Catatan dari Teman: Jogja Kemarin
Immas: Aku suka di foto seperti ini
Shantica: La kenapa?
Immas: Soalnya aku kelihatan mancung
Shantica: Ok baiklah (sambil berhati-hati dalam hati membayangkan besok-besok kalau motoin Immas harus kelihatan mancung)
Sejak baru sebulan saja tak ketemu, ketemu sehari pun tak bisa diganti jatahnya. Iya, kini mulai ada yang beda meski orangnya sama. Orangnya sama tapi kadang menanyakan keberatan hidup pada yang sama jadi tabu, kadang tak bermaksud karena campur tangan hati jadi begitu. Itu kira-kira yang terjadi di Jogja kemarin.
Begini juga terjadi di Jogja kemarin: Immas bilang merindukan percakapan di antara kita. Iya, bukan sekadar percakapan seputar kebutuhan biologis tapi lain-lain yang tak ditemukan dalam bercanda dengan sehari-hari. Aku bahkan masih belum tahu mengapa berat? Tapi Immas mulai menjawab satu per satu kegelisahan yang selalu kusudutkan di otak, meski tak semuanya. Aku pun mulai menyuarakan, sudah, dan berkembang jadi seruwet benang mama yang dimainkan oleh kucing, tapi harus tetap diurai.
Apa yang kulakukan di Jogja? Apa? (Bahkan orang-orang kenal-lewat di kereta, stasiun, telepon menanyakannya)
Aku menjawab menghindari egois dengan kadang menutupi. Tipeku: menutupi diri sendiri, yang lama-kelamaan geram dan membuncah marah-pada siapa? Lagi-lagi pada diri sendiri. Pertanyaan yang sulit kujawab di atas tersebab ada rasa yang belum usai, ada kewajiban yang harus kusudahi, ada kewajiban yang harus juga kuambil:peluang:kesempatan. Sebab aku ada waktu, kembali sebentar pada Jogja yang kemarin kutinggalkan.
Memang Jogja tak seperti kemarin
Pulang masih bisa menanyakan tanya yang tak pernah tabu
Yaudah aku mengaku:
Jogja memang bikin kangen!
Comments
Post a Comment
Menulislah selagi mampu