Maaf-Maafan

Kalau kebetulan kamu klik link dari postingan story IGku, kamu sudah terjebak pada jebakan yang kubuat. Jebakan yang tidak menakutkan ini, akan tetap buatmu menegang tersebab aku yang merasa sangat menanti pertemuan kita lagi, meski masih Mei. Begitukah kamu yang juga menanti?
Tulisan ini termasuk juga laporan, kalau kaca dan bingkai pada hadiah yang kamu dedikasikan buatku waktu wisuda itu gak tahu hilang kemana, dipakai siapa, dan untuk apa? Padahal kondisinya semua ada di dalam rumah. Kamu mulai tahu ini akan mengarah kemana? Kamu tahu kalau di dalam rumah pun kita sempat-sempatnya kehilangan, bukan? Kamu selalu tahu dan mengerti sisa nuansa itu tapi lama kutak melirik pengetahuanmu itu. 
Maaf buat terbelit-belit, padahal mau menanyakan sekarang keadaanmu apa lebih baik dari terakhir kali kita masih saling berkomunikasi dengan baik? Mungkin yang merangkak sudah bisa berlari atau sudah bisa manggil "onty". Mungkin kalau ketemu lagi kita tetap dalam tangis, sebuah meski yang tak dapat dengan benar dipungkiri. 
Ada hal-hal yang masih belum bisa dideskripsikan dalam menerima, Im. Ada hal-hal seperti sabar yang hadirnya perkara waktu. Dan iya, maafin aku emang "nggatheli". 
Pasti suatu waktu kamu mikir kalau aku sibuk gak bisa diganggu. Di satu sisi kalau iya kamu mikirnya begitu, aku harus merasa memberimu terima kasih. Tapi di sisi lain ya emang aku "nggatheli" aja udah merasa gak ada yang bisa aku bagi denganmu. Tapi toh konsepnya sebetulnya gak begitu. Bener kan, gak bisa dideskripsikan? Hufft.. 
Tadinya aku mau langsung ke bagian epilog, mau maaf-maafan di awal paragraf. Seperti begitu tapi nyatanya "ora isa". Maaf-maafan pas lebaran itu esensinya sama aja di hari biasa, kan?
- lihat kata-kataku yang penuh [butuh] afirmasi 🙂🙃

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��