Dunia Harus Tahu: Hari yang Penuh Cinta
Aku tak mematut diriku buat lebih cantik atau bahkan jadi putih bak keramik yang diingini banyak insan anut-anutan. Cukup geram memang dengan standar cantik, tapi aku juga paham cantik itu luka: mengembara kemana-mana yang ujungnya tetap saja jadi seolah 'salah' dan 'menyakitkan' karena stigma yang telanjur melekat erat, sehingga ditinggal berat.
Selain selingan di atas, hari itu adalah hari paling penuh cinta palsu yang kami rasa. Aku sama sekali tak habis pikir, nyata mereka tak pernah berpikir mungkin bahkan pun terpikir. Bahkan langkah kami hanya tinggal semeter lagi, pupus sudah tanpa kata pisah maaf yang berarti. Diberi tahu, tapi tak diberi mengerti. Jadi, saat ini apa? Terkatung-katung aku pun di antara angin yang selalu enggan masuk di sela-sela rimbun daun di pohon.
Bagaimana kiranya kita menahan air mata bersama? Puncaknya adalah hahahihi yang berakhir di atas sajadah atau kasur : dengan tetap menangis, mengais, merasa kecil lagi, tak terlihat. Kami butuh bangkit, mungkin baiknya kami juga tak menjerit di antara prajurit yang sedang terbirit. Meski ada pun 'sempat' lain, nyatanya tak ada yang menjamin bukan?
Sampai pada waktu yang membuatku, membuat kami sembuh dari berita hari itu, kami akan masih terus berjuang, aku tahu. "Sudah" dan tak larut menghadapi hari itu adalah pilihan tepat. Menyepakatinya dengan bulat sambil bilang di antara hati dan hati yang tak pernah jernih tersampaikan: "Kesempatan kita ketemu lagi sangat kecil". Kami menerimanya, karena tahu selain legawa memangnya harus apa?
Dunia harus tahu, aku tak sedang mengumpat. Umpatanku telah habis sepanjang jalan menuju belakang tempat tempaan itu. Ambil yang positif, jadikan pembelajaran yang negatif, tak terjerat di lubang yang sama dua kali.
Selamat lebaran!
Ikhlas ya class!
Aku akan mengingat kalian
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu