Data Harian: TPL Petungkriyono 2016
Hari ke-1
Jumat, 15 Januari 2016
“
Setelah helaan nafas ini, kita tidak akan pernah tahu kemana Tuhan membawa kita
berlari”. Boleh saja hari ini menjadi senang. Boleh saja hari ini menjadi
susah. Boleh-boleh selama masih ada waktu dan ruang buat kita berpijak”.
“Awal
yang tak tahu apa-apa hingga banyak yang diketahui sebagai apa-apa”
Pagi
ini, sekitar pukul 04.00 Petungkriyono, aku dibangunkan oleh alarm yang seolah
mengusir dengan segera mimpi yang sedang kubangun. Alarm tersebut sengaja
disetel pada pukul tersebut, agar kami tidak tergesa-gesa mengatur diri sebelum
sholat shubuh dilakukan di mushola, sebagai tempat kami bertiga (dengan Ryu dan
Devi) menginap selama 2 hari di Petungkriyono. Bukan karena masalah bersahabat
atau tidak bersahabat dengan masyarakat Petungkriyono sebagai tempat penelitian
kami selama 14 hari nanti, bagiku dan teman-teman yang menghuni mushola sebagai
tempat tidur sementara, sebenarnya rasa sungkan lebih banyak meliputi untuk
ikut menginap di salah satu rumah warga sedangkan, kami belum memperkenalkan
dengan formal siapa kami sebenarnya. Kami merasa tidak etis saja sebagai tamu
yang tiba-tiba menginginkan lebih selain dijamu. Karenanya untuk menghormati
masyarakat yang mempunyai mushola, kami ikut untuk sholat shubuh berjamaah di
sana. Ditandai dengan dipukulnya bedug yang ada di serambi luar mushola, waktu
sholat shubuh memasuki Petungkriyono.
Terjadi insiden kecil saat sholat
shubuh. Ya, itu karena masyarakat Petungkriyono yang sholat shubuh berjamaah
ialah penganut NU, mereka menggunakan qunut saat sholat shubuh. Sedangkan kami,
di Jogja terbiasa dengan sholat shubuh tanpa qunut sebab masyarakat Jogja
merupakan masyarakat Muhammadiyah yang terbiasa sholat shubuh tanpa qunut, insiden
kecil tersebut membuat kami langsung melakukan sujud dan (seolah) tidak tahu
kalau harus berdoa qunut shubuh itu. Meskipun terjadi insiden kecil, setidaknya
insiden kecil yang terjadi tidak mengganggu kekhidmatan kami dalam menjalankan
ibadah sholat shubuh. Sementara dalam benakku sendiri masih bergejolak tentang
insiden kecil tersebut, rasa kantuk dan dingin disertai tiupan angin kecil dari
jendela mushola yang telah dibuka membuat insiden terkantuknya kami dilupakan
begitu saja. Nun pasti jauh menggumpal di pikiranku sana, cerita insiden kecil
ini akan kusimpan sebagai cerita yang akan kuceritakan tentang pengalaman
pertama memahami perbedaan dan bersentuhan dengan manusia di luar batas
lingkungan yang biasa kita tinggali dan tentu yang telah kita miliki dan
pahami.
Beberapa
saat setelah sholat shubuh, kami mendapat kabar bahwa teman-teman yang naik bus
untuk ke Petungkriyono, telah sampai di kecamatan Doro. Kecamatan Doro
merupakan kecamatan terdekat dengan kecamatan Petungkriyono, sekaligus
kecamatan yang memasok bahan makanan untuk masyarakat Petungkriyono yang jauh
dari akses. Oke, balik tentang teman-teman. Setelah mendapat kabar tersebut,
beberapa panitia yang ditugaskan untuk menjemput teman-teman langsung berangkat
menuju ke kecamatan Doro.
Harusnya tak terjadi hal yang cukup
mengguncang kalau saja teman-teman yang naik doplak[1]
tidak pula merasakan begitu terguncang . Maksudnya ialah sebagai koor medis
yang tidak dapat memantau keberangkatan teman-teman lain dalam perjalanan
menuju ke Petungkriyono, aku merasa agak cemas. Mungkin memang ada orang-orang
yang mem-back up untuk urusan dalam perjalanan naik bus tersebut. Namun,
mau bagaimana lagi, kesehatan yang paling penting untuk penelitian 2 minggu ke
depan dan semua obat yang telah kupersiapkan sebelumnya diangkut pula dengan
doplak yang menuju kecamatan. Kecemasanku berakhir sudah ketika doplak telah
memasuki halaman kecamatan dengan wajah-wajah yang menodong lapar. Ya, sekitar
pukul 08.00 WIB doplak pertama masuk dan menurunkan sebagian teman-teman kemudian
disusul doplak selanjutnya. What a pity! Mereka yang turun dari doplak
ialah manusia-manusia kelaparan. Drrrrrt… ponselku bergetar. Ada pesan
dari Anis. Ternyata, ada tugas lain menanti diriku. Kuharus memberi makan
anak-anak manusia yang baru saja turun dari peradaban. Hah? Apa maksud
perkataanmu ini? Bukankah di Petungkriyono juga ada peradaban? Ya, sebenarnya
begitu. Petungkriyono memang peradaban di tengah hutan yang susah hanya sinyal
untuk telepon genggam yang seharusnya tak begitu dibutuhkan untuk penelitian
semaam ini. Tapi mau bagaimana lagi, kami setidaknya tidak munafik bahwa sinyal
sangat penting untuk mengetahui kondisi kami selama dalam peneliatian dua
minggu ini. Untuk sebba itulah kukatakan bahwa mereka turun dari peradaban yang
banyak sinyal untuk leluasa berkomunikasi dan yang tak bisa dipungkiri utuk
pamer di media sosial.
Dua minggu ini bebanku akan
bertambah dan aku harus dapat mengangkat pundakku dengan tanggung jawab sebagai
koordinator medis atau P3K. Hmm.. namun nyatanya, ada tanggung jawab lain di
hari pertama kedatangan peserta TPL ke Petungkriyono ini. Ini yang bikin
khawatir setelah obat. Makanan! Bagaimana tidak? Anis sebagai koordianator konsumsi
menitipkan uang kepadaku untuk mengurusi konsumsi kedatangan peserta pagi itu.
Yaps! Dengan sedikit panik aku mengonfirmasi kapan makanan siap disajikan.
Untungnya, warung untuk memesan makanan yang dikenal dengan nama warung Bu
Siti, hanya berjarak 50 meter dengan kantor kecamatan Petungkriyono, yang
meyakinkanku untuk jalan kaki saja menuju ke sana, ke warung Bu Siti. Oh, ya good
to know Bu Siti ini merupakan istri dari kepala desa Yosorejo. Jadi, mudah
untuk menemukan dimana kediaman kepala desa. Tandanya, yang ada warungnya
bernamakan Bu Siti dengan aksen cat warna merah muda pada bangunannya.
Bu Siti mengatakan padaku konsumsi
akan siap pukul 09.30, yang mana berarti mereka harus menunggu lagi untuk
mendapatkan makan. (Maafkan atas ketidaktahuan ini teman-teman). Pembukaan
dimulai sekitar pukul 09.00. Aku membantu untuk menata tempat dan makanan
ringan untuk disuguhkan orang-orang yang menyambut kedatangan kita. Sebelum
semuanya siap, aku terlebih dahulu menanyakan kepada Humas kecamatan mengenai
serah terima kami dan konfirmasi kehadiran Pak Camat.
Rencananya, pagi itu Pak Camat
diundang untuk menghadiri pembukaan dan pelepasan peserta TPL ke desa-desa di
Petungkriyono. Namun beliau tidak dapat hadir karena ada keperluan lain
sehingga, digantikan oleh yang mewakili dan tentu yang mewakili ialah satu dari
beberapa orang yang rela paginya digunakan untuk menyambut kedatangan kami.
Beberapa sambutan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan tersebut
memang diperdengarkan lewat corong yang ada di sekitar kantor kecamatan. Namun
nyatanya, hanya beberapa kata yang masuk dalam pikiranku. Yah, agak kuabaikan
sambutan-sambutan tersebut karena harus mengurus konsumsi peserta. Untungnya,
sebagian panitia sudah makan terlebih dahulu sebelum melakukan acara pembukaan
di kecamatan, sehingga tak ada kata ‘lapar’ meluncur dari mulut teman-teman
panitia.
Untungnya, konsumsi datang tepat
waktu. Peserta TPL yang telah diberi sambutan memakan konsumsi yang dibagikan
panitia di tempat yang sama di aula tempat penyambutan tadi. Beberapa panitia
makan di atas aula dan aku sendiri tidak makan karena tadi pagi pukul 07.00 aku
makan sendiri dan membeli makanan di Bu Siti. Kupikir agak egois karena makan
sendiri tadi pagi tapi aku ingat telah mengajak Devi dan Ryu untuk sarapan dan
mereka menolak tidak makan dan lebih memilih untuk tidur dan sekedar meluruskan
punggung lagi di Polsek.
Setelah makan selesai, kubereskan
tempat penyambutan yang sedikit berantakan dengan sampah setelah makan tadi, ya
perhatian pertamaku di kantor kecamatan ini tentu pada tempat sampah yang
seharusnya ada dalam lingkup komunitas kecamatan. Permasalahan klasik yang ada
dimana-mana mungkin sama, kurangnya penyediaan tempat pembuangan sampah.
Sehingga, sisa-sisa makanan dan kardus konsumsi peserta tidak dimasukkan dalam
tempat sampah yang memang hanya ada satu dan tentu tak muat. Saat yang lain
masih sibuk membersihkan, beberapa peserta telah diberangkatkan ke dukuh tempat
mereka menginap selama dua minggu nanti. Sebagian lagi, menunggu sholat Jumat
di kecamatan selesai, termasuk aku. Tak lupa sebelum mereka berangkat menuju ke
tempat penelitian masing-masing, aku membagikan kotak obat kepada orang-orang
yang telah kupercayai menjadi koor medis wilayah sesuai dengan desa yang dituju
ditambah dengan satu koor medis mobile.
Setelah sholat Jumat, dua doplak yang
mengantar ke Kayupuring dan Telogohendro mengangkut peserta TPL ke tempat
masing-masing. Beberapa peserta dari Tlogopakis diantar oleh panitia, begitupun
dengan beberapa peserta yang berada di desa Yosorejo. Dua rekan 2 mingguku dan
kotak obat naik doplak yang mengantar beberapa teman lain yang bertempat tinggal sementara di
Desa Tlogopakis bawah.
Aku diantar terlebih dahulu ke
rumahku, di Dranan oleh koordinator wilayah Yosorejo. Di sepanjang perjalanan
menuju ke rumahku sementara tinggal untuk penelitian, aku melihat kabut turun
ke desa yang lebih bawah dari tempatku waktu itu berdiri. Setelah aku turun,
aku bertemu dengan seseorang yang tentu, aku masih asing dengan beliau tapi
sepertinya beliau tidak asing dengan rumah bercat jingga yang ternyata rumah
pak dukuh Dranan, rumah yang akan menjadi rumah singgahku. Kemudian oleh orang
itu, aku disuruh untuk menunggu. Setelah beberapa menit, rumah yang bertempat
tepat di ujung masuk Dusun Dranan tersebut, pintu bagian depannya terbuka. I
felt I was stranger! Ibu-ibu yang
sepertinya masih muda dan berumur 30an tahunt mempersilakan aku untuk duduk di ruang
tamu tengah yang terdapat sofanya. Hmmm… aku udah berpikiran mungkin asyik jika
aku tidur di atas, setelah aku melihat ada tangga di sebelah tempatku duduk.
Ah, tapi siapa aku bersekspektasi seperti itu. Aku disuguhi teh hangat dan
beberapa makanan ringan oleh ibu yang kukenal dengan nama Mbak Asih tersebut,
setelah berkenalan tentunya. Keadaan rumah sangatlah sepi waktu aku memasuki
rumah. Orang-orang rumah akan berkumpul jika hari mulai sore, seperti itulah
keterangan pertama dari Mbak Asih sebagai anggota keluarga dari rumah itu.
Setelah obrolan kecil tentang rumah dan isinya, aku ditunjukkan kamarku untuk
tidur selama dua minggu ke depan. Lalu, menunggulah diriku akan kehadiran
teman-temanku yang lain, ialah Saras dan Fatin yang akan bersamaku. Mereka
berdua memasuki rumah dengan Mazaya dan Yauma yang kebetulan memang dititipkan
terlebih dahulu di tempatku. Kotak obat yang menjadi kewajibanku juga
dititipkan doplak ke rumahu, setelah mengambilnya dan menyimpan kotak obat
tersebut di tempat yang aman, aku menunjukkan kamar kami kepada Saras dan
Fatin. Setelahnya, aku membersihkan diri dan disusul oleh Yauma. Aku pergi ke
mushola samping rumah. Berniat untuk menunaikan sholat ashar di sana. Kukira,
pada saat ashar anak-anak akan banyak yang datang ke mushola. Ya, memang ada
anak-anak tetapi tak sebanyak yang kukira. Tatapan mereka masih aneh
terhadapku, ya mungkin karena aku yang tiba-tiba saja masuk ke mushola padahal
bukan orang Dranan. Kondisi mushola yang kutempati sedikit kotor, memang layak
tapi seperti jarang digunakan. Aku berpikir pasti ada alasan mengapa mushola
menjadi seperti itu.
Aku kembali pulang ke rumah, ketika
Saras, Fatin, dan Mazaya sepertinya kelelahan dengan perjalanan dari kemarin
menggunakan bus. Karenanya, mereka tertidur di sofa. Beberapa menit kemudian
hanya tinggal Mazaya yang ada di kursi. Saras dan Fatin sepertinya telah pindah
ke kasur untuk melanjutkan tidur. Kasur memang teman terbaik untuk punggung.
Suara motor dari kejauhan terdengar
mendekat ke arah rumah. Ternyata benar saja. Dhimas menjemput Yauma dan Mazaya
untuk diantar ke rumahnya. Dhimas merupakan koordinator wilayah desa Tlogopakis
yang ditempati oleh Yauma dan Mazaya. Oleh karenanya, Dhimas berkewajiban
mengantar mereka. Sore itu, setelah Yauma dan Mazaya berpamitan rasanya rumah
sepi. Saras dan Fatin masih tidur. Kemudian kucoba melangkahkan kaki ke bagian
ruang tengah rumah tersebut. Terdapat dua anak yang sepertinya ialah anak mbak
Asih. Benar saja, ternyata mereka ialah Yayan (kelas 4 SD) dan Vika (3,5 tahun)
anak dari Pak Dukuh. Ketika bertambah malam, keluarga berkumpul di ruang tengah
menonton TV bersama. Sangat terlihat di situ rasa kebersamaan yang terbangun,
hanya dengan melihat serial TV ‘anak jalanan’ mereka menjadi paham dan saling
memahami kehadiran dari tiap anggota keluarga. Mereka berbagi selimut, dan
saling mengomentari apa yang dilakukan pemain sinetron yang ada di TV. Malam
ini, mungkin aku belum tahu apa-apa tentang apa yang kupijak sekarang, namun
setidaknya aku mulai paham aku memang orang luar, dibilang aneh oleh orang di
tempat ini karena berbeda dengan mereka dan berusaha sama dengan mereka.
Untukku, yang bukan apa-apa semoga hari ini menjadi awal yang baik untuk
memulai segalanya.
Hari ke-2
Sabtu, 16 Januari 2016
Ku terbangun karena suara alarm yang kuatur pada pukul
04.30, sebelum alarm tersebut berbunyi pun aku juga terbangun dengan suara
adzan dari mushola sebelah rumah. Karena dinginnya pagi itu, aku tak langsung
mengambil wudhu untuk sholat Shubuh. Malas eh,, wkwk dinginnnnnn,… Tapi aku gak
lupa sholat kok hehe… kulihat di dekat perapian anggota keluarga berkumpul, pak
kepala dusun, bu kepala dusun, dua orang perempuan yang satu sekitar berumur 60
tahun dan yang satu 40an tahun serta bapak-bapak berumur 50an tahun dilihat
dari bahasa tubuhnya, sepertinya mereka sedang menghangatkan tubuh di depan
perapian. Aku mengambil air wudhu, sholat shubuh, kemudian ikut nimbrung dan
mengobrol dengan keluarga di dekat perapian. Dengan keadaan pencahayaan yang
kurang, kuhitung secara tidak langsung dan tentu di dalam hati ada lima orang
di situ. Pertama-tama aku bingung. Kemudian dengan melihat seksama dan dari
cerita yang sedikit kupahami, ternyata mbak Asih ialah istri dari Bapak Kepala
Dusun (kadus), dan di situ masih ada 4 orang yang belum teridentifikasi olehku.
Kutinggalkan perapian pagi itu, kemudian aku memutuskan untuk mandi. Sebelumnya
aku mengecek ponsel barangkali ada berita yang masuk. Benar saja, ternyata
supervisior telah sampai di Petungkriyono. Oke, keputusan untuk mandi
sebelumnya sepertinya benar adanya.
Sekitar
pukul 07.30, aku selesai mandi. Kemudian kubangunkan dua rekanku mengingatkan
mereka untuk sekedar membersihkan diri
kalaupun mereka tak mau mandi karena udara dingin. Hehe bagiku sih, kalau gak
mandi rasanya ada yang mengganjal dari kebiasaan tiap pagi atau soreku.
Makanya, meski dingin kurela-relakan untuk mandi. Lagipula, selama hampir tiga
hari di Petungkriyono aku belum mandi.
Sekitar
pukul 09.00, supervisior (SV) datang ke rumah. Kusiapkan teh untuknya. Namanya
mas Lintang. Dan ternyataaaaaa jeng jeng jeng…….. ada penelitian survei yang
kebetulan diberikan kepada kami, peneliti di Dranan. Emmm Alhamdulillah sih,
tapi sepertinya agak berat (belum dicoba juga –”). Ya, SV kali ini membawa
berita dari Mas Pujo untuk meneliti tentang luas lahan hutan dengan melihat
peternakan dan lahan rumput gajah warga di hutan milik Perhutani. Mas Lintang
bilang nanti kita akan main-main di hutan, ah kedengarannya asyik terlebih sama
main GPS. Yeahhh.. dan dibilangin juga besok Mas Wahyu akan datang lagi ke rumah
untuk memberi penjelasan lebih lanjut tentang penelitian survei yang akan kami
lakukan. Ibu dari Mbak Asih kemudian mempersilakan kami untuk makan pagi
sekalian dengan Mas Lintang.
Setelah
dirasa cukup penjelasan yang dilakukan SV, SV yang diantar Ryu sebagai
koordinator wilayah Yosorejo dan bertugas mengantarkan peserta kemudian pergi
ke Rowo untuk melanjutkan penjelasan tentang penelitian gabungan ini. Tak
berapa lama berselang, Firda dan Titik sampai rumah kami dan membawa bungkusan
stroberi. Ya, tempat kami memang dekat dengan kebun stroberi. Kutanya pada
Titik, ternyata mereka membeli dari Pak Dar, yang kemudian aku tersadar. Bahwa
Pak Dar ialah bapak mertua dari Pak Dukuh (Pak Tarjuki) dan bapak dari Mbak
Asih. Sedangkan Bu Roliyah adalah istrinya. Dan yang Pak Dukuh kemarin kukira
Pak Dar, ternyata ialah Pak Tarjuki. Wkwkwk… Dan aku juga baru sadar, ohhhhhh….
Berarti kebun stroberinya milik bapak! Seketika juga kuingin ke sana, ke kebun
stroberi. Setelah berjalan turun ke Dranan, Firda dan Titik yang memang masih
satu desa denganku memutuskan untuk kembali ke rumah. Beberapa menit berselang
setelah mereka berjalan menuju Mudal (rumah mereka), aku bertemu Pak Dar yang
sepertinya mau berangkat ke kebun. Terjadi perbincangan sedikit dengan Pak Dar
mengenai kebun stroberi.
Di
tengah percakapan dengan Pak Dar aku menanyakan kepada beliau apa masyarakat
Dranan memiliki sapi, sebagai pertanyaan awal untuk melihat penyebaran
kepemilikan sapi di Dranan dengan tujuan untuk melihat potensi awal apakah
Dranan cocok untuk penelitian yang diajukan oleh SV. Beliau menjawab, rata-rata
banyak yang punya dan hampir di setiap rumah memiliki sapi. Aku juga menanyakan
berapa banyak kira-kira tiap rumah punya sapi? Sekitar 2-5 kata bapak. Oke, tak
masalah berarti data yang kami cari untuk penelitian survei dapat dengan mudah
ditemukan. Sebelumnya, aku menanyakan untuk apa bapak-bapak yang di ujung sana memanjat
pohon? Ohh,, bapak tersebut ternyata panen buah nangka. Yang kemudian buah-buah
nangka itu ditumpuk di depan rumah Pak Dukuh Dranan untuk nantinya diangkut
dengan doplak dan dibawa ke pasar. Mbak Asih dengan membawa kresek kecil muncul
dari arah samping rumah. “ Mau ikut? Panen cabe?,” katanya. Ya, dan kami ikut
dengan beliau panen cabe yang ternyata di kebun stroberi. Yeay kebetulan dengan
keinginanku tadi.
Kebun
stroberi pada saat itu tak berbuah banyak, bahkan bisa dikatakan sedikit.
Banyak dan sedikitnya kukategorikan dengan melihat tiap pohon stroberi di situ.
Bahkan satu pohon tak sampe berbuah sampai 5. Terkadang ada yang tak berbuah
sama sekali. Di kebun tersebut di bagian paling ujung merupakan kebun cabe.
Meski penanamannya dipisah dengan kebun stroberi, lahan yang dijadikan
pembibitan merupakan lahan yang sama. Kami asyik memanen cabe, hingga lelah dan
hanya Mbak Asih yang memanennya sendiri, dasar anak sekarang maunya enak saja.
Wkwk…
Yauma,
Mazaya, dan Mbak Ida tiba di kebun stroberi juga dengan diantar oleh anak-anak
Sipetung setelah sebelumnya menelponku untuk main ke tempatku. Sesampainya mereka
di kebun stroberi, secara insting dan keinginan Yauma, anak-anak mencari
stroberi yang ada. Setelahnya, anak-anak membagi stroberi yang didapat dan
bercerita. Anak-anak bercerita tentang ibu-ibu di Sipetung yang menikah pada
usia 12-16 tahun sedangkan mereka sekarang ingin sekolah dulu sebelum menikah.
Ah, anak-anak selalu penuh harapan.
Setelah
agak siang, kami berenam bersama dengan anak-anak Sipetung kembali ke rumah.
Anak-anak Sipetung meneruskan pulang ke rumah mereka. Sedangkan kami makan
siang di rumah Dranan. Pukul 15.00 Yauma dan teman satu rumahnya berpamitan
untuk pulang karena cuaca yang tak mendukung dan karena mereka juga jalan kaki
untuk menuju ke rumah kami tadi. Mereka takut kemalaman di jalan. Setelah
mereka pulang ke rumah mereka di Sipetung, kami membereskan barang-barang yang
telah kami gunakan untuk makan tadi siang.
Aku
mendapat kabar bahwa Mas Wahyu juga telah tiba di Petungkriyono. Dan sore itu
juga, Mas Wahyu langsung menjelaskan bagaimana cara untuk mengisi kuesioner
untuk peneltiannya. Perbincangan agak sedikit serius di sini, terlebih Mas
Wahyu juga menanyakan mau bagaimana penelitian kami sendiri nantinya.
Untungnya, Mas Wahyu berjanji pada kami untuk membantu penelitian kami selama
di Dranan. Kami serumah berharap penelitian yang melibatkan kami dapat
mewujudkan penelitian kami sendiri nantinya menjadi karya etnografi.
Selesai
dengan urusan masing-masing, SV kembali ke rumah-rumah yang dijadikan tempat
untuk penelitian gabungan.
Aku keluar rumah, ternyata di depan
rumah banyak anak-anak. Aku menghampiri mereka. Ternyata mereka sedang menemani
orang yang sedang mengambil ikan-ikan kecil yang akan digunakan untuk bibit dan
dibesarkan. Ada si kembar bernama Keyla dan Keysa, dan dengan sengaja aku
memotret mereka berdua dan kegiatan anak-anak sore itu. Kami, meneruskan aktivitas
kami bebersih sore, disusul makan malam dan saling sharing tentang pengalaman
di antro.
-Selama hal ini tertulis, aku belum menemukan hal
baik apa dalam diriku yang dapat kuberikan untuk orang-orang yang membantu
penelitianku nantinya, ah semoga hasilnya membantu-
Hari ke-3
Minggu, 17 Januari 2016
“Bangunlah,
sebelum kamu dibangunkan! Ya, aku tak suka dibangunkan oleh orang lain. Aku
tipe yang suka membangunkan orang lain. Apabila aku dibangunkan, berarti aku
kecolongan!”
Kemarin
Saras dan Fatin menegurku untuk membangunkan mereka ketika waktu telah
menunjukkan masuk sholat shubuh. Ya, alasanku tak membangunkan mereka sudah
cukup jelas, Cuma takut mengganggu mereka. Hal itu juga terjadi karena, aku
masih sungkan dengan mereka yang baru aku kenal 2 hari dalam satu atap.
Ehehehe. . . tapi hari ini, aku membangunkan mereka setelah aku terlebih dulu
melakukan sholat shubuh.
|
Seperti kemarin, setelah sarapan
kami melakukan aktivitas. Meski dengan perasaan dan udara yang dingin kami
harus tetap bersemangat untuk melakukan pendataan pagi ini. Pukul 11.00, kami
keluar dari rumah dan main ke Dranan. Oh, ya. Daerah tempat tinggal kami disebut
sebagai ‘dusun’ oleh warga Dranan. Sedangkan ‘Dranan’ sendiri ialah wilayah di
bawah gang kedua yang terdapat masjid dan sekitarnya. Keperluan kami saat itu ialah untuk mendata
siapa saja masyarakat yang mempunyai sapi dan berapa punyanya. Kami tak membawa
pertanyaan yang harus diajukan hari itu dan hanya mengatakan pada orang-orang
yang kami temui kami akan kembali lagi pada esok hari untuk wawancara. Terdapat
16 orang yang kami data hari ini.
Siang
itu, awan mendung turun ke Dranan dan sekitarnya, kami pulang. Di rumah telah
tersedia makan siang dan kami makan setelah itu ditemani dengan hujan yang
turun. Belum sempat makan siang yang kami lahap habis, ada seseorang yang
mengetuk pintu. Tak disangka ternyata dia Edo. Teman penelitian yang dari
Karanggondang jauh dari rumah kami. Edo meletakkan jas hujan yang dikenakannya,
dengan sedikit bingung mau melakukan apa karena ia meninggalkan rombongan pak
ustadz dan anak-anak yang berjalan dengannya, ia bercerita bahwa jarak yang
ditempuhnya untuk sampai ke rumah kami mencapai dua jam.
Tak
berapa lama berselang, Devi dan Via dengan membawa sepeda motor sampai rumah
kami juga. Edo langsung meminjam sepeda motor tersebut. Entah kemana tadi ia
pergi. Aku membuatkan minum untuk tamu-tamu kami wkwk.. Ibu Roliyah selalu
mengingatkanku untuk itu. Oleh karena aku tak mau lagi kecolongan sehingga
lagi-lagi diingatkan, aku membuatkannya terlebih dahulu. Devi ternyata hanya
mengembalikan ponselku yang sempat beberapa hari dipinjamnya. Sambil menunggu
motor yang dipakai Edo kembali, kami mengobrol tentang keasyikan dan kelucuan
yang terjadi selama tinggal di dusun masing-masing. Motor telah datang,
disambut hujan gerimis Via dan Devi pulang juga. Sedangkan Edo, ia menunggu
anak-anak dan Pak Ustadz untuk kembali pulang. Edo pulang ke rumahnya sekitar
pukul 16.30. Sepulangnya Edo, kami melakukan wawancara dengan Pak Dukuh yang
disebut oleh warga sebagai Pak ‘Bau’.
Pak Bau menjadi informan pertama kita untuk penelitian gabungan dan
penelitianku sendiri. Pak Bau banyak menceritakan pula tentang Pak Rasno yang
menjadi kemongkong Padukuhan Dranan pada Fatin yang meneliti tentang mitos.
Wawancara kami akhiri karena telah masuk waktu maghrib. Kami sholat maghrib.
Setelahnya aku ikut nimbrung sebentar dengan keluarga yang sedang mempersiapkan
makan malam di belakang.
Mbak
Asih mengatakan padaku bahwa sebenarnya ia ingin membangun lagi warung yang ada
di Dranan. Tapi, karena baru saja setahun dapat musibah yakni kakeknya yang
meninggal, mengakibatkan rencana tersebut diundur. Untuk masyarakat Dranan,
masa berkabung tersebut berlangsung selama kurang lebih 3 tahun. Setelah itu,
mereka diperbolehkan untuk membangun atau mengadakan suatu acara. Percakapan di
depan perapian tersebut kami tutup dengan membawa makanan untuk makan malam.
Tiap
kali makan malam kami, yang menginap di tempat Pak kadus Dranan memang agak
merasa sungkan karena kami selalu disiapkan makanan di ruang tengah. Padahal,
mereka yang mempunyai rumah selalu makan di dapur yang ada di belakang rumah.
Meski, ya momen makan tiap pagi dan malam merupakan sarana pula bagi keluarga
di rumah tersebut untuk saling tukar pendapat dan pengalaman yang mungkin ada
rahasia diantara keluarga yang tak dapat diceritakan kepada pihak luar seperti
kami, tapi setidaknya dengan makan bersama mereka kami merasa lebih santai dan
tak terlalu sungkan tiap kali makan.
Hari ke-4
Senin, 18 Januari 2016
“ Yang tak bisa
kulupakan ialah senyumannya, karena malu kadang ia tak mengumbarnya”
“Matahari
selalu tampak malu tuk sekedar menyapa hingga senja”
Pagi ini, setelah sholat shubuh dan
membangunkan Saras dan Fatin, aku ikut masak di belakang. Sepertinya lebih pada
ikut ngrusuhi saja. Wkwkwk …. Tadinya, aku mau membantu untuk menggoreng
bakwan yang akan dijual di warung. Tapi aku kesiangan, dan tahu-tahu tinggal
sedikit saja yang perlu digoreng. Dalam
percakapan kali ini kami membahas apa sebutan bakwan di daerahku. Ya, bakwan di
tempatku tinggal disebut ‘ote-ote’ sedangkan di daerah Jawa Barat disebut
sebagai ‘bala-bala’. Satu per satu anggota keluarga berkumpul mengelilingi
perapian. Dan ketika Pak Dar telah duduk di jengklok[2],
aku memulai untuk menyambung percakapan tentang pembelian lele yang dipesan
Titik, Firda, dan Ryu di Mudal.
Pak
Dar ternyata tak melupakan hal itu. Setelah aku pergi ke belakang untuk buang
air, lele hasil pancingan Pak Dar untuk teman-teman yang pesan telah tesedia.
Sempat kulihat lele tersebut sepertinya berukuran jumbo. Memang benar. Setelah
ditimbang oleh Bu Roliyah ternyata beratnya mencapai 1,2 kg. Bapak dengan baik
hati hanya mematok harganya sama dengan 1kg untuk teman-teman di Mudal. Bapak
juga menyisakan lele tangkapannya tersebut untuk kami makan.
Sarapan
telah usai, setelah bebersih pagi kami pergi ke Mudal dengan berjalan kaki.
Memerlukan waktu kurang lebih 30 menit untuk sampai di sana. Jalan yang kami
lewati bukanlah jalan yang lurus. Karena kami berjalan menanjak, dan membuat
kami sebentar-sebentar duduk untuk istirahat. Di tengah perjalan kami semat
foto. Di tengah perjalan juga kami menemukan kaki seribu dan ular. Ya ular
kecil yang sempat melingkar di kaki Saras, yang buat Saras kaget setengah mati
melihat yang melilit di kakinya ialah ular.
Hampir sampai di Mudal, kami
kehujanan. Untunglah hujannya tidak terlalu deras. Kami memberikan lele
tersebut pada Firda. Firda pun dengan kubantu membunuh lele yang belum mati
sepenuhnya itu. Sebenarnya, di antara mereka bertiga yang di Mudal tak ada yang
berani untuk menjadikan lele tersebut mati sebelum dimasak. Hehehe.. jadi
kubantu mereka. Belum sempat berpamitan untuk ke Tlogopakis setelah dapat
pinjaman motor dari Ryu, sedangkan kami masih melanjutkan berkutat dengan lele.
Setelah lele dipastikan mati dan Firda telah menyiapkan bumbu yang dibelinya,
ia langsung memasak lelenya. Kebetulan saat itu Mazaya sudah merasa lapar
setelah jalan dari Sipetung.
Hujan menjadikan suasana di rumah
tanpa pemilik itu hening. Di sisi lain ada yang bermain karaoke, game, dan yang
lain memasak untuk makan siang. Ya, siang! Saat anak Pak Bau[3] Mudal
pulang siang itu, ia melihat keadaan rumahnya kotor dan segera membersihkannya.
Setelah membereskan semua hal yang sekiranya menjadi kotor di matanya, ia pergi
ke warung ibunya. Kepergian anak Pak Bau tersebut disambut dengan masakan yang
telah siap untuk disantap. Kami makan siang lauk lele yang mati dengan penuh
perjuangan. Sebelum makanan yang kami makan tertelan semua ke perut, Ibu Bau
pulang ke rumah. Ehmm dengan sedikit mengomel kepada kami tentang joroknya
rumah dan anak perempuannya yang membersihkan hingga ia capek (faktor pulang
sekolah, banyak pikiran, tugas, dan lihat rumah kotor) dan menangis Ibu Bau
membereskan sesuatu di beranda rumahnya (yang memang aku tak tahu karena aku
melanjutkan makan dan menundukkan kepala ke bawah such a loser).
Kejadian lagi, piring yang harusnya akan dicuci tidak sengaja terpeleset dari
tangan Mazaya yang membuat semuanya diam seribu bahasa sejenak. Perlahan namun
pasti, dan dengan sedikit mencuri pandang kami teringat akan Ibu Bau yang masih
ada di beranda rumahnya tersebut. Pasti Ibu Bau mendengar dan melihatnya. Yaaa…
kami merasa bersalah atas kehadiran kami di rumah tersebut dengan segala
keributan, ketidaksopanan, dan kejahilan yang terkendali dari kami. Entah
selanjutnya apa, yang jelas semuanya masih diliputi rasa bersalah.
Kebetulan hari itu panitia rapat di
polsek. Oleh karenanya, setelah Saras, Fatin, Yauma, Mbak Ida, dan Mazaya
berpamitan pulang, aku masih tetap tinggal di rumah Mudal untuk selanjutnya ke
Polsek dan rapat. Rapat hari itu dimulai setelah kami makan mi ayam milik Bu
Bau Mudal. Dalam upaya menghapuskan dosa, Ryu memberanikan diri untuk meminta
maaf kepada Bu Bau setelah kami makan dan membayarnya. Bu Bau memaafkannya,
terlebih anaknya. Ia tersenyum untuk melegakan hati kami yang berdosa.
Beberapa hasil rapat ialah laporan
tiap koorwil tentang data apa saja yang didapat peserta di tiap desa yang
dibebani kepadanya, urusan doplak untuk kepulangan, pembagian obat, dan laporan
beberapa peserta yang sakit, serta pembagian uang untuk bensin motor panitia
yang terpakai.
Rapat
ditutup sekitar pukul 19.00, dan karena terlalu malam bagi Restu untuk kembali
ke rumahnya di Telogo Hendro yang memiliki akses jalan yang kurak layak
dibandingkan dengan harus ikut ke rumah di Dranan, Restu memutuskan untuk
menginap di rumahku. Sesampainya di rumah, aku sedikit terkejut dengan
perubahan yang terjadi di kamar. Kamar menjadi terlihat bertambah rapi karena
arah kasur bawah yang dipindah dan tas kami yang tak lagi berantakan. Entah
siapa yang mengurusinya, kami juga belum tahu. Besok sajalah kutanyakan. Hadirnya
Restu di rumahku, menambah suasana ramai. Ada saja obrolan yang dibahas hingga
kami larut dalam tidur dan malam.
Hari ke-5
Selasa, 19 Januari 2016
Tanpa
basa-basi aku ikut lagi nimbrung di perapian sekalian ikut menghangatkan tubuh
yang terkena hawa dingin dari alam. Ibu Roliyah mempersiapkan air panas
(menyebutnya jarang) untuk keluarga plus kami menyeduh minuman hangat, dan air
teh. Kemudian aku membawanya ke meja makan di ruang tamu tengah.
Sampai
sore kami tak kemana-mana sebab hujan rintik dan kemudian deras menyertai
hingga siang, bahkan cucianku yang seharusnya kering hari itu hanya ekspektasi
karena hujan masih sempat mampir menghampiri. Pada hari itu kami kedatangan
tamu dari Kayupuring. Ialah Anis dan Fetty. Sebelumnya, Titik dan Ryu juga
telah sampai di rumah kami. Anak-anak Dranan selalu memanggil kami untuk main
di siang hari setelah mereka sekolah sekitar pukul 12.00. Saat itu, Titik dulu
ikut mereka main semacam permainan yang pernah aku mainkan saat masih kecil
dulu. Kemudian aku ikut main dengan mereka. Seruuu!!! Terlebih untuk menentukan
siapa yang jadi penangkap ketika permainan seperti hide and seek (petak
umpet) dilakukan. Ada semacam jargonnya berbunyi “ting ewon ewon ewon
prodes poli porden” , bukan jargon sih semacam mantra untuk menentukan
siapa yang jadi tersangka untuk memulai permainan atau mantra untuk tahu aku
merupakan kelompok dari siapa dalam oermainan tersebut. Bagi kami menyebut
mantra tersebut, hal yang unik. Karena di
daerah kami tak memiliki mantra seperti itu.
Tiba-tiba
saja hujan turun, mengakibatkan anak-anak tak bisa pulang ke rumahnya. Mereka
masih tetap di rumah Pak Bau. Kuajarilah anak-anak yang sebelumnya diajari oleh
Fetty tentang agama dan mengaji, menari. Hahaha…. Hanya itu kemampuanku. Asyik,
anak-anak mau. Ada satu anak yang kuperhatikan cepat menangkap materi yang
kuajarkan. Bernama Devi. Untuk pemula, gerakannya cukup baik.
Setelah hujan reda, mereka pulang
ke rumah masing-masing. Aku tak tahu kalau mereka harus mengaji pukul 15.00
sedangkan saat itu hujan pun reda setelah lewat jam tersebut. Sedikit merasa
bersalah bagiku, tak sama sekali bagi mereka. Ada raut senang di wajah
anak-anak karena melewatkan jam untuk mengaji, entah karena apa alasannya.
Saras, Fatin,dan aku memulai
pendataan tentang sapi di Dusun setelah semua tamu-tamu kami kembali ke
peradabannya masing-masing. Kami mendapat 4 informan hari itu. Lumayanlah, tapi
besok Mas Wahyu ke rumah. Jadi bagaimana? Padahal baru mendapatkan 4 informan.
Di tengah-tengah wawancara terakhir
kami dengan seorang ibu, aku menyempatkan diri untuk menanyakan tentang
penelitianku yang berhubungan dengan tenaga kerja keluarga selama mengelola
sawah maupun ladang. Ibu tersebut mengatakan bahwa ia mengupah orang sebesar Rp
30.000,00/hari untuk mencangkul dan memanen. Bibit padi yang selama ini ibu
tersebut tanam tak diketahui olehnya bibit jenis apa. Ketika kutanya tentang
kelompok tani pun sepertinya ibu tersebut kurang memiliki informasi untuk
dibagi kepadaku, ah mungkin hari ini seperti ini semoga saja keesokan hari ada
uluran tangan yang memberi informasi yang lebih baik, “batinku.
Hari hampir malam ketika kami
kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri, kami menuju ke kamar untuk
melakukan sedikit diskusi. Setelah hampir masuk waktu sholat Isya, kami
dipersilakan Bu Roliyah untuk makan malam. Setelah makan malam, Saras dan Fatin
menulis data harian dan menonton film. Sedangkan aku menikmatinya dengan
membawa keluar buku bacaanku dan membacanya di ruang tamu tengah hingga aku
jengah dan istirahat yang tak untuk selamanya.
Hari ke-6
Rabu, 20 Januari 2016
“ 52 herzt whale”
Dari
kemarin malam sebelum aku tertidur, aku telah merencanakan untuk ke ladang atau
ikut ke sawah apapun cara dan halangannya. Sayangnya, aku terlalu siang dan
lamban dalam melakukan aktivitas tersebut. Pagi tadi tiada orang di rumah
kecuali kami bertiga. Sepertinya bapak ke sawah, Bu Roliyah, Mbak Asih, dan
Vika ke warung, dan Mbah ikut ke keponakannya menjaga buyutnya.
Akhirnya
untuk mencari data tersebut, sebelum hujan dan kabut turun kusempatkan memotret
ladang bapak yang berdekatan dengan rumah. Aku meniti jalan yang ke atas entah
kemana itu. Sepertinya jika kuteruskan berjalan kemungkinan aku sampai ke
hutan. Tapi aku masih sadar dan tak sampai kakiku kulangkahkan ke sana. Sadar
takut maksudnya… wkwkwk.
Dari
yang kulihat, keseharian keluarga ini lebih sering mengurus ladangnya yang
sekarang sedang tanam cabe dan pula akan ditanami sawi. Seperti ladang cabe
yang lain, cabe di ladang Pak Bau dilapisi plastik aluminium juga. Akses untuk
ke ladang hanya 2 menit jalan. Tempatnya strategis, berdampingan dengan kandang
sapi langsung. Dan kolam ikan. Luasnya kira-kira 1 hektar. Di antara ladang,
terdapat pohon-pohon pelindung. Beberapa diantaranya merupakan pohon durian. Sayangnya,
kulihat dari kejauhan tiada durian berbuah di sana L.
Kabut
turun, disusul awan hitam kemudian. Kulihat di depan rumah ternyata Mbah sedang
menjemur gabah[4].
Katanya mumpung panas. Yah, padahal panasnya cuma sebentar saja. Dan saat itu,
aku duduk di samping mbah. “ Mbah, teltik mbah” spontan aku memasukkan
baju yang juga dijemur di samping rumah dan mbah memasukkan gabahnya lagi ke
karung.
Waaaaa
hujan turun bikin malas dan bawaannya ingin tidur. Wkwk akhirnya kuputuskan
untuk tidur siang karena hujan serta Mas Wahyu yang tak bisa datang hari ini ke
rumah kami. Yeay! Rasa deg-degan kami mengenai data sapi sedikit teratasi hari
ini.
Sampai
akhirnya pada malam dimana aku ikut ‘karing’[5].
Di sanalah aku banyak mengobrol dengan Pak Dar tentang pertanian. Dari
wawancara yang spontan tersebut aku menangkap bahwa pertanian di dranan
belumlah maju. Kelompok tani baru saja dibentuk, pantas saja kuwawancarai
ibu-ibu kemarin belum tahu tentang hal itu. Pembibitan yang dilakukan bapak
hanya mengandalkan tanaman tahun kemarin. Artinya, tanaman yang ditanam
sekarang adalah hasil pembibitan tanaman tahun kemarin yang kalau cocok ya
ditanam terus tanpa tahu itu tanaman jenis apa. Pemerintah kurang tanggap
mengenai pertanian di Dranan. Bahkan, Pak Dar menginginkan ada oknum dinas
pertanian setidaknya ialah orang Dranan yang tahu akan kondisi di tempat ini. Pak
Dar juga sebenarnya agak menyayangkan apabila masyarakat ketika membutuhkan
apapun seperti memasukkan anaknya ke sekolah hanya nyampik[6]
ke Pak Bau. Pembagian kerja untuk keluarga dilakukan saat panen dan waktu
tanam. Selain itu, bapak juga menyewa orang dengan upah sebesar Rp 20.000,00 -
Rp. 25.000,00/hari. Pekerja yang disewa tersebut hanya membantu jika dibutuhkan
dan bekerja dari pukul 7 pagi hingga paling lama jam 2 siang.
Dalam
kebisuan malam itu, aku diberi nasihat oleh orang-orang dengan banyak
pengalaman yang tak bisa kudapat dari belajar di bangku sekolah dan kuliah. Per[7]
itu perlu. Sekali lagi, mereka menyayangkan apabila kami ada di rumah ini
tanpa bisa akrab dengan mereka. Terlebih waktu kami hanya dua minggu. Bapak
juga cerita bahwa yang membenarkan posisi kasur bawah dan membereskan tas yang
sedikit berantakan ialah Ayub. Anak Pak Dar yang kedua dan bekerja sebagai koki
di kota Pekalongan. Percakapan yang menarik malam itu, ditutup dengan rasa
kantuk yang menderu. Oh, ya terima kasih Ayub J
Hari ke-7
Kamis, 21 Januari 2016
Aku
ikut karing lagi dan lagi, untuk lebih mengakrabkan diri dengan keluarga Pak
Bau. Sekali lagi, aku sedikit mencari data. Aku berniat menanyakan tentang
distribusi pupuk ke Pak Dar dan untungnya, bapak sedikit tahu tentang hal itu.
Masyarakat Dranan masih mengandalkan pupuk kandang untuk keperluan menyuburkan
tanaman, aku berpikir kemungkinan besar karena masyarakat kebanyakan masih
memelihara sapi sehingga mereka masih dapat dengan leluasa menggunakan kotoran
sapi untuk pupuk tanpa harus keluar mencari pupuk kimia yang jauh untuk
dijangkau baik segi harga maupun jarak. Pupuk kimia, mereka dapatkan dengan
beli di pasar Doro dengan harga Rp 100.000,00, sebagai informasi saja meskipun
pasar Sibebek lebih dekat dari Dranan, masyarakat Dranan lebih suka ke pasar
Doro, katanya karena Sibebek sudah beda kabupaten makanya mereka lebih suka
untuk belanja di daerah kabupatennya sendiri meski jauh. Setelahnya aku
menanyakan tentang padi yang dijemur oleh Mbah tempo hari. Kata Pak Dar pula
bahwa padi yang dijemur tersebut nantinya akan dikonsumsi pribadi oleh keluarga
dan apabila tidak mempunyai uang, barulah mereka menjualnya dengan harga Rp
8.000,00/kg.
Pukul
08.00 aku mengeluarkan cucianku yang belum kering, Mbah juga menjemur gabahnya
lagi. Ketika telah selesai, aku berencana mencari data tentang sapi bersama 2
rekanku ditambah dengan Mazaya yang telah sampai di rumah pagi itu. Aku ikut
duduk di pelataran halaman depan rumah dengan Mbah. Saat itu, aku melihat dari
kejauhan bahwa ada seseorang menyusui anaknya di tengah jalan. Ya, memang tak
begitu kelihatan jelas di mataku yang minus ini. Tapi Mbah membenarkan akan hal
itu. Ibu yang menyusui anaknya tersebut ialah saudara dari keluarga Pak Bau.
Oleh karenanya, beliau mampir ke rumah Pak Bau. Dengan menggendong rumput dan
menggandeng anaknya, sesampainya di dekat Mbah duduk beliau menaruh
gendongannya. Setelah memosisikan duduknya, aku memberikan beberapa pertanyaan
pada Ibu tersebut yang ternyata juga memmpunyai sapi. Akhirnya, pagi itu kami
mendapat satu informan. Tak lama kemudian informasi tersebut diteruskan oleh
suami Ibu tersebut bernama Pak Suroso yang merupakan orang yang berprofesi
tetap sebagai tukang nderes[8].
Karena waktu Pak Suroso yang terbatas, kami diajak untuk main melihat Pak
Suroso membuat gula aren pukul 15.00 di rumahnya. Kami menyanggupinya.
Kami
melanjutkan mencari data. Untunglah sebelum hujan turun, kami mendapatkan lagi informan, yang mana mengurangi tanggung
jawab kami akan data-data kuantitatif yang harus dicari melalui metode
kualitatif ini. Wkwk J
Sekitar
pukul 10.00 hujan rintik mulai turun kami pulang ke rumah, tentu untuk
mengambil dan memasukkan jemuran ke dalam agar tak terkena air hujan. Ada
ajakan ke curug dari Anis yang udah tetiba muncul di rumah. Aku ingin ikut
sebenarnya, tapi entah kenapa sampai di rumah Ryu di Mudal aku merasa aneh
dengan rumah dan seluruh isi rumahnya. Melihatnya saja udah mual. Jadi karena
beberapa alasanku yang sepertinya memang cukup dan bisa dibilang tak logis
tersebut aku tidak ikut ke curug. Ich bin genau und blau……… aku meminta
Anis kemudian mengantarku balik lagi ke rumah di Dranan.
Sorenya,
meski dipanggil dari luar oleh anak-anak untuk main, kami bertiga tak ikut
main. Sebetulnya lebih tepat jika dikatakan kami pura-pura tak tahu ada
anak-anak yang memanggil kami untuk ikut bermain bersama mereka. Akhirnya
anak-anak main karambol, dan memintaku untuk mengajari mereka tari besok. Ya
cuaca sedang tidak baik. Lebih baik di dalam rumah itu alasan kami, alasanku
lebih tepatnya untuk tak keluar rumah. Kurang lebihnya seperti itu. Tapi karena
ada janji untuk menemui Pak Suroso jam 15.00 kami pun dengan kurang sigap
berangkat menuju rumahnya. Ternyata baru saja Pak Suroso berangkat untuk
nderes. Dan gula aren masih hangat saat disajikan pada kami. Nah, karena itulah
kami akhirnya memesan gula aren untuk dibawa pulang dan membuat janji lagi
dengan Bu Suroso untuk datang ke rumahnya pada tanggal 27 Januari nanti sebelum
pulang.
Tak
tahunya, ternyata Anis akan menginap di rumah Dranan hari ini setelah dari
curug. Bukan tanpa alasan sebenarnya Anis menginap di rumah Dranan karena besok
ia harus mengantar Wewen yang pulang ke Jogja, Okelah tak apa, untuk menambah
keramaian isi rumah. Setelah maghrib, aku ikut menonton anak jalanan dengan
keluarga Dranan. Asyiknya, Pak Tarjuki, Pak Dar, dan Mbah banyak bercerita
saling menimpali. Anis sebagai pendatang baru di rumah kami nyatanya bisa
langsung akrab pula dengan Mbak Asih dengan ikut karing. “Hari ini ditutup
dengan banyak tawa, meski luka tetap menganga. Salam hangat dari sini untuk
ciuman pertama yang menjemukan dan jauh dari menyenangkan.”
Hari ke-8
Jumat, 22 Januari 2016
Pagi ini aku memiliki tugas tambahan
untuk membangunkan Anis. Wkwk (penting gak sih? --). Anis harus mengantar Wewen
yang ternyata jam 07.00 telah sampai di rumah Dranan. Wewen kupersilakan masuk.
Tapi dia tak mau entah kenapa. Dan maaf ya, Wen air tehnya kurang panas
sehingga tehnya gak begitu panas. Tapi tetep manis kok wkwk.. Langsung saja,
setelah Yauma dijemput Ryu dan bertemu Anis dan Wewen mereka berempat pergi ke
terminal. Tanpa sarapan, Anis dan Wewen pergi dari hadapan kami. Pun Ryu dan
Yauma. Yahh rumah jadi sepi
Bu Roliyah menceritakan kalau Mbak
Asih sedang pergi ke Batang untuk melakukan sedekah[9].
Ceritanya, ada saudara Pak Bau yang tak sengaja menabrak seorang nenek. Dengan
sangat kuat dan berani saudara Pak Bau tersebut membawa nenek tersebut ke rumah
sakit terdekat. Namun sayang, nyawanya ta agi dapat diselamatkan. Beruntunglah
saudara Pak Ba tersebut karena keluraga yang ditinggal telah ikhlas akan
kepergian sang nenek, sehingga urusan setelah eninggalnya sang nenek seperti
tahlil diurus oleh sudara Pak Bau. Urusan dengan polisi juga dapat diselesaikan
dengan jalan damai antara kedua belah pihak. Cerita Bu Roliyah pagii tadi bagai
sinetron. Tapi nyata, oh ya memang nyata.
Hari
ini, kami berencana untuk pergi ke kebun stroberi. Setelah kutanyakan, ternyata
bapak ada di kebun belakang. Karena anak-anak telah menunggu lama, kami meminta
anak-anak untuk mengantar kami ke hutan. Mereka mengiyakan dan kami pergi ke
hutan. Dengan si kembar juga diajak karena ibunya belum pulang. Belum sampai 10
menit kami naik, kami turun lagi karena si kembar dipulangkan. Yahh, akhirnya
kami ikut turun juga dan memutuskan untuk tidak ke hutan. Setelah kami reunite
kami memutuskan untuk melihat ladang rumput gajah, anak-anak menunjukkan
jalan. Namun sebelumnya kami menuju ke kebun ‘ketemu’ yang ditanam oleh Ibu
Tina. Di sana, dapat ditemukan banyak bungan yang ditiup. Dan hanya sekedar
berfoto, kami melanjutkan perjalanan ke lahan rumput gajah yang mereka sebut
sebagai kampung. Anak-anak menunjukkanbahwa ini sampai sini merupakan kampung
milik ini dna ini dan ini dan seterusnya. Tapi sepertinya, akupun juga tak
begitu paham itu milik siap dan siap lagi jika ditanya sekarang. Hehehe maklum
ingatan ikan! Setelah agak tinggidari tempat kita tadi, kulihat ternyata Pak
Dar memang ada di kebun belakang yang mana paling belakang dari letak kebun
itu. Pantas saja, waktu aku mencari Pak Dar tidak ketemu. Setelah menemukan
dataran dan pemandangan yang asyik, kami berfoto kemudian kami turun.
Yayan
asyik memanjat pohon jambu bersama Ari. Tak berapa lama, jiwa liarku keluar
sehingga aku ikut memanjat pohon. Asyik! Kebiasaan yang sering tak bisa kulakan
sejak SMP. Untungnya, aku masih punya keahlian akan hal itu. Berasa menjadi
anak-anak lagi, berasa di pulau kebebasan lagi. Woii ini kenyataan!
Setelah
asyik memanjat, aku mengajari lagi anak-anak untuk menari sesuai dengan janji.
Tetapi sepertinya anak-anak sudah mulai bosan dengan menari. Setelahnya, mereka
diberi tontonan Big Hero 6 oleh Fatin. Dan Aku tertidur waktu itu di
kamar. Hingga sore hari, kulihat anak-anak telah meninggalkan rumah. Kutanya
apakah mereka telah menyelesaikan film yang ditontonnya kepada Fatin. Ternyata,
mereka belum sempat sampai tamat menonton filmnya. Yahh kenapa begitu ya?
Padahal kan akhir meski bisa ditebak belum tentu sesuai tebakan kita.
Tak
ada yang istimewa hingga malam tiba, sampai kami makan malam, hingga kami
terlelap dalam lautan kenyamanan dalam balutan selimut hangat yang bukan
selimut tetangga tentunya J
Hari
ke-9
Sabtu, 23 Januari 2016
“Baru kusadari selama kutinggal di
rumah Pak Bau Dranan bahwa Mbak Asih menggendong bakwannya dari rumah ke
warung, apa pentingnya? Aku tak tahu mungkin penting bagiku di suatu waktu
untuk mengingat sesuatu”
“ Jangan menawar, coba saja kalau
bisa. Dingin di sini tak bisa ditawar, memang”
Hari ini, Fatin pergi ke Kayupuring
dan tak pulang ke rumah. Sedangkan kami berdua, meneruskan mencari data tentang
sapi. Firda dan Titik karena Ryu juga ke Kayupuring untuk mencari data tentang
mitos, dititipkan di rumah kami yang notabenenya paling dekat dengan rumah
mereka. Karena pagi ini cuaca tak mendukung, kami memutuskan untuk melakuakn
pencarian data di sore hari. Dibantu dengan Firda dan Titik akhirnya selesai
juga pendataan tentang sapi.
Ada pengalaman menarik dariku
tentang ibu-ibu yang jutek dan meminta bantuan sapi terhadapku dikarenakan aku
dikira akan memberikan sapi kepada orang-orang yang telah diwawancarai oleh
kami. Ternyata tidak hanya aku, Saras pun demikian. Jadi, kami memiliki
hipotesis bahwa orang-orang pada gang tersebut yang kemudian kami kenal dengan
sebutan Balong orang-orangnya kurang
ramah dan tak terlalu peduli dengan kedatangan kami. Saat aku mewawancarai
iu-ibu muda, memang pada saat itu ibu tersebut tidak melakukan hal apapun.
Tiba-tiba saja, mobil yang membawa barang pecah belah membuyarkan konsentrasi
ibu tersebut dan mengakibatkan mereka menjawab seadanya saja. Aku sempat kesal
dalam hati, tapi aku tahu hal tersebt bukan tindkan terpuji. Dengan kejadian
seperti itu tadi, aku bersyukur pula telah diberikan pengalaman tentang keadaan
objek penelitian yang tak sesuai dengan ekspektasi.
Sepulangnya dari Balong kami mampir
dulu ke warung Mbak Asih dan mencari tahu apa yang menyebabkan Mas Pujo begitu
dikenal oleh masyarakat Dranan. Entah kenapa hal tersebut tiba-tiba menjadi
bahan obrolan kami, oh ya kalau kami tidak salah sepertinya karena kami telah
berpapasan dengan bapak-bapak yang umurnya sekitar 60an tahun yang mengenal Mas
Pujo. Mbak Asih kemudian menceritakan bahwa dulunya Mas Pujolah yang
memperkenalkan jahe di Dranan. Tak hanya jahe, ternyata rumput gajah juga. Nah,
di situ timbul kecurigaan kami terhadap penelitian ini. La wong yang ngasih Mas
Pujo sendiri. La, gimana? Ya sama, aku juga bertanya-tanya. Dari warung, kami
melakukan perjalanan kembali ke rumah Dranan. Titik dan Firda sebelumnya telah
sampai di rumah duluan. Sore itu, anak-anak mengajak bermain bulu tangkis.
Titik tentu yang tetap paling dekat dengan anak-anak. Firda kemudian juga ikut
main bulu tangkis dengan anak-anak. Barulah setelah awan berubah warna menjadi
kegelapan, anak-anak pulang ke rumah masing-masing. Ryu tiba juga di rumah
kami, untuk menjemput Firda dan Titik. Tentunya, setelah makan malam barulah mereka
baru boleh pulang. Selepas sore, kami kembali melakukan kebiasaan seperti
delapan hari yang lalu di rumah Dranan. Makan malam, kemudian tidur.
Hari ke -10
Minggu, 24 Januari 2016
Aku bertemu dengan hari Minggu
lagi, artinya anak-anak memiliki waktu lebih banyak untuk bermain. Pagi ini,
kami disadarkan untuk segera mengemasi diri untuk melakukan aktivitas di luar
rumah atas panggilan anak-anak Dranan. Pagi sekali pula, Mazaya telah sampai di
rumah Dranan. Pengganti Fatin yang belum pulang dari Kayupuring kami diajak
untuk ke sungai. Niatnya ialah untuk melakukan penelitian sungai yang merupakan
topik Saras untuk penelitiannya. Tapi, sepertinya di luar rencana. Kami diajak
bermain di sungai yang biasa disebut oleh anak-anak sebagai kolam renang, Ya
aku juga senang sih, wkwkwk. Tapi Saras sepertinya tidak begitu puas karena ia
tak menemukan tujuan yang akan dicapainya. Saat sampai di sungai hujan
rintik-rintik telah turun. Dan setelah keluar dari sungai, ternyata hujan
bertambah deras yang mengakibatkan kami sedikit berlari untuk kembali ke rumah.
Hari
ini 4 hari sebelum kepulangan. Panitia mengagendakan untuk rapat lagi di
polsek. Aku dengan dijemput Anis tiba di polsek. Sebelumnya, Anis menurunkan
Fatin terlebih dahulu di rumah setelah menginap dan membawa pengalaman yang
berbeda dari di Dranan.
Polsek
masih sepi ketika aku tiba. Anis meninggalkanku kemudian karena dia harus menjemput
Devi di Sikucing. Sepeninggalnya Anis, aku berada di samping polsek untuk
melakukan telepon dengan seseorang yang harus kutelepon. Sayangnya, sinyal tak
sebaik di rumah Dranan. Harus berkali-kali ngomong untuk mendapatkan maksud
dari lawan bicaraku, mengakibatkanku sedikit ragu untuk menutup telepon
tersebut. Ragu apabila ditutup akan memotong pembicaraan, dan apabila tak
ditutup maka menambah beban untuk berbicara (Cuma ngomong aja beban lo --).
Akhrnya kututup teleponnya, kemudian aku bertemu dengan Cici yang baru saja
sampai di Polsek. Satu per satu panitia kumpul. Tapi rapat dimulai setelah
sholat maghrib. Ada halangan lain untuk rapat kali ini. Karena sholawatan dengan
pengeras suara setelah sholat maghrib di mushola dekat Polsek yang membuat
beberapa panitia yang akan laporan berteriak saat melapor kejadian di tempat
penempatan penelitian. Tapi mau bagaimana lagi, kami bisa berkumpul hari ini
saja sudah syukur pun harus ngelakoni hari ini. Rapat hari ini ditutup sekitar pukul
20.00. Anis, Restu, dan ternyata Ryu juga menginap di rumah Dranan. Alasan Ryu
menginap malam itu karena dipan kasur yang di tempatinya untuk tidur belum
dibetulkan malam ini, sehingga mau tak mau ia menginap di tempatku. Enam orang bermalam
di rumah Dranan. Semoga malam ini penuh kehangatan dan pengampunan J
Hari ke-11
Senin, 25 Januari 2016
Senin, harusnya Ayub pulang. Tapi ia
tak pulang dengan alasan ada orang menginap di rumahnya, terutama ia tahu yang
mennginap dan menempati kamarnya ialah kami dan perempuan. Wahh, agak merasa
bersalah nih. Hehehe. Informasi tersebut dilontarkan bu Bau ketika aku ikut
menghangatkan diri di sekitar perapian pagi tadi.
Pagi ini, Restu pulang diantar oleh
Gusmus yang juga satu arah ke Telogohendro. Sebelum pulang, Restu dan Gusmus
sarapan di rumah kami. Yaaahh pagi ini hangat sekali kebersamaan di antara peserta
TPL dengan sarapan bersama. Disusul dengan Anis dan Ryu yang kemudian balik ke
rumah masing-masing.
Kami bertiga membereskan meja
setelah sarapan. Setelahnya kami masuk kamar, tak tahu harus memulai hari
dengan apa, sampai pada akhirnya Ryu kembali lagi ke rumah Dranan dan mengajakku mencari kayu untuk mengganti kayu
dipan kasur yang dipatahkannya. Kami berhenti barang sebentar, untuk mengisi
bensin. Dan di sela-sela mengisi bensin tersebut, kami menanyakan tentang kayu,
yang tak disangka ialah sambutan hangat masyarakat di sana. Terlebih, salah
satu di antara mereka ialah tukang bangunan yang memiliki sisa kayu dengan
ukuran tinggal potong saja jika ada yang minta. Kebetulan! Dengan bahasa jawa
yang agak kurang memuaskan, aku memberanikan diri meminta. Untung, bapaknya
pengertian. Kami ikut bapaknya menuju proyek pembangunan asrama untuk SMP
Petungkriyono. Di sanalah kami diberi oleh bapaknya kayu yang kami inginkan.
Dengan begitu, kami tak perlu pergi jauh lagi ke Doro atau Pekalongan untuk
membeli kayu ataupun palu bahkan paku.
Kabut turun setelah aku sampai di
rumah Dranan dan tibalah di situ sesi malas kemana-mana dan hanya di rumah,
duduk di kursi malas, baca buku, makan siang, dan dilanjut gak ada kerjaan
lagi. Anak-anak memanggilku untuk ikut bermain. Dan hari itu, Ari mengambilkan
tebu buat kami. Asyik! Memaniskan hidup. Sekitar hampir pukul 15.00 anak-anak
kembali ke rumahnya untuk berangkat mengaji. Saat itulah tak tahunya Dhimas dan
Hadi menitipkan kalender kepadaku. Ternyata ada kalender yang tertinggal di
Polsek, dan aku diharuskan menyimpannya. Oke arraseo.
Kegiatanku hari ini tak begitu
membosankan sebenarnya, hanya mengulang hari-hari yang lalu saja namun tanpa
banyak tatap muka lagi dengan orang-orang rumah. Alasanku, karena badanku yang
sedikit panas dan tak mau menulari mereka saja, mengindahkanku untuk tidur
lebih awal dari biasanya. Sejenak sebelum tidur, aku jadi agak memikirkan
bagaimana bisa aku sakit? Kan aku koor medis? Eh, aku ditegur Tuhan dalam mimpi
kalau aku ini juga sama manusianya dengan peserta lain yang bisa sakit.
Hari ke- 12
Selasa, 26 Januari 2016
“Cepat atau lambat, data harus
terkumpul.”
Pagi ini, dengan sedikit berat hati
aku beranjak dari tidurku yang tak kedinginan seperti biasanya. Artinya, memang
ada yang tak beres dengan diriku. Sepertinya. Hahhhh ya sudahlah, hari ini
harus kulewati. Setelah sarapan masih dalam keadaan meringkuk aneh, aku tak
melakukan apa-apa. Banyak melamun, dan meratap. Tetiba saja aku terpikir akan
anak-anak Dranan.
Ku menunggu mereka pulang sekolah,
eh ternyata ada kejadian lucu waktu aku mau mengambil makan siang tadi. Yaps.
Ibu Roliyah berbohong jikalau aku dan dua reanku tak mau diajak main. Akhirnya,
kami memunculkan diri juga setelah mereka tak mengajak kami untuk main-main
melainkan untuk belajar bahasa inggris.
Fatin menyanggupi. Kami bergantian menanggapi mereka, namun sepertinya aku
kurang aktif dalam memberi pengarahan pada mereka. Hehehe hawanya males eh.
SV datang hari ini, saat kami sedang
asyik dengan anak-anak. Kami pun bergantian dimulai dari Saras ditanyai sampai
mana kemajuan mencari data, kurang apa saja, dan mendapat beberapa saran dari
SV yang hanya Mas Wahyu saja itu. Banyak saran bagiku dari Mas Wahyu untuk
kuperbaiki. Diantaranya aku belum menemukan perbedaan pertukaran tenaga kerja
dulu hingga sekarang. Rentang waktu dulu ini yang menurutku kurang dapat
dikira-kira kecuali, dengan jawaban yang memang terdapat bukti dimana ada
sebuah kejadian yang menyertai.
Dari Mas Wahyu aku juga belajar
sedikit tentang anak-anak. Dimana anak-anak merupakan tahapan seorang pribadi
yang belum kuat, sehingga untuk mempercayai data-data yang disebutkan oleh
anak-anak belumlah cukup kuat. Selain itu, dengan kehadiran anak-anak, bisa
saja malah membuat masa pencarian data berantakan seperti diajak main terus.
Wkwk ini seperti kami rupanya. Tapi ada hikmahnya juga menurutku, yakni kami
bisa lebih dekat dengan warga melalui anak-anak ini. Begitupun alam kami juga
lebih mengenal dari jalan bersama anak-anak. Mas Wahyu berencana besok pagi
kembali ke rumah, untuk pergi ke hutan mencari data.
Sebelum menjelang malam, SV datang
lagi kali ini dengan Mbak Bewanti yang mencari data tentang ibu yang hamil dan
baru saja melahirkan di Dranan dan Mas Lintang. Ada beberapa hal yang dikonfirmasi
SV saat itu.
Anis dengan polosnya tetiba saja
muncul di depan pintu rumah Dranan mengajakku pergi nonton dangdutan di
Telogohendro sambil memberi kejutan ulang tahun untuk Hima. Okay, aku ikut.
Dengan kondisi badan yang flu dan agak panas. Hufft curhat* sesungguhnya dari
kemarin aku tak berencana untuk ikut ke Tlogohendro. Ya mau gimana lagi. Anis
sudah jauh-jauh dari Kayupuring.
Ditambah dengan Ryu, kami sampai di
Telogohendro setelah maghrib. Kami mengumpulkan peserta perempun yang ada di
Telogohendro yang memang kebetulan rumahnya dekat kemudian memberi kejutan ke
Hima. Setidaknya, kalaupun tiada dangdutan karena ternyata dangdutan hanya ada
pada malam kemarin, ada rasa lega lain terobati melihat semua senyum dengan
gembira, terutama Hima yang sudah seharusnya mengembangkan senyum lebar di hari
ulang tahunnya. Aduh, sampai lupa harus cari data.
Kejutan usai, dilanjutkan dengan
tidur. Karena aku sudah mulai merasakan panas suhu tubuhku. Dan tak disangka,
Dina dan Diah yang ditinggal Shabia disuruh oleh bapak tempatnya tinggal
membawa pasukan lai untuk mengisi kekosongan barisan tempat tidur. Akhirnya,
aku dan Anis mengalah dan tidur di tempat Dina. Malam yang dingin namun tak
terasa bagiku itu, kusempatkan karing bersama bapak Dina dan Dyah. Kemudian
setelah cukup, aku tidur dengan nyenyak tanpa gangguan.
Hari ke-13
Rabu, 27 Januari 2016
Aku terbangun untuk sholat shubuh.
Setelahnya, aku tak bisa tidur lagi sampai sekitar pukul 06.30, kami dipersilakan
sarapan. Setelah sarapan, kami pamit kembali ke rumah Restu dan mendapati bahwa
Ryu telah balik duluan dengan izin ia harus ke Doro mengambil buku.
Pukul 07.00 aku dan Anis kembali ke rumah. Anis
harus mengantarkanku terlebih dahulu. Kusempatkan pagi itu dengan Anis
mengambil beberapa foto pemandangan yang tak akan pernah kami lihat lagi ketika
di Jogja. Sampai rumah sekitar pukul 08.30 ternyata Saras dan Fatin telah
bangun dan pergi ke hutan. Saat itu, mereka telah pulang dari pengembaraan mengolah
data. Bapak sedang ada tamu katanya, sehingga tak bisa mengantar lagi ke hutan.
Baru
saja istirahat dan mendudukkan diri Anis mengajakku untuk memesan konsumsi
untuk siang esok hari. Aku mengiyakan. Dan setelah bebersih pagi, aku dan Anis
meminta izin untuk ke Kajen mencari konsumsi tersebut. Ahh, dalam perjalanan
menuju ke Kajen tersebut, aku tak berhenti berdecak kagum akan kekuasaan Tuhan
atas ciptaan alamnya ini. Ya, masih ada! Dan ini nyata. Di tengah perjalanan
pula, kami bertemu dengan teman-teman yang naik doplak dan rombongan
teman-teman yang mengambil buku ke Doro. Di perjalanan, kuteringat Saras dan
Fatin yang belum ke curug hingga ahkir penelitian ini, kuberharap semoga mereka
diajak ke sana oleh SV.
Sesampainya
di Kajen yang jauhnya tak bisa kukira-kira, kami tidak menemukan solusi akan
makanan tersebut. Karenanya, kami kembali ke Doro. dan di sanalah akhirnya kami
memesan makan untuk peserta dan panitia besok. Setelah urusan itu selesai, kami
pulang karena takut nanti terlalu malam untuk kembali ke rumah masing-masing.
Terutama Anis, yang harus mengantarku dulu ke rumah baru pulang ke rumahnya.
Padahal, rumah Anis lebih dekat dari pasar Doro daripada rumahku di Dranan.
Setelah
sholat ashar, aku dan Saras pergi ke rumah Pak Suroso untuk membeli gula aren.
Kami disambut dengan bahagia di sana. Kami lagi lagi disuguhi gula aren, yang
kali ini didampingi nasi jagung putih. Aku menyebutnya dua kombinasi tersebut
seperti horog-horog[10]
jika di Mojokerto. Duh jadi kangen rumah.
Aku
melengkapi dataku lagi tentang pertanian dari Pak Suroso yang bercerita bahwa
pertukaran tenaga kerja terjadi saat zaman kemajuan, sekitar tahun ‘70an di
Dranan. Tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak mengupah atau menyewa seseorang
untuk menggarap sawahnya, karena mereka melakukan pertukaran pekerja pada masa
itu.
Rp
40.000,00 kami sisihkan untuk membayar gula aren, dan kami sekalian pamit untuk
balik ke Jogja esok hari pada keluarga Pak Suroso. Aku baru tahu bagaiamna
keluarga Pak Suroso bisa menjadi saudara dengan Pak Bau. Bu Suroso merupakan
kakak kandung Pak Bau, oleh karenanya keluarga mereka masih saling terhubung. \
Setelah
membersihkan diri dari kamar mandi, Mbah bilang kepadaku “Omahe dadi samun[11]
ra ana sampean”. Aku hanya tersenyum, mendengar pernyataan yang mengisyaratkan
bahwa mbah pun telah menerima kami ada di rumah Dranan. Ya, itu semua karena
kami besok akan pulang. Setengah bahagia setengah tidak rasanya – untuk hal
yang belum bisa ditinggalkan.
Hari ke-14
Kamis, 28 Januari 2016
“ Kuingin tahu
siapa di antara kalian yang mengatakan perpisahan itu indah? Atau berakhir
bahagia?”
Kami
telah siap dengan barang bawaan yang berat sejak pagi, mempersiapkannya
sehingga tak ada yang luput untuk dibawa kembali. Kecuali kado kecil untuk
keluarga kecil di Dranan ini, akmi meninggalkannya. Sebelum kepergiankami pagi
itu, kami sempat berfoto dan memberikan kenang-kenangan itu langsung kepada Bu
Roliyah, mengisyaratkan saja pada mata kami untuk menjaga kenang-kenangan
tersebut, seperti keluarga ini treat us well. Ada hal yang belum
tersampaikan dengan kata-kata pada saat itu, yakni terima kasih atas pengalaman
yang kalian ajarkan pada kami. Kurasa kami memang berterima kasih, namun tak
mengatakan dengan jelas apa maksud dari terima kasih kami itu.
Kami
diantar satu per satu ke kantor kecamatan. Dimulai dari Saras, kemudian Fatin.
Sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah, aku sempatkan diri untuk berfoto
dengan Fika yang kudandani dengan kerudung. Ah, anak kecil selalu buat duniaku
jadi lain—jadi pengen terus kecil. Ah hanya mengkhayal.
Sepertinya,
dari Yosorejo harus menanti desa-desa lain untuk berkumpul karena letak
Yosorejo yang paling dekat dengan kecamatan. Dengan sabar, akhirnya semua pun
siap. Aula, MC, pembaca doa, dan peserta yang siap dilepas lagi.
Sambutan
Pak Camat Petungkriyono sedikit membawaku pada pengalamn pertama survei di
Petungkriyono. Kurang lebihnya sama yakni, sebenarnya masyarakat agak risih
dengan kedatangan para peneliti di Petungkriyono. Namun mau bagaiaman lagi,
ketika surat tugas telah turun dari Bappeda mau tidak mau kecamatan menerima
hal itu dan diteruskan kepada kepala desa dan kepala desa kepada warganya.
Seperti itu versi Pak Camat, yang berbeda dengan versi di lapangan. Ketika
masyarakat dengan sangat baik menerima kami, terlebih dengan senyum J
tanpa ragu kusimpulkan versiku, mungkin Pak Camat jenuh dengan penelitian tanpa
bukti fisik dari penelitian tersebut. Feels like wasting time! Hanya
ikut menginap dan ikut ngrusuhi warga, tahunya main saja, dan
lalalalala…. Jadi, semoga saja penelitian tahun ini mampu membawa hasil dan
perubahan (mungkin) yang dibutuhkan bagi warga masyarakat Petungkriyono.
Pak
Yoyok, sebagai Kapolsek Petungkriyono memiliki sambutan yang unik saat itu. Ia
sangat senang anak buahnya dibantu dengan kehadiran kami di pos ketika jaga
malam, dan merasa iba pada teman kami yang melakukan survei kedua ketika harus
menginap di mushola. Pak Yoyok bahkan mengingat nama beberapa panitia karena
kedekatannya dengan kami. –tentang tagihan listrik di polsek, panitia telah
berpikir karena dibayar oleh negara mungkin akan baik-baik saja.
Kiranya
cukup penutupan hari ini ditutup dengan foto bersama dengan Pak Camat, Pak
Kapolsek, seluruh peserta, dan panitia. Agar tak begitu malam sampai di kampus,
peserta yang naik doplak diberangkatkan terlebih dahulu. Panitia yang naik
motor akan pulang setelah peserta. Setelah semua hal yang diharapkan berjalan
dengan lancar berjalan sesuai dengan rencana, aku dan rekanku pulang ke Jogja.
“ Semoga ada waktu dan ruang yang sama
mempertemukan kita”
“ Kabut, hujan
gerimis, ayunan dan elang jawa ditambah seduhan teh dan kopi, sedikit gorengan
tak lupa obrolan singkat di setiap momennya yang dterkadang disertai bau asap
tembakau yang khas, begitu romantis untuk menjadi romantis hingga buat tragis
tak mau sempat untuk sekedar mampir. Sampai jumpa lagi, Petungkriyono semoga
sempat aku akan ke sana lagi” J
[1]
Sejenis kendaraan (mobil bak terbuka) digunakan oleh orang Petungkriyono
sebagai alat transportasi umum. Hanya beroperasi pada pagi hari dengan tujuan
pasar Doro.
[2]
Tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu. Biasanya digunakan masyarakat Dranan
untuk duduk saat beraktivitas dekat perapian.
[3]
Sebutan untuk kepala dusun atau pak dukuh.
[4]
Padi yang telah dipanen dan belum digiling menjadi beras.
[5]
Menghangatkan diri di depan perapian.
[6]
Laporan masyarakat kepada perangkat masyarakat. Masyarakat hanya terima jadi
solusi dari laporan tersebut.
[7]
Istilah akrab dalam bahasa masyarakat Dranan.
[8]
Mencari air dari pohon aren // pembuat gula aren
[9]
Dilakukan untuk menghormati keluarga yang telah ditinggal meninggal oleh
anggota keluarganya.
[10]
Makanan dari tepung beras dengan gula merah di dalamnya.
[11]
Sepi.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu