Refleksi: Rumpi 2017

Halo, Hepi Nu Yier

Pagi ini, pak sayur dan seluruh jajaran pedagang sayuran tidak akan lewat dan mampir. Begitu juga dengan ibu-ibu yang akan memerlukan bahan makanan untuk kebutuhan hidup tidak akan bergerombol seperti biasanya. Ya, seperti membentuk grup rumpi dalam whatsapp atau line, ibu-ibu selalu punya cara bertemu langsung ketimbang virtual. Tiap paginya, ada tiga titik pedagang dalam dua RT. Ya, ketiganya sama rumpinya. Tapi hari ini tiada seorang pun pedagang muncul. Jadi, ibu-bu akan ketinggalan rumpi hari ini. 

Kata siapa? 

Kubilang juga mereka selalu punya cara buat rumpi di pagi hari. Tak usah jauh-jauh antar RT, rumpi ibu-ibu antar rumah kalau udah ngumpul ya dijabanin kok. Aku ikut rumpi? Jelas. Meski kadang aku tahu bukan hakku buat turut campur, tapi yakinlah, aku hanya ingin tahu. Selebihnya tidak ada, Karenanya, jika yang lain bicara aku lebih memilih mendengarkan. Kalau ada ang tidak jelas baru kupertanyakan kemali hihihi.. 

Lagi-lagi rumpi juga akan terjadi lagi nanti pukul 15.00 WIB, tepat di rumah orang yang paling disegani masyarakat sedusun, di sanalah terjadi saksi bisu pertumpahan rasa ibu-ibu sedusun dari masalah kematian hingga kelahiran, kelegaan hingga hutang, tangisan, cacian, kemarahan hingga tabiat seseorang. Asyik lah pokoknya... 

Kalau bisa curi-curi kesempatan nih, kalau ada pengajian ibu-ibu malam hari dengan sopan dikit mereka dapat berbisik. Asal gak meramai dan menyemut, masih ada aja cucuk-cucuk yang mangap.

Ah. kesempatan secara langsung yang terus saja berlangsung seperti ini memang kadang bisa memicu persekutuan tapi ya mau bagaimana lagi, atas dasar manusiawi yang selalu ingin didengar dan diperhatikan, rumpi menjadi jalur alternatif manusia buat pencitraan, pameran, hingga penghargaan. Coba saja diatur merumpi akan dipenjarakan. Ya sama saja dipenjara pun mereka dapat merumpi. Hikmah hidup dengan manusia, ya rumpi. Oh atau bukan? 

Jelaskan! Bagian mana yang menurutmu jelek? 
Mungkin saja  obrolan dikit yang memicu sengit pun kadang termaknai legit apabila filter buat rumpi kurang kuat, berujung sakit hati dan tak mau kenal lagi. Mungkin yang dilarang ialah rumpi macam itu, yang tancap gas dan tidak menginfokan malah mencela. Kalau rumpinya standar aja, kenapa sih mesti masih ada yang melarang buat buka suara? Sekadar ngomong lo. 

Hmm... manusia memang susah dimengerti, seperti moodku yang kadang berawan kadang cerah. Huff

--------
Kau diam dianggap apatis, kau banyak bicara dianggap tong kosong
Kau berbuat baik dianggap cari perhatian, ya sama apalagi berbuat buruk
Kau mendengar dianggap tidak punya pendapat, padahal yang terjadi kau sedang dilarang mengatakan sepatah kata
Kau mengatakan jujur akan dibenci semua orang, padahal semua orang berkata memberantas kebohongan 
Jadi yang mana? 
Sekalinya kau mengaku berbohong, kau berbuat baik dan berniat akan itu malah dianggap pura-pura
Sekalinya kau pembunuh bahkan dicap selamanya
Ini belum apa-apa masih banyak fakta mengejutkan lain tentang manusia yang sellau dilema dimanapun berada
Seakan mau menebak hati mungkin akan dibalas belati

----- 
Dalam rangkanya masih tetap tahun baru, tapi kutahu rumpi bukan juga hal baru. Selamat memodifikasikan rumpi. Rumpi sehat, bisa jadi 😆😄😃



Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��