Cerpen: Bersalah
Dalam benaknya, ia masih bertanya-tanya. Mengapa itu
menjadi kesalahannya? Dan haruskah itu menjadi beban daripadanya? Dia mencoba
menghalau kekalutan di sekitar pikirannya, ia membuka lembaran demi lembaran
buku fisika. Namun sayang, pikirannya bertambah buruk saja. Suasana tak banyak
mendukung saat ini. Langitpun agaknya ikut mendung memandangi nasibnya. Di sisi
lain ia takut, namun di sisi lain ia percaya bukan dia pelakunya. Namun dengan
sekuat apapun alibi yang dia berikan lebih kuat lagi bahwa dia adalah terdakwa
nyata, yang sekarang akan mengalami apa itu yang disebut pesakitan. Kucil. Dikucilkan.
“ Hei, tong kosong,” sapa temannya suatu kali tanpa
menyapa dengan nama sebenarnya.
Yang disapa hanya diam. Kembali mencoba berpikir bahwa
apa yang dilihatnya sekarang bisa ditaklukkan dengan segera olehnya. Namun
sial. Beribu-ribu jarum seperti menusuk di jantungnya mengakibatkan dia sulit
bernapas. Begitu saja, dengan cepat. Sesak, tak sadarkan diri.
Di ruang unit kesehatan sekolah yang bisa dibilang bersih
dan sudah selayaknya begitu, dia baru tersadar. Orang yang berjaga menyuruhnya
untuk meminum teh hangat yang disiapkannya. Tampak nyata baginya, tiada dari
seorangpun dari kelasnya menjenguknya. Sekedar untuk berucap istirahatlah, atau
kamu tidur dulu saja.
Jalan buntu. Tak ada lagi cara. Mengaku salah tapi tidak
melakukan itu akan membuatnya lebih jauh menderita. Yang terbaik sekarang dia
diam. Setelah sadar, ia memutuskan untuk kembali ke kelasnya. Entah kenapa yang
dituju adalah taman sekolah. Rupanya dia telah memiliki jalan lain. Teman.
Lebih dari sekedar itu, sahabat baginya.
“ Rin,” sapa sahabatnya.
“
Tata. Aku ingin jujur ini bukan ulahku. Aku tak mau dituduh seperti ini,”
katanya.
Tak
berapa lama dari bulir-bulir bening mengalir deras air dari pipinya. Yang
diajak bicara juga tak mampu untuk melakukan apa-apa.
“ Hei. Jangan menangis! Kamu tahu, tiap bulir yang keluar
dari matamu juga akan membawaku ke jalan yang sama, kan? Berhentilah lakukan
itu!.”
Sahabatnya belum sempat meredam agar tak melakukan hal
yang sama. Disayangkan, dia juga orang yang peka. Bulir-bulir itu ikut mengalir
di pipi sahabat itu.
Perlu waktu beberapa lama untuk menenangkan diri
masing-masing. Untung saja sahabatnya itu tak ada jam pelajaran di kelas.
Kosong. Guru yang mengajar absen sakit. Entah bagaimana di kelasnya. Namun
seperti yang ia perkirakan, mungkin tak ada guru. Saat itu memang jam yang
sering kosong. Sama kosongnya dengan hati kedua karib itu.
“ Nah, sekarang coba kau bercerita, dan aku yang akan
mencerna,” ucap sahabatnya memecah keheningan taman sekolah.
“ Teman sekelasku , menganggap aku orang yang bersalah.
Aku dikira membocorkan konspirasi mereka.”
“ Maksudmu? Konspirasi apa?”
“ Mereka sekongkol untuk saling tukar jawaban ulangan
harian matematika. Entah kenapa guru matematikaku tadi sepertinya mengerti jika
mereka mengadakan rencana itu. Kamu bisa tebak. Jelas mereka ketahuan.
“ Ya, lalu?”
“
Kamu mengenalku bukan? Aku tipe orang yang tak suka kebuhongan. Tapi, bukan
berarti aku berkata jujur kepada pak guru. Aku juga menutupi untuk kebohongan
mereka itu. Aku masih memegang perkataan bahwa tak mungkin meskipun seorang
guru tak pernah berbuat salah. Namun beda ketika semua tuduhan setelah usainya
ulangan harian tadi jatuhnya kepadaku. Aku tidak menyesal. Bukan aku yang
melakukan. Aku terlebih merasa sakit. Terkhianati.”
“ Tidakkah kamu berpikir bahwa seseorang telah menusukmu
dari belakang? Ingat, apa yang pernah terjadi kepadaku, kan?”
“ Ya, selalu kuingat hal itu Ta. Dan aku benar-benar
curiga kepada Rian dia yang tak suka aku melebihi prestasinya. Orang yang
paling membenciku di kelas. Semua orang di kelas juga tahu”
Sejenak sahabatnya berpikir, mencoba memecah kebuntuan
yang mendera. Langit berselimut awan yang menutupi matahari. Ikan-ikan di kolam
taman dengan riang melompat kesana kemari. Bunga-bunga yang bermekaran di
sekeliling taman menambah hawa sejuk menerpa kulit dua karib itu. Seiring detik
berganti menit, setelah keduanya saling terdiam tercetus ide juga.
“ Kamu, bersikaplah diam Rin. Sementara waktu itu yang
terbaik. Kalau memang dia pelakunya, mungkin aku tahu apa yang dia lakukan
selanjutnya kepadamu.”
“ Apa itu?”
“ Tentu saja kau akan bertambah ditusuk Rin. Karena, dia
akan lebih senang jika Aku tahu itu sakit. Bersikaplah tenang saat itu, ingat
Tuhan selalu ada di sisi orang yang benar. Lalu, ketika kau memiliki bukti yang
cukup kamu boleh mengatakan semuanya. Pada mereka terlebih. Tunjukkan kau
benar,” ucap sahabatnya dengan senyum menyemangati.
Saran yang dikatakan sahabatnya itu, dengan segera dia
coba. Dia kembali ke kelasnya. Dan, dia menemukan dirinya lagi-lagi diambang
rasa jenuh dengan kesalahan yang ditimpakan kepadanya. Tiba-tiba saja ponsel
Lilian hilang. Dan ketika digeledah, ternyata ada di tas milikinya. Melihat
keadaan itu, tak kuasa dia menahan tubuhnya. Dia mencoba melangkah dengan
langkah panjang dan sedikit berlari menyatakan sesungguhnya yang terjadi, dan
agar dia tak sesak lagi.
Bodohnya, orang yang mengerjainya menjatuhkan sesuatu di
sisi bangkunya. Lagipula kalau dipikir, bagaimana caranya dia mengambil kalau
dia tadi ke ruang UKS sedangkan jam yang lalu dia hanya diam duduk di
bangkunya?
Kalau satu atau dua orang saja di kelas mau
mempercayainya, Rin akan yakin akan melakukan pembelaan. Sementara, mata
teman-temannya memandang kepadanya. Menyalahkan. Si terdakwa. Dalam diam dia
berpikir sesuatu yang tepat terjadi kali ini. Pasti ini bukti nyatanya.
Pikirnya.
Rin lagi-lagi diam
sedang teman yang lain meminta pengakuan. Kelas terlalu ramai. Kamera CCTV yang
dari tadi mengintip menimbulkan reaksi datangnya guru jaga hari itu ke
kelasnya. 5 langkah sebelum guru itu masuk ke kelas, seorang temannya memberi
kode untuk diam.
Seketika senyap, namun masih tetap ada sebagian yang
berbisik. Menyatakan Rin memang bersalah. Sang guru menanyakan duduk
perkaranya. Ketua kelas menjawabnya. Ketua kelas memberi penegasan telah
terjadi pencurian. Setelah digeledah, ternyata di tasnya. Tas Rin. Penjelasan
dirasa masih mengambang ketika hanya satu pihak yang berbicara. Dari tadipun
hanya asal tuduh.
“ Sudah, kita butuh penjelasan lebih lanjut dari Rin,” ucap
guru jaga itu.
“ Ya, benar,” sahut sebagian siswa lain hampir bersamaan.
“ Jawablah, Rin. Jangan kau diam saja. Kau bicara mungkin
lebih baik,” ucap guru itu lagi.
“ Ya, saya ceritakan pak. Memang teman-teman semua
mungkin kehilangan kepercayaan pada saya. Kejadian jam pertama. Aku tahu. Kau
kucilkan aku aku terima. Sekarang kau lakukan hal yang menyesakkan dadaku
lagi.”
Sejenak Rin mengambil napas panjang. Rin berusaha mencoba
lagi menjelaskan.
“ Aku yang dari tadi ke UKS masih kalian tuduh mengambil
benda itu? Tega benar kalian kepadaku. Tahukah kalian apa ini?,” katanya dengan
menunjukkan gelang milik seseorang di kelas itu.
Seisi kelas mulai gelisah. Ada yang masih menebak-nebak
apa yang terjadi selanjutnya atau menebak-nebak siapa yang menjadi pelakunya.
keadaan kelas mulai gelap mendung bertambah pekat. Seorang temannya yang dekat
dengan tombol on lampu menyalakan lampu. Lampu menyala. Dia seolah punya
kekuatan untuk mengatakan semua yang telah terpendam di hati kecilnya.
“ Itu, milikku!,” sahut Rian.
“ Benar ini milikmu?,” katanya.
“ Tentu, mengapa ada di tanganmu sekarang?”
“ Jadi begitu saja? Mengapa kau meninggalkan barang
bukti? Mengapa kamu teledor tentang ini? Seharusnya kamu tak lakukan hal yang
ceroboh seperti itu. Kejadian pertama kamu boleh berhasil, nyatanya benar
perkiraanku. Kamu adalah orang yang menyerang dari belakang itu. Sekarang
jelaskan apa ini dan mengapa ada jatuh di sini.”
Keringat dingin mengucur di sekitar kening Rian. Dia
gugup. Mau menjawab, wajahnya menunduk. Mau mengangkat sepertinya malu. Sepertinya
makhluk pandai ini takut. Hancur.
“ Dia yang bohong!,” guru BK masuk ke kelas dengan
tiba-tiba dan menunjuk Rian.
“ Saya lihat dari segala yang dia lakukan. Tubuhnya
menguatkan,” imbuh guru BK itu.
Rian
semakin menunduk. Mau tidak mau memang Rian yang salah. Mengakui tak diakui
Rian memang salah. Semua yang salah seolah ditimpa Rian. Seperti yang diketahui
guru BK itu adalah guru yang pandai membaca bahasa tubuh. Tak bisa diragukan
jika tubuh yang bicara. Semua memang kelihatan.
Pandangan
mata siswa lain berpindah pada Rian. Menatap meminta pengakuan. Mereka
sebenarnya tahu kalau Rian dan Rin bermusuhan karena masalah prestasi. Namun
tak pernah terbersit pada mereka akan terjadi masalah buruk seperti ini.
“ Saya
bersalah, dan saya mengakui, maaf menyakiti,” ucapan yang keluar dari mulut
Rian.
“ Saya
juga yang melakukan yang tadi pagi, sekali lagi maaf.”
Sontak
saja Rin yang dari tadi pagi menjadi bahan pembicaraan akhirnya lega. Saran
dari Tata berhasil dia jalankan. Luar biasa. Dalam diamnya, dia memang banyak
berpikir, dan dalam diamnya dia juga lebih mengetahui mengapa orang yang
dimaksud itu bertambah senang jika dia bertambah sengsara. Yang lebih
terpenting lagi dia sadar orang yang berbuat benar itu akan selalu dikelilingi
kebenaran.
Setelah
kejadian itu, Rin langsung mengirim pesan kepada Tata. Mengatakan bahwa dia
baik-baik saja, dan mulai detik itu dapat menularkan senyum pada karibnya. Karibnya
tak asal berkata bahkan selalu menjaga. Karibnya itu selalu miliki sama rasa
entah memang benar atau hanya pura-pura. Namun yang terpenting bagi Rin, Tata
tak pernah berkhianat padanya seperti teman lain di kelasnya.
Tak ada
yang mengucilkan Rian atas apa yang diperbuatnya. Sudah perjanjian. Semua
memaafkan dan untuk tidak saling menusuk dari belakang.Juga perjanjian. Andai
saja masalah ini tak ada ujungnya pasti Rin dikucilkan. Tapi tidak. Sekarang
lembaran baru telah terbuka.
Awan
hitam di langit yang mengakibatkan hujan, reda setelah semua kembali tertawa.
Langit berganti suasana. Jejeran warna-warni warna menjadi satu, muncul setelah
hujan. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Pelangi.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu