Refleksi: Aku dan Makna Sosial

Tentu saja kita tak asing lagi mendengar kata "sosial". Sebuah kata yang beribu-ribu-ribu-ribu maknanya. Bagiku tentu saja tak dapat dihitung dengan jari yang terdapat 10 buah. E, uebrigens ada apa dengan kata tersebut Shan kok dibawa-bawa sampai sini? 

Resah! Kalau tentang corona yang belum hilang itu tentu saja. Tapi ini lebih meresahkan dari apapun. Maaf, aku menulis di sini karena butuh meluruskan sesuatu. Hal yang selama ini mengganjal pikiranku pun jika tak ku usahakan ditulis hari ini, hidupku akan terancam lebur tak tahu harus ikut arus pilihan yang tersedia. Betul: sampai segitunya. 

Memiliki arti kata saling berhubungan (kausalitas) kata "sosial" ini belum diaplikasikan saja telah melekat sejak kita dalam kandungan (eh, atau bahkan sejak Bapak dan Ibu kita belum saling kenal dan mulai ada kesadaran untuk saling berdekatan :) ). Maka dari itu disebutkan oleh Bapak Adam Smith "manusia adalah makhluk sosial" alias Homo Homini Socius. Memiliki arti bagiku manusia itu walau dirinya sebagai individu mereka juga 'butuh' dengan manusia lainnya. Manusia dengan manusia lainnya laiknya hidup berdampingan dengan manusia lainnya bahkan dengan makhluk hidup lainnya. Sampai sini aku masih bisa mengolah dengan baik kata itu. Tapi hingga pada suatu hari................... 

" Shan, aku mau curhat" 

" Shan teleponan yuk"

" Shan, aku lagi stress" 

" Shan......" 

" Shan, lagi apa?" 

" Shan aku .... " 

" Shan kamu tahu di kedalaman berapa paus dapat kau dengar suaranya?"

(Begitu chat masuk mengharapkanku pun masuk dalam lingkaran sosial dalam media yang sangat (entah kenapa) digandrungi oleh masyarakat sekarang). 

Sedang aku berpikir ingin juga hiatus - menonaktifkan - rehat dalam dunia yang saat ini terlalu narsis : semua-semuanya ingin dilihat cantik, baik, pemberani, lucu, atau uwu tai yang merusak imajinasiku. Aku muak dengan sosial yang diharapkan hadir dalam ruang-ruang sekat aplikasi yang sedang populer itu. Aku betul-betul ingin tidak hadir dalam kemayaan yang nyata terjadi dalam ber"sosial" dewasa ini. 

It's blurry sometimes, right? 

Sejatinya, percakapan-percakapan di atas ingin sekali  aku hindarkan dari pikiranku sebab aku juga masih butuh dunia yang semacam itu meski tentu tak hanya untuk pamer. Tapi bukannya memang untuk pamer ya?. Pikiran-pikiranku selalu berserak, tak pernah menjalin menjadi kain yang bisa digunakan sebab benang merahnya belum pernah ku temukan. Setelah itu aku langsung percaya yang membuat asam lambungku naik lebih cepat adalah dunia sosial yang semacam pernyataanku di atas. 

Kalau kembali pada kutipan-kutipan awalan percakapan lewat sosial media di dunia maya itu, aku jadi serius. Tak lagi kupendam perasaan 'tapi aku ingin sendiri dulu' sebab dalam nyatanya aku dibutuhkan dalam kemayaan itu. Aku bukan lagi pernah kesal tentang ini, tapi sering. Pun seseringnya aku kesal, aku tetap jadi pendengar yang baik, menjawab segala resah mereka yang mereka harap dengan dibagi padaku jadi lebih baik, yang mereka harap validasi kepadaku akan jadi penting. 

Keakuanku sering kali mengalah pada kegiatan sosial semacam itu. Jujur, empatiku lebih besar dari apapun. Jujur, kadang itu yang buatku lupa, aku pun butuh teman buatku tentramkan hati milikku sendiri. Aku tidak memikirkannya sekali, ini bukan kejadian tadi pagi. 

Sosial yang kuberi makna dalam nyatanya kemayaan ini, pernah juga merenggut orang yang ku segani. Aku mengaku salah memerlakukan sosial media, dan berpikir mungkin dengan cara itu dia akan kembali. 

Sedikit cerita tentang pertemanan di usia 20an yang makin tambah rumit, keruh bukan cuma perkara pinjam tanpa izin, perkara pinjam tak dikembalikan, atau bahkan dituduh meniru gaya, hingga yang lebih parah sebetulnya yang ia inginkan tak sesuai dengan tingkah laku yang kita perlakukan pada mereka. Ah ya, yang paling penting di usia ini, banyak teman yang ingin didengar. Bukan diberi nasihat atau diungguli tentang masalahnya. Pada usia ini, batas-batas akan terlihat jelas. Semua teman bakal punya bisnis di antara pertemanan yang dijalin. Meski ada yang memang tulus tapi pun cuma segelintir. 

Mengenai kehidupan yang saling berhubungan dan terlihat tidak baik-baik saja ini, aku merasa wajar tapi tak sampai maklum. Mengapa begitu? Sebab jawab atas pertanyaanku belum 100% hadir dalam duniaku. 

Makna sosial bisa jadi merenggut "me time"ku, bermakna sosial bisa jadi mengenyampingkan urusan perutku sendiri di atas orang lain, memaknai sosial bisa jadi juga yang menghalangiku buat hilang rasa buat lebih mencintai diri sendiri. Sementara aku memahami juga dari makna sosial ini mencintai diri sendiri pun agar tidak jadi seperti Narcissus harus dibatasi dengan sosial ini. Semuanya, tak boleh berlebihan jika semuanya butuh keseimbangan. 

Malam ini, bintang ku perkirakan tak menerangi malam minggu terakhir di bulan ini. Tapi aku masih berharap padanya menerangi tiap-tiap jiwa yang sudah mampir dalam hidupku agar mereka diberi kebahagiaan, diberi bahagia, beri mereka bahagia. Jika pun bintang tak meneranginya, aku berharap pada Tuhan untuk memberikan itu: bahagia. Bukankah Tuhanpun tahu, tiap insannya membutuhkan kebahagiaan? 

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��