Cerpen: Ingatan



        Seperti biasa ketika langit cerah dan cahaya bulan terang menyapa. Aku akan mengajak Ansa menuju bawah pohon persahabatan kami. Tujuan kami ke sana ialah untuk saling bertukar pendapat, sekedar mengobrol, bercanda, ataupun yang lain.
        Malam itu, bulan benar-benar berseri-seri muncul di atas pohon persahabatan kita yang terletak di taman kompleks perumahan. Saat itu juga aku menelepon sahabatku, Ansa.  “Hello, Sa?”. “Ya, Ta ada apa?,”jawabnya. “Lihat! Keluarlah! Lalu, ceritakan padaku apa yang kau lihat?,”ucapku yang ada di seberang dan membenarkan letak handphone. “Sebentar, aku akan keluar. Tapi kelihatannya aku tahu jawabannya,” jawab Ansa dengan keluar rumah. “Pohon persahabatan!,” seruku dan Ansa bersamaan.
        Tanpa diintruksi lagi, kami berdua berpamitan dan langsung menuju taman kompleks. Kedua orang tua kami juga sudah mengerti kebiasaan kami ini.
        Begitu sampai di pohon persahabatan, kami berdua langsung memeluk satu sama lain. Duduk di bawah pohon itu, rasanya aku ingin mengulas apa yang telah aku lewatkan berdua dengan Ansa setelah kami saling kenal dari kami TK sampai sekarang kelas 11. Aku dan Ansa satu sekolah namun beda jurusan. Aku masuk IPA dan Ansa Bahasa. Entah kenapa alasannya dia memilih jurusan itu. Tapi yang kutahu, dia memang sungguh-sungguh mengambil jurusan itu. Karena terlalu jauh aku berpikir, aku kurang mendengarkan apa yang diutarakan oleh Ansa.
        “Moshi-moshi? Fita?”. “Oh, maaf,”kataku. “Dengar ya. Aku kali ini gak akan mengulang lagi. Karena ini sifatnya masih rahasia,”papar Ansa. “Memang apaan? Penting banget, ya?,” kataku. “Jadilah pendengar yang baik. Untuk kali ini,” katanya dengan sungguh-sungguh. “ Ok,” jawabku sambil mengedipkan mata. “Aku jatuh cinta Ta. Dengan kawan sebelah kelasmu itu. Ternyata.... Jatuh yang seperti ini indah, Ta. Aku merasakannya. Tapi ini masih di awal. Tak mungkin sesuatu akan berjalan indah terus seperti sekarang. Benarkan, Ta?,” katanya.
        Ansa memang berkata benar tentang hal itu. Mungkin dia juga berkata berdasarkan pengalaman yang pernah menimpa orang yang sekarang tepat duduk di sebelahnya. Aku. Dulu, tepatnya 3 bulan yang lalu aku putus dengan Hedi. Putus bukan karena apa-apa. Aku putus dan kehilangan. Dia pergi untuk selamanya. Penyakitnya bahkan lebih setia menemani daripada aku yang saat itu masih menjadi miliknya. Saat itu dia hanya meninggalkanku dan kenangan tentang kami berdua.
 Dianggap tega, memang ini telah takdir. Seperti di dunia ini hanya aku yang merasakan sakit dan sedihnya kehilangan. Sementara meski di waktu itu Ansa pun ada di sisiku, tetap saja rasa sedih hinggap padaku. Dan berjalan purnama ke-3 setelah tiadanya Hedi, aku menjadi orang yang tertutup. Dan hanya pada Ansa aku mau berbagi pengalaman dan berbagi cerita. Bahkan keinginanku untuk tidak memiliki dan memikirkan tentang cowok lagi. Tidak hanya itu, aku memaksa Ansa pun ikut untuk melakukan hal itu. Aku tahu hal itu salah. Sekarang, ketika Ansa membicarakan tentang hal itu rasanya hatiku berkecamuk lagi. Mengingat ingatan yang telah terjadi 3 purnama lalu.
        “Mmmm, kau benar Sa. Tidak sesuatupun yang terus berjalan dengan indah dan sesuai dengan keinginan kita. Dan aku yang merasakannya,” jawabku. “Maaf, Ta. Bukan aku bermaksud menyakitimu tentang semua hal yang kau lalui bersama Hedi,”katanya. Seketika jantungku berdegup dengan kencang ketika nama Hedi ikut disebut dalam pembicaraan kami. Aku tak tahan lagi. Mengingat semua hal tersebut, dan akupun tak kasa membendung air mata. Sedikit demi sedikit bulir bening membasahi pipiku. “ Tenanglah, Ta. Kontrol emosimu. Aku di sini, takkan kemana-mana. Bahkan meninggalkanmu. Lagi pula itu hanya perasaanku saja, Ta. Entah apa yang dirasakan orang yang kucintai. Masih ada 2 kemungkinan, Ta. Antara aku dan dia sama cinta atau hanya berpihak antara salah satu dari kami,” ucap Ansa dengan tenang.
        Ku seka air mataku. Menghilangkan pula pikiran negatif yang dari tadi menghinggapiku. “ Mungkin kau berpikir Ta, laki-laki yang kau suka itu hal baik. Jangan seperti itu, Ta. Kau tahukan kita di dunia ini diciptakan untuk saling berpasangan. Laki-laki dengan perempuan, kaos kaki dengan sepatu, buku dengan pensil dan yang lain. Tentunya, kalau kita menghindari hal itu tidak mungkin. Dan bukan aku bermaksud membela diriku sendiri yang sekarang berposisi mencintai orang lain. Ini memang benar adanya, kita tidak bisa terlepas dari hal itu, “ papar Ansa. “Ingat Ta kau dulu juga pernah merasakannya. Perasaan yang sama dengan apa yang kurasa. Kalaupun untuk saat ini kau tidak menyetujuinya. Aku menghindari, menghindari cinta,” papar Ansa lagi.
        Sejenak aku berpikir. Yang dikatakan Ansa lagi-lagi tidak ada yang salah. Persepsiku yang salah. Mengintervensi Ansa, sekaligus diri sendiri. “Baik, aku mengerti sekarang. Tak mngkin seseorang mampu akan menutup hati. Bahkan untuk selamanya. Sekarang aku tahu, Sa. Kejarlah cintamu. Aku menghargainya. Aku tak akan berlebihan bahkan akan sewajarnya menanggapinya. Aku telah kau sadarkan dari mimpi buruk. Bukan karena kehilangan tapi, karena ucapan yang salah,”kataku pada Ansa. “Terima kasih, Ta. Kau merasa baikan sekarang? Apa masih sesenggukan?,” kata Ansa padaku dengan senyum mengejek.
        “Ah aku sudah tak apa, swear deh! Ngomong-ngomong nih siapa orang yang telah buatmu jatuh itu? Teman sebelah kelasku, ya? Siapa ya?,” tanyaku dengan bercanda. Sebenarnya, aku........tidak suka dan jatuh pada siapa-siapa, Ta. Aku membohongimu untukmu. Nyatanya, sekarang kau sudah tahu kan?,” tanyanya dengan raut sedih. “Ha...ha...ha.... dasar anak bahasa pinter banget kalau udah akting, ya??? Suka banget, kalau temennya galau. Terus sok jadi orang bijak, deh”. “ Tapi aku maksudnya baik kok. Nih kamu udah tersenyum lagi lebih-lebih kamu tertawa. Kalau dipikir-pikir kalau tidak dengan kamu membuat komitmen di cahaya bulan kelihatannya kamu gak akan nepatin deh, “ katanya. “Hmmm... mulai nih reseknya. Iya deh, aku nyesel ngomong kayak gitu. Itu kan aku 15 menit lalu. Sekarang telah usai. Ok, jangan bahas lagi ya?,”. “Ah, maumu Ta,” balas Ansa. 
        Sebelum akhirnya berpisah, kami masih sempat bercanda. Menikmati kembali indahnya malam itu, dan untukku aku berjanji tak akan melupakan sesuatu. Ingatan. Malam ini yang telah aku lalui bersama sahabatku, Ansa. Mungkin orang ini juga yang akan mengisi hari-hariku nantinya. Terimakasih Ansa.               

Comments

Tidak Ada Salahnya Tertarik Bahan Bacaan Lain ��