Rujuk

Aku di pojokan, mengingsut ingus. Melerai air mata menjadi berantakan hingga tak jadi satu kesatuan lagi. Sengaja begitu, sebab suara srek srek sandal diseret terdengar mendekat ke arah kamarku. Aku takut, ada orang lain selain aku sedang menyadari aku dalam kondisi terpuruk. Kuhitung sampai dengan sepuluh langkah setelah akhirnya suara langkah tersebut lenyap dilahap oleh suasana, dalam penghitungan itu aku masih terus terlarut akan keadaan. Sedikit banyaknya tersiksa, tapi bagaimana? Akankah kuharus berteriak saja, biar semua orang pada tahu aku sedang tiada nafsu atau inikah yang malah disebut nafsu? Sejak berakhirnya senja pada musim kemarau dengan hujan, aku mulai agak menghindar dari keramaian dan keabadian jika perlu. Terkadang masih saja bimbang menyisihkanku pada sisi itu, sedetik kusadar sejam aku kembali terlena..

Hal-hal terjadi, dan banyak yang tak diduga. Hal-hal terjadi satu per satu tiada yang terpaku mestinya berlalu namun mengapa malah jadi membisu? Merenggut kenanganku? Atau malah mejadi kenanganku? Saat ku disejajarkan akan pilihan bagaimana aku harus memahami, aku berlari untuk menghayati. Kugunakan tiap-tiap indrawi merasa tak merasionalkannya. Dalam keanggunan rahasia pagi menjelang siang, kuharapkan harap-harap cemas yang sama mungkin dengan orang-orang hingga aku sadar tak lucu jika aku harus mengeluh, meminta, berdoa tanpa banyak usaha. Semua orang sama! Mereka selalu punya asa, bahkan target untuk kemudian digantungkan pada apapun yang buat mereka senang mengakarkannya.   

Aku kembali pada realita dimana aku masih dipanggil dengan nama kecilku, aku berlari kemudian karena yang dibawa olehnya ialah durian. Buah dari segala buah, ya raja buah. Buah yang selalu kurindukan kehadirannya dalam setiap tahun. Namun mungkin berakhir juga pada tahun-tahun dimana aku tak sesering lagi bertemu dengannya. Kudoakan ia dan segala yang ia punya dalam keadaan sehat dan halal. Semoga ia mampu memberi energi positif lewat tiap durian yang ia berikan padaku. 

Ah. mengingatnya buatku bermonolog ria. Menjawab segala pertanyaannya yang terkadang susah hingga menohok leherku, mendengar kisahnya yang kadang buat diri ini bangkit tak lagi mau jadi terpuruk menghadapi sakit yang kian hari menumpuk menjadi. Tapi masih tetap ada selalu senyum dn tawa mengiringi meski kesakitan yang terdalam pun terjadi. Sekian kali aku dijatuhi bombardir atas sepi yang kali ini ingin kembali. Tak lagi, tak lagi pikirku dalam hati dan pikir. Kembali padanya ialah jalan yang baik lalu mengapa buatku kembali padanya menjadi semakin sakit dan tak dimengerti? Di bagian tepi pada kemudian hari saat kembali dalam sunyi tanpa suara sandal yang akan jahil pada latar yang sadis, aku akan bangkit.

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��