Esai: Etnoekologi

Bukan hal baru bagi mahasiswa antropologi mengatakan, membicarakan, tukar pendapat, bahkan berdebat tentang etnografi. Ya, tulisan hasil karya antropolog yang satu ini merupakan bukti keeksisan dari antropologi sendiri. Sebelumnya ingin kutulis beberapa hal mengenai antropologi. Tapi kalau sempat biar di judul yang lain saja selain ini. 

Menuliskan apa yang diobservasi dengan teliti dan mendalam merupakan kebahagian dari kami, calon-calon antropolog yang ingin berbagi  (aku saja mungkin yak berpikir seperti ini hahaha). Kebiasaan menulis yang ditanamkan para pembimbing dan panutan kami di antropologi selalu membuka cara pandang baru mengenai dunia di sekitarku atau yang jauh di sana yang bahkan membayangkan untuk kurengkuh pun tak mampu. Salah satu yang paling mencengangkan bagiku ialah mengenai kearifan lokal suatu daerah atau etnis.

Kearifan lokal dapat diartikan sebagai bentuk pemahaman atau pengetahuan dari suatu masyarakat terhadap cara mereka menghadapi sistem yang berlaku di masyarakat, dan digunakan oleh masyarakat tersebut untuk berperilaku. Kearifan lokal yang begitu mengagumkan (pada dasarnya tidak ada ilmu yang rendah atau tinggi) dan terwujud dengan ilmu tentang lingkungan ialah etnoekologi. Etnoekologi sendiri membawahi beberapa ilmu terapan yakni etnobotani dan etnozoologi. Contoh sederhananya (sesuai dengan yang aku dapat saat mata kuliah ini), bahwa di dalam ilmu pengetahuan kita memang mengenal botani sebagai ilmu yang mengklasifikasikan berbagai varietas dari tanaman. Tentu, pada tataran ilmu ini terwujud kesistematisan atas nama dan klasifikasi mengenai tanaman tersebut. Etnobotani sedikit berbeda dengan hal tersebut. Ilmu yang dimiliki suatu masyarakat mengenai pengetahuan atau pemahaman mereka tentang klasifikasi tumbuhan akan lebih sangat beragam daripada botani/biologi. Misalnya saja, di masyarakat Papua mengenal berbagai macam nama umbi-umbian yang bagi biologi umbi tersebut diklasifikasikan menjadi satu dalam kategori umbi.  

Kearifan lokal lain yang tak pernah kita duga ialah orang-orang di daerah bantaran sungai bengawan Solo yang menggunakan rumah panggung untuk berjaga-jaga ketika banjir datang menghampiri rumah dan lingkungan mereka. Ketidaksertaan masyarakat daerah tersebut membuat rumah mereka menjadi rumah modern yang berdinding batu bata bukan berarti mereka ialah orang-orang yang kolot. Sebab, dengan arsitektur rumah yang seperti itu banjir yang datang tiap tahun dapat meminimalisir kerugian pada rumah tangga mereka. Tak hanya itu, dengan beralihnya burung-burung 3-7 hari sebelum banjir terjadi, menjadikan orang-orang di daerah bantaran sungai bengawan Solo sebagai ilmu 'titen' pertanda bahwa banjir akan segera datang. 

Lingkungan tempat tinggal dan masyarakat memang terkadang tak dapat dipisahkan begitu saja, sehingga bagi sebagian masyarakat yang telah merasa memiliki lingkungan tersebut terdapat jiwa dan perasaan yang bersatu. Kesalahan pemerintah akan pengecualian mereka dalam upaya menyeragamkan masyarakat dalam bentuk bangsa nyatanya masih sering terlihat dengan tindakan yang tidak wajar dan tidak melindungi kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakatnya. Bentuk refleksi pemerintah menghadapi masyarakat lagi-lagi harus dipisahkan oleh dinding yang tidak terlihat seperti ini, mengharuskan ahli turun tangan dan terkadang dengan sembrono tawaran ahli tak dikaji ulang. Etnoekologi harusnya mampu dan tak mungkin kalah bersaing dengan negara asing dalam memajukan bangsa ini, sebab ilmu ini lebih kaya dan jauh dari miskin sama seperti perspektif yang kemudian salah kaprah hingga saat ini. 

2016

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��