Satu Hari Berani : Isu Feminisme dalam Kumpulan Cerpen Sitta Karina
Feminisme dalam Sastra Populer
Mengartikan feminisme sebagai paham dalam kehidupan bermasyarakat
merupakan sebuah kesalahan. Karena pada dasarnya, “ … tidak seperti -isme
lainnya, feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoritisnya dari suatu
rumusan teori tunggal”[1].
Hal tersebutlah yang menjadikan kata “feminisme” sendiri menjadi sering keliru
diartikan.
Konstruksi
terjadinya feminisme merupakan bagian dari sejarah. Hal ini mengandung
pengertian bahwa, tiap dekade atau pergantian tahun pun akan terjadi perbedaan
tentang konsep feminisme. Feminisme sendiri muncul “ … atas realitas kultural
dan kenyataan sejarah yang kongkret, maupun atas tingkatan-tingkatan kesadaran,
persepsi serta tindakan.”[2]
Dapat diambil contoh dalam realitas kultural dan kenyataan sejarah
Indonesia dimana seorang Kartini merupakan sosok yang menggagas akan persamaan
antara perempuan dan laki-laki, yang pada masa itu dalam hal pendidikan.
Kemudian pada masanya perempuan-perempuan feminis Indonesia akan menolk segala
bentuk penindasan yang dilakukan oleh kaum pria.
“ Dengan
demikian, pada hakikatnya, feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai
kesederajatan/kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam
mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga”.
(Bashin, Khat 1995 : 8)
Sedemikian
luasnya makna feminisme pada masa sekarang, yang memberi dampak akan terus
diperjuangkannya hak-hak atas perempuan. Perjuangan-perjuangan yang sangat
banyak dilakukan perempuan Indonesia dan kaum feminis Indonesia ialah dengan
menuliskannya dalam bentuk karya sastra. Dalam perkembangan karya sastra di
Indonesia, karya sastra populerlah yang merupakan garis depan dalam
memperjuangkan hak-hak atas perempuan tersebut.
Sastra populer
berkembang sesuai dengan budaya populer yang berlaku di masyarakat. Artinya,
karena budaya merupakan hal yang dinamis maka pada suatu titik tertentu
terdapat budaya dalam masyarakat yang menjadi sangat menonjol dan dapat
dipahami oleh masyarakat awam sekalipun.
“ Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah budaya populer yang
dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk
mendapatkan keuntungan kepada khalayak konsumen massa. Budaya massa adalah
budaya populer yang diproduksi di pasar massal” (Strinati, 2007: 12 via
Dewojati, 2015: 7).
Oleh karenanya,
produksi sastra populer merupakan representasi dari budaya populer, dengan
kisah yang tidak terlalu rumit dan mudah dipahami awam dan setiap kalangan.
Selain itu, sastra populer ini berkembang karena adanya keinginan massa untuk
menyuarakan pendapat dalam karangan fiktif yang merupakan keadaan lahir bagi
masyarakat tersebut. Sastra populer dan feminisme mempunyai keeratan hubungan,
dikarenakan masyarakat selalu melihat terdapat beberapa tindakan yang kurang
pas di dalam kehidupan masyarakat dari masa ke masa terutama menyangkut
perempuan.
Dalam paper ini
akan dibahas tentang feminisme yang terdapat pada teenlit pada kumpulan
cerpen. Artinya, cerita yang dibawakan akan berisi alur yang singkat dan
kehidupan remaja. Mengetahui isu feminisme dalam kumpulan cerpen tersebut,
sebelumnya dengan menilik yang disampaikan Hollow dalam bukunya Feminisme,
Feminitas, & Budaya Populer (2000) bahwa “ … remaja putri tidak terlalu
banyak berpartisipasi dalam berbagai subkultur”,yang mana menjadi latar
belakang bagi penulisan paper ini.
Satu Hari Berani: Kisah-Kisah Unik Remaja dalam Menuntaskan
Masalahnya
Terdapat 18 cerpen yang terkumpul dalam satu buku kumpulan cerpen
ini. Empat di antaranya yang akan dianalisis dalam tulisan ini ialah “Satu Hari
Berani” yang merupakan judul dari kumpulan cerpen, “Tink-a-Bell”, “Talisman”,
serta “Shuri dan Kebaya”. Tiga dari empat cerpen ini pernah dimuat dalam
majalah yang berbeda pada edisi yang berbeda dan yang lainnya dimuat di majalah
berbeda .
1. Tink-a-Bell
Kisah dua orang manusia berbeda
jenis kelamin berteman pasti akan berakhir dengan keduanya saling suka. Tak
demikian halnya dengan Tinka dan Nara. Persahabatan di antara mereka, meski
bisa dibilang masih belum terlalu lama namun mengisahkan banyak cerita untuk
diambil menjadi amanat.
Membaca dari judul yang digunakan
oleh pengarang, sebagian pembaca pasti akan menerka cerpen ini merupakan kisah
yang diadaptasi dari kisah “Tinkerbell dan Peterpan”. Terkaan tersebut tidak
sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Perbedaan alur hanya terjadi pada
alur perkenalan tokoh. Jikalau dalam versi Tinkerbell dan Peterpan kedua tokoh
merupakan sahabat dari kecil, dalam cerita Tink-a-Bell ini, kedua tokoh baru
beberapa minggu mengenal satu sama lain. Namun di sisi lain, persahabatan yang
tak pernah putus dari Tinkerbel dan Peterpan maupun Tinka dan Nara menjadi poin
yang sama dalam kedua cerita yang dikemas berbeda ini.
Tinka
Sesosok gadis yang selalu diliputi
rasa buruk sangka terhadap Nara, orang yang dikenalnya beberapa hari yang lalu.
Hal tersebut dipicu karena Nara telah melakukan kekerasan pada Reisya. Yang
entah bagi Nara itu pacar atau temannya ia tak peduli. Begitupun dengan Tinka,
saat awal perjumpaannya itu. Tinka menjadi amat peduli pada tindak kekerasan
yang dilakukan Nara pada perempuan tersebut. Betapa rasa tidak terimanya Tinka
terhadap perilaku kasar yang ditunjukkan oleh Nara dapat dipahami dalam dijelaskan
secara langsung oleh pengarang melalui kata-kata sebagai berikut:
Refleks
Tinka mengangguk, menurutinya. Tapi melihat ekspresi puas Nara, gestur Tinka
langsung berubah menjadi kaku dan tegang. Ia kesal, marah, dan sempat
bersumpah: orang seperti ini tidak akan pernah merebut hatinya. Ia tidak
bermimpi akan bersanding dengan tipikal cowok spoiled macam Nara. (hlm35)
Tinka sangat tidak suka dengan
kekerasan. Oleh karenanya, ia menjadi sensitif ketika Nara membujuknya untuk
menjadi sahabatnya. Sedangkan saat itu Tinka tahu bahwa orang yang memintanya
menjadi sahabat bukanlah orang yang baik dengan perempuan. Selain dari paparan
pengarang yang tersirat dalam cerpen, hal tersebut juga dapat diketahui dari
dialog antara keduanya saat berada di halaman belakang rumah Nara yang luas:
“ Tapi kita kan baru kenal. Kenapa harus
ngomong muluk-muluk?”
“ Iya, tapi kamu satu-satunya cewek yang
nggak tertarik sama aku.”
“
Kenapa semua cewek harus tertarik sama kamu?” Tinka tergelak sendiri, lebih
karena ia tak percaya telah bertanya demikian; Nara sukses memancing emosinya.
“
Karena aku punya segalanya, perhaps?” Nara hanya mengangkat bahu,
memandang Tinka dengan mata mengerling.
“
Yeah, tapi itu bukan excuse untuk berlaku kasar kayak gitu.” Serta-merta
Tinka memalingkan wajah. Ia bingung wajahnya mendadak terasa panas. (hlm 37)
2. Satu Hari Berani
Cerpen ini merupakan cerpen yang
digunakan untuk judul dalam kumpulan cerpen Sitta Kirana. Mengisahkan tentang
tindakan sok jagoan dari seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku SMA,
bernama Chiko. Dalam karyanya yang satu ini, peran perempuan sangatlah tidak
terlihat. Penulis hanya memosisikan Siris, peran perempuan dalam cerita ini
sebagai sudut pandang orang lain. Artinya, kehadirannya pun hanya sebagai
properti tambahan untuk menjadi penggerak dalam cerita ini.
Chiko berusaha tampil menarik dengan membolos dan ikut dalam
gerombolan temannya di tongkrongan sky ramp, arena skateboarding. Acara
membolosnya ini beralasan agar dapat menarik perhatian Siris, gadis yang
menjadi incarannya.
Ia
segera naik. Teman-temannya sudah menunggu di Sky Ramp, arena skateboarding
baru yang menjadi tempat tongkrongan mereka, jadi ia tidak mau ketinggalan
pamer aksi karena “si cantik-jutek-tapi cute” Siris juga ada di situ. (hlm.
55)
Bolos waktu itu ternyata sia-sia
karena pak Wido sebagai guru Chiko memergokinya. Chiko langsung menyambung
aksinya dengan langsung menaiki bus ketika gurunya tersebut memergokinya. Di
dalam bus, Chiko melihat gerak-gerik mencurigakan dari seorang penumpang.
Dengan gaya sok jagoannya, ia mengikuti kemana orang tersebut. Pada saat yang
dirasanya tepat, Chiko menjegal orang tersebut dan meneriakkan copet. Si
pencopet dapat kabur dari kejaran massa. Namun sepertinya Chiko tak dapat kabur
dari ancaman si pencopet.
Sehari setelah kejadin tersebut,
saat akan membolos lagi ternyata Chiko masih sama apesnya dengan kemarin. Pak
Wido telah memergokinya. Ia berlari menghindari dan tak disangka malh menabrak
pencopet kemarin yang saat itu ditemani oleh tiga orang temannya. Habislah
Chiko dipukuli, kalau saja Pak Wido tidak datang dan melawan pencopet dan
kawanannya itu. Aksi heroik Pak Wido dan bantingan Chiko karena jurus aikido
yang sempat dipelajarinya pada saudaranya, dapat membuat para pencopet lari
tunggang-langgang. Sesaat setelah kejadian seperti pamer aksi kepada
cewek-cewek sekolahnya yang lewat, Chiko membungkukkan tubuhnya dan seketika
mendapat timpukan dari belakang dari Pak Wido.
Chiko berusaha menceritakan apa yang
terjadi dan meminta agar diringankan hukumannya oleh Pak Wido saat Chiko
mendapat perawatan di UKS. Pada saat melakukan permintaan tersebut, ternyata
Pak Wido lebih malah melontarkan kata-kata yang lebih menggodanya.
“Saya terluka nih, terus siapa yang ngobatin, Pak?”
“Tuh, di UKS ada Bu Ratri dan Siris---”
“SIRIS?! Aduh, Pak, ternyata saya jadi sakit beneran. Skorsing
gak jadi, kan?
“Kamu
santai saja.” Pak Wido hanya tersenyum menyeringai penuh konspirasi.
“Skorsing-nya dimulai besok, kok.” (hlm 62)
3. Talisman
Alur dari cerita ini merupakan alur
campuran. Seira sebagai peran utama menceritakan bagimana persahabatannya
terjadi dan kemudian tiba-tiba saja hancur berantakan hanya karena gelang. Talisman
mengisahkan gaya persahabatan yang agak sedikit dibumbui dengan cerita
fantasi. Seira menemukan gelang tersebut yang hanya terdapat sebagian. Dengan
insiatifnya ia ke toko yang mendisplaykan potongan gelang yang
ditemukannya di taman Citrakala. Hal yang terjadi berikutnya ialah gelang yang
dibawanya tiba-tiba menyatu dan berkilau menyilaukan mata yang melihat. Seira lantas
terkejut dan berlari namun, si penjual memerintahkannya untuk mengambil gelang
tersebut dengan cuma-cuma.
Sebenarnya Seira tidak bermaksud
sama sekali untuk memberikan gelang tersebut pada Lilla. Namun Lilla sedikit
memaksanya. Dan pertengkaran mereka terjadilah di situ, saat malam nanti ialah
pesta yang diadakan keluarga Reza yang menjadi cowok taksiran Lilla.
Seira cemas, sempat terpikir untuk
mengambil gelang tersebut. Namun ide tersebut digagalkannya, dan ia hanya
mengirimi Lilla pesan untuk bertemu dan mengembalikannya. Lilla tak ingkar
untuk tidak datang saat itu. Ia datang, dan lebih awal dari Seira. Ternyata
pesawat yang akan ditumpanginya untuk ke Jerman, untuk meneruskan kehidupannya
di sana, penerbangannya dimajukan. Seira
sedikit menyesal di situ, sampai saat ini, ketika ia tahu Lilla sekarang berada
di Indonesia dan belum sempat menghubunginya.
Seira
Tokoh utama dalam kisah ini yang
kuat pendiriannya. Sebagai perempun yang belum begitu matang pada usianya,
dengan beban hidup yang tiba-tiba saja ditanggungnya karena perceraian orang
tuanya, membuat ia harus tepat dalam mengambil keputusan.
Seira
baru kembali tinggal di rumah Bunda dengan semangat dan harapan baru.
Perceraian orangtuanya beberapa bulan lalu membuatnya geram dan memilih untuk
tidak tinggal dengan kedua pelah pihak, melainkan bersama Nenek. (hlm 140)
Begitu teguh dan tak mudah putus
asannya ia, juga digambarkan dalam penggambaran tokoh oleh pengarang melalui
interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Mereka
bertemu tak lama kemudian dan makan es krim di sekitar Jalan Gereja
Theresia. akan memperlihatkan kejutannya
pada Lilla dengan satu syarat: setelah pesta di rumah Reza, Lilla harus
mengembalikan gelang tersebut karena
akan meletakkannya lagi di taman Chitrakala. (hlm 144)
Sebelum
menyerah dan pulang, mampir ke bench di
bawah pohon tempat mereka sering ngobrol. Ia ingin mengenang momen-momen yang
pernah dilewatinya bersama Lilla (hlm 145)
Lilla
Lilla bukanlah tokoh yang bersikap
paranoid seperti Seira tentang hal-hal yang bersifat mistis. Meskipun begitu,
ia juga tetap percaya akan mimpi yang menghampirinya pada saat tidur malamnya.
Mereka
bertemu tak lama kemudian dan makan es krim di sekitar Jalan Gereja
Theresia. akan memperlihatkan kejutannya
pada Lilla dengan satu syarat: setelah pesta di rumah Reza, Lilla harus
mengembalikan gelang tersebut karena
akan meletakkannya lagi di taman Chitrakala. (hlm 144)
Kontan
saja Lilla tertawa ngakak mendengar ini, dan lebih geli lagi melihat ekspresi
serius Seira , seakan-akan mereka akan kena kutukan kalau tidak melakukan itu.
(hlm 144)
Lilla
pun digambarkan sebagai gadis yang penuh semangat dan mudah berubah pikiran.
Pikiran yang mudah berubah tersebut dapat dilihat ketika Lilla sebenarnya tak
ingin mengembalikan gelang yang dipakainya, namun pada akhir cerita ia
mengembalikannya.
“ Seira aku bermimpi aneh. Katanya
yang menemukan gelang itu akan menjadi ksatria, dan yang mengembalikannya akan
menjadi putri. Hahaha, kamu tau kan aku selalu ingin menjadi putri! Maafkan aku
atas kata-kata kasar waktu itu, ya?
Maaf, sudah pergi tanpa pamit.. Flight-nya dimajukan jadi hari
ini. Sampai ketemu, Seira…suatu saat nanti!” (hlm 146)
Shuri
dan Kebaya
Menjadi sebuah keluarga namun tanpa ikatan keluarga bukan merupakan
hal sulit bagi Shuri. Shuri terbiasa dengan lingkungan yang mendidiknya untuk
menerima orang di sekitarnya. Tak hanya di sekolah, dengan anak-anak dari teman
orang tua keluarganya pun bahkan ia menganggapnya keluarga. Bahkan, Shuri lebih
merasa akrab dengan mereka, yang kemudian tergabing dalm komunitas Clark-Mason
daripada teman di sekolahnya.
Shuri meskipun hidup pada era
modern, ialah orang yang sangat kagum pada kebaya. Shuri masih sangat
menghargai kultur tersebut. Namun sayangnya, sebagian dari temannya yang
tergabung dalam komunitas Clark-Mason ada yang tidak setuju dan bertingkah
seakan meremehkan minat Shuri tersebut.
Kejadiannya ketika waktu itu kakak
Patty akan menyelenggarakan pesta pernikahan. Tentu Shuri senang karena akan
memakai kebaya, namun Patty sendiri sebagai adik dari yang punya acara tidak
suka dengan hal yang tradisional tersebut.
Sampai pada puncak acara Patty melakukan kudeta dengan tidak
memakai kebaya. Tingkah laku Patty tersebut sontak membuat orang tuanya marah,
terutama ibunya yang kemudian tidak mengizinkannya untuk menghadiri pesta
pernikahan kakaknya karena belum memakai kebaya. Shuri mengetahui perkara itu
dengan jelas. Dengan lapang dada, ia meminjamkan kebayanya yang dimodifikasi
agar dipakai oleh Patty ke pesta pernikahan kakaknya, sedangkan ia memakai
kebaya yang dibawa ibu temannya yang kebetulan kembali ke rumah.
Shuri
Citra perempuan Indonesia masih
tergambar kuat dalam diri Shuri. Ia bahkan senang sekali dengan kebaya ini. Dia
juga melakukan pembelaan ketika kebaya yang menjadi kebanggaannya
dijelek-jelekkan oleh orang lain.
Patty
memandangi saya. “Kamu dan Mbak Ayu sepemikiran, makanya bisa cocok ngobrol.
Mbak Ayu nggak terlalu suka lihat tren mode terbaru atau majalah fashion. Ia
bahkan lebih suka hiking daripada jalan-jalan di mal. Hari gini
lo, Shur….”
Saya
kurang suka nada Patty. “Tidak ada salahnya dengan pilihan itu, kan?” (hlm150)
Shuri menjadi sosok yang netral
dalam cerita ini namun tetap menjunjung nilai dan norma yang ada.
Perdebatan
kembali dilanjutkan oleh Patty, Gio, dan Aliyah, namun kini lawannya adalah
Ramya. Saya takjub sekaligus prihatin melihat ini; kita berdiri, hidup, dan
makan di tanah Indonesia, tapi malah malu dan mengingkari kebudayaan sendiri.
(hlm 151)
Pujian tak
disengaja dilontarkan oleh seorang tokoh laki-laki pada Shuri ketika terjadi
perdebatan di antara mereka. Yang mengakibatkan Shuri sedikit ge-er akan
hal itu.
Ramya
menyadari tatapan heran saya. “bukan maksudnya melecehkan. Tapi aku pribadi
suka kok melihat cewek pakai kebaya. Ketat. Cantik membentuk badan. Tidak ada
yang salah dengan itu.” Lalu ia nyengir dengan sorot mata yang nakal. “Makanya
nggak ada mbok jamu yangnggak seksi kan?” (hlm 151)
Patty
Kebalikan
dari Shuri, Patty merupakan tokoh yang tidak suka dengan hal-hal kolot seperti
kebaya. Ia selalu berpikiran modern, namun tidak sesuai konteks. Terbukti dalam
beberapa penjelasan secara langsung tentang tingkah laku Patty.
Menjelang pernikahan kakaknya, Patty
ngedumel mengenai berbagai hal: ya kainnya kuno-lah, ya kebayanya tidak fashionable-lah,
sampai pada sanggulnya yang dicela sebagai “sanggul ban bajaj” karena ukurannya
yang memang besar.(hlm 150)
Selain
itu, Patty merupakan orang yang suka memberontak. Terlebih apabila keinginannya
tidak diberi perhatian lebih oleh orang lain. Hal tersebut ditunjukkannya
dengan melakukan kudeta pada saat acara pernikahan kakaknya berlangsung.
Patty benar-benar meloloskan niat
nekatnya untuk tampil urban…pada tempat dan waktu yang salah. (hlm 152)
Kesimpulan
Kumpulan cerpen
Sitta Karina yang bergenre teenlit dengan pemberian nama-nama
tokoh dan judul yang unik ini, memberikan ide-ide baru pada karya sastra untuk
tidak selalu menggunakan hal-hal yang biasa saja. Eksplor terhadap suatu hal
memang perlu dilakukan untuk meberikan kesan yang segar dan beda dari yang
sudah ada. Alur cerita dari keempat cerpen sebagai contoh penganalisisan pun
juga unik, tak heran juga karena dari cerpen yang notabenenya hanya berupa
cerita singkat tersebut, nyatanya Sitta Karin mampu mengembangkan ide di
dalamnya hingga menjadi novel.
Ide-ide segar
dari Sitta Karina ini tergambar pula pada beberapa tokoh yang kebanyakan tokoh
perempuan. Namun dalam cerita “Satu Hari Berani”, ia memosisikan laki-laki
sebagai tokoh utama, dengan sedikit peran perempuan di dalamnya. Selain itu,
perempuan dalam cerita ini diposisikan pada sosok-sosok yang bekerja di balik
layar. Siris, yang ada dalam cerita tersebut namun tak begitu ditonjolkan
keberadaannya hanya sebagai pemikat bagi lelaki yang menyukai sosok perempuan
seperti Siris. Selain itu, Siris hanya diceritakan sebagai asisten di UKS yang
mana berarti urusan rawat-merawat masih menjadi urusan perempuan.
Menentang
kekerasan pada perempuan merupakan sikap feminisme yang diperlihatkan dalam
cerita “Tink-a-Bell”. Tokoh perempuan dalam cerita ini sangat menjunjung hak
atas perempuan dengan sikapnya yang tak menyukai saat tokoh laki-laki dalam
cerpen ini melakukan tindak kekerasan pada perempuan, yang mana meskipun
perempuan tersebut pun tak dikenalnya. Pada cerpen “Shuri dan Kebaya” isu
feminis dikemas sedikit berbeda. Isu feminis di sini terdeteksi dengan
perkataan yang bernada pelecehan terhadap perempuan, namun dikemas menjadi
sebuah pujian karena tokoh laki-laki dalam cerpen tersebut membela akan
argument tokoh utama perempuan.
Pada cerpen
“Talisman” tidak terdapat ide-ide feminis di dalamnya. Karena, dalam ceritanya
hanya diceritakan tentang persahabatan antar perempuan tanpa melibatkan tokoh
laki-laki yang menjadi pembanding, dalam hal ini sebagai tokoh yang maskulin.
Berdasarkan
dari empat cerpen yang diambil untuk dijadikan analisis, tiga dari empat cerpen
tersebut di dalamnya terdapat isu-isu feminisme. Sedangkan sisanya tidak
terdapat isu feminis. Oleh karena itu, Sitta Karina sebagai pengarang dari
kumpulan cerita pendek ini, sukses dalam pengolahan permasalahan masyarakat
pada waktu tertentu terutama di kalangan remaja, dan dengan isu feminisme yang
secara tidak langsung dimasukkan di dalamnya.
Daftar Pustaka
Bhasin, Kamla dan Khan, Nighan Said. 1995. Persoalan Pokok
Mengenai Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dewojati, Cahyaningrum. 2015. Sastra
Populer Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hollows, Joanne. 2000. Feminisme,
Feminitas, &Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Karina, Sitta. 2008. Satu Hari
Berani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu