Berkasih: Ciuman yang Menyelamatkanku dari Epilog yang Kejam

Duduk diam memerhatikan adalah aksi yang suka-duka-senang ku lakukan. Aku bisa menatap wajahmu lamat dan lama kemudian pada waktu tertentu memainkan mimik mukamu lagi kalau rindu tak sempat bertemu. Ada kalanya siang kau hentakkan aneka ragam gelisah yang bisa kuredam dalam celotehku yang katamu bisa memberi kehangatan. 

Saat asyik berkelakar, aku tak tahu epilog sudah kuujar. Duarr! Kamu kaget seperti pertama mendengar, padahal memang iya baru kali itu kuucap-ragakan. Detik setelah petisi itu hadir kamu bilang 'kucium kamu, kalau lagi-lagi peka dalam mengambil kesimpulan'. Sejak itu, aku bertahan tidak memperlihatkan keanggunanku dalam tiap dialog yang berarti antara kita. Pada dewasa ini aku sadar dalam cium itu terkandung pengampunan. 

Daun berserakan, seperti itulah latar kafe yang kamu sedang bangun dalam taraf kesadaran. Sedang ciuman itu sebetulnya takut dihadirkan dalam masa ribut maupun tenang. Kita menjalani dengan 'ya sudah'.  

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��