Penyimpanan: Tilik yang Tertunda
Pada akhirnya....
Setelah takut tiba-tiba tsunami datang, akhirnya aku membulatkan tekad. Kalau tak demikian, mungkin sisa usia ini aku belum bisa menjenguknya.
Tentang selamat datang di dunia yang fana dan tanpa terasa telah renta dan terlalu sakit untuk dihuni dan dibersamai.
Di ujung pandangan sejauh mata memandang, ada manusia kuat yang sedang bercakap
Sampai saat ini, walau ku tahu tak hanya ia. Tapi ia memang salah satunya.
Si kecil Devia, sudah Mpasi aja, nduk
Malam diajak ngopi bapak-ibunya di kopian dekat makam bung karno yang harga per item jualnya 10rb saja. Tapi ga ngopi karena malam harus tetep dicerna 6 jam. Kalau ngantuk tetep ga ngefek sih ke aku. Hahaha
Sayangnya si kecil ga nolehhhh
Paansi? Bukan!
Fansi, kayaknya air mineral lokal Blitar
Koi di Taman Pecut seberang alun-alun Kota Blitar
Nah ini
Koi di alun-alun Kota Blitar.
Sayangnya banyak kotoran burung yang bikin bau. Jadi kurang recommended jalan di sekitar alun-alun.
Kusign dulu
Masjid alun-alun Kota Blitar yang aku suka arsitektur dalamnya
Sign 2
Gereja yang sedang akan direnovasi. Sepertinya ke Blitar lagi kalau Kebon Rojo buka, warnanya sudah ganti
Selama pandemi gak buka
Dalam Kebon Rojo
Jalan kaki ke Istana Gebang gak jauh kok dari Kebon Rojo. Kalau ini baru aku rekomendasikan buat jalan menikmati suasana kota.
Ini dari Istana Gebang menuju ke De Classe Gelato. Aku pada akhirnya menemukan kampung yang masuk dalam program pendampingan KotaKu.
Ini gang ke 2
Buat trotoarnya sih kurang nyaman buat pejalan kaki. Menurutku jalanannya meski luas, tapi sepi. Hmmm... atau mungkin karena pandemi. Sekolah dan kampus di sekitar jalanan menuji gelato pun sepi karenanya
Es krim arang yang mengingatkanku pada odol di rumah.
Kok apes ya, tiap kali mau beli mint choco selalu gak ada.
Di balik jendela, tengok di atasnya
Luas ini
Sudut kafe
Stasiun Blitar dan segala hal tentang Sang Proklamator
Bonus selca di kereta menuju pulang 😉
Zum geburstag viel glück, sistaaaa 🥰
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu