Ucapkan Itu
“Terima kasih,” ucap Tito dengan benar. Yang
diberi ucapan hanya tersenyum sambil masih terkejut dengan itu. Rere gadis
pandai di kelasnya juga siswa berprestasi di sekolahnya. Dia terheran-heran
dengan apa yang barusan diucapkan Tito. Orang yang selama ini dia sukai. Orang
yang acuh pada orang lain bisa berkata terima kasih padanya.
Awalnya
memang tidak sengaja. Rere menemukan buku fisika milik Tito yang tertinggal di
laboratorium fisika. Dan kebetulan saat itu Rere yang kelasnya tidak ada
proyektor jadi jalan satu-satunya harus pindah
ke laboratorium fisika yang ada proyektornya. Lagi pula, untuk apa juga
anak bahasa harus ke laboratorium fisika?. Kemudian, Rere mengembalikan pada
pemiliknya karena memang di buku tersebut terpampang dengan jelas lokasi si
empunya buku. Saat-saat itulah kesempatan emas untuk Rere mendengarkan ucapan
dari Tito.
Bagi
Rere terima kasih saja cukup. Tak perlu hal yang lain. Dia berkata dengan
ikhlas sudah menunjukkan kalau dia itu menghargainya. Itu saja. “Iya,
sama-sama,” sahutan dari Rere. Langsung saja dari situ ketahuan air muka Rere
yang senang. Dia kembali ke kelasnya dengan perasaan senang. Sampai-sampai lupa
pada Lina teman yang mengantarkannya ke kelas Tito.
“Eh,
kamu udah ngelupain aku? Kacang lupa kulitnya, nih?,” Lina berkata. “Astaga!
Ceritanya ada yang cemburu rupanya,” ucap Lina dengan menepuk jidatnya. “Ih,
dasar! Bahagia tahu tempat dong,” sahut Lina. Lina adalah satu-satunya orang
yang memegang rahasia temannya itu. Selain itu, Rerepun mengetahui rahasia apa
yang ada di diri Lina. Begitulah mereka berdua sebagai selayaknya teman yang
berjanji.
Setelah
kejadian kemarin, Rere masih saja bahagia. Inginnya dia mrnceritakan tentang
itu lagi pada Lina. Tapi tidak ketika dia mengetahui bahwa Lina tertimpa
masalah. Lina tidak bersikap seperti biasanya. Rere tahu betul hal itu meskipun
Lina berusaha menutupinya.
Jam pertama pelajaran bahasa jerman. Entah
kenapa dari tadi Lina belum datang. Rere sangat menantikan kehadirannya. Sementara
itu, Rere ditanya oleh Frau Maria guru bahasa jermannya. “Kemana temanmu?
Terlambat atau memang tidak masuk?,” tanya beliau. “Keliatannya dia belum
datang, Frau,” jawabnya sekenanya.
“Baiklah, ayo kita mulai pelajarannya,” ucap Frau Maria.
Tak
berapa lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Lina kemudian masuk dan
mengucapkan salam,”Assalammualaikum wr.wb”. “Maaf, Frau saya terlambat karena
tadi ada masalah si ban sepeda motor saya,” sambil menyalami Frau Maria. “Iya,
tidak apa-apa. Kalau hal semacam itu kita tidak tahu akan terjadi pada kita
sebelumnya. Jadi, saya maklumi. Silahkan duduk,” kata Frau maria dengan bijak.
“Terima kasih, Frau”. Lina segera duduk dan menyesuaikan diri dengan pelajaran
yang baru saja dimulai. Di situlah Rere melihat kegundahan dalam hati Lina.
“Kamu ada apa sih? Aneh sekali hari ini? Gak kayak biasanya gitu. Apa yang
merisaukanmu, kawan?,” tanya Rere bertubi-tubi. Yang ditanya hanya diam dan
menjawab pertanyaan Rere dengan jangka waktu yang cukup lama.
“Hei,
konsentrasi dikit dong, gak usah mikirin aku. I’m fine. Lagi pula, asyik nih materinya,”
jawabnya singkat dan mengena. “Iya ,“ jawab Rere dengan wajah penuh curiga.
Waktu
berjalan serasa lambat selambat Rere mencerna semua materi pelajaran pada hari
itu. Selambat pula Lina memberi jawaban
padanya tentang satu hal yang dipendam Lina pada hari itu. Pulang sekolah, Lina
baru membuka suara. “Ayo langsung ke rumahku,” katanya. Masih dengan wajah
terbengong Rere menjawab,”Kenapa harus ke rumahmu kalau di sini saja kita bisa
cerita berdua”. “Pokoknya kamu harus ke rumahku dulu baru aku mau bercerita,”
katanya.
Rere
menuruti apa yang diminta Lina. Dalam perjalanan menuju rumah Lina, tidak ada
yang mau buka suara. Suasana terasa hening bagi Rere. Sebelumnya, mereka berdua
tidak pernah jalan berdua dengan saling berdiam-diaman seperti itu.
Sampai
juga di rumah Lina. Saat menjejakkan kaki pertama di halaman rumah Lina, secara
tiba-tiba terbentang spanduk bertuliskan
“Happy Birthday, dear”. Rere ingat akan sesuatu. Bahwa ini adalah hari ulang
tahunnya. Reflek, Rere mengeluarkan HP dari saku dan membuka kalender. Ya
memang sekarang tanggal ketika dia dilahirkan 17 tahun lalu. Masih dengan
keterkejutannya, ternyata tak disangka dari dalam rumah keluar ibu Lina dengan
membawa kue tart dan lilin berangka 17. “Terima kasih, Tante,” katanya pada Ibu
Lina. Rere meniup lilin yang ada di atas kue tart. “Jangan lupa berterima kasih
pada yang ada dibelakang semua ini,” celetuk Lina. “Memang ada siapa?,”
tanyanya. “Ayo kita ke tempat orang itu untuk mengetahui siapa dia,”jawab
Lina.
Dengan
setengah berlari, Rere menuju halaman belakang rumah Lina. Benar-benar terkejut
Rere setelah sampainya dia di sana. Dari belakang saja, Rere tahu kalau itu
punggung seseorang yang dia kagumi. “Kelihatannya dia menunggu dari tadi,” ucap
Lina. “Cepat ke sana. Kasihan dia nunggu,” ucapnya lagi.
Rere
dengan langkah malu-malu menuju kearah Tito. Mendengar langkah kaki, Tito
menoleh ke belakang. “Terima kasih. Ini kejutan luar biasa untukku. Sebenarnya, kamu tak perlu melakukan ini
semua,” kata Rere. Tito menunjuk bangku yang ada di halaman belakang rumah Lina
dengan tujuan Rerepun ikut untuk duduk di sana. Yang diberi tanda ikut
melakukannya.
“Terima
kasih juga Re. Kamu telah singgah di hatiku sekaligus kamu juga menyinggahi
hatiku. Ini ucapan yang manis untukmu, iya kan? Terima kasih tanpa imbalan.
Benar, kan? Kamu sekarang lega? Dengan terima kasihku yang itu tadi?,” tanya
Tito. Mata Rere berkaca-kaca pertanda bahagia yang ia isyaratkan. “Benar Tito,”
hanya itu yang dapat diucapkan Rere saat itu.
Setelah
menghela nafas, Rere ingat akan sesuatu
dan dia langsung berkata hal itu pada Tito,” kamu sebenarnya orang yang cuek.
Entah kenapa aku suka sama kamu”. “Aku tahu. Mungkin dari kamu suka aku, kamu
yang bisa merubah kebiasaan burukku ini. Semoga saja,” kata Tito dengan senyum
manisnya.
Dari
kejauhan nampak Lina membawa minuman. “Sudah, sudah ngobrolnya. Yang ini aku
benar-benar cemburu Re. Ini minumlah,” sambil Lina ikut duduk di bangku itu.
“Kalau begitu, kalian berdua sekongkol ya? Lina apalagi nih. Kamu pura-pura
risau tadi di kelas. Ngebuat aku cemas. Mungkin juga bocorin rahasiaku pada
seseorang di depan ini. Eh aku kira apaan ternyata kejutan seperti ini. Bagus
kamu ya udah menipu aku,” kata Rere tiba-tiba. Yang dituduh hanya tertawa.
Ucapan
itu pertanda ketulusan seseorang akan sesuatu. Dalam hal apapun tanpa
menghiraukan kalau kau pun musuh atau kawan. Berarti menerima pula apa yang ada
saat itu meski tanpa balas budi. Terima kasih bagi Rere adalah hal itu.
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu