat naik doplak yang mengantar beberapa  teman lain yang bertempat tinggal sementara di Desa Tlogopakis bawah.
Aku diantar terlebih dahulu ke rumahku, di Dranan oleh koordinator wilayah Yosorejo. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumahku sementara tinggal untuk penelitian, aku melihat kabut turun ke desa yang lebih bawah dari tempatku waktu itu berdiri. Setelah aku turun, aku bertemu dengan seseorang yang tentu, aku masih asing dengan beliau tapi sepertinya beliau tidak asing dengan rumah bercat jingga yang ternyata rumah pak dukuh Dranan, rumah yang akan menjadi rumah singgahku. Kemudian oleh orang itu, aku disuruh untuk menunggu. Setelah beberapa menit, rumah yang bertempat tepat di ujung masuk Dusun Dranan tersebut, pintu bagian depannya terbuka. I felt I was stranger!  Ibu-ibu yang sepertinya masih muda dan berumur 30an tahunt mempersilakan aku untuk duduk di ruang tamu tengah yang terdapat sofanya. Hmmm… aku udah berpikiran mungkin asyik jika aku tidur di atas, setelah aku melihat ada tangga di sebelah tempatku duduk. Ah, tapi siapa aku bersekspektasi seperti itu. Aku disuguhi teh hangat dan beberapa makanan ringan oleh ibu yang kukenal dengan nama Mbak Asih tersebut, setelah berkenalan tentunya. Keadaan rumah sangatlah sepi waktu aku memasuki rumah. Orang-orang rumah akan berkumpul jika hari mulai sore, seperti itulah keterangan pertama dari Mbak Asih sebagai anggota keluarga dari rumah itu. Setelah obrolan kecil tentang rumah dan isinya, aku ditunjukkan kamarku untuk tidur selama dua minggu ke depan. Lalu, menunggulah diriku akan kehadiran teman-temanku yang lain, ialah Saras dan Fatin yang akan bersamaku. Mereka berdua memasuki rumah dengan Mazaya dan Yauma yang kebetulan memang dititipkan terlebih dahulu di tempatku. Kotak obat yang menjadi kewajibanku juga dititipkan doplak ke rumahu, setelah mengambilnya dan menyimpan kotak obat tersebut di tempat yang aman, aku menunjukkan kamar kami kepada Saras dan Fatin. Setelahnya, aku membersihkan diri dan disusul oleh Yauma. Aku pergi ke mushola samping rumah. Berniat untuk menunaikan sholat ashar di sana. Kukira, pada saat ashar anak-anak akan banyak yang datang ke mushola. Ya, memang ada anak-anak tetapi tak sebanyak yang kukira. Tatapan mereka masih aneh terhadapku, ya mungkin karena aku yang tiba-tiba saja masuk ke mushola padahal bukan orang Dranan. Kondisi mushola yang kutempati sedikit kotor, memang layak tapi seperti jarang digunakan. Aku berpikir pasti ada alasan mengapa mushola menjadi seperti itu.
Aku kembali pulang ke rumah, ketika Saras, Fatin, dan Mazaya sepertinya kelelahan dengan perjalanan dari kemarin menggunakan bus. Karenanya, mereka tertidur di sofa. Beberapa menit kemudian hanya tinggal Mazaya yang ada di kursi. Saras dan Fatin sepertinya telah pindah ke kasur untuk melanjutkan tidur. Kasur memang teman terbaik untuk punggung.
Suara motor dari kejauhan terdengar mendekat ke arah rumah. Ternyata benar saja. Dhimas menjemput Yauma dan Mazaya untuk diantar ke rumahnya. Dhimas merupakan koordinator wilayah desa Tlogopakis yang ditempati oleh Yauma dan Mazaya. Oleh karenanya, Dhimas berkewajiban mengantar mereka. Sore itu, setelah Yauma dan Mazaya berpamitan rasanya rumah sepi. Saras dan Fatin masih tidur. Kemudian kucoba melangkahkan kaki ke bagian ruang tengah rumah tersebut. Terdapat dua anak yang sepertinya ialah anak mbak Asih. Benar saja, ternyata mereka ialah Yayan (kelas 4 SD) dan Vika (3,5 tahun) anak dari Pak Dukuh. Ketika bertambah malam, keluarga berkumpul di ruang tengah menonton TV bersama. Sangat terlihat di situ rasa kebersamaan yang terbangun, hanya dengan melihat serial TV ‘anak jalanan’ mereka menjadi paham dan saling memahami kehadiran dari tiap anggota keluarga. Mereka berbagi selimut, dan saling mengomentari apa yang dilakukan pemain sinetron yang ada di TV. Malam ini, mungkin aku belum tahu apa-apa tentang apa yang kupijak sekarang, namun setidaknya aku mulai paham aku memang orang luar, dibilang aneh oleh orang di tempat ini karena berbeda dengan mereka dan berusaha sama dengan mereka. Untukku, yang bukan apa-apa semoga hari ini menjadi awal yang baik untuk memulai segalanya.



Hari ke-2
Sabtu, 16 Januari 2016
Ku terbangun  karena suara alarm yang kuatur pada pukul 04.30, sebelum alarm tersebut berbunyi pun aku juga terbangun dengan suara adzan dari mushola sebelah rumah. Karena dinginnya pagi itu, aku tak langsung mengambil wudhu untuk sholat Shubuh. Malas eh,, wkwk dinginnnnnn,… Tapi aku gak lupa sholat kok hehe… kulihat di dekat perapian anggota keluarga berkumpul, pak kepala dusun, bu kepala dusun, dua orang perempuan yang satu sekitar berumur 60 tahun dan yang satu 40an tahun serta bapak-bapak berumur 50an tahun dilihat dari bahasa tubuhnya, sepertinya mereka sedang menghangatkan tubuh di depan perapian. Aku mengambil air wudhu, sholat shubuh, kemudian ikut nimbrung dan mengobrol dengan keluarga di dekat perapian. Dengan keadaan pencahayaan yang kurang, kuhitung secara tidak langsung dan tentu di dalam hati ada lima orang di situ. Pertama-tama aku bingung. Kemudian dengan melihat seksama dan dari cerita yang sedikit kupahami, ternyata mbak Asih ialah istri dari Bapak Kepala Dusun (kadus), dan di situ masih ada 4 orang yang belum teridentifikasi olehku. Kutinggalkan perapian pagi itu, kemudian aku memutuskan untuk mandi. Sebelumnya aku mengecek ponsel barangkali ada berita yang masuk. Benar saja, ternyata supervisior telah sampai di Petungkriyono. Oke, keputusan untuk mandi sebelumnya sepertinya benar adanya.
            Sekitar pukul 07.30, aku selesai mandi. Kemudian kubangunkan dua rekanku mengingatkan mereka untuk  sekedar membersihkan diri kalaupun mereka tak mau mandi karena udara dingin. Hehe bagiku sih, kalau gak mandi rasanya ada yang mengganjal dari kebiasaan tiap pagi atau soreku. Makanya, meski dingin kurela-relakan untuk mandi. Lagipula, selama hampir tiga hari di Petungkriyono aku belum mandi.
            Sekitar pukul 09.00, supervisior (SV) datang ke rumah. Kusiapkan teh untuknya. Namanya mas Lintang. Dan ternyataaaaaa jeng jeng jeng…….. ada penelitian survei yang kebetulan diberikan kepada kami, peneliti di Dranan. Emmm Alhamdulillah sih, tapi sepertinya agak berat (belum dicoba juga –”). Ya, SV kali ini membawa berita dari Mas Pujo untuk meneliti tentang luas lahan hutan dengan melihat peternakan dan lahan rumput gajah warga di hutan milik Perhutani. Mas Lintang bilang nanti kita akan main-main di hutan, ah kedengarannya asyik terlebih sama main GPS. Yeahhh.. dan dibilangin juga besok Mas Wahyu akan datang lagi ke rumah untuk memberi penjelasan lebih lanjut tentang penelitian survei yang akan kami lakukan. Ibu dari Mbak Asih kemudian mempersilakan kami untuk makan pagi sekalian dengan Mas Lintang.
            Setelah dirasa cukup penjelasan yang dilakukan SV, SV yang diantar Ryu sebagai koordinator wilayah Yosorejo dan bertugas mengantarkan peserta kemudian pergi ke Rowo untuk melanjutkan penjelasan tentang penelitian gabungan ini. Tak berapa lama berselang, Firda dan Titik sampai rumah kami dan membawa bungkusan stroberi. Ya, tempat kami memang dekat dengan kebun stroberi. Kutanya pada Titik, ternyata mereka membeli dari Pak Dar, yang kemudian aku tersadar. Bahwa Pak Dar ialah bapak mertua dari Pak Dukuh (Pak Tarjuki) dan bapak dari Mbak Asih. Sedangkan Bu Roliyah adalah istrinya. Dan yang Pak Dukuh kemarin kukira Pak Dar, ternyata ialah Pak Tarjuki. Wkwkwk… Dan aku juga baru sadar, ohhhhhh…. Berarti kebun stroberinya milik bapak! Seketika juga kuingin ke sana, ke kebun stroberi. Setelah berjalan turun ke Dranan, Firda dan Titik yang memang masih satu desa denganku memutuskan untuk kembali ke rumah. Beberapa menit berselang setelah mereka berjalan menuju Mudal (rumah mereka), aku bertemu Pak Dar yang sepertinya mau berangkat ke kebun. Terjadi perbincangan sedikit dengan Pak Dar mengenai kebun stroberi.
            Di tengah percakapan dengan Pak Dar aku menanyakan kepada beliau apa masyarakat Dranan memiliki sapi, sebagai pertanyaan awal untuk melihat penyebaran kepemilikan sapi di Dranan dengan tujuan untuk melihat potensi awal apakah Dranan cocok untuk penelitian yang diajukan oleh SV. Beliau menjawab, rata-rata banyak yang punya dan hampir di setiap rumah memiliki sapi. Aku juga menanyakan berapa banyak kira-kira tiap rumah punya sapi? Sekitar 2-5 kata bapak. Oke, tak masalah berarti data yang kami cari untuk penelitian survei dapat dengan mudah ditemukan. Sebelumnya, aku menanyakan untuk apa bapak-bapak yang di ujung sana memanjat pohon? Ohh,, bapak tersebut ternyata panen buah nangka. Yang kemudian buah-buah nangka itu ditumpuk di depan rumah Pak Dukuh Dranan untuk nantinya diangkut dengan doplak dan dibawa ke pasar. Mbak Asih dengan membawa kresek kecil muncul dari arah samping rumah. “ Mau ikut? Panen cabe?,” katanya. Ya, dan kami ikut dengan beliau panen cabe yang ternyata di kebun stroberi. Yeay kebetulan dengan keinginanku tadi.
            Kebun stroberi pada saat itu tak berbuah banyak, bahkan bisa dikatakan sedikit. Banyak dan sedikitnya kukategorikan dengan melihat tiap pohon stroberi di situ. Bahkan satu pohon tak sampe berbuah sampai 5. Terkadang ada yang tak berbuah sama sekali. Di kebun tersebut di bagian paling ujung merupakan kebun cabe. Meski penanamannya dipisah dengan kebun stroberi, lahan yang dijadikan pembibitan merupakan lahan yang sama. Kami asyik memanen cabe, hingga lelah dan hanya Mbak Asih yang memanennya sendiri, dasar anak sekarang maunya enak saja. Wkwk…
            Yauma, Mazaya, dan Mbak Ida tiba di kebun stroberi juga dengan diantar oleh anak-anak Sipetung setelah sebelumnya menelponku untuk main ke tempatku. Sesampainya mereka di kebun stroberi, secara insting dan keinginan Yauma, anak-anak mencari stroberi yang ada. Setelahnya, anak-anak membagi stroberi yang didapat dan bercerita. Anak-anak bercerita tentang ibu-ibu di Sipetung yang menikah pada usia 12-16 tahun sedangkan mereka sekarang ingin sekolah dulu sebelum menikah. Ah, anak-anak selalu penuh harapan.
            Setelah agak siang, kami berenam bersama dengan anak-anak Sipetung kembali ke rumah. Anak-anak Sipetung meneruskan pulang ke rumah mereka. Sedangkan kami makan siang di rumah Dranan. Pukul 15.00 Yauma dan teman satu rumahnya berpamitan untuk pulang karena cuaca yang tak mendukung dan karena mereka juga jalan kaki untuk menuju ke rumah kami tadi. Mereka takut kemalaman di jalan. Setelah mereka pulang ke rumah mereka di Sipetung, kami membereskan barang-barang yang telah kami gunakan untuk makan tadi siang.
            Aku mendapat kabar bahwa Mas Wahyu juga telah tiba di Petungkriyono. Dan sore itu juga, Mas Wahyu langsung menjelaskan bagaimana cara untuk mengisi kuesioner untuk peneltiannya. Perbincangan agak sedikit serius di sini, terlebih Mas Wahyu juga menanyakan mau bagaimana penelitian kami sendiri nantinya. Untungnya, Mas Wahyu berjanji pada kami untuk membantu penelitian kami selama di Dranan. Kami serumah berharap penelitian yang melibatkan kami dapat mewujudkan penelitian kami sendiri nantinya menjadi karya etnografi.  
            Selesai dengan urusan masing-masing, SV kembali ke rumah-rumah yang dijadikan tempat untuk penelitian gabungan.
Aku keluar rumah, ternyata di depan rumah banyak anak-anak. Aku menghampiri mereka. Ternyata mereka sedang menemani orang yang sedang mengambil ikan-ikan kecil yang akan digunakan untuk bibit dan dibesarkan. Ada si kembar bernama Keyla dan Keysa, dan dengan sengaja aku memotret mereka berdua dan kegiatan anak-anak sore itu. Kami, meneruskan aktivitas kami bebersih sore, disusul makan malam dan saling sharing tentang pengalaman di antro.

-Selama hal ini tertulis, aku belum menemukan hal baik apa dalam diriku yang dapat kuberikan untuk orang-orang yang membantu penelitianku nantinya, ah semoga hasilnya membantu-        
Hari ke-3
Minggu, 17 Januari 2016
“Bangunlah, sebelum kamu dibangunkan! Ya, aku tak suka dibangunkan oleh orang lain. Aku tipe yang suka membangunkan orang lain. Apabila aku dibangunkan, berarti aku kecolongan!”
            Kemarin Saras dan Fatin menegurku untuk membangunkan mereka ketika waktu telah menunjukkan masuk sholat shubuh. Ya, alasanku tak membangunkan mereka sudah cukup jelas, Cuma takut mengganggu mereka. Hal itu juga terjadi karena, aku masih sungkan dengan mereka yang baru aku kenal 2 hari dalam satu atap. Ehehehe. . . tapi hari ini, aku membangunkan mereka setelah aku terlebih dulu melakukan sholat shubuh.

Oh ya hari ini hari Minggu!

“Tempat ini masih seindah kemarin, hingga kau temukan keramahan 
sambutan manusianya pengganti sunmor UGM pagi hari” – sebuah 
kerinduan akan keramaian kerumunan orang.

 
 





           
Seperti kemarin, setelah sarapan kami melakukan aktivitas. Meski dengan perasaan dan udara yang dingin kami harus tetap bersemangat untuk melakukan pendataan pagi ini. Pukul 11.00, kami keluar dari rumah dan main ke Dranan. Oh, ya. Daerah tempat tinggal kami disebut sebagai ‘dusun’ oleh warga Dranan. Sedangkan ‘Dranan’ sendiri ialah wilayah di bawah gang kedua yang terdapat masjid dan sekitarnya.  Keperluan kami saat itu ialah untuk mendata siapa saja masyarakat yang mempunyai sapi dan berapa punyanya. Kami tak membawa pertanyaan yang harus diajukan hari itu dan hanya mengatakan pada orang-orang yang kami temui kami akan kembali lagi pada esok hari untuk wawancara. Terdapat 16 orang yang kami data hari ini.
            Siang itu, awan mendung turun ke Dranan dan sekitarnya, kami pulang. Di rumah telah tersedia makan siang dan kami makan setelah itu ditemani dengan hujan yang turun. Belum sempat makan siang yang kami lahap habis, ada seseorang yang mengetuk pintu. Tak disangka ternyata dia Edo. Teman penelitian yang dari Karanggondang jauh dari rumah kami. Edo meletakkan jas hujan yang dikenakannya, dengan sedikit bingung mau melakukan apa karena ia meninggalkan rombongan pak ustadz dan anak-anak yang berjalan dengannya, ia bercerita bahwa jarak yang ditempuhnya untuk sampai ke rumah kami mencapai dua jam.
            Tak berapa lama berselang, Devi dan Via dengan membawa sepeda motor sampai rumah kami juga. Edo langsung meminjam sepeda motor tersebut. Entah kemana tadi ia pergi. Aku membuatkan minum untuk tamu-tamu kami wkwk.. Ibu Roliyah selalu mengingatkanku untuk itu. Oleh karena aku tak mau lagi kecolongan sehingga lagi-lagi diingatkan, aku membuatkannya terlebih dahulu. Devi ternyata hanya mengembalikan ponselku yang sempat beberapa hari dipinjamnya. Sambil menunggu motor yang dipakai Edo kembali, kami mengobrol tentang keasyikan dan kelucuan yang terjadi selama tinggal di dusun masing-masing. Motor telah datang, disambut hujan gerimis Via dan Devi pulang juga. Sedangkan Edo, ia menunggu anak-anak dan Pak Ustadz untuk kembali pulang. Edo pulang ke rumahnya sekitar pukul 16.30. Sepulangnya Edo, kami melakukan wawancara dengan Pak Dukuh yang disebut oleh warga  sebagai Pak ‘Bau’. Pak Bau menjadi informan pertama kita untuk penelitian gabungan dan penelitianku sendiri. Pak Bau banyak menceritakan pula tentang Pak Rasno yang menjadi kemongkong Padukuhan Dranan pada Fatin yang meneliti tentang mitos. Wawancara kami akhiri karena telah masuk waktu maghrib. Kami sholat maghrib. Setelahnya aku ikut nimbrung sebentar dengan keluarga yang sedang mempersiapkan makan malam di belakang.
            Mbak Asih mengatakan padaku bahwa sebenarnya ia ingin membangun lagi warung yang ada di Dranan. Tapi, karena baru saja setahun dapat musibah yakni kakeknya yang meninggal, mengakibatkan rencana tersebut diundur. Untuk masyarakat Dranan, masa berkabung tersebut berlangsung selama kurang lebih 3 tahun. Setelah itu, mereka diperbolehkan untuk membangun atau mengadakan suatu acara. Percakapan di depan perapian tersebut kami tutup dengan membawa makanan untuk makan malam.
            Tiap kali makan malam kami, yang menginap di tempat Pak kadus Dranan memang agak merasa sungkan karena kami selalu disiapkan makanan di ruang tengah. Padahal, mereka yang mempunyai rumah selalu makan di dapur yang ada di belakang rumah. Meski, ya momen makan tiap pagi dan malam merupakan sarana pula bagi keluarga di rumah tersebut untuk saling tukar pendapat dan pengalaman yang mungkin ada rahasia diantara keluarga yang tak dapat diceritakan kepada pihak luar seperti kami, tapi setidaknya dengan makan bersama mereka kami merasa lebih santai dan tak terlalu sungkan tiap kali makan.



Hari ke-4
Senin, 18 Januari 2016
“ Yang tak bisa kulupakan ialah senyumannya, karena malu kadang ia tak mengumbarnya”
            “Matahari selalu tampak malu tuk sekedar menyapa hingga senja”
Pagi ini, setelah sholat shubuh dan membangunkan Saras dan Fatin, aku ikut masak di belakang. Sepertinya lebih pada ikut ngrusuhi saja. Wkwkwk …. Tadinya, aku mau membantu untuk menggoreng bakwan yang akan dijual di warung. Tapi aku kesiangan, dan tahu-tahu tinggal sedikit saja yang perlu digoreng.  Dalam percakapan kali ini kami membahas apa sebutan bakwan di daerahku. Ya, bakwan di tempatku tinggal disebut ‘ote-ote’ sedangkan di daerah Jawa Barat disebut sebagai ‘bala-bala’. Satu per satu anggota keluarga berkumpul mengelilingi perapian. Dan ketika Pak Dar telah duduk di jengklok[2], aku memulai untuk menyambung percakapan tentang pembelian lele yang dipesan Titik, Firda, dan Ryu di Mudal.
            Pak Dar ternyata tak melupakan hal itu. Setelah aku pergi ke belakang untuk buang air, lele hasil pancingan Pak Dar untuk teman-teman yang pesan telah tesedia. Sempat kulihat lele tersebut sepertinya berukuran jumbo. Memang benar. Setelah ditimbang oleh Bu Roliyah ternyata beratnya mencapai 1,2 kg. Bapak dengan baik hati hanya mematok harganya sama dengan 1kg untuk teman-teman di Mudal. Bapak juga menyisakan lele tangkapannya tersebut untuk kami makan.
            Sarapan telah usai, setelah bebersih pagi kami pergi ke Mudal dengan berjalan kaki. Memerlukan waktu kurang lebih 30 menit untuk sampai di sana. Jalan yang kami lewati bukanlah jalan yang lurus. Karena kami berjalan menanjak, dan membuat kami sebentar-sebentar duduk untuk istirahat. Di tengah perjalan kami semat foto. Di tengah perjalan juga kami menemukan kaki seribu dan ular. Ya ular kecil yang sempat melingkar di kaki Saras, yang buat Saras kaget setengah mati melihat yang melilit di kakinya ialah ular.  
Hampir sampai di Mudal, kami kehujanan. Untunglah hujannya tidak terlalu deras. Kami memberikan lele tersebut pada Firda. Firda pun dengan kubantu membunuh lele yang belum mati sepenuhnya itu. Sebenarnya, di antara mereka bertiga yang di Mudal tak ada yang berani untuk menjadikan lele tersebut mati sebelum dimasak. Hehehe.. jadi kubantu mereka. Belum sempat berpamitan untuk ke Tlogopakis setelah dapat pinjaman motor dari Ryu, sedangkan kami masih melanjutkan berkutat dengan lele. Setelah lele dipastikan mati dan Firda telah menyiapkan bumbu yang dibelinya, ia langsung memasak lelenya. Kebetulan saat itu Mazaya sudah merasa lapar setelah jalan dari Sipetung.
Hujan menjadikan suasana di rumah tanpa pemilik itu hening. Di sisi lain ada yang bermain karaoke, game, dan yang lain memasak untuk makan siang. Ya, siang! Saat anak Pak Bau[3] Mudal pulang siang itu, ia melihat keadaan rumahnya kotor dan segera membersihkannya. Setelah membereskan semua hal yang sekiranya menjadi kotor di matanya, ia pergi ke warung ibunya. Kepergian anak Pak Bau tersebut disambut dengan masakan yang telah siap untuk disantap. Kami makan siang lauk lele yang mati dengan penuh perjuangan. Sebelum makanan yang kami makan tertelan semua ke perut, Ibu Bau pulang ke rumah. Ehmm dengan sedikit mengomel kepada kami tentang joroknya rumah dan anak perempuannya yang membersihkan hingga ia capek (faktor pulang sekolah, banyak pikiran, tugas, dan lihat rumah kotor) dan menangis Ibu Bau membereskan sesuatu di beranda rumahnya (yang memang aku tak tahu karena aku melanjutkan makan dan menundukkan kepala ke bawah such a loser). Kejadian lagi, piring yang harusnya akan dicuci tidak sengaja terpeleset dari tangan Mazaya yang membuat semuanya diam seribu bahasa sejenak. Perlahan namun pasti, dan dengan sedikit mencuri pandang kami teringat akan Ibu Bau yang masih ada di beranda rumahnya tersebut. Pasti Ibu Bau mendengar dan melihatnya. Yaaa… kami merasa bersalah atas kehadiran kami di rumah tersebut dengan segala keributan, ketidaksopanan, dan kejahilan yang terkendali dari kami. Entah selanjutnya apa, yang jelas semuanya masih diliputi rasa bersalah.
Kebetulan hari itu panitia rapat di polsek. Oleh karenanya, setelah Saras, Fatin, Yauma, Mbak Ida, dan Mazaya berpamitan pulang, aku masih tetap tinggal di rumah Mudal untuk selanjutnya ke Polsek dan rapat. Rapat hari itu dimulai setelah kami makan mi ayam milik Bu Bau Mudal. Dalam upaya menghapuskan dosa, Ryu memberanikan diri untuk meminta maaf kepada Bu Bau setelah kami makan dan membayarnya. Bu Bau memaafkannya, terlebih anaknya. Ia tersenyum untuk melegakan hati kami yang berdosa.
Beberapa hasil rapat ialah laporan tiap koorwil tentang data apa saja yang didapat peserta di tiap desa yang dibebani kepadanya, urusan doplak untuk kepulangan, pembagian obat, dan laporan beberapa peserta yang sakit, serta pembagian uang untuk bensin motor panitia yang terpakai.
            Rapat ditutup sekitar pukul 19.00, dan karena terlalu malam bagi Restu untuk kembali ke rumahnya di Telogo Hendro yang memiliki akses jalan yang kurak layak dibandingkan dengan harus ikut ke rumah di Dranan, Restu memutuskan untuk menginap di rumahku. Sesampainya di rumah, aku sedikit terkejut dengan perubahan yang terjadi di kamar. Kamar menjadi terlihat bertambah rapi karena arah kasur bawah yang dipindah dan tas kami yang tak lagi berantakan. Entah siapa yang mengurusinya, kami juga belum tahu. Besok sajalah kutanyakan. Hadirnya Restu di rumahku, menambah suasana ramai. Ada saja obrolan yang dibahas hingga kami larut dalam tidur dan malam.

Hari ke-5
Selasa, 19 Januari 2016
            Tanpa basa-basi aku ikut lagi nimbrung di perapian sekalian ikut menghangatkan tubuh yang terkena hawa dingin dari alam. Ibu Roliyah mempersiapkan air panas (menyebutnya jarang) untuk keluarga plus kami menyeduh minuman hangat, dan air teh. Kemudian aku membawanya ke meja makan di ruang tamu tengah.
            Sampai sore kami tak kemana-mana sebab hujan rintik dan kemudian deras menyertai hingga siang, bahkan cucianku yang seharusnya kering hari itu hanya ekspektasi karena hujan masih sempat mampir menghampiri. Pada hari itu kami kedatangan tamu dari Kayupuring. Ialah Anis dan Fetty. Sebelumnya, Titik dan Ryu juga telah sampai di rumah kami. Anak-anak Dranan selalu memanggil kami untuk main di siang hari setelah mereka sekolah sekitar pukul 12.00. Saat itu, Titik dulu ikut mereka main semacam permainan yang pernah aku mainkan saat masih kecil dulu. Kemudian aku ikut main dengan mereka. Seruuu!!! Terlebih untuk menentukan siapa yang jadi penangkap ketika permainan seperti hide and seek (petak umpet) dilakukan. Ada semacam jargonnya berbunyi “ting ewon ewon ewon prodes poli porden” , bukan jargon sih semacam mantra untuk menentukan siapa yang jadi tersangka untuk memulai permainan atau mantra untuk tahu aku merupakan kelompok dari siapa dalam oermainan tersebut. Bagi kami menyebut mantra tersebut, hal yang unik.  Karena di daerah kami tak memiliki mantra seperti itu.
            Tiba-tiba saja hujan turun, mengakibatkan anak-anak tak bisa pulang ke rumahnya. Mereka masih tetap di rumah Pak Bau. Kuajarilah anak-anak yang sebelumnya diajari oleh Fetty tentang agama dan mengaji, menari. Hahaha…. Hanya itu kemampuanku. Asyik, anak-anak mau. Ada satu anak yang kuperhatikan cepat menangkap materi yang kuajarkan. Bernama Devi. Untuk pemula, gerakannya cukup baik.
Setelah hujan reda, mereka pulang ke rumah masing-masing. Aku tak tahu kalau mereka harus mengaji pukul 15.00 sedangkan saat itu hujan pun reda setelah lewat jam tersebut. Sedikit merasa bersalah bagiku, tak sama sekali bagi mereka. Ada raut senang di wajah anak-anak karena melewatkan jam untuk mengaji, entah karena apa alasannya.  
Saras, Fatin,dan aku memulai pendataan tentang sapi di Dusun setelah semua tamu-tamu kami kembali ke peradabannya masing-masing. Kami mendapat 4 informan hari itu. Lumayanlah, tapi besok Mas Wahyu ke rumah. Jadi bagaimana? Padahal baru mendapatkan 4 informan.
Di tengah-tengah wawancara terakhir kami dengan seorang ibu, aku menyempatkan diri untuk menanyakan tentang penelitianku yang berhubungan dengan tenaga kerja keluarga selama mengelola sawah maupun ladang. Ibu tersebut mengatakan bahwa ia mengupah orang sebesar Rp 30.000,00/hari untuk mencangkul dan memanen. Bibit padi yang selama ini ibu tersebut tanam tak diketahui olehnya bibit jenis apa. Ketika kutanya tentang kelompok tani pun sepertinya ibu tersebut kurang memiliki informasi untuk dibagi kepadaku, ah mungkin hari ini seperti ini semoga saja keesokan hari ada uluran tangan yang memberi informasi yang lebih baik, “batinku.  
Hari hampir malam ketika kami kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri, kami menuju ke kamar untuk melakukan sedikit diskusi. Setelah hampir masuk waktu sholat Isya, kami dipersilakan Bu Roliyah untuk makan malam. Setelah makan malam, Saras dan Fatin menulis data harian dan menonton film. Sedangkan aku menikmatinya dengan membawa keluar buku bacaanku dan membacanya di ruang tamu tengah hingga aku jengah dan istirahat yang tak untuk selamanya.

Hari ke-6
Rabu, 20 Januari 2016
“ 52 herzt whale”
            Dari kemarin malam sebelum aku tertidur, aku telah merencanakan untuk ke ladang atau ikut ke sawah apapun cara dan halangannya. Sayangnya, aku terlalu siang dan lamban dalam melakukan aktivitas tersebut. Pagi tadi tiada orang di rumah kecuali kami bertiga. Sepertinya bapak ke sawah, Bu Roliyah, Mbak Asih, dan Vika ke warung, dan Mbah ikut ke keponakannya menjaga buyutnya.
            Akhirnya untuk mencari data tersebut, sebelum hujan dan kabut turun kusempatkan memotret ladang bapak yang berdekatan dengan rumah. Aku meniti jalan yang ke atas entah kemana itu. Sepertinya jika kuteruskan berjalan kemungkinan aku sampai ke hutan. Tapi aku masih sadar dan tak sampai kakiku kulangkahkan ke sana. Sadar takut maksudnya… wkwkwk.
            Dari yang kulihat, keseharian keluarga ini lebih sering mengurus ladangnya yang sekarang sedang tanam cabe dan pula akan ditanami sawi. Seperti ladang cabe yang lain, cabe di ladang Pak Bau dilapisi plastik aluminium juga. Akses untuk ke ladang hanya 2 menit jalan. Tempatnya strategis, berdampingan dengan kandang sapi langsung. Dan kolam ikan. Luasnya kira-kira 1 hektar. Di antara ladang, terdapat pohon-pohon pelindung. Beberapa diantaranya merupakan pohon durian. Sayangnya, kulihat dari kejauhan tiada durian berbuah di sana L.
            Kabut turun, disusul awan hitam kemudian. Kulihat di depan rumah ternyata Mbah sedang menjemur gabah[4]. Katanya mumpung panas. Yah, padahal panasnya cuma sebentar saja. Dan saat itu, aku duduk di samping mbah. “ Mbah, teltik mbah” spontan aku memasukkan baju yang juga dijemur di samping rumah dan mbah memasukkan gabahnya lagi ke karung.
            Waaaaa hujan turun bikin malas dan bawaannya ingin tidur. Wkwk akhirnya kuputuskan untuk tidur siang karena hujan serta Mas Wahyu yang tak bisa datang hari ini ke rumah kami. Yeay! Rasa deg-degan kami mengenai data sapi sedikit teratasi hari ini.
            Sampai akhirnya pada malam dimana aku ikut ‘karing’[5]. Di sanalah aku banyak mengobrol dengan Pak Dar tentang pertanian. Dari wawancara yang spontan tersebut aku menangkap bahwa pertanian di dranan belumlah maju. Kelompok tani baru saja dibentuk, pantas saja kuwawancarai ibu-ibu kemarin belum tahu tentang hal itu. Pembibitan yang dilakukan bapak hanya mengandalkan tanaman tahun kemarin. Artinya, tanaman yang ditanam sekarang adalah hasil pembibitan tanaman tahun kemarin yang kalau cocok ya ditanam terus tanpa tahu itu tanaman jenis apa. Pemerintah kurang tanggap mengenai pertanian di Dranan. Bahkan, Pak Dar menginginkan ada oknum dinas pertanian setidaknya ialah orang Dranan yang tahu akan kondisi di tempat ini. Pak Dar juga sebenarnya agak menyayangkan apabila masyarakat ketika membutuhkan apapun seperti memasukkan anaknya ke sekolah hanya nyampik[6] ke Pak Bau. Pembagian kerja untuk keluarga dilakukan saat panen dan waktu tanam. Selain itu, bapak juga menyewa orang dengan upah sebesar Rp 20.000,00 - Rp. 25.000,00/hari. Pekerja yang disewa tersebut hanya membantu jika dibutuhkan dan bekerja dari pukul 7 pagi hingga paling lama jam 2 siang. 
            Dalam kebisuan malam itu, aku diberi nasihat oleh orang-orang dengan banyak pengalaman yang tak bisa kudapat dari belajar di bangku sekolah dan kuliah. Per[7] itu perlu. Sekali lagi, mereka menyayangkan apabila kami ada di rumah ini tanpa bisa akrab dengan mereka. Terlebih waktu kami hanya dua minggu. Bapak juga cerita bahwa yang membenarkan posisi kasur bawah dan membereskan tas yang sedikit berantakan ialah Ayub. Anak Pak Dar yang kedua dan bekerja sebagai koki di kota Pekalongan. Percakapan yang menarik malam itu, ditutup dengan rasa kantuk yang menderu. Oh, ya terima kasih Ayub J

Hari ke-7
Kamis, 21 Januari 2016
Aku ikut karing lagi dan lagi, untuk lebih mengakrabkan diri dengan keluarga Pak Bau. Sekali lagi, aku sedikit mencari data. Aku berniat menanyakan tentang distribusi pupuk ke Pak Dar dan untungnya, bapak sedikit tahu tentang hal itu. Masyarakat Dranan masih mengandalkan pupuk kandang untuk keperluan menyuburkan tanaman, aku berpikir kemungkinan besar karena masyarakat kebanyakan masih memelihara sapi sehingga mereka masih dapat dengan leluasa menggunakan kotoran sapi untuk pupuk tanpa harus keluar mencari pupuk kimia yang jauh untuk dijangkau baik segi harga maupun jarak. Pupuk kimia, mereka dapatkan dengan beli di pasar Doro dengan harga Rp 100.000,00, sebagai informasi saja meskipun pasar Sibebek lebih dekat dari Dranan, masyarakat Dranan lebih suka ke pasar Doro, katanya karena Sibebek sudah beda kabupaten makanya mereka lebih suka untuk belanja di daerah kabupatennya sendiri meski jauh. Setelahnya aku menanyakan tentang padi yang dijemur oleh Mbah tempo hari. Kata Pak Dar pula bahwa padi yang dijemur tersebut nantinya akan dikonsumsi pribadi oleh keluarga dan apabila tidak mempunyai uang, barulah mereka menjualnya dengan harga Rp 8.000,00/kg.
Pukul 08.00 aku mengeluarkan cucianku yang belum kering, Mbah juga menjemur gabahnya lagi. Ketika telah selesai, aku berencana mencari data tentang sapi bersama 2 rekanku ditambah dengan Mazaya yang telah sampai di rumah pagi itu. Aku ikut duduk di pelataran halaman depan rumah dengan Mbah. Saat itu, aku melihat dari kejauhan bahwa ada seseorang menyusui anaknya di tengah jalan. Ya, memang tak begitu kelihatan jelas di mataku yang minus ini. Tapi Mbah membenarkan akan hal itu. Ibu yang menyusui anaknya tersebut ialah saudara dari keluarga Pak Bau. Oleh karenanya, beliau mampir ke rumah Pak Bau. Dengan menggendong rumput dan menggandeng anaknya, sesampainya di dekat Mbah duduk beliau menaruh gendongannya. Setelah memosisikan duduknya, aku memberikan beberapa pertanyaan pada Ibu tersebut yang ternyata juga memmpunyai sapi. Akhirnya, pagi itu kami mendapat satu informan. Tak lama kemudian informasi tersebut diteruskan oleh suami Ibu tersebut bernama Pak Suroso yang merupakan orang yang berprofesi tetap sebagai tukang nderes[8]. Karena waktu Pak Suroso yang terbatas, kami diajak untuk main melihat Pak Suroso membuat gula aren pukul 15.00 di rumahnya. Kami menyanggupinya.
Kami melanjutkan mencari data. Untunglah sebelum hujan turun, kami mendapatkan  lagi informan, yang mana mengurangi tanggung jawab kami akan data-data kuantitatif yang harus dicari melalui metode kualitatif ini. Wkwk J
Sekitar pukul 10.00 hujan rintik mulai turun kami pulang ke rumah, tentu untuk mengambil dan memasukkan jemuran ke dalam agar tak terkena air hujan. Ada ajakan ke curug dari Anis yang udah tetiba muncul di rumah. Aku ingin ikut sebenarnya, tapi entah kenapa sampai di rumah Ryu di Mudal aku merasa aneh dengan rumah dan seluruh isi rumahnya. Melihatnya saja udah mual. Jadi karena beberapa alasanku yang sepertinya memang cukup dan bisa dibilang tak logis tersebut aku tidak ikut ke curug. Ich bin genau und blau……… aku meminta Anis kemudian mengantarku balik lagi ke rumah di Dranan.
Sorenya, meski dipanggil dari luar oleh anak-anak untuk main, kami bertiga tak ikut main. Sebetulnya lebih tepat jika dikatakan kami pura-pura tak tahu ada anak-anak yang memanggil kami untuk ikut bermain bersama mereka. Akhirnya anak-anak main karambol, dan memintaku untuk mengajari mereka tari besok. Ya cuaca sedang tidak baik. Lebih baik di dalam rumah itu alasan kami, alasanku lebih tepatnya untuk tak keluar rumah. Kurang lebihnya seperti itu. Tapi karena ada janji untuk menemui Pak Suroso jam 15.00 kami pun dengan kurang sigap berangkat menuju rumahnya. Ternyata baru saja Pak Suroso berangkat untuk nderes. Dan gula aren masih hangat saat disajikan pada kami. Nah, karena itulah kami akhirnya memesan gula aren untuk dibawa pulang dan membuat janji lagi dengan Bu Suroso untuk datang ke rumahnya pada tanggal 27 Januari nanti sebelum pulang.
Tak tahunya, ternyata Anis akan menginap di rumah Dranan hari ini setelah dari curug. Bukan tanpa alasan sebenarnya Anis menginap di rumah Dranan karena besok ia harus mengantar Wewen yang pulang ke Jogja, Okelah tak apa, untuk menambah keramaian isi rumah. Setelah maghrib, aku ikut menonton anak jalanan dengan keluarga Dranan. Asyiknya, Pak Tarjuki, Pak Dar, dan Mbah banyak bercerita saling menimpali. Anis sebagai pendatang baru di rumah kami nyatanya bisa langsung akrab pula dengan Mbak Asih dengan ikut karing. “Hari ini ditutup dengan banyak tawa, meski luka tetap menganga. Salam hangat dari sini untuk ciuman pertama yang menjemukan dan jauh dari menyenangkan.”

Hari ke-8
Jumat, 22 Januari 2016
            Pagi ini aku memiliki tugas tambahan untuk membangunkan Anis. Wkwk (penting gak sih? --). Anis harus mengantar Wewen yang ternyata jam 07.00 telah sampai di rumah Dranan. Wewen kupersilakan masuk. Tapi dia tak mau entah kenapa. Dan maaf ya, Wen air tehnya kurang panas sehingga tehnya gak begitu panas. Tapi tetep manis kok wkwk.. Langsung saja, setelah Yauma dijemput Ryu dan bertemu Anis dan Wewen mereka berempat pergi ke terminal. Tanpa sarapan, Anis dan Wewen pergi dari hadapan kami. Pun Ryu dan Yauma. Yahh rumah jadi sepi
            Bu Roliyah menceritakan kalau Mbak Asih sedang pergi ke Batang untuk melakukan sedekah[9]. Ceritanya, ada saudara Pak Bau yang tak sengaja menabrak seorang nenek. Dengan sangat kuat dan berani saudara Pak Bau tersebut membawa nenek tersebut ke rumah sakit terdekat. Namun sayang, nyawanya ta agi dapat diselamatkan. Beruntunglah saudara Pak Ba tersebut karena keluraga yang ditinggal telah ikhlas akan kepergian sang nenek, sehingga urusan setelah eninggalnya sang nenek seperti tahlil diurus oleh sudara Pak Bau. Urusan dengan polisi juga dapat diselesaikan dengan jalan damai antara kedua belah pihak. Cerita Bu Roliyah pagii tadi bagai sinetron. Tapi nyata, oh ya memang nyata.
Hari ini, kami berencana untuk pergi ke kebun stroberi. Setelah kutanyakan, ternyata bapak ada di kebun belakang. Karena anak-anak telah menunggu lama, kami meminta anak-anak untuk mengantar kami ke hutan. Mereka mengiyakan dan kami pergi ke hutan. Dengan si kembar juga diajak karena ibunya belum pulang. Belum sampai 10 menit kami naik, kami turun lagi karena si kembar dipulangkan. Yahh, akhirnya kami ikut turun juga dan memutuskan untuk tidak ke hutan. Setelah kami reunite kami memutuskan untuk melihat ladang rumput gajah, anak-anak menunjukkan jalan. Namun sebelumnya kami menuju ke kebun ‘ketemu’ yang ditanam oleh Ibu Tina. Di sana, dapat ditemukan banyak bungan yang ditiup. Dan hanya sekedar berfoto, kami melanjutkan perjalanan ke lahan rumput gajah yang mereka sebut sebagai kampung. Anak-anak menunjukkanbahwa ini sampai sini merupakan kampung milik ini dna ini dan ini dan seterusnya. Tapi sepertinya, akupun juga tak begitu paham itu milik siap dan siap lagi jika ditanya sekarang. Hehehe maklum ingatan ikan! Setelah agak tinggidari tempat kita tadi, kulihat ternyata Pak Dar memang ada di kebun belakang yang mana paling belakang dari letak kebun itu. Pantas saja, waktu aku mencari Pak Dar tidak ketemu. Setelah menemukan dataran dan pemandangan yang asyik, kami berfoto kemudian kami turun.
Yayan asyik memanjat pohon jambu bersama Ari. Tak berapa lama, jiwa liarku keluar sehingga aku ikut memanjat pohon. Asyik! Kebiasaan yang sering tak bisa kulakan sejak SMP. Untungnya, aku masih punya keahlian akan hal itu. Berasa menjadi anak-anak lagi, berasa di pulau kebebasan lagi. Woii ini kenyataan!
Setelah asyik memanjat, aku mengajari lagi anak-anak untuk menari sesuai dengan janji. Tetapi sepertinya anak-anak sudah mulai bosan dengan menari. Setelahnya, mereka diberi tontonan Big Hero 6 oleh Fatin. Dan Aku tertidur waktu itu di kamar. Hingga sore hari, kulihat anak-anak telah meninggalkan rumah. Kutanya apakah mereka telah menyelesaikan film yang ditontonnya kepada Fatin. Ternyata, mereka belum sempat sampai tamat menonton filmnya. Yahh kenapa begitu ya? Padahal kan akhir meski bisa ditebak belum tentu sesuai tebakan kita.
Tak ada yang istimewa hingga malam tiba, sampai kami makan malam, hingga kami terlelap dalam lautan kenyamanan dalam balutan selimut hangat yang bukan selimut tetangga tentunya J




Hari ke-9
Sabtu, 23 Januari 2016
“Baru kusadari selama kutinggal di rumah Pak Bau Dranan bahwa Mbak Asih menggendong bakwannya dari rumah ke warung, apa pentingnya? Aku tak tahu mungkin penting bagiku di suatu waktu untuk mengingat sesuatu”
            “ Jangan menawar, coba saja kalau bisa. Dingin di sini tak bisa ditawar, memang”
            Hari ini, Fatin pergi ke Kayupuring dan tak pulang ke rumah. Sedangkan kami berdua, meneruskan mencari data tentang sapi. Firda dan Titik karena Ryu juga ke Kayupuring untuk mencari data tentang mitos, dititipkan di rumah kami yang notabenenya paling dekat dengan rumah mereka. Karena pagi ini cuaca tak mendukung, kami memutuskan untuk melakuakn pencarian data di sore hari. Dibantu dengan Firda dan Titik akhirnya selesai juga pendataan tentang sapi.
            Ada pengalaman menarik dariku tentang ibu-ibu yang jutek dan meminta bantuan sapi terhadapku dikarenakan aku dikira akan memberikan sapi kepada orang-orang yang telah diwawancarai oleh kami. Ternyata tidak hanya aku, Saras pun demikian. Jadi, kami memiliki hipotesis bahwa orang-orang pada gang tersebut yang kemudian kami kenal dengan sebutan Balong  orang-orangnya kurang ramah dan tak terlalu peduli dengan kedatangan kami. Saat aku mewawancarai iu-ibu muda, memang pada saat itu ibu tersebut tidak melakukan hal apapun. Tiba-tiba saja, mobil yang membawa barang pecah belah membuyarkan konsentrasi ibu tersebut dan mengakibatkan mereka menjawab seadanya saja. Aku sempat kesal dalam hati, tapi aku tahu hal tersebt bukan tindkan terpuji. Dengan kejadian seperti itu tadi, aku bersyukur pula telah diberikan pengalaman tentang keadaan objek penelitian yang tak sesuai dengan ekspektasi.  
            Sepulangnya dari Balong kami mampir dulu ke warung Mbak Asih dan mencari tahu apa yang menyebabkan Mas Pujo begitu dikenal oleh masyarakat Dranan. Entah kenapa hal tersebut tiba-tiba menjadi bahan obrolan kami, oh ya kalau kami tidak salah sepertinya karena kami telah berpapasan dengan bapak-bapak yang umurnya sekitar 60an tahun yang mengenal Mas Pujo. Mbak Asih kemudian menceritakan bahwa dulunya Mas Pujolah yang memperkenalkan jahe di Dranan. Tak hanya jahe, ternyata rumput gajah juga. Nah, di situ timbul kecurigaan kami terhadap penelitian ini. La wong yang ngasih Mas Pujo sendiri. La, gimana? Ya sama, aku juga bertanya-tanya. Dari warung, kami melakukan perjalanan kembali ke rumah Dranan. Titik dan Firda sebelumnya telah sampai di rumah duluan. Sore itu, anak-anak mengajak bermain bulu tangkis. Titik tentu yang tetap paling dekat dengan anak-anak. Firda kemudian juga ikut main bulu tangkis dengan anak-anak. Barulah setelah awan berubah warna menjadi kegelapan, anak-anak pulang ke rumah masing-masing. Ryu tiba juga di rumah kami, untuk menjemput Firda dan Titik. Tentunya, setelah makan malam barulah mereka baru boleh pulang. Selepas sore, kami kembali melakukan kebiasaan seperti delapan hari yang lalu di rumah Dranan. Makan malam, kemudian tidur.

Hari ke -10
Minggu, 24 Januari 2016
Aku bertemu dengan hari Minggu lagi, artinya anak-anak memiliki waktu lebih banyak untuk bermain. Pagi ini, kami disadarkan untuk segera mengemasi diri untuk melakukan aktivitas di luar rumah atas panggilan anak-anak Dranan. Pagi sekali pula, Mazaya telah sampai di rumah Dranan. Pengganti Fatin yang belum pulang dari Kayupuring kami diajak untuk ke sungai. Niatnya ialah untuk melakukan penelitian sungai yang merupakan topik Saras untuk penelitiannya. Tapi, sepertinya di luar rencana. Kami diajak bermain di sungai yang biasa disebut oleh anak-anak sebagai kolam renang, Ya aku juga senang sih, wkwkwk. Tapi Saras sepertinya tidak begitu puas karena ia tak menemukan tujuan yang akan dicapainya. Saat sampai di sungai hujan rintik-rintik telah turun. Dan setelah keluar dari sungai, ternyata hujan bertambah deras yang mengakibatkan kami sedikit berlari untuk kembali ke rumah.
            Hari ini 4 hari sebelum kepulangan. Panitia mengagendakan untuk rapat lagi di polsek. Aku dengan dijemput Anis tiba di polsek. Sebelumnya, Anis menurunkan Fatin terlebih dahulu di rumah setelah menginap dan membawa pengalaman yang berbeda dari di Dranan.
            Polsek masih sepi ketika aku tiba. Anis meninggalkanku kemudian karena dia harus menjemput Devi di Sikucing. Sepeninggalnya Anis, aku berada di samping polsek untuk melakukan telepon dengan seseorang yang harus kutelepon. Sayangnya, sinyal tak sebaik di rumah Dranan. Harus berkali-kali ngomong untuk mendapatkan maksud dari lawan bicaraku, mengakibatkanku sedikit ragu untuk menutup telepon tersebut. Ragu apabila ditutup akan memotong pembicaraan, dan apabila tak ditutup maka menambah beban untuk berbicara (Cuma ngomong aja beban lo --). Akhrnya kututup teleponnya, kemudian aku bertemu dengan Cici yang baru saja sampai di Polsek. Satu per satu panitia kumpul. Tapi rapat dimulai setelah sholat maghrib. Ada halangan lain untuk rapat kali ini. Karena sholawatan dengan pengeras suara setelah sholat maghrib di mushola dekat Polsek yang membuat beberapa panitia yang akan laporan berteriak saat melapor kejadian di tempat penempatan penelitian. Tapi mau bagaimana lagi, kami bisa berkumpul hari ini saja sudah syukur pun harus ngelakoni  hari ini. Rapat hari ini ditutup sekitar pukul 20.00. Anis, Restu, dan ternyata Ryu juga menginap di rumah Dranan. Alasan Ryu menginap malam itu karena dipan kasur yang di tempatinya untuk tidur belum dibetulkan malam ini, sehingga mau tak mau ia menginap di tempatku. Enam orang bermalam di rumah Dranan. Semoga malam ini penuh kehangatan dan pengampunan J 

Hari ke-11
Senin, 25 Januari 2016
            Senin, harusnya Ayub pulang. Tapi ia tak pulang dengan alasan ada orang menginap di rumahnya, terutama ia tahu yang mennginap dan menempati kamarnya ialah kami dan perempuan. Wahh, agak merasa bersalah nih. Hehehe. Informasi tersebut dilontarkan bu Bau ketika aku ikut menghangatkan diri di sekitar perapian pagi tadi.
            Pagi ini, Restu pulang diantar oleh Gusmus yang juga satu arah ke Telogohendro. Sebelum pulang, Restu dan Gusmus sarapan di rumah kami. Yaaahh pagi ini hangat sekali kebersamaan di antara peserta TPL dengan sarapan bersama. Disusul dengan Anis dan Ryu yang kemudian balik ke rumah masing-masing.
            Kami bertiga membereskan meja setelah sarapan. Setelahnya kami masuk kamar, tak tahu harus memulai hari dengan apa, sampai pada akhirnya Ryu kembali lagi ke rumah Dranan dan  mengajakku mencari kayu untuk mengganti kayu dipan kasur yang dipatahkannya. Kami berhenti barang sebentar, untuk mengisi bensin. Dan di sela-sela mengisi bensin tersebut, kami menanyakan tentang kayu, yang tak disangka ialah sambutan hangat masyarakat di sana. Terlebih, salah satu di antara mereka ialah tukang bangunan yang memiliki sisa kayu dengan ukuran tinggal potong saja jika ada yang minta. Kebetulan! Dengan bahasa jawa yang agak kurang memuaskan, aku memberanikan diri meminta. Untung, bapaknya pengertian. Kami ikut bapaknya menuju proyek pembangunan asrama untuk SMP Petungkriyono. Di sanalah kami diberi oleh bapaknya kayu yang kami inginkan. Dengan begitu, kami tak perlu pergi jauh lagi ke Doro atau Pekalongan untuk membeli kayu ataupun palu bahkan paku.
            Kabut turun setelah aku sampai di rumah Dranan dan tibalah di situ sesi malas kemana-mana dan hanya di rumah, duduk di kursi malas, baca buku, makan siang, dan dilanjut gak ada kerjaan lagi. Anak-anak memanggilku untuk ikut bermain. Dan hari itu, Ari mengambilkan tebu buat kami. Asyik! Memaniskan hidup. Sekitar hampir pukul 15.00 anak-anak kembali ke rumahnya untuk berangkat mengaji. Saat itulah tak tahunya Dhimas dan Hadi menitipkan kalender kepadaku. Ternyata ada kalender yang tertinggal di Polsek, dan aku diharuskan menyimpannya. Oke arraseo.
            Kegiatanku hari ini tak begitu membosankan sebenarnya, hanya mengulang hari-hari yang lalu saja namun tanpa banyak tatap muka lagi dengan orang-orang rumah. Alasanku, karena badanku yang sedikit panas dan tak mau menulari mereka saja, mengindahkanku untuk tidur lebih awal dari biasanya. Sejenak sebelum tidur, aku jadi agak memikirkan bagaimana bisa aku sakit? Kan aku koor medis? Eh, aku ditegur Tuhan dalam mimpi kalau aku ini juga sama manusianya dengan peserta lain yang bisa sakit.

Hari ke- 12
Selasa, 26 Januari 2016
            “Cepat atau lambat, data harus terkumpul.”
            Pagi ini, dengan sedikit berat hati aku beranjak dari tidurku yang tak kedinginan seperti biasanya. Artinya, memang ada yang tak beres dengan diriku. Sepertinya. Hahhhh ya sudahlah, hari ini harus kulewati. Setelah sarapan masih dalam keadaan meringkuk aneh, aku tak melakukan apa-apa. Banyak melamun, dan meratap. Tetiba saja aku terpikir akan anak-anak Dranan.
            Ku menunggu mereka pulang sekolah, eh ternyata ada kejadian lucu waktu aku mau mengambil makan siang tadi. Yaps. Ibu Roliyah berbohong jikalau aku dan dua reanku tak mau diajak main. Akhirnya, kami memunculkan diri juga setelah mereka tak mengajak kami untuk main-main melainkan untuk  belajar bahasa inggris. Fatin menyanggupi. Kami bergantian menanggapi mereka, namun sepertinya aku kurang aktif dalam memberi pengarahan pada mereka. Hehehe hawanya males eh.
            SV datang hari ini, saat kami sedang asyik dengan anak-anak. Kami pun bergantian dimulai dari Saras ditanyai sampai mana kemajuan mencari data, kurang apa saja, dan mendapat beberapa saran dari SV yang hanya Mas Wahyu saja itu. Banyak saran bagiku dari Mas Wahyu untuk kuperbaiki. Diantaranya aku belum menemukan perbedaan pertukaran tenaga kerja dulu hingga sekarang. Rentang waktu dulu ini yang menurutku kurang dapat dikira-kira kecuali, dengan jawaban yang memang terdapat bukti dimana ada sebuah kejadian yang menyertai.
            Dari Mas Wahyu aku juga belajar sedikit tentang anak-anak. Dimana anak-anak merupakan tahapan seorang pribadi yang belum kuat, sehingga untuk mempercayai data-data yang disebutkan oleh anak-anak belumlah cukup kuat. Selain itu, dengan kehadiran anak-anak, bisa saja malah membuat masa pencarian data berantakan seperti diajak main terus. Wkwk ini seperti kami rupanya. Tapi ada hikmahnya juga menurutku, yakni kami bisa lebih dekat dengan warga melalui anak-anak ini. Begitupun alam kami juga lebih mengenal dari jalan bersama anak-anak. Mas Wahyu berencana besok pagi kembali ke rumah, untuk pergi ke hutan mencari data.
            Sebelum menjelang malam, SV datang lagi kali ini dengan Mbak Bewanti yang mencari data tentang ibu yang hamil dan baru saja melahirkan di Dranan dan Mas Lintang. Ada beberapa hal yang dikonfirmasi SV saat itu.
            Anis dengan polosnya tetiba saja muncul di depan pintu rumah Dranan mengajakku pergi nonton dangdutan di Telogohendro sambil memberi kejutan ulang tahun untuk Hima. Okay, aku ikut. Dengan kondisi badan yang flu dan agak panas. Hufft curhat* sesungguhnya dari kemarin aku tak berencana untuk ikut ke Tlogohendro. Ya mau gimana lagi. Anis sudah jauh-jauh dari Kayupuring.
            Ditambah dengan Ryu, kami sampai di Telogohendro setelah maghrib. Kami mengumpulkan peserta perempun yang ada di Telogohendro yang memang kebetulan rumahnya dekat kemudian memberi kejutan ke Hima. Setidaknya, kalaupun tiada dangdutan karena ternyata dangdutan hanya ada pada malam kemarin, ada rasa lega lain terobati melihat semua senyum dengan gembira, terutama Hima yang sudah seharusnya mengembangkan senyum lebar di hari ulang tahunnya. Aduh, sampai lupa harus cari data.
            Kejutan usai, dilanjutkan dengan tidur. Karena aku sudah mulai merasakan panas suhu tubuhku. Dan tak disangka, Dina dan Diah yang ditinggal Shabia disuruh oleh bapak tempatnya tinggal membawa pasukan lai untuk mengisi kekosongan barisan tempat tidur. Akhirnya, aku dan Anis mengalah dan tidur di tempat Dina. Malam yang dingin namun tak terasa bagiku itu, kusempatkan karing bersama bapak Dina dan Dyah. Kemudian setelah cukup, aku tidur dengan nyenyak tanpa gangguan.



Hari ke-13
Rabu, 27 Januari 2016
Aku terbangun untuk sholat shubuh. Setelahnya, aku tak bisa tidur lagi sampai sekitar pukul 06.30, kami dipersilakan sarapan. Setelah sarapan, kami pamit kembali ke rumah Restu dan mendapati bahwa Ryu telah balik duluan dengan izin ia harus ke Doro mengambil buku.
Pukul 07.00 aku dan Anis kembali ke rumah. Anis harus mengantarkanku terlebih dahulu. Kusempatkan pagi itu dengan Anis mengambil beberapa foto pemandangan yang tak akan pernah kami lihat lagi ketika di Jogja. Sampai rumah sekitar pukul 08.30 ternyata Saras dan Fatin telah bangun dan pergi ke hutan. Saat itu, mereka telah pulang dari pengembaraan mengolah data. Bapak sedang ada tamu katanya, sehingga tak bisa mengantar lagi ke hutan.
            Baru saja istirahat dan mendudukkan diri Anis mengajakku untuk memesan konsumsi untuk siang esok hari. Aku mengiyakan. Dan setelah bebersih pagi, aku dan Anis meminta izin untuk ke Kajen mencari konsumsi tersebut. Ahh, dalam perjalanan menuju ke Kajen tersebut, aku tak berhenti berdecak kagum akan kekuasaan Tuhan atas ciptaan alamnya ini. Ya, masih ada! Dan ini nyata. Di tengah perjalanan pula, kami bertemu dengan teman-teman yang naik doplak dan rombongan teman-teman yang mengambil buku ke Doro. Di perjalanan, kuteringat Saras dan Fatin yang belum ke curug hingga ahkir penelitian ini, kuberharap semoga mereka diajak ke sana oleh SV.
            Sesampainya di Kajen yang jauhnya tak bisa kukira-kira, kami tidak menemukan solusi akan makanan tersebut. Karenanya, kami kembali ke Doro. dan di sanalah akhirnya kami memesan makan untuk peserta dan panitia besok. Setelah urusan itu selesai, kami pulang karena takut nanti terlalu malam untuk kembali ke rumah masing-masing. Terutama Anis, yang harus mengantarku dulu ke rumah baru pulang ke rumahnya. Padahal, rumah Anis lebih dekat dari pasar Doro daripada rumahku di Dranan.
            Setelah sholat ashar, aku dan Saras pergi ke rumah Pak Suroso untuk membeli gula aren. Kami disambut dengan bahagia di sana. Kami lagi lagi disuguhi gula aren, yang kali ini didampingi nasi jagung putih. Aku menyebutnya dua kombinasi tersebut seperti horog-horog[10] jika di Mojokerto. Duh jadi kangen rumah.
            Aku melengkapi dataku lagi tentang pertanian dari Pak Suroso yang bercerita bahwa pertukaran tenaga kerja terjadi saat zaman kemajuan, sekitar tahun ‘70an di Dranan. Tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak mengupah atau menyewa seseorang untuk menggarap sawahnya, karena mereka melakukan pertukaran pekerja pada masa itu. 
            Rp 40.000,00 kami sisihkan untuk membayar gula aren, dan kami sekalian pamit untuk balik ke Jogja esok hari pada keluarga Pak Suroso. Aku baru tahu bagaiamna keluarga Pak Suroso bisa menjadi saudara dengan Pak Bau. Bu Suroso merupakan kakak kandung Pak Bau, oleh karenanya keluarga mereka masih saling terhubung. \
            Setelah membersihkan diri dari kamar mandi, Mbah bilang kepadaku “Omahe dadi samun[11] ra ana sampean”. Aku hanya tersenyum, mendengar pernyataan yang mengisyaratkan bahwa mbah pun telah menerima kami ada di rumah Dranan. Ya, itu semua karena kami besok akan pulang. Setengah bahagia setengah tidak rasanya – untuk hal yang belum bisa ditinggalkan.

Hari ke-14
Kamis, 28 Januari 2016
“ Kuingin tahu siapa di antara kalian yang mengatakan perpisahan itu indah? Atau berakhir bahagia?”
            Kami telah siap dengan barang bawaan yang berat sejak pagi, mempersiapkannya sehingga tak ada yang luput untuk dibawa kembali. Kecuali kado kecil untuk keluarga kecil di Dranan ini, akmi meninggalkannya. Sebelum kepergiankami pagi itu, kami sempat berfoto dan memberikan kenang-kenangan itu langsung kepada Bu Roliyah, mengisyaratkan saja pada mata kami untuk menjaga kenang-kenangan tersebut, seperti keluarga ini treat us well. Ada hal yang belum tersampaikan dengan kata-kata pada saat itu, yakni terima kasih atas pengalaman yang kalian ajarkan pada kami. Kurasa kami memang berterima kasih, namun tak mengatakan dengan jelas apa maksud dari terima kasih kami itu.
            Kami diantar satu per satu ke kantor kecamatan. Dimulai dari Saras, kemudian Fatin. Sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah, aku sempatkan diri untuk berfoto dengan Fika yang kudandani dengan kerudung. Ah, anak kecil selalu buat duniaku jadi lain—jadi pengen terus kecil. Ah hanya mengkhayal.
            Sepertinya, dari Yosorejo harus menanti desa-desa lain untuk berkumpul karena letak Yosorejo yang paling dekat dengan kecamatan. Dengan sabar, akhirnya semua pun siap. Aula, MC, pembaca doa, dan peserta yang siap dilepas lagi.
            Sambutan Pak Camat Petungkriyono sedikit membawaku pada pengalamn pertama survei di Petungkriyono. Kurang lebihnya sama yakni, sebenarnya masyarakat agak risih dengan kedatangan para peneliti di Petungkriyono. Namun mau bagaiaman lagi, ketika surat tugas telah turun dari Bappeda mau tidak mau kecamatan menerima hal itu dan diteruskan kepada kepala desa dan kepala desa kepada warganya. Seperti itu versi Pak Camat, yang berbeda dengan versi di lapangan. Ketika masyarakat dengan sangat baik menerima kami, terlebih dengan senyum J tanpa ragu kusimpulkan versiku, mungkin Pak Camat jenuh dengan penelitian tanpa bukti fisik dari penelitian tersebut. Feels like wasting time! Hanya ikut menginap dan ikut ngrusuhi warga, tahunya main saja, dan lalalalala…. Jadi, semoga saja penelitian tahun ini mampu membawa hasil dan perubahan (mungkin) yang dibutuhkan bagi warga masyarakat Petungkriyono.
            Pak Yoyok, sebagai Kapolsek Petungkriyono memiliki sambutan yang unik saat itu. Ia sangat senang anak buahnya dibantu dengan kehadiran kami di pos ketika jaga malam, dan merasa iba pada teman kami yang melakukan survei kedua ketika harus menginap di mushola. Pak Yoyok bahkan mengingat nama beberapa panitia karena kedekatannya dengan kami. –tentang tagihan listrik di polsek, panitia telah berpikir karena dibayar oleh negara mungkin akan baik-baik saja.
            Kiranya cukup penutupan hari ini ditutup dengan foto bersama dengan Pak Camat, Pak Kapolsek, seluruh peserta, dan panitia. Agar tak begitu malam sampai di kampus, peserta yang naik doplak diberangkatkan terlebih dahulu. Panitia yang naik motor akan pulang setelah peserta. Setelah semua hal yang diharapkan berjalan dengan lancar berjalan sesuai dengan rencana, aku dan rekanku pulang ke Jogja.
            “  Semoga ada waktu dan ruang yang sama mempertemukan kita”
“ Kabut, hujan gerimis, ayunan dan elang jawa ditambah seduhan teh dan kopi, sedikit gorengan tak lupa obrolan singkat di setiap momennya yang dterkadang disertai bau asap tembakau yang khas, begitu romantis untuk menjadi romantis hingga buat tragis tak mau sempat untuk sekedar mampir. Sampai jumpa lagi, Petungkriyono semoga sempat aku akan ke sana lagi” J




[1] Sejenis kendaraan (mobil bak terbuka) digunakan oleh orang Petungkriyono sebagai alat transportasi umum. Hanya beroperasi pada pagi hari dengan tujuan pasar Doro. 
[2] Tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu. Biasanya digunakan masyarakat Dranan untuk duduk saat beraktivitas dekat perapian.
[3] Sebutan untuk kepala dusun atau pak dukuh.
[4] Padi yang telah dipanen dan belum digiling menjadi beras.
[5] Menghangatkan diri di depan perapian.
[6] Laporan masyarakat kepada perangkat masyarakat. Masyarakat hanya terima jadi solusi dari laporan tersebut.
[7] Istilah akrab dalam bahasa masyarakat Dranan.
[8] Mencari air dari pohon aren // pembuat gula aren
[9] Dilakukan untuk menghormati keluarga yang telah ditinggal meninggal oleh anggota keluarganya.
[10] Makanan dari tepung beras dengan gula merah di dalamnya.
[11] Sepi.

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��