Cerpen: #4 Ucapan Ibu pada Anaknya

Pantatku telah babak belur. Aku dipukul dengan sengaja oleh seorang yang kuhormati, sangat kuhormati. Aku membuat masalah, aku mengakui kesalahan orang lain, sebab ada orang lain yang kulindungi. Aku mulai menghitung pukulan yang dilemparkan ke pantatku dengan kayu pipih yang ia temukan dari dalam gudang. Ah, itu sangat menyakitkan jika dilakukan berulang-ulang di tempat yang sama. Lebih menyakitkan kemudian, ketika Ibu datang melihat. Tentu Ibu bersedih atas perilakuku saat itu. Namun setelah melihat ada seseorang yang membuang bukti bahwa aku tidak bersalah, raut muka lesu Ibu berangsur-angsur membaik. Sejurus kemudian, melihat kelegaan di wajah itu, Ibu pamit kembali menjemur baju yang ditinggalkan karena dapat panggilan atas kelakuanku. 

Rumah 

Ibu memasuki kamarku. Seperti biasa tanpa mengetuk pintu, aku akan tetap mendengar suara langkah masuk. Pasti Ibu, sebab hanya ada kami berdua di rumah. Bahkan suara Ibu mengangkat kaki saja aku sampai hafal. Aku berusaha sehebat mungkin akan dinasehati atau bahkan diamuk Ibu. Ternyata tidak demikian yang sedang berlaku. Di depan meja belajar, aku terpaku. Ia berangsur-angsur berkata seperti ia yang telah hidup seribu tahun lamanya. Ya, memang Ibu lebih lama hidup di dunia ini daripada aku. Tapi ini nyawa Ibu yang berbeda. Bukan Ibu biasanya. Ibu yang teledor, bahkan yang tadi masih kujumpai di ruang ku dipukuli. Saat itu, ia memakai sandal yang berbeda menuju ruang tempat aku dipukul. Ibu yang ini tidak terburu-buru. Ibu yang saat ini, berbicara santai padaku. Seolah-olah tidak ada badai yang terjadi 6 jam yang lalu.  
Ibu tidak akan membahasnya. Hanya pakailah ini sebelum tidur. 
Ibu memberikan obat untuk luka yang kualami. Ia menaruhnya di samping buku-buku yang sedang kuselami untuk pelajaran hari esok. 
Ibu tidak akan bertanya kenapa aku melakukannya? Mengapa aku mengakuinya?
Ibu mengerti, kamu pasti punya alasan yang cukup baik untuk itu. Kau tidak perlu pandai dalam belajar. Kau bisa kena masalah juga. Hanya, jangan sakiti orang lain. 
Ibu tersenyum, aku menahan tangis dan kesakitan dengan rasa malu dihadapan Ibu. Seketika aku bangkit dari meja belajarku. Sebelum benar-benar merasa lari dengan bebas dari tekanan yang terjadi seharian itu, aku mengucap maaf padanya. Pada Ibu. Dalam pikirku, mungkin dia secara tidak sengaja tersakiti olehku.   


   

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��