Aku, Kamu, Mereka, dan Dia

Kemarin, kudengar percakapan antara kita berdua begitu merdu mengalahkan kicauan burung di pagi hari saat menyambut kebisingan pada siang harinya nanti. Begini kira-kira hal tertajam yang kumengerti sebagai ketukan untuk jendela hatiku yang masih terbuka dan tertutup dengan tidak stabilnya. 
" Aku menghargai percakapan ini, walau kau mungkin tanpa solusi," katamu sambil menatap tajam ke arahku. 
Aku menghela nafas, sedikit memuncak, hingga katup antara tenggorokan dan kerongkongan hampir saja beradu untuk saling melepaskan. Ya, saat itu aku sambil makan, mengunyah ketidakpastian. Tidak berakhir sampai di situ, aku membalas percakapan dengan intonasi final tersebut.
" Aku tahu siapa diriku, sebab ini aku. Jika kau menginginkan solusi dariku untuk hal penting yang kita bicarakan saat ini, aku menyerahkannya saja padamu. Aku di sini sebagai suporter aktif untuk lebih menghargai pilihan orang lain. Termasuk kamu."
Kami yang hanyut dalam kita dan kata, berebut untuk mengutarakan uneg-uneg yang terkadang semena-mena muncul menjadi perdebatan. Tapi jangan salah untuk kesekian kalinya, aku tak bisa marah pada ia yang sedang kuajak bicara. Bahkan aku hanyut dalam arus yang ia bawa dari pusat pikirannya. Berbeda kemudian saat aku harus berkaca pada kemayaan, saat-saat semua hasrat ingin berbagi kutahan demi menjaga perasaan. Sebab kutak ingin melebihi sakitnya dibenci terlebih membenci yang mengandung jutaan sel hidup dan mati dengan dengki.

Sejak beberapa hari berlalu tanpa percakapan denganmu, kulebih banyak menghabiskan waktu dengan mayanya hidupku. Malas? jelas iya. Lalu bagaimana? Percikan demi percikan rasa juga terbangun atas kemayaan yang terjadi. Namun masih saja, diselesaikan dengan nyata bukan pilihan yang baik untuk mereka yang bukan kusebut sebagai kamu. Apa yang sebenarnya kuharapkan pada kemayaan mereka hanyalah tertawa dengan maya, tertawa dengan nyata, hanya mereka tidak bisa memberikan peluang yang sama pada harga dan tawar-menawar. Mereka kuanggap memiliki persamaan nyatanya, tidaklah sesempurna yang kubayangkan. Mereka ialah kefanaan.

~~ It's definitely my heart, my feeling but why don't they listen to me
I'm just talking to myself again, talking to myself again
I'm just talking to myself again, talking to myself again
You're not saying anything, please, I'll treat you well~~
(Phone ringing)

" Can you just hang your phone up?, "seseorang mengagetkanku dalam kebisingan kelas, sambil agak berlari keluar kelas dan kemudian hilang dari pandangan. 
" Ah~~ ya, sorry," kubalas dengan senyum kepadanya yang mengingatkanku tuk harus mengangkat masalah tuk tidak menganggapnya beban, dengan membalas sapaan dia yang mengaktifkan kemayaan dalam kenyataan. Sebab jarak antara aku dan dia ialah perkara yang tak dapat disatukan hanya dengan menggeser jemari belaka. 

Setelah kuangkat sambungan jarak jauh tersebut, kupastikan sekelilingku teduh seteduh kabar yang kuterima dari dia. Dia yang bukan kamu, bukan juga mereka. Dia, yang mengatakan akan kembali menelepon pada saat-saat tak terduga. 



Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��