Cerpen: Anadiplosis
“Up all night” One Direction melantun dengan indah tanpa mengganggu
belajarku malam itu. Begitu larutnya aku dalam lagu yang bertempo cepat itu.
Sehingga menambah semangat belajar sastra Indonesia, yang notabenenya bagi
sebagian teman-teman atau bahkan semua teman adalah mata pelajaran yang
membosankan dan membuat . . . . . yah, mengantuk. Untungnya masih ada makhluk
sepertiku yang tak merasa belajar sastra itu membuat bosan atau mengantuk.
Hanya jam dinding yang
menunjukkan pukul 22.30 wib yang berbunyi. Entah mengapa aku belum mengantuk.
Atau mungkin aku tidak merasakan capek seperti biasanya. Tiba-tiba aku ingat
akan sesuatu. Segera aku mencari barang itu. Yang kudapat dari orang yang
teledor meninggalkannya di kantin waktu istirahat di sekolah tadi.
Dengan segera kututup buku
sastra Indonesiaku. Perhatianku beralih pada selembar kain tanpa tanda
pengenal. Sepertinya benda ini sapu tangan. Bisa dikatakan begitu. Entah benda
itu telah digunakan untuk menghapus air mata, membersihkan ingus, atau mengelap
keringat. Tapi yang sekarang terus membayangi pikiranku adalah siapa pemilik
sapu tangan yang hanya meninggalkan tanda pengenal berupa aroma wewangian yang
khas, berwarna biru muda, dengan gambar hati di bagian pojok bawah. Dan entah
megapa pula aku memiliki perasaan memiliki barang itu.
Kacau aku memikirkan cara
mengembalikan sapu tangan yang sekarang tak bertuan. Keadaan yang seperti ini
sering kali membuat pikiranku berpikir liar terhadap keindahan sastra. Secara
fisik aku memang manly, namun kalau
tentang perasaan hatiku sangat peka. Oleh karenanya, jika ada peristiwa yang
buatku menarik, aku akan langsung menuangkannya dalam “ Buku Usang” kunamakan
seperti itu karena hanya covernya saja yang terlihat bagus. Namun tidak untuk
kualitas kertas dan isi dari buku itu sendiri.
Tak Kulihat Cahaya
Dalam
naungan tatapan langit yang sama
Berupaya
sekuat tenaga
Temukan
jarum dalam tumpukan jerami
Setitik
gejala mengartikan tak banyak
Bias
warna laut tenang, bunga negara, tercantum tanda cinta
Setidaknya
kemudian...
Tersadar......
Aku
berempati dalam gelap
Tak
temukan titik terang
(Nino, Sapu Tangan dan Akhir 2013)
Sepertinya puisi itu
penutup malam hari ini. Karena setelahnya aku tidur dengan nyenyak.
----------------------------------------
“ No, udah tahu pengumuman
dari PHMagz belum?,” sapa Tiara suatu pagi di tahun baru 2014.
“ Apaan, Tia? Dari Pelita
Harapan Magazine? Majalah sekolah kita? Kayaknya belum deh. Sorry, nih. Aku
kudet. He hhe he he.”
“ Haduh nih anak. Perasaan emang kamu kudet,
kan?”
“ Hehehe”
“ Oh, ya. PHMagz
ngadain “open karya” lagi buat 2 bulan
ini. Yah berarti karyanya diterbitkan untuk bulan Februari. Nah kamu kan punya banyak kumpulan karya tuh
di bukumu. Kenapa gak kamu coba dulu buat ngirim, eoh?”
“ Bener sih. Eh, by the way “ open karya” itu ide baru kreatif PHMagz ya?
Kok baru denger sih?”
“ Aduh nih anak! Kayaknya
kudetmu kebangetan deh. Itu udah dari 2 edisi lalu majalah sekolah kita.”
“ Ohh.”
“ Ohh saja? Lalu?”
“ Oke, aku pikir-pikir
dulu ya. Danke für deine Informationen.”
“ Bitte. Eh aku
ke kelas sebelah dulu ya mau .....”
“ Iya, silahkan.”
Tiara itu teman yang
sangat baik. Mau membimbing aku, dan menunjukkan letak kesalahanku ketika aku
dikritik oleh orang lain. Dia temanku dari SMP dan sekarang sekelas lagi sampai
kelas 11 SMA. Bosan dengannya? Nyatanya aku tidak. Kalau ada Tiara sepertinya
aku merasa ada yang melindungiku. Eh, maaf suka lupa. Yang harusnya ngelindungi
kan aku ya. Hehehehe.
Setelah Tiara ke kelas
sebelah, aku memutuskan juga untuk keluar. Sekedar mencari angin kesegaran
setelah hujan Shubuh tadi.
Aku belum sempat melangkah
jauh dari tempat dudukku. Aku mematung melihat ke arah jendela kelas. Aku
terkagum akan keanggungan cara penyampaian seseorang menyampaikan isyarat
kepada temannya. Sepersekian detik aku hanya mematung. Dan ku putuskan untuk
tidak keluar kelas seperti rencana awal. Sepertinya ada yang menggantikan udara
segar yang harusnya kucari untuk saat ini.
“ Kenapa, No? Kamu kok
bengong gitu?,” sapa temanku yang dari tadi sudah duduk di tempat duduknya.
“ Ah, gak kok.”
Dibalik kata “ tidakku”
aku menyimpan kata “ iya” untuk menanyakan sesuatu kepada temanku itu. Saat ini
aku benar-benar membohongi hatiku. Dan perasaan kacau muncul lagi. Ini sama
seperti kekacauan yang terjadi akhir tahun 2013. Ahhh, tidak.
------------------------
Tiga hari berselang
setelah kejadian itu. Nyatanya, aku tak menemukan malaikat cantik itu lagi. Dan
entah mengapa aku selalu mengharapkannya untuk sekedar lewat depan kelas.
“ No, No, No...........,”
teriak Tiara tepat di telingaku.
“ Eh, kamu Tia. Kukira
siapa.”
“ Eh, kamu Tia,” sahut
Tiara sewot dengan menirukan gaya polosku.
“ Ngapain kamu kok bengong
terus dari tadi. Pelajaran mau dimulai. Kamu udah ngerjakan tugas Bahasa
Perancis belum?”
“ Emang aku bengong?,”
jawabku seperti orang tak bersalah.
“ Lah dalah nih anak,”
keluar aksen medok Tiara.
“ Ah, tak tahulah. Yang
penting tugas Perancis. Udah belum? Aku pinjem kalau udah. Aku kemarin banyak
kerjaan banget di rumah,” tambahnya dengan nyengir kuda.
“ Udah. Nih. Tapi,,,,,,,”
“ Apa?”
“ Kayaknya aku gak percaya
deh kalau kamu banyak kerjaan di rumah. Biar kutebak! Kerjaanmu lihat 12 orang
berwajah manly yang salah satunya kayak aku itu, kan? EXO! Aha!”
“ Es kann sein hehe. Eh, mercy
tugasnya.”
“ Dasar, pikirku.”
Ya, memang banyak yang
bilang wajahku seperti salah satu member EXO namun aku sendiri tak tahu yang
mana. Malah kupikir mereka berdua belas adalah kembar. Ngapain juga ngurusin
mereka. Urusanku sendiri saja belum benar.
“ Nih, udah.”
“ Ngebut banget kamu.”
“ Hehehehe.”
“ Nyengir lagi kamu.”
“ Biarin. Terus buat open
karya gimana?
“ Belum aku pikirin.”
“Mikir gitu aja lama.”
“ Eh, kok kamu jadi
mengalihkan perhatian gitu sih. Oke back
to topic. Lain kali aku sms biar kamu ngerjakan tugas. Ya?.”
“ Ah, No. Kamu terlalu
baik dan terlalu polos deh. Tiap hari juga kamu sms. Tapi akunya aja yang gak
pernah peka. Hahaha.”
“ Oh, gitu ya. Jadi
mending aku gak sms kamu aja. Biar kamu tahu rasanya kehilangan aku.”
“ Apaan sih kamu,” sahut
Tiara dengan wajah yang berubah masam.
“ Oke, kalau gitu lain
kali dicatat sendiri ya tugasnya di rumah. Kamu bisa lihat kan kalau jalan
menuju masa depan tinggal beberapa langkah lagi?
“ Mulai deh Golden Stepnya.”
Golden Step. Itu adalah
istilah dari Tiara. Maksudnya kalau aku sedang menyampaikan hal baik yang
biasanya berupa nasihat kepadanya. Seperti Mario Teguh dengan Golden Ways. Tiara selalu saja
mengabaikan hal-hal baik di sekitarnya. Dan itu juga sedikit demi sedikit
memahami sahabatku itu.
“ No, aku tinggal dulu ya.”
“ Kemana? Kelas sebelah?
Ke Rehan? Oke deh. Tapi aku peringatkan 15 menit lagi masuk. Jam pertama
pelajarannya Pak Setu, lo. Jangan telat buat kembali ya.”
“ Iya, iya.”
4 menit sebelum pelajaran
dimulai Tiara sudah kembali dari kelas Rehan. Keadaanya sangat bahagia. Ya
tentu saja. Namanya juga bertemu dengan pujaan hati. Bagi Tiara hanya melihat
wajahnya di pagi hari adalah kebahagiaan tersendiri baginya. Hal itu yang
pernah dia ungkapkan padaku, ketika mereka dalam masa PDKT.
Semua teman kelas telah
duduk di tempat duduknya masing-masing. Pak Setu, guru Sejarah yang terkenal
killer ternyata hari itu tidak masuk. Berita yang beredar beliau sedang tidak
enak badan. Sehingga beliau memutuskan untuk tidak mengajar hari ini. Kelas
yang 2 menit lalu sangat tenang ketika guru piket masuk kelas, langsung menjadi
gaduh ketika guru piket baru saja menutup pintu dari depan.
Bukankah jam kosong adalah
waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh sebagian besar pelajar? Tak bisa
dipungkiri, serajin-rajinnya aku ke sekolah kalau sudah jam kosong tentu saja
aku akan sangat senang. Bukannya aku membanggakan dan memuji diri sendiri. Aku
memang yang paling rajin dan alhamdulilah mendapat peringkat 1 di kelas di
semester 3 kemarin. Tapi sama saja. Namanya juga jenuh. Jadi jam kosong
sekali-sekali tak masalah. Yang penting jangan keseringan. Itu prinsipku.
“ Tia sini deh.”
“ No, Tiara melulu yang
kamu ajak bicara. Sekali-kali ajak aku bicara juga dong,” sahut Rudi teman
sebangkuku.
“ Ah, iya. Aku lupa kalau
kamu teman sebangkuku.”
“ Eh, pelupa yang tak
pernah lupa tugas sekolah! Denger tuh kata Rudi ajak dia bicara kenapa? Aku kan
lagi sibuk fangirling.”
“ Oke deh. Tapi awas aja
kalau bicarain aku ya!”
“ Yeeee,” sahut
teman-teman cewek yang lain.
Agak sedikit berbisik aku
berbicara dengan Rudi. Aku membicarakan sesuatu antara lelaki dan lelaki
dengannya.
“ Rud, kamu pernah lihat
cewek cantik gak?”
“ Nah, maksudmu? Banyak lo
cewek cantik. Tapi in yang mana dulu?”
“ Ah, bener juga.”
“ Iya, jadi yang mana? Eh übrigens, kamu suka cewek itu ya?
“ Ehmm. Gimana ya?
Sepertinya sih begitu.”
“ Aha!”
“ Hei! Jangan
keras-keras.”
“ Tapi aku belum tahu orangnya. Apapun yang terjadi kalau jadi
pacar kamu sih aku juga mau sih. Kamu kan perfect. Manly, tampan, pinter, jago main piano,
suaramu bagus, taat beribadah lagi.”
“ Nah loh! Kenapa jadi
kamu yang suka aku Rud. Jadi geli dengernya.”
“ Hihihihhi...,” tawa Rudi
geli pula.
“ Oke. Kamu tahu dia itu
orangnya anggun banget. Cantik sih gak. Tapi dia manis.”
“ Semanis gula gak?”
“ Ah, kamu! Ya gak
sebandinglah. Mungkin malah manisan dia. Hahahah.”
“ Terus, terus? Aku jadi
kepo siapa orang itu.”
“ Nah, kayaknya itu
permasalahannya. Aku belum sempat melihatnya lewat depan kelas lagi 3 hari
ini.”
“ Hei, man! Kamu aja cuma
diam diri aja selama 3 hari ini. Kamu 3 hari ini kan gak pernah ke kantin atau
perpus bahkan kantor guru atau ke ruang TU untuk membayar SPP. Tuh kamu sibuk
dengan PS dan mereka. Oh, ya kelas musikmu juga kayak gimana? Senin kemarin kan
kamu tinggal buat main PS sama temen-temen itu,” kata Rudi dengan isyarat
kepala kepada teman-teman yang sekarang memang sedang asyik memanfaatkan waktu
2 jam pelajaran untuk bermain Play
Station.
“ Oh, tidak. Itu benar.
Aku terlalu asyik dengan permainan itu.”
“ Lagi pula itu gak baik
lo kalau diterus-terusin. Nanti apa bedanya dengan Tiara yang jadi ngabaikan
pelajaran gara-gara....”
“ Emmm. Oke. Aku berubah.
Mulai detik ini,” kataku di depan Rudi dengan membenarkan posisi rambut yang
sedikit berantakan.
Rudi tersenyum.
“ lagipula No, kamu mau
posisi pertamamu aku rebut?”
“ Boleh, sih. Dengan
senang hati. Tapi dengan cara sehat, ya.”
“ Ikhlas banget sih kamu.
Kupikir kamu tadi bakal menolak pernyataan itu mentah-mentah. Kamu tak mudah
diprediksi No.”
“ Hahaha. That is who I am.”
Rudi
mendapatkan peringkat kedua setelahku. Tentu saja melihat aku lemah akhir-akhir
ini dia senang. Karena dia mengartikan dengan lemahnya diriku dapat dengan
mudah ia merebut posisiku. Tapi aku percaya bahwasannya Rudi tak pernah bermain
curang untuk mendapatkannya.
“ Udah deh, Nino. Kalau
memang cewek itu besok seliweran di depan kelas lagi, langsung bilangin ke aku
ya. Nanti aku yang stalking deh buat kamu.”
“ Hahaha yang bener aja
kamu, Rud.”
“ Kamu pikir.... ini beneran tahu. By the way, let’s go to canteen!
“ Great idea!”
Rasanya
seperti bertahun-tahun lamanya aku menunggu kedatangan malaikat itu, setiap
memikirkannya saat itu juga aku mengingat sapu tangan yang kutemukan sudah
tanpa pemilik. Hatiku selalu menaruh curiga sapu tangan itu milik sosok anggun
yang berjalan di depan kelas.
Kenyataannya
memang benar. Marsha Ainindita Setu. Dialah orang yang selalu membuat hatiku
tak karuan. Membuatku cemas memikirkan bagaimana menghapusnya dalam
kehidupanku. Dan parahnya dia adalah anak Pak Setu, guru sejarah yang killer
itu. Untuk mengapa selama ini aku tak pernah tahu dia lewat depan kelas, itu
karena dia baru saja pindah sekolah karena Pak Setu yang sakit-sakitan. Dari
situ aku tahu dia anak yang patuh.
Semua
info, aku dapat dari Rudi.
Dia
memang mata-mata yang baik. Dia memberikan informasinya dengan sangat tepat.
Aku menjadikannya kepercayaanku, namun bukan berarti aku tidak mempercayai
orang lain. Tepat ketika dia membeberkan semuanya, menurunlah kepercayaanku
untuk dekat dengannya, Marsha.
“
Sepertinya aku menemukan tuan dari barang ini,” kataku pada suatu pagi dengan
sedikit gugup langsung dihadapan Marsha.
“
Bagaimana kamu dapat dengan mudah menyimpulkan itu adalah milikku?”
Pertanyaan
itu menyesakkan dadaku.
“
Entahlah. Sepertinya begitu. Lihatlah bukankah ini warna kesukaanmu?,” kataku
mengumpulkan keberanian dengan menerawang ke atas pertanda mencari jawaban.
“ Oke, terima kasih. Ini punya ayahku. Aku yang
buatkan untuk beliau ketika beliau berulang tahun yang ke-50,” kata Marsha
tanpa menghiraukan alasanku yang tak jelas.
“
Ohh.”
“
Terima kasih sekali lagi. Ayah juga akan sangat berterima kasih padamu. Sampai
jumpa lain waktu,” jawabnya dengan senyum menawan.
Dia
berjalan lurus menuju kelas. Sempat kulihat dia menyibakkan poni rambutnya yang
menutup pandangan matanya. Tanpa menoleh ke belakang lagi, ke arahku yang
sekarang hanya melongo dan menyadari sesuatu. Akan sulit mendapatkannya.
Mendapatkan hatinya. Bukan bermaksud putus asa. Tapi aku yakin ini akan
terulang lagi. Perasaan ini. Yang tetap membekas. Entah sampai berapa lama.
Mungkin sampai ada yang menggantikan.
“
Sudah?
“
Apanya, Rud? Itu? Seperti yang kamu lihat.”
“
Hmm.. Jia you. Mungkin lain kali.”
“
Iya. Sekarang fokus belajar aja. Hahahaha…”
Seperti
itu. Hidup ini anadiplosis. Akan terulang entah yang bagian mana. Tapi
kemungkinan besar bagian besarku adalah cinta. Aku berharap ada pengulangan
yang baik tentang hal yang berhubungan dengan perasaan itu. Namun yang tak
pernah aku harapkan adalah terjadi anadiplosis pada teman-temanku. Aku tak
pernah mengharapkan mereka berubah, dan terulang.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu