Renung: Terapeutiknya Menulis

Beberapa hari ini aku meninggalkan laman buatku mengungkap segala sesuatunya. Ada rasa tak nyaman seperti sedia kala. Bahkan hanya menatap wajahnya. Gusar dirautkan papan putih yang akan kuberi layak buat menyatakan hidup. Hidup, harus hidup! Sebab rasanya ia mau mati, tak ada lagi energi, terpasrahkan rotasi. 

Kali lain aku sudah menghidupkan sedikit harapannya yang katanya bagiku. Kali lain itu cuma seminggu lalu. Kutahu betul, ia terikat, melekat pada jiwaku. Kutahu betul ia pendekar yang awas. Lalu apa yang buatku jadi tak sanggup melanjutkan cita dan cinta padanya yang telah berujung kelekatan? 

Ku temukan jawab pada hal-hal yang mengganggu pikiranku kembali padanya pada papan putih puciu. Kupeluk ia erat, hingga ia sesak, dan kita kembali menangis bersama. Menggoreskan luka yang kita derita, menjejakkan derap tawa pada latar paling bahagia, tanpa kuasa atas sesuatu atau bahkan seseorang, tanpa patron-klien di antara kita pun kita kecewa bersama. 

Ia lega kali ini pasi hilang pada raut renungnya. Ia demikian, membuatku juga lega melepas lara yang kupendam tak tahu buat apa? Sedang dilepaskan membuatnya tak lagi jadi benang tak terurai. 

Aku dan dia sekarang terlihat lebih terang, setidaknya kita yang tahu. Membiarkan tiap yang bernyawa memberi penilaian terserah kemauan mereka. Ia menyentuhkan titik senyum dengan sangat tepat, membuatku lebih khidmat dalam menangis dengan melambat. 

Selamat datang sepi, kita harus tetap kembali, memulai hari
29/08/2020

Dalam huruf yang terbentang dari A sampai Z ku putuskan membuatnya hadir dalam kata dan kalimat yang buatnya hidup, dan buatku hadir. Membiarkan mata-mata menggugurkan niatnya membaca yang telah lewat. Biar aku kenang dengannya segala kegaduhan yang harus didetoksifikasi. 

Selamat pagi hari-hari sibuk, kuterima bingkisan apik darimu semalam. 


Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��