Menghabiskan Malam Di Hadapan Semesta dan Di Antara Pengampunan Tuhan

Resah yang terjadi tak tahu-menahu aku larasnya pelog atau slendro. Sedang gegap-gempita fajar tadi tetap titip pesan dari semalam: aku terbebas dan tetap membubuhkan kerinduan. Meski asap rokok masih juga jadi kawan yang mau tak mau kubenci, kulihat diriku sendiri di cermin. Seluruhnya mengunci, menutup rapat diri, berhati-hati. 

Bisa dihitung jari 
Eh aku belum pernah sempet ikut Aziz mancing
Sekarang lagi pengin banget ngobrol sama Aufa :") 
Bahkan yang sedekat jarak dengan Dani atau Mas Ferdy aja ga bisa ketemu, sudah satu tempat sama Silvi tapi ya gitu Tuhan selalu berkata lain. 

Dalane yo dalane yo rek... huhu semangat wis!!! 

Kudu banget lepas sepatu proyek yang gedembul tapi emang kudu dipake kalo ngukur jalan  : perjalanan pulang dari opname adalah hal yang paling aku nantikan. Ikut geru sama warlok contohnya, hihi sebentar lagi, sebentar aku akan ke sana lagi. 

Jasjus wei kangen


Pap dong! 
Hier~~ 

Oh ini mas-masnya 😄



Majelis yang duduk rapi tiap kali aku ajak diskusi sedang menertawakan omonganku. Jelas tidak percaya mereka karena aku yang sedang menjelaskan. Benar, akan berbeda kalau yang menjelaskan adalah kenang jerapah bentuk sapi tapi sedikit dugong. Bahkan biasanya aku ikut bengong mendengarkan papar tawan yang ia suguhkan. Sampai sangking hanyutnya aku ikut menitikkan air mata kala tiada kesempatan dalam peluangnya. 

Di akhir hari, di luar majelis ia selalu menanyakan: belajar apa hari ini, apa yang patut disyukuri? Dan menjauhkanku dari buah bibir yang tak pernah mau kudengar setelahnya juga ia menghanyutkanku pada doa-doa malam. Sembahyang meminta ampun pada yang Maha di antara kami. 

Iya iya emang buljangnannnn. You told me, Fa

Pertama memang lupa, kedua : ya sudah dijalani saja 



-----------
" aku ngaji malam, sekarang jilid 4 diajarin sama Bunda di rumah," kata gadis kecil 8 tahun itu. Aku tertampar. Membaca quran aku memang bisa, tapi aku tak pernah membayangkan ini sebelumnya. 

Setelah percakapan itu, aku jelas overthinking : " Bagaimana aku siap buat menjadi Bunda seperti yang gadis 8 tahun itu katakan?" Pertanyaan paling dasarnya adalah mengapa aku harus setidaknya bisa mengajari anak sendiri membaca al-quran? - Ini juga seperti menjawab pertanyaan mengapa wanita sekolah tinggi-tinggi toh nanti jadi ibu rumah tangga?.

Jawabannya pun kugali terus-menerus  sampai saat ini. Aku jadi paham jadi ibu berpendidikan dan berpengetahuan itu menghemat banyak pengeluaran yang tidak perlu seperti memasukkan anak ke TPQ yang mana juga butuh uang buat bayar SPP dan biaya lain-lain, include uang jajan tiap berangkat ngaji. Eits tapi dalam tanda kutip. Kalau ibu tersebut memang mampu dan handal. Kalau tidak pun, sah-sah saja memasukkan atau pergi ke ahlinya untuk mendapatkan ilmunya. 
Sama nih, jadi ibu pengertian dengan beragam ilmu yang didapat itu menghemat biaya les bagi anaknya. Yah, zaman sekarang apa-apa les, kan? Seperti anganku pada suatu hari nanti, anakku gak perlu les nari. Biar aku yang ajari. (kalau aku sempat ketemu anakku) atau gak perlu guru privat bahasa, aku akan berusaha lebih giat darinya untuk bisa mengajarinya. Cuma kalau matematika, fisika, dan kimia karena aku gak bisa aku mohon punya pendamping hidup yang handal ketiganya. Biar gak keluar biaya les buat anak. Hahaha... 
Jadi ibu rumah tangga yang berpendidikan itu di mataku pekerjaan keren. Cerita lainnya, akan kuperbarui jika sudah menemukan gagasannya. 

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��