Dunia Harus Tahu: Pak Mujib

Malam minggu ini, kenanganku kembali ada kursi bus menuju Probolinggo dari Lumajang 2 hari lalu. Wajah tua dan penuh amanatnya terngiang lintas kemudian membekas di ingatanku. Ia turun di Malasan, ketika aku dipamiti setengah sadar sebab ngantuk yang tak bisa ditahan. 
Kali itu, sebetulnya aku ingin di sepanjang sebelum ia turun dari bus bercakap lama dengannya. Lebih dan lebih. Entah alasan seperti apa jua yang membuatku percaya begitu saja untuk duduk di sampingnya mendengarkan ia berceloteh tentang sawah, pupuk, sengon, adat nikah, dan tentu tentang anaknya. Aku tidak sedikitpun bergeming dengan semua yang ia ceritakan. Tapi setelah hujan deras menghantam bus tua yang kami tumpangi, membuatku harus pindah kursi karena kursi sebelumnya bocor tak terkendali. 

Pak Mujib, masih kulihat punggungmu sampai di pemberhentianmu walau kondisiku sedang mengantuk. Tak sempat aku berpose denganmu, sebab ceritamu lebih penting digarisbawahi daripada yang lain. Aku berhutang jamuan padamu. Barangkali engkau tak mengingatnya, hari ini aku menulis untuk ku abadikan. Walau kutahu, ada kemungkinan aku tidak bisa kembali menemuimu. Terima kasih atas wejangannya. 

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��