Esai: Bencana - Urusan Siapa?

"Pean saling jaga sama adiknya aja ya, mbak," mama bertitah demikian tadi malam. 
Mama sepertinya mendengar atau membaca dengan seksama beberapa kabar dan berita yang menjadi headline di beberapa koran atau berita harian. Beberapa daerah di Indonesia sedang terkena bencana sudah 4 hari ini. Jogja, salah satunya. Meski ya, kami berada di lingkaran Jogja tapi syukurlah kami tidak sedang dalam bencana (kecuali dengan meninggalnya nenek kami, hm... mungkin itu bencana yang lain). Gunung Kidul karena curah hujan yang tinggi dan intensitasnya selama tiga hari berturut-turut mengakibatkan daerah tersebut tertimpa bencana. Sirine kemanusiaan kemudian seperti desah angin, lari dengan kencang lewat telinga masuk ke hati para pemirsanya membuat yang tergerak segera membuat bumbung kemanusiaan. Sama, aku juga.
Bukan kebetulan, bencana banjir yang menimpa Gunung Kidul menjadi refleksi kecil-kecilan yang tampaknya membesar bagiku. Masalah ekologi di sekitarku agaknya jauh dari baik. Bagaimana bisa kau katakan baik dan tidak baik, Shan? Begini, tempat tinggal yang baik memiliki ikatan ekosistem yang baik. Saling ketergantungan antara keduanya dapat memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Bisa dikatakan seperti itu. 
Nah yang menjadi refleksi diriku adalah dengan sangat ikhlasnya aku membuang sampah depan rumah - depan rumah yang notabenenya adalah sungai. Ya, selama ini keluargaku membuang sisa-sisa dapur, atau apapun itu yang masuk kategori sisa tapi bukan barang berat seperti barang elektronik. Kemudian datanglah sebuah bencana di awal tahun ini. Banjir. Duh, kata mama sampai masuk rumah. Ketika kupulang beberapa bulan kemudian setelah kejadian, kucek memang benar, air sungai telah masuk rumah dan merusak beberapa properti kayu di rumah. Seperti lemari hadiah ulang tahunku yang ke-17 dari teman-temanku, akhirnya dari kaki-kakinya keluar serpihan-serpihan. Lama-lama lemari itu peyot. Tapi masih bisa dipakai untuk pajangan. Terlihat jelas, ada bekas air di antaa kaki-kakinya. Sebab, bekas ketinggian air menempel di sana.  
Hingga, pada masa seperti sekarang saat bencana memang datang seenaknya aku memutuskan menanyakan kabar rumah. Rumah yang dikelilingi sungai itu. Rumah yang tetanggaku pun membuang sampah di sungai-sungai tersebut. Rumah yang berjejer dengn rumah-rumah lain dengan tiap kepala di dalam rumah-rumah tersebut melek huruf dan mengerti pentingnya menjaga lingkungan, terlebih keluargaku. Kakak dan adikku, akupun yang mengenyam masing-masing 3 tahun masa SMA dengan titel sekolah Adiwiyata yang berbasis lingkungan di sana. Tapi karena betapa dilemanya tentang membuang ini, aku, keluargaku, dan tetangga yang lain memilih cara tercepat dengan menyerahkan solusinya pada sungai.
Kutahu sungai kan bermuara, kutahu sungai pada suatu saat akan marah. Saat-saat ini, saat sungai sedang mengamuk dengan indahnya di Gunung Kidul mungkin jadi bagian kesalahanku sembrono mengatasi bijak buang sampah. Memulai hal kecil dari komunitas terkecil seperti keluarga sepertinya banyak manfaatnya. Seperti saat ini. Saat-saat harus refleksi, tidak menyalahkan sana-sini, meski hujan dan angin mencampuri. Ayo refleksi.          

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��