Refleksi: 17 Kelima

Halo, Juni! Kau datang tepat waktu. Memapahku yang sedang ambruk diamuk batuk yang sembuh lalu balik lagi. Kesal juga, tapi membuangnya pun bagaimana? Berusaha dengan obat sudah, lalu mencoba berjalan dengan sehat juga sudah. Hm... mungkin kurang bersyukur kali, ya. Makanya dikasih sakit. Biar selalu ingat sama Tuhan. Iya, Tuhan YME. 

Kelima datang padaku dengan rasa yang setengah. Tidak pernah penuh. Jika aku berhenti tertawa, lantas aku juga berhenti menangis. Kering, bahkan jiwapun ikut menghilang tak berjejak. Astaga, aku ngomong apa? Bukan karena ucapan yang tidak mengenakkan tentang bagaimana seharusnya menjadi orang dihadapan orang-orang kan? Ah, memang iya. Aku cuma segera menutup menghiburnya, memendamnya sebagai jalan atas drama yang sedang kubuat. Lama-lama ini akan terwujud dan berwujud meski yang fana-fana selalu tidak terlihat, ya nyatanya yang nyata-nyata akan terlihat. Seperti bilang: Tunggu tanggal mainnya!. 

Aku berusaha tidak ragu dalam melangkah. Aku bahkan tidak ingin. Aku sadar aku banyak berekspektasi tinggi pada Tuhan pun manusia yang kutemui. Pada mereka, aku menyimpan harapan baik, ya untuk mereka agar tidak mempersulit jalanku, agar mengontrol mulutku, agar mengkondisikan jiwa-raga dan pikirku yang kadang memang sesat dan tak jarang tersesat. Inilah aku yang menuntut balas tapi mengharapkan yang lebih baik untuk mereka.  
Tujuh belas selanjutnya akan lebih terselimuti duka - aku merabanya sebagai bentuk persiapan atas alur yang kubuat. Aku jadi sutradara dan penulis naskah yang membayangi dan dibayangi membuat pementasan yang paling berarti di kehidupanku, dipertontonkan untuk kukaji dan kupelajari sendiri. Saat ini, hidup masih penuh tanda tanya. Jadi jangan tanyakan tanya dulu, aku belum mampu.   

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��