Transportasi Umum (Part 1)

Kalau dikatakan banyak, ya memang banyak macam dari moda transportasi yang dapat ditemui di Indonesia baik darat, udara, dan laut. Sebut saja yang beroda dua seperti motor dan sepeda, beroda tiga seperti bajaj, becak, atau mobil angkut barang yang sekarang sedang ngetrend (sebut saja semacam Viar, Tossa, dam merk-merk lain), kemudian mobil dan kawanannya yang beroda empat dengan berbagai macam jenis, dan merk dagang pula. Tak lupa rupa-rupa bus dan truk pengangkut.
Sayang, hari ini kita tak akan memperdalam tentang bagaimana muasal transportasi datang ke Indonesia atau sejenisnya. Hanya saja, saat ini  mood sedang ingin menyoroti transportasi umum di Indonesia.Ya, macam kereta api, mobil-mobil berplat kuning termasuk bus.
Seing kita menyebutnya sebagai ‘angkutan’ yang saat ini akan dibahas ialah angkutan desa. Ah, sungguh malang nasibnya. Lho, kok bisa? Ya, bisa  sebab diakui iya atau tidak masyarakat Indonesia berbondong-bondong memiliki kendaraan pribadi, minimal sepeda motor untuk berkendara baik jarak dekat atau jarak jauh. Keberadaan kendaraan pribadi yang tak dapat disoroti keluarannya oleh pemerintah ini seiring perkembangan zaman, isi kantong, keberanian, dan fakta yang paling mendasar karena kebutuhan boleh dibilang meminimalisir jumlah penumpang angkutan-angkutan umum terlebih seperti angkutan desa yang membawa orang-orang dari desa ke kota. Coba sekarang kita refleksi diri kita sendiri. Ehm.. di keluargaku misalnya. Aku pribadi merasa memang menggunakan sepeda motor untuk pergi ke kota lebih memudahkan daripada harus naik kendaraan umum. Ah ya di tempatku, untuk angkutan desa biasa kami sebut dengan ‘mobil kol’ sebenarnya kata aslinya ialah ‘colt’ namun karena lidah jawa ya…….. (mau dikatakan apalagi kita tak akan pernah satu azzz jadi baper) :D  Mobil kol di tempatku identik dengan warna hijau, lemot, dan lemotnya minta ampun (apaan sih?) Hmm ya gini, dimulai sejak kecil aku sebenarnya sudah terbiasa menggunakan transportasi umum di samping karena memang keluarga kecilku tak sanggup membawa mobil kami yang masih ada di dealer (ngayal :P) hehehe, itu karena juga aku dibiasakan mandiri untuk pergi kemana-mana. Aku lebih sering menggunakan transportasi umum saat  SMP, meski waktu SD juga pergi ke sanggar menggunakannya. Kemudian saat SMA aku hanya menggunakannya hingga kelas 10 saja. Pasalnya, aku membawa motor sendiri untuk pergi ke SMA yang jaraknya cukup jauh dari rumah (tapi jangan dibayangkan juga rumahku sangat jauh dengan pusat kota dan harus melewati banyak jembatan yang menyeramkan untuk ke sana). Nah, alasan yang tepat bukan mengganti alat transportasi umum ke pribadi saat itu? Hmmm iya atau tidak sebenarnya keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan. Untuk pergi ke sekolah menggunakan transportasi umum aku harus dua kali berpindah angkutan. Dari angkutan desa ke angkutan kota dengan hal yang paling menyebalkan ialah menunggu kedatangan angkutan-angkutan tersebut. Harusnya memang mereka yang menjemput tapi saat dimana aku harus menunggu aku seperti menjemput mereka. Hmmm kalian tahu maksudku? Jadi gini, sebelum masuk SMA memang masih banyak teman-temanku yang juga bernasib sama sepertiku menggunakan angkutan, Namun lama-lama terkikis juga dan sedihnya, mereka membawa motor sendiri-sendiri (kok sedih?). Merosot tajamnya jumlah penumpang karena alasan lebih memilih transportasi pribadi ialah hal yang disedihkan bagiku saat menunggu (artinya supir akan lama ngetime – nunggu angkutan penuh penumpang biasanya hingga sepuluh orang) dan sedih bagi pak supir karena uang yang diterimanya turun. Padahal kalau kalian juga tahu faktanya, sebagian supir masih meminjam mobil yang mereka dijadikan mobil umum sehingga juga harus setiap hari memberikan sebagian uangnya untuk si pemilik mobil, perawatan mobil, dan menafkahi. Duh… nah pada saat itu aku merasa lebih senang menggunakan transportasi umum hitung-hitung buat nambah penghasilan mereka meski aku yang berseragam sekolah dikenakan potongan apabila naik angkutan. Mungkin, kalau dilihat secara umum tidak hanya ol sebagai angkutan desa di daerahku, sepertinya transportasi umum dan supir transportasi umum rata-rata memiliki beban hidup yang sama.
Kalau kita coba melihat transportasi umum antar kota dalam provinsi atau antar kota antar provinsi seperti bus keadaannya akan sedikit berbeda. Masyarakat kita, termasuk saya ialah orang-orang yang sederhana dan biasanya akan banyak berpikir ulang untuk membuang uang. Misalnya saja dalam pemilihan transportasi. Secara patas dan ekonomi padabus memiliki fasilitas yang berbeda, tentu. Namun, mereka akan menyampaikan kita pada tujuan yang sama. Jadi saya akan lebih memilh kelas ekonomi untuk melakukan perjalanan meski aku tahu bahwa naik patas akan lebih cepat sampai dan nyaman. Lalu, apakah kelas ekonomi tak memiliki kenyamanan yang sama di kelas patas? Ya, tentu tidak! Saya akui, meski patas haruslah cepat sampai namun supir dari bus-bus tersebut terlihat lebih tidak sembrono. Berbeda dengan kelas ekonomi dengan supirnya yang serakah dengan penumpang (sudah penuh disesakin), yang tak dapat menahan amarahnya, atau sembrono untuk mengemudi. Duhhh!!! Ini potret Indonesia. Saya kecewa? Yah gimana? Sebenarnya tidak juga tapi mungkin aka nada waktu yang baik untuk membenahi kekurangan-kekurangan yang terjadi. Chaaa dilanjut di part selanjutnya tschusss  Run with EXO! EXORUN dulu hehe     



Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��