Berkasih: Hujan, Pagi, dan Kucing

Aku jatuh cinta lagi dengan musik klasik, mungkin setelah ini aku sering nonton yang cantik itu luka lewat gerak-gerak gemulai penari balet. Tapi yang terakhir masih mungkin, perkiraan yang biar aku nanti yang tentukan. Berkat kenangan film The Floating Chopin karya Wregas membangkitkan semangat buat mendengarkan musik-musik yang bagi sebagian orang hanya pengantar tidur namun bagi sebagian lain memiliki kasta tinggi untuk sekadar berebut kursi. Sadarku saat ini melalui melodi yang kudengar masih tetap sama : kalau Beethoven dalam bahasan studi literaturku mengenai musik bisa membuat maha karya dari bermusik walau ia tuli, aku yang bisa mengindera melebihinya ini harusnya bisa bahkan lebih bisa darinya, cuma usaha dan syukurnya yang kurang: catat.

Kiri

Kanan


Tchaikovsky yang Swan Lake boleh jadi alternatif sambutan dalam masa ini. Nanti tak sambung lagi sama Mozart dan karya-karyanya yang sebenarnya tak asing didengar. Sekarang meresapi Tchaikovsky dulu - Andante Cantabile menemani pagi yang tiba-tiba hujan hari ini. Rezeki daripadanya harus segera diutarakan. Daripada resah karena hujan pagi-pagi, menikmatinya adalah cara terbaik untuk membuatnya hadir tanpa perlu ada rasa tidak nyaman menyalahkan manusia atau alam atas kekesalan yang dibuat sendiri. Mari minum teh tanpa gula kalau tidak puasa. Ehe.. 


PS. Dulu masuk bahasa dan mempelajari Deutsch kemudian ngotot ingin pergi ke sana, tujuanku nonton orkestra di Deutschland coba. Haha aku remaja lugu juga ya. 

---------------

Oh! Bangun pagi rupanya jadi kebiasaan yang susah dilakukan di musim ini. Musim mimpi kolektif akan covid-19 yang membuat kita tidak sedang baik-baik saja tentunya. Membuat kita berpanjang lebar hanya untuk kembali ke rasa filsafati yang luhur. Menjadi manusia untuk menjadi manusia kembali pada hakikat kita dalam kekolektifan ini. Tidak membenci dan saling memberikan dorongan batin satu sama lain. 

Jadi ingat aku memberikan pernyataan kesal tentang ucap yang harusnya tak ia lakukan. Seperti halaman kemarin yang menceritakan bolak-baliknya hati, pikiran, dan perasaanku mengenai body shaming ini juga terjadi dalam ungkapan yang menjelek-jelekkan intelegensi seseorang. Merasa superior dan mendown grade kan seseorang ini hal yang paling luka yang pernah kurasa. Oke kalau memang bisa membuktikan kalau memang lebih baik, aku akan menerimanya sebagai kritik yang membangun. Tapi ingat, tetap aku sudah pernah terluka. - Johann Sebastian Bach : The Well Temper Clavier, Book 1, Prelude & Fugue in C Major: BWV 846: I. Prelude (iringan yang sering kali dipelajari adik, papa, dan kakakku tapi tidak pernah sempat selesai)-

----------------

Ryu bicara tentang kucing, setelah hari-hari sebelumnya aku terhibur dengan ucapannya mengenai ayam dan saat sahur tadi tentang kacang panjang. Menurutku yang tentang kucing ini unik. Sebab dia tidak sedang dalam rangka lagi-lagi kumintai tolong untuk membuatku tidak bersedih dengan candaan yang tidak terlalu dalam dan sulit dipahami. 

Kucing tua yang tiba-tiba sering masuk seenaknya ke rumahnya adalah awal mula cerita subuh tadi. Ia bilang kucing itu suka buang hajat sembarangan. Selain itu muntah juga yang katanya berwarna hijau. Kalau kurangkum dari ceritanya, mungkin si kucing sedang mencari tempat terbaik untuk merasakan mati. Iya, proses mati lebih tepatnya. Tapi Ryu sebal karena si kucing yang agaknya tak tahu diri buang hajat dan muntah sembarangan. Di pindah juga kembali katanya. Dalam pikirku yang sempit aku mulai mengerti mungkin si kucing demensia mengira sudut rumah Ryu yang ditempatinya sebagai tempat menjelang kematiannya itu adalah yang ia sebut rumah. Membayangkan itu yang benar terjadi, aku jadi tersenyum getir, si kucing punya perasaan menyindir pada temanku pun aku. 

-----------------

Di luar hujan, sayang 

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��