Cerpen: Mungkin Besok adalah Hari Terakhir yang Ia Bicarakan

Kamu melihat semesta menghampiri segenap hiruk-pikuk di kepalamu. Membelai setiap unsur yang menyatu berbelit, jadi barisan rapi yang tak mau lagi kamu salah arti. Kamu tahu, besok adalah hari terakhir. Kamu tahu besok adalah waktu buatmu mengucap selamat tinggal buat aroma yang mestinya kamu rindukan. Kamu telah dikuatkan semesta, menanggung terima yang seharusnya. 

Ia mengenakan kaos kaki pemberianmu besok. Harusnya kamu bahagia, bukan? Ia masih terus mengenakan properti yang kamu beri ketulusan padanya. Ia bahkan mengabari itu sebelum benda itu dikenakannya besok. Sebelum ini, bahagiamu sebatas itu, bukan? Lalu kenapa sekarang kamu jadi murung tak berambisi? Apa sudah hilang arti?.

Setelah mendengar dengan seksama dan memaknai dengan cukup baik, kamu bergegas ke lemari kecil warna biru yang khusus menyimpan kenang tentangnya. Kamu mengambil buku dengan sampul bertuliskan '2018'. Memastikan betul besok adalah hari yang juga kamu ingat sebagai hari yang ia bilang, " Dua tahun lagi ya!". Benar saja itu adalah kesimpulan bukan lagi hipotesis bahkan praduga. 

Pesan-pesan suara yang habis kau dengar di hari sebelum besok, tak kau balas buatnya sama sekali. Kata 'kita' antara kamu dan dia tak lagi tertolong oleh waktu. Tak lagi, meski di kehidupan ke depan ada yang lebih baik. 

Tubuhmu telah sangat mampu tak kram dan dingin total besok, meski hujan tentu menyatu dengan bulan dan bintang yang penuh gelisah. Kamu sudah melakukan banyak persiapan. Air matamu bahkan sudah habis semalam. Dua tahun penantian itu tak berujung pada van yang mungkin besok harusnya kalian sewa. Dua tahun penantian itu terganti dengan kain kafan dan nisan. 

Tapi hari ini belum selesai hingga disebut besok. Besok masih mungkin adalah 'janji waktu itu', masih mungkin juga 'dia akan menghilang dengan kabar selamanya'. Kamu menunggu besok terjadi meski tahu yang sebetulnya akan terjadi. 

--------

NB: 

Sebetulnya kamu kemana? (uh.... memulai menanyakan ini lagi layaknya tak berguna). Hak prioritasku jadi #99 bersamaan orang-orang yang mau tahu saja tanpa mengerti. Tapi bukankah aku mengerti dan berusaha memahami dan tak "hanya" ingin tahu di matamu?.

Aku benci harus mengulang-ulang itu. Aku benci bahkan harus mengirimimu surat tapi tak tersampaikan. Kamu kenapa, dimana? I'm so frustated now to looking for you. Apa cara satu-satunya adalah bertemu? Tidak! Ibu pasti kaget dengan kedatangan dan gelisah tentangmu yang nanti kubagi dengannya (aku tak lagi mau terlalu jauh kayak aku kehilangan orang lain yang kamu pun pahami, waktu itu). 

Please, ini sudah Januari mau sampai kapan kamu begini? Katamu mau menolong seorang teman, tapi kenapa kamu seperti yang seharusnya kutolong lebih dulu? Tapi kamu dimana? Aku sedih memikirkan ini. Terus terang. 

Tapi terangnya belum sampai padamu. Kamu hanya terus tanpa terang, sedangkan aku semakin benci dengan keadaan ini. Sampai mengumpatpun tak mampu ku lontarkan karena kamu di mataku terlalu baik untuk diberi serapah!.

Kamu harus ingat. Aku masih memiliki dua telinga yang masih sanggup mendengar, dan aku masih mau menemanimu memejamkan mata untuk merasakan trotoar yang kamu lewati selama jogging. :'( Aku menunggu rekomendasi-rekomendasimu. 

Aku rindu. Tapi kamu dimana? -af 

(ternyata bukan hanya aku yang tertimbun), (tapi apa ini cara terbaiknya?), (kamu jjang orang lain yang bilang kebalikannya kurang bercermin aja). 

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��