Berkasih: Jangan Minta Lebih

Ada lagi hari yang membuat proses mendewasakan diri jadi lebih ringan dilalui. Merupa tanya yang jawabnya tak perlu lagi dipikirkan terlalu dalam. Membuat ragu jadi lagu pengiring di altar. Aku tak kehabisan nafas, tapi ia yang kehabisan aku. 

Pada "gua" yang kudengar tanpa sengaja malam kemarin masih membuatku merinding. Seperti halnya harus menemukan solusi terbaik dari tiap masalah dengan menganalisisnya, aku jadi membuat kesempatan berpikir yang mengarah pada kausalitas bukan sekadar korelasi. Aku juga cuma bisa mengutarakan setuju pada tiap-tiap air mata tanpa sebab yang telah turun saat-saat ini: saat hidup jadi krisis. 

------

Meski belum juga rampung, aku tidak merasa apa yang kudengar adalah hal yang rumpang. Aku mencintaimu, selain aku mencintaiku, dan Tuhan yang kupercaya. Sampai detik tulisan ini kutulis, sampai cita yang dulu sempat diperdengarkan. Bayanganku padamu adalah rumah kuno yang pernah kutinggali. Selain itu, kamu adalah rumah itu sendiri. Meski terkadang tak nyaman karena sering kali bocor, tapi masih ada sekat yang mengusahakan peduli pada diri sendiri di rumah itu. Kamu, kamu. Aku, aku. 

Aku mengisak sepanjang setengah percakapan. Memuat ulang semua hal terus-menerus. Meski kewalahan, aku tetap tak bergeming. Berusaha sebaik mungkin menahan di hadapanmu yang kutahu juga telah mengalami hal-hal berat sepanjang hidup. Doa adalah penyemangat, quran selagi sempat adalah rahasia yang selalu aku lakukan - menggali setiap hal yang mungkin nanti kulalui pun. 

------
Aku tahu ini bukan laut Kepulauan Seribu yang pernah ia singgahi. Aku cuma ingin berbagi tahu padanya, pada suatu hari kalau aku ke suatu tempat yang asing lagi. 

Kita belum sempat ke pantai. 
Sudah dua tahun sejak ingin berlibur bersama, bukan? Kalimantan terlalu jauh, Blitar telah terkunci, Jogja bahkan tak tahu lagi sedang menginjak musim yang mana. :')


Rumah yang jadi saksi ia mengepel karena bocor. Ia yang sulit sekali kuraih buat sekali lagi terbuka dan tak kembali ke guanya. 

Maaf, tolong, dan terima kasih adalah tiga kata magis yang ia ajarkan padaku seiring aku mengenalnya lebih jauh. Tapi tahukah ia bahkan aku merasa tidak bisa lagi menyebutkan tiga kata itu? Lidahku kelu, pikiranku buntu. Aku masih terlalu baik bagi orang lain yang membuatnya jenuh memarahiku. Padahal marahnya adalah sesuatu yang kutunggu. Sayang, ia tak lagi begitu. Aku menerima sembilu tapi tak mengerti alasan pisau itu menusuk. 

Aku jadi paham, ia pernah masuk ke rumahmu. 


Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��