Refleksi: Pertemuan Singkat, Percakapan Singkat, hingga Tidak Hadir Berat

Aku kembali mengayuh sepeda kampus, sambil berpikir apa yang akan kulakukan setelah membawa berat buku-buku yang kupinjam dari perpus pusat. Volume musik dari telepon genggam yang sengaja kucolok dengan kabel earphone kunaikkan, sedang tidak ingin cepat-cepat sampai di stasiun sepeda kampus tujuan, kukayuh sepeda itu dengan lambat. Hitung-hitung menikmati musik yang sedang kuputar. Kadang, aku akan berputar-putar juga di perumahan dosen atau mengambil jalan yang terjauh untuk sampai lebih lama di stasiun tujuan. Sungguh, aku menikmati di jalan yang sepi seperti di lingkungan kampus UGM (dalam tanda kutip) saat setengah lebih mahasiswa memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Saat kampus memang sedang benar-benar sepi dari hiruk-pikuk kepentingan para akademisi, meski satu-dua tetap dijumpai. Adalagi, bentuk bangunan perumahan dosen dengan desain rumah lama mampu membuat mata lebih segar. Ya, jika dibandingkan melihat ruangan yang kotak, atau kertas dengan banyak tulisan, atau bahkan telepon pintar beserta isinya. Mungkin juga semua yang kukatakan di atas adalah kenikmatan yang hanya bisa kunikmati, orang lain tidak. Kamu pun. 
Tak terasa sampai juga di stasiun sepeda kampus Jl. Tevesia. Aku mengenal pemilik kepala dengan sedikit rambut di atasnya dengan mata yang lebar dan senyuman ramah khasnya itu. Tidak biasanya Si Bapak berjaga di stasiun tersebut. Aku sering melihatnya di stasiun lain. Senyuman yang diarahkan kepadaku, kubalas dengan senyuman dan anggukan. Kemudian Si Bapak bertanya padaku. 
" Dari perpus, ya".
" Iya".
" Kok sudah lama gak kelihatan? Kamu gak liburan?"
" Hehe, gak libur Pak biasanya jalan" jawabku sambil meringis.
" Fakultas apa kamu?".
" FIB, Pak".
" Lo, la kosnya dimana to?".
" Di belakang pom bensin Sagan".
" Oalahh, cerak to yo pantes mlaku".
Setelah percakapan singkat itu, aku pamit undur diri mau meneruskan jalan ke kos. Sebab waktu sudah sore, matahari mau tenggelam dan aku belum sempat melaksanakan kewajiban sore itu. Ada percakapan yang terjadi dalam pikiranku mengenai kemungkinan Si Bapak mengenaliku karena tertukar dengan adikku yang kadang pun meminjam sepeda. Atau memang dia mengenalku karena hidungku (ah, yang ini kurang memungkinkan). Si Bapak dua kali ini menanyaiku hal yang hampir sama. Mungkin Si Bapak lupa. Tapi aku tidak. Sebab terakhir kalinya ia menanyaiku hal serupa adalah terakhir kalinya aku meminjam sepeda.
Beberapa hal yang tak bisa kujabarkan dengan baik di sini adalah perasaan senang Si Bapak mengenaliku walau aku tidak secara formal memperkenalkan diri menyebutkan nama. Aku senang Si Bapak menantiku mengembalikan sepeda dan berusaha agar aku tidak kerepotan saat mengembalikannya. Aku senang, masih ada orang yang memberiku harapan untuk mencapai keinginan walau lewat perbuatannya yang sederhana. 
---
Esok paginya ketika kukembali ke aktivitas pagi dengan berjalan kaki melewati stasiun sepeda kampus Tevesia lagi, Si Bapak menyapaku di seberang jalan. Waktu itu, ia baru saja selesai membersihkan area stasiun. Aku ditanya olehnya:  mau kemana, tidak lupa tersenyum dan anggukannya bagai mengantar anaknya berjuang. Pagiku jadi menggebu-gebu, merasa ada yang menggerakkan hati kecilku yang beberapa hari bisu.  
   -
  - -
-    -     

Lima hari yang lalu, aku membeli soto di tempat yang lama tak kukunjungi. Kejadiannya juga masih pagi. Si Ibu penjual soto ini bertanya keabsenanku selama ini. Sama seperti Si Bapak penjaga stasiun sepeda kampus. Percakapannya singkat, namun meninggalkan rasa senang yang banyak. Pertanda kehadiranku masih diharapkan. Pertanda hidup harus tetap berjalan. 
NB: Relieving my stresses 

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��