Persepsi

" Kasihani...," rintih ibanya.  
" Apa!? Kau masih mau meminta?! Lagi?! Tak tahu malu sekali ternyata kau, ya!" 

Setelah memenuhi lawan bicaraku dengan makian, aku ganti dimaki oleh dinding yang tiap kali kulewati seperti membayangi. Dari tatapnya, kutahu mereka bertatap sinis terhadapku menyangka aku yang terlalu syahdu dalam larut pikirku, yang menurut mereka 'aku ini salah'. Padahal ya memang, aku tak seratus persen benar. Aku memaklumi dinding-dinding yang makin lama makin dekat membisiki di sekitaran telingaku, mengerubuti bagian telingaku layaknya nyamuk yang menemukan darah yang lezat. Sesampainya aku pada titik lapang penuh cahaya yang tak selamanya menguning, di tempat tersebut aku ingat sempat mengingsut ingus. Ah, inikah rasanya memaki? Tiba-tiba batinku bergejolak, ingat akan kejadian dimaki, memaki hingga termaki yang baru saja lewat. Sejujurnya saja, dinding memang berkata benar. Tapi aku tak merasa salah, karena aku ingin mencoba. Sudah.     

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��