Tugas UAS: Papua Tanah Damai
Papua
merupakan pulau terluas di Indonesia dengan berjuta kelimpahan kekayaan. Papua
dengan kelimpahan isi lautnya, hutannya, bahkan tanah emas dan pertambangannya
tak dapat membuatnya begitu saja mandiri sebagai sebuah provinsi. Kemegahan
perusahaan-perusahaan yang mengeruk kekayaan Papua tak sedikitpun membuat
masyarakatnya tumbuh menjadi masyarakat yang berkecukupan secara ekonomi dan
terjamin hak-haknya.
Dalam paper ini
saya akan membahas tentang peranan otonomi khusus pada kehidupan masyarakat
Papua. Melalui beberapa alur dari proses pembuatan RUU tentang otonomi khusus
di Papua hingga pengesahan otonomi khusus akan dipaparkan dalam paper ini,
termasuk beberapa peristiwa yang membuat pengesahan otonomi khusus Papua
bergerak maju mundur.
Pengertian dan Dasar Pembentukan
Otonomi Khusus Papua
Otonomi
khusus (otsus) untuk rakyat Papua kehadirannya tak bisa disamakan dengan
otonomi daerah (otoda) lainnya. Otsus bagi rakyat Papua memiliki pengertian
sebagai RUU (Rancangan Undang Undang) yang telah disahkan oleh presiden
Megawati Soekarnoputri pada tanggal 21 November 2001 berisi tentang pelaksanaan
dan pedoman tentang nilai-nilai dasar yang bersumber pada adat-istiadat rakyat
Papua, nasionalisme universal, penghormatan atas hak-hak azasi manusia, dan
penghormatan atas demokrasi.
Mengenai
nilai-nilai dasar yang tercakup dalam otsus disebutkan dalam sebuah buku
berjudul Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, yakni:
“ Ada tujuh
butir nilai-nilai dasar Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai dasar dimaksud
adalah: (1) perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua (2) demokrasi
dan kedewasaan berdemokrasi (3) penghargaan terhadap etika dan moral (4)
penghormatan atas hak-hak azasi manusia (5) supremasi hukum (6) pengharagaan
terhadap pluralisme (7) persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga
negara.”[1]
Berdasarkan
nilai-nilai dasar di atas harusnya kesejahteraan masyarakat Papua dapat
tercapai. “ Pada dasarnya kebijakan otonomi khusus dimaksudkan untuk memberikan
ruang dan otoritas yang lebih luas dan adil bagi pemerintah daerah dan
masyarakat Papua untuk mengelola wilayahnya sesuai dengan karakter dan keunikan
lokal.”[2]
Terdapat pengertian
lain tentang Otsus yang disajikan pada sebuah jurnal, yang memiliki inti makna
sama yakni, untuk kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Papua dan
kesejahteraan hidupnya, yang isinya adalah sebagai berikut:
“Otonomi Khusus
Provinsi Paupa diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Di dalam
Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa otonomi khusus adalah kewenangan khusus
yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Kewenangan khusus yang diatus dalam
undang-undang tersebut antara lain adalah kewenangan perekonomian, pendidikan
dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup,
dan sosial (Ramses M., 2009: 114-115) [sic]”.[3]
Isu dan Gejolak Sebelum Pembentukan
UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus
Papua
sebelum terbentuknya otonomi khusus maupun setelahnya masih tetap dalam keadaan
dimana masyarakatnya dituntut untuk selalu waspada, berhati-hati, dan bahkan
dihantui rasa takut sepanjang waktu. Artinya, kondisi Papua semacam ini yang
mengakibatkan masyarakatnya menginginkan untuk mendirikan negara merdeka
sendiri bebas dari cengkeraman NKRI.
Isu-isu
perpecahan, ketidakamanan, tindak kejahatan, gencatan senjata selalu
menyelimuti Papua pada tahun 2001 dalam pembentukan RUU tentang otonomi khusus
Papua. Isu-isu ini terkadang datang dengan tanpa henti yang kemudian menjadikan
rasa cemas dan takut berlarut pada masyarakat dalam gejolak tanah Papua.
“ Masyarakat di
Jayapura (Jayapura, Abepura, Sentani) mencemaskan isu adanya ‘drakula’ yang
muncul dalam rupa manusia dan telah menelan korban manusia.”[4]
Isu yang terjadi pada tanggal 7 November 2001 itu kemungkinan sengaja disebar
untuk menutupi isu yang lebih penting selama pengesahan RUU tentang otonomi
khusus dilakukan.
Selain isu-isu
yang menyebar, terjadi pula penyerangan-penyerangan yang kemudian mengakibatkan
korban tewas. Penyebab terjadinya penyerangan adalah kekecewaan kelompok
gerakan separatis kepada polisi yang menurunkan bendera Bintang Kejora sebagai
bentuk pemisahan diri dari NKRI. Kasus seperti ini memang menjadi sering
terdengar terutama pada tahun-tahun sebelum terealisasinya UU No. 21/2001 tentang
otsus.
Ganti rugi dari
perusahaan yang membangun dan membesarkan perusahaannya di tanah Papua agaknya
juga menjadi pelik pada masa itu. Perlu waktu beberapa bulan untuk memenangkan
kasus ganti rugi atas tanah ulayat. Seperti halnya yang dilakuakan pada tanggal
3 Juli 2001:
“ Tuntutan
ganti rugi atas tanah ulayat milik Suku Ongge di Kampung Harapan Sentani,
Jayapura, yang diminta oleh Henock Ohee dari pemerintah, akhirnya dinyatakan
menang oleh MA setelah terkatung-katung sekian tahun lamanya.” (Broek ofm van
den Theo P.A, dkk , 2003: 75).
Masih banyak
lagi permasalahan ganti rugi seperti contoh di atas. Bahkan, pada masa
sekarangpun rakyat Papua masih memperjuangkan hak ulayatnya atas penguasaan
perusahaan-perusahaan yang berdiri di tanah ulayat mereka. Peristiwa ini
menjadi penggambaran penting akan berjalannya Otsus di Papua.
Harapan Masyarakat, Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Pusat
Otonomi
khusus di Papua dalam bentuk yang sedemikian rupa hadir dalam masyarakat Papua
tidak semata-mata karena adanya tindakan diskriminasi terhadap hak-hak asli
penduduk Papua. Otonomi khusus juga merupakan jawaban pemerintah atas tindakan
beberapa rakyat Papua yang separatis, ingin memisahkan diri dari NKRI dengan
berdemo dan mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai simbol negara bentukan
mereka pada tahun 1998. Untuk
meredam masalah tersebutlah, pemerintah membentuk otonomi khusus. Dengan
beberapa pertimbangan nilai-nilai dasar yang ada di Papua. Selain itu,
kegagalan kebijakan pembangunan juga merupakan akar terbentuknya otonomi khusus
Papua menurut pejabat pemerintah pada saat itu.
Sebelum
pengesahan otonomi khusus Papua, tentu dibuatlah rancangan undang-undang (RUU)
sebagai kerangka pikir bagi undang-undang yang akan dipakai. Dalam prosesnya,
pemerintah pusat mengambil tindakan yang semena-mena sehingga ruang gerak
pemerintah daerah Papua menjadi sempit. Gerak yang sempit ini terlihat dari
aksi-aksi pemerintah pusat yang tidak mau mendengar aksi protes menantang
adanya konsep otonomi khusus. Yang mengakibatkan DPRD menerima dengan begitu
saja draft RUU otonomi khusus. Dengan diterimanya begitu saja hasil dari
pemerintah pusat juga memperlihatkan ketidakseriusan pada wakil rakyat Papua
menangani otonomi khusus.
Masyarakat
Papua mengharapkan dengan sangat perhatian pemerintah dengan memberikan
kewenangan khusus pada daerahnya, menjadikan mereka bagian yang terintegrasi
dengan NKRI tanpa dibedakan dengan masyarakat lain di luar mereka yang masih
dalam naungan NKRI. Dari sikap yang terdapat pada masyarakat Papua tersebut
kemudian muncul dua sikap yang mendukung dan yang pesimis. Mereka yang
mendukung dan bersikap optimis karena hadirnya otonomi khusus menyatakan
dukungan untuk keberlangsungan otonomi khusus karena isinya merupakan aspirasi
dari rakyat Papua sendiri. Sebaliknya sikap pesimis tentang otonomi khusus
adalah karena seolah-olah pemerintah hanya ingin mempertahankan keutuhan
wilayah daripada menyelesaikan masalah hak-hak ekonomi, sosial, kultural dan
politik masyarakat.
“ Selain itu,
rasa pesimisme juga muncul karena adanya kesadaran bahwa tawaran Otsus hanya
semata-mata hanya diberikan karena usaha mempertahankan wilayah, dan bukan
tawaran genuine untuk menyelesaikan beragam persoalan-persoalan tersebut
di atas.” ( Pokja Papua, 2006: 53)
Mantan presiden
Indonesia masa jabatan 2004-2009 yang terpilih secara demokratis pada saat itu,
Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) pernah mengatakan dalam sebuah pidatonya, “pilar
utama dalam menyelesaikan persoalan di Papua secara menyeluruh, mendasar, dan
bermartabat adalah dengan melaksanakan UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua secara utuh dan konsekuen.”[5]
Secara umum apa
yang dikatakan mantan presiden Republik Indonesia ini adalah rasa tanggung
jawab yang besar karena pada periode pemerintahannyalah otonomi khusus menjadi
perhatian dunia internasional. Pemerintahan SBY-JK juga meyakini dengan adanya
otonomi khusus ini akan mempengaruhi pembangunan nasional. Oleh karenanya
pilihan bagi pemerintahannya pada saat itu adalah melaksanakan dengan baik apa
yang telah diwariskan dari pemerintahan sebelumnya.
Keberlangsungan Otonomi Khusus
Seberapa banyak pencapaian yang gemilang dalam
pelaksanaan otonomi khusus di Papua sepertinya tidak banyak mendekati
harapan-harapan yang banyak digembar-gemborkan pemerintah baik pusat maupun
daerah Papua sendiri. Masyarakat Papua asli masih banyak yang terancam untuk
hidup di tanahnya sendiri, tidak tercukupi kebutuhannya meskipun dengan
kelimpahan hasil alam di tanahnya dan mereka masih dalam belenggu diskriminasi
atas hak-hak asasi manusia yang direnggut oleh kaum-kaum tak bertanggung jawab.
“ Demi mengejar ketertinggalan masyarakat pribumi Papua
tersebut, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus dan kini
telah berjalan 14 tahun.”[6]
Ketertinggalan
di sini adalah dalam hal pembangunan ekonomi pada masyarakat Papua yang besar
kaitannya dengan pembangunan nasional. Lalu, bagaimana proses yang terjadi
selama pelaksanaan Otsus yang telah mencapai 14 tahun ini? Adakah perubahan
penting dalam pelaksanaannya? Jawaban atas pertanyaan tersebut belum terlalu
terlihat sama seperti ekspektasi masyarakat Papua yang pesimis akan jalannya
Otsus beberapa tahun lalu.
Orientasi
Otsus yang paling dasar adalah peningkatan perekonomian rakyat. Seperti yang
dikatakan mantan Gubernur Provinsi Irian Jaya, J.P Solossa:
“ Misalnya saja
dikatakan bahwa inti dari draft baru itu adalah tuntutan yang lebih
besar terhadap pembagian pendapatan ekonomi untuk daerah, yakni sekitar 70%
atau 80% dari hasil eksploitasi sumber daya alam”.[7]
Sudah barang
tentu masyarakat Papua asli sesuai nilai dasariah Otsus, menuntut keadilan akan
kehadirannya di kancah pasar. Realita bahwa mereka terjajah kembali dengan
banyaknya perusahaan asing bermunculan di tanah ulayat mereka tanpa
memperhitungkan keberadaan mereka dan sikap tidak peduli pemerintah pada
masyarakat Papua asli yang bahkan tak punya daya untuk berjualan di pasar yang
mereka bangun namun dengan penguasaan masyarakat migran. Cap sebagai masyarakat
yang konsumtif bagi masyarakat Papua asli ini tentu beralasan seperti apa yang
dapat kita lihat di atas yakni karena kurangnya produktivitas dalam sektor
ekonomi yang disebabkan kurangnya perhatian pemerintah.
Selain itu,
yang membuat masyarakat jengkel akan gejolak yang tak kunjung redam adalah
dengan masih banyaknya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam masa
keberlangsungan Otsus yang dilakukan pemerintah. Dana-dana yang seharusnya
digunakan untuk mengembangkan sektor-sektor penting di Papua jatuh ke tangan
pejabat dan aparatur negara yang tak bertanggung jawab sehingga membuat
tersendatnya pelaksanaan Otsus yang bermartabat. Kasus-kasus KKN yang telah
diketahui khalayak banyak ini nyatanya juga tak pernah diselami secara hukum
yang berlaku dan dibiarkan terbengkalai begitu saja.
“Ada kesadaran
bahwa pendekatan sosial budaya adalah penting untuk membuka pintu bagi
pekerjaan membangun ekonomi rakyat, akan tetapi sulit dibuat.” (Apomfires,
Frans, 2003 : 83).[8]
Sikap
pesimistis tentu masih hinggap pada banyak masyarakat Indonesia pada umumnya
dan masyarakat Papua pada khususnya mengenai terwujudnya pelaksanaan Otsus
Papua yang bermartabat. Melalui pendekatan kepada masyarakat secara sosial dan
budaya melalui penuntasan penyosialisasian tentang sumber daya manusia yang
harus terkait dalam kasus ini akan nyata hasilnya apabila disikapi baik oleh
masyarakat maupun pemerintah.
“ Oleh karena itu, untuk mengubah dari pola hidup dari
konsumtif ke produktif ialah memberi perhatian pada sumber daya manusia dengan
cara memberdayakan manusianya. Hal ini dikatakan demikian karena masyarakat
setempat memiliki sumber daya alam dan pemerintah berperan mengelolah anggaran
Otsus, sehingga persoalan hanyalah sumber daya manusia.”[sic][9]
Kerja
sama yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua, masyarakat
nasional dan masyarakat Papua dalam memperbaiki jalannya Otsus yang bermartabat
merupakan aksi yang penting dilakukan. Masyarakat Indonesia secara keseluruhan
diharapkan dapat menjadi bagian penting dan terlibat aktif dalam pelurusan
konflik, gejolak dan masalah-masalah yang timbul di Papua dengan sadar bahwa
Papua adalah bagian dari NKRI. Oleh karenanya, sebagai warga negara Indonesia
dengan berteguh bersatu padu membangun, mengembalikan dan tanpa diskriminasi
dengan kesadaran penuh ikut serta dalam peran memberdayakan manusia. Dengan
langkah tersebut bukan tidak mungkin mewujudkan Papua tanah damai.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Broek
ofm, van den Theo, dkk. 2003. MEMORIA PASSIONIS DI PAPUA Kondisi
Sosial-Politik dan Hak Asasi Manusia 2001. Jakarta: LSPP.
Djojosoekarto,
Agung. 2008. Kinerja Otonomi Khusus Papua. Jakarta : Kemitraan.
Pokja
Papua. 2006. Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua
Terus Bergolak?. Jakarta: Sentralisme Production.
Sumule,
Agus (ed.). MENCARI JALAN TENGAH OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal
Apomfires,
Frans 2003, Antropologi Papua, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003.. Pembangunan Ekonomi Rakyat: Sebuah
Pemikiran Akademis, Papua.
Wulandari,
Sinta dan Eko Budi Sulistio 2013, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013.
Administratio, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, OTONOMI
KHUSUS DAN DINAMIKA PEREKONOMIAN DI PAPUA, Jakarta .
Berita
Online
Marko Pekei, Oktovianus. Diunggah pada Jum'at, 24 April 2015 pukul 14:32. Ekonomi Masyarakat
Pribumi Papua. http://majalahselangkah.com/content/ekonomi-masyarakat-pribumi-papua. Diakses pada Minggu,
28 Juni 2015 pukul 10:34
[3] Administratio, Jurnal
Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013.
Wulandari, Sinta dan Eko Budi Sulistio. Otonomi Khusus Dan Dinamika
Perekonomian Di Papua. Hal 81.
[4]Theo van den Broek ofm, dkk.
2003. MEMORIA PASSIONIS DI PAPUA Kondisi Sosial-Politik dan Hak Asasi
Manusia 2001. Hal 125.
[6] Lihat, Oktovianus
Marko Pekei. Diunggah pada Jum'at, 24 April 2015 pukul 14:32. http://majalahselangkah.com/content/ekonomi-masyarakat-pribumi-papua. Diakses pada Minggu 28 Juni
2015 pukul 10:34.
[7] Lihat, Theo van den Broek ofm,
dkk. 2003. MEMORIA PASSIONIS DI PAPUA Kondisi Sosial-Politik dan Hak Asasi
Manusia 2001. Hal. 171.
[8] Lihat, Antropologi Papua, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003. Hal 81-113.
[9] Oktovianus Marko Pekei. Diunggah pada
Jum'at, 24 April 2015 pukul 14:32. http://majalahselangkah.com/content/ekonomi-masyarakat-pribumi-papua. Diakses pada Minggu 28 Juni
2015 pukul 10:34.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu